Pancasila Masuk Kotak.

de Facto Bukan de Jure

Perjuangan Kemerdekaan Jilid 2 Sudah dan Sedang Berlangsung.

(Bagian Kedua/Habis).

 

Upaya de Jure Kaum IBe Terganjal (?) Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Tetapi, dalam pemahaman Redaksi,  upaya kaum IBe (imperialis dan para begundal/anteknya) untuk menggenapi masuk kotaknya Pancasila dari segi de jure menyusul keberhasilan segi de facto, terganjal (?) Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.

Dekrit  yang utamanya menyatakan kembali ke UUD 1945 dan menghapus UUD 1950.

Dekrit yang membuat UUD 1945 mempunyai kekuatan hukum pasti: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Format Keppres No: 150/1959 dan ditempatkan dalam LN (Lembaga Negara–Red) No: 75/1959 Yo. Resolusi DPRGR tanggal 20 Juli1959 Yo.Tap MPRS No:XX/1966.

Sementara 4 “amendemen” UUD 1945 (I: 14-21/10/1999; II: 7-18/8/2000; III: 1-9/11/2001; IV: 1-11/8/2002)—semasa kerusuhan Ambon memasuki abad ke-21 masih merebak itu—yang berujung pada 2002 (karenanya Amin Arjoso menjuluki keempat “amendemen” itu:  UUD 2002) ternyata lahir tanpa membatalkan dekrit Soekarno yang monumental itu.

Jadi, seperti dikatakan Amin di buku tentang dirinya itu:

Keputusan MPR 1999-2004 secara prosedural tidak membatalkan Dekrit 5 Juli 1959, dan menurut ketentuan hukum, UUD 1945 masih berlaku.

Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso Menegakkan Kembali UUD’45, Yayasan Kepada Bangsaku, 2010 [selanjut Redaksi sebut: Amin Arjoso, 2010] hlm 66; silakan klik ini).

Jadi?

Jadi, … di sinilah hemat Redaksi, kepiawaian kaum IBe dalam urusan menggapil (campur tangan) di Dunia Ketiga. Negeri-negeri yang kaya sumber daya alam juga sumber daya manusia apolitis (baca: mudah terhisap menjadi para begundal kaum imperialis) tapi (harus diakui) miskin massa rakyat dan para aktivis, pemimpin progresif-revolusioner.

Sehingga, sulit bagi Redaksi untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa pada putaran kedua saat kerusuhan Ambon memasuki abad ke-21 (diawali putaran pertama Kudeta Merangkak atas Soekarno), kaum IBe tidak mungkin begitu dungunya sampai mengabaikan Dekrit 5 Juli 1959 itu.

Makanya, mengapa Redaksi membubuhi tanda “(?)” pada kata “terganjal (?)” di subjudul di atas.

Justru, hemat Redaksi, kaum IBe mafhum betul: fatal bila Dekrit 5 Juli 1959 dicabut atau setidaknya diisukan untuk dibatalkan. Akan menimbulkan wacana, perdebatan panas, meluas sekaligus bertele-tele. Perjalanan secara prosedural-legal yang (bakal) ribet. Ujung-ujungnya bisa mengancam eksistensi Pancasila yang sudah de facto masuk kotak itu.

Soalnya, pencabutan Dekrit 5 Juli 1959 berarti “terang-terangan” mencabut UUD 1945 berikut Pancasila sebagai dasar negara, dan diganti dengan sebuah konstitusi baru berikut dasar yang baru pula dengan sendirinya.

Wow, bisa “heboh, parno”, pinjam celetukan khas remaja masa kini. (Maksud mereka “paranoid”: “seperti paranoia” penyakit jiwa yang membuat penderita itu  berpikiran yang bukan-bukan …—Red/Badudu, 2005)

Lalu? … Tenang saja.

Maksud Redaksi, kaum IBe akan tenang-tenang saja, lalu memainkan jurus senyap tanpa gerakan besar lamun bagaikan kiriman santet mematikan.

Sekali lagi, kepiawaian kaum IBe di Dunia Ketiga, dengan jam terbang tinggi dalam 55 intervensi di seluruh belahan dunia sejak Perang Dunia II—mengacu buku William Blum Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II—dan 50-an lebih intervensi di Amerika Latin (versi kamerad BJ Murphy di blognya The prison gates are open …).

Serta (di kemudian hari) bahkan tak ngaruh sedikit pun atas tuduhan sebagai pembohong dan agresor di Irak-Libia oleh Presiden Zimbabwe Robert Mugabe di forum sangat terhormat Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2011 lalu (simak hlm 14a atau klik ini).

Membuat kaum IBe pun melangkah percaya diri nirrasa dosa dalam memainkan jurus culas ini.

Penyelundupan Hukum.

Adalah 9 Anggota MPR/DPR RI (Abdul Madjid, HA Arjoso, Sri Edi Swasono, S Hartati Murdaya, Sadjarwo Sukardiman, Prof DR M Ali, SH, Dipl Ed, Msi, H Syahrul Azmir Matondang, Bambang Pranoto, Permadi) dan seorang Mantan Anggota MPR/DPR RI (ASS Tambunan) yang lewat sebuah Memorandum Tentang Perubahan UUD 1945 oleh MPR 1999-2002, pada intinya menolak keempat “amendemen” atas UUD 1945 tersebut.

Malah mereka menyebutnya sebagai  “penyelundupan hukum”.

Istilah yang—hemat Reaksi sangat tepat dalam konteks intervensi IBe—juga tercantum pada butir 1 pernyataan mereka di akhir memorandum dimaksud dari lima butir pernyataan mereka:

1. Mengingat perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar bukan Sumber Hukum dan tidak termasuk dalam Tata Urutan Peraturan Perundangan sebagaimana Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 yang telah diubah oleh Tap III/MPR/2000, dan mengingat Dekrit Presiden tanggal  5 Juli 1959 yang diundangkan Keputusan Presiden No. 150/1959 (LN No. 75/1959) tidak pernah dibatalkan, maka secara hukum Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR 1999-2004 suatu penyelundupan hukum yang menurut hukum tidak sah,dengan demikian Perubahan Undang-Undang Dasar tersebut batal demi hukum.

2. Mengingat MPR tahun 1999-2004 tidak melakukan secara sah perubahan Undang-Undang Dasar terhadapUUD 1945 maka dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana disahkan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dan didekritkan berlakunya lagi oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan diundangkan Keppres No. 150/1959 (LN No. 75/1959) tetap sah dan berlaku bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia.

3. Mengingat pada satu sisi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan pada sisi lain UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 3 ayat (2) berbunyi : “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, dan ayat (3) berbunyi : “Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya”, yang di dalam penjelasannya berbunyi, Ayat (3) “Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Maka hal ini jelas merupakan skandal ketatanegaraan yang mengaburkan fungsi penempatan peraturan perundangan dalam Lembaran Negara. Di samping merusak sendi kenegaraan tentang asas pemisahan kekuasaan di mana MPR telah difungsikan sebagai lembaga yang memberlakukan peraturan perundangan. Diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 secara jelas telah melanggar asas hierarki demi pembenaran post factum perubahan UUD 1945.

4. Berhubung beredarnya barang cetakan berjudul Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 dalam satu naskah, diterbitkan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI, tahun 2005, yang isinya bertentangan dengan naskah asli UUD 1945, maka dengan ini kami meminta pihak berwajib untuk menarik barang cetakan tersebut dari peredaran untuk dimusnahkan.

5. Atas dasar pertimbangan tersebut diatas, maka bersama ini Kepada Presiden RI, MPR RI, DPR RI, Mahkamah Agung RI, kami meminta agar dalam tempo sesingkat-singkatnya untuk mengakhiri situasi hukum yang abnormal dengan menyatakan lagi berlakunya UUD 1945 dan menyatakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR 1999-2004 tidak sah dan batal demi hukum. Kelalaian penyelengara negara dalam hal ini, membuka peluang bagi rakyat menggunakan haknya untuk menyelamatkan konstitusi UUD 1945.

(Mengacu buku Amin Arjoso, 2010, hlm 273-278, silakan klik ini; cetak tebal oleh kami tanpa menyentuh isi sama sekali—Red)

Istilah “penyelundupan hukum” juga dimunculkan  Prof Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, dalam risalahnya Solusi Mengatasi Krisis Konstitusi Pascaamendemen UUD 1945 (simak hlm 2b.3 blog ini atau klik ini):

Keputusan MPR tentang amendemen UUD dilakukan melalui “Penyelundupan Hukum” …

Ya, jurus senyap mematikan dari kaum IBe itu bernama “penyelundupan hukum”. (selundup: masuk secara sembunyi-sembunyi/gelap [tidak sah]—Red/KBBI, 1999)

Sebuah upaya cerdas nan super culas dalam mensiasati—bukannya “terganjal”—Dekrit Presiden 5 Juli 1959—berikut pelanggaran, berikut ketidaksesuaian dengan ketetapan-ketetapan yang mereka buat sendiri semasa kerusuhan Ambon itu masih hangat-hangatnya.

Ya, dengan jurus senyap tanpa perlu mencabut Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, UUD 2002 pun diselundupkan secara “de jure”.

Artinya, setidak bagi Redaksi, “de jure”-nya UUD 2002 yang meski selundupan sudah diprediksi kaum IBe tidak bakal menimbulkan kehebohan signifikan ketika de jure-nya Pancasila-UUD 1945 (baca: Dekrit Presiden 5 Juli 1959) tidak diutak-atik.

Dan terbukti!

Seperti kita saksikan sendiri “nasib” Pancasila-UUD 1945 dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara hari-hari ini—malahan sudah sedasawarsa berlalu. Tidak ada itu kehebohan, gegap gempita, atau apalah.

Padahal sedang berlangsung atas fondasi, atas pijakan negeri tercinta ini sebuah (meminjam Amin Arjoso, 2010) ”maha bencana”.

Bahkan wacana isu UUD 2002 yang Redaksi sebut absurd (baca: cacat hukum tapi tetap diacu) itu—kata lain untuk istilah “situasi hukum abnormal” oleh para penandatangan memorandum—semisal yang coba dilansir Redaksi (notabene bukan siapa-siapa) lewat kampanye “Pancasila Masuk Kotak” di blog ini, bukan tidak mungkin dituduh balik: “absurd”.

Pasalnya juga, lagi-lagi ini bukti kepiawaian kaum IBe dalam menggapil Dunia Ketiga: para begundalnya sudah “menguasai” Majelis Permusyawaratan Rakyat, saat itu—bahkan sejak Kudeta Merangkak, sampai sekarang.

Para begundalnya sudah melapangkan jalan bagi jurus senyap penyelundupan hukum itu.

Kisah menarik berikut, adalah indikasi bayan, berandang (gamblang). Tidak heran almarhum Gus Dur menjuluki para wakil rakyat kita itu bak murid Taman Kanak-Kanak (tak termasuk kesepuluh anggota/mantan anggota MPR/DPR RI di atas juga sejumlah mereka yang secara pribadi menentang UUD 2002 itu, tentunya—Red).

Saya buka rahasia, untuk membuat Undang-Undang Dasar Baru itu banyak tantangannya, karena itu di antara tanda kutip (sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggerak-gerakkan jari telunjuk dan jari tengah secara bersamaan dari kedua tangannya sebagai lambang dari tanda kutip), kita kesankan sebagai amendemen

Demikian antara lain pernyataan Wakil Ketua PAH I BP MPR (Panitia Ad Hock I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat) Slamet Effendi Yusuf  (almarhum — data terbarui) pada acara talk show, 10 Agustus 2002 malam, di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh TVRI dalam rangka acara penutupan Seminar Uji Sahih Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh KA-GAMA.

(Mengacu hasil rangkuman Eddi Elison bertajuk Menolak Konstitusi Baru  atas hasil Rapat Presidium Komnas PP-UUD 45 [K.H. Abdurrahman Wahid, Soetardjo Soerjogoerito, Amin Arjoso, Ridwan Saidi, yang disampaikan pada pertemuan pers 24 Januari 2007]; Amin Arjoso, 2010, hlm 80, silakan klik ini)

Arsip AG-AK-P vs Para Begundal.

Sehingga, pada kesempatan ini, dengan segala maaf dan tanpa mengurangi rasa hormat, Redaksi tidak yakin pada keyakinan Prof Sofian Effendi  yang diutarakan dalam pidato ilmiahnya Mencari Sistem Pemerintahan Negara (simak hlm 2b.2 blog ini atau klik ini):

Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja PanjaMPR, ketika mengadakan amendemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945.

Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. 

Artinya, bila salah seorang dari wakil rakyat (masihkah?) terhormat—seperti disinggung di atas—telah membuka rahasia, aibnya sendiri untuk sebuah urusan maha penting bagi perjalanan ke depannya negeri tercinta ini, Redaksi sangat tidak yakin mereka akan engah dengan Arsip AG-AK-P.

Artinya juga, pertanyaan sederhana, maaf, apakah para begundal, para antek, seperti halnya setiras wayang yang dimainkan sang dalang, memiliki akal apalagi “melihat dengan hati” ketika disodorkan Arsip AG-AK-P yang “mendalam dan tinggi mutu” itu?

Arsip AG-AK-P yang antara lain dijelaskan Prof Sofian, masih dari pidato beliau itu:

Bila dipelajari secara mendalam  notulen lengkap rapatrapat BPUPK sekitar 11 –15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami  kedalaman pandangan para  founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.

Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004).  …

Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.  …

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan.

Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung  keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.

bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena  merupakan penerapan dari pandangan individualisme.  …

Sebaliknya, sistem presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan.  …

Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan “sistem sendiri” sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK.  …

Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan.

Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.

Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat.  …

Presiden yang menjalankan kekuasaan  eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils).  Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.  …

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli  BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti  perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan  Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.

Karena itu MPR harus mencakup  wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bikameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan  bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi  untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia.  …

Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan  dari sistem-sistem yang ada.

Sistem majelis yang tidak bikameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebagai lembaga permusyawaratanperwakilan.

(cetak tebal dan penempatan alinea baru tidak sesuai naskah asli oleh kami tanpa menyentuh isi sama sekali; semata untuk kemudahan di layar monitor—Red)

UUD 1945 Termodern, Lahir dari Rahim Budaya Bangsanya Sendiri vs Para Begundal.

Dan juga Redaksi sangat tidak yakin kaum ini akan engah dengan kritikan pedas sangat mendasar dari almarhum Prof ASS Tambunan kepada sesama politisi-akademisi tingkat nasional:

Ketua MPR Prof. Dr. Amien Rais dengan bangga berkomentar, bahwa hasil karya MPR itu merupakan suatu lompatan besar. Kurang jelas maksudnya apakah lompatan dalam arti maju atau dalam arti mundur.

Amien Rais tidak menyadari, bahwa MPR telah mengabaikan sejarah perjuangan bangsa.

Dr. Adnan Buyung Nasution berpendapat, UUD 1945 adalah anti demokrasi.

Dari komentar-komentar mereka secara jelas tergambar kekaguman mereka pada demokrasi Barat dan jugamemperlihatkan, mereka sama sekali tidak memahami UUD 1945.

Mereka mengabaikan komentar Bung Hatta yang mengatakan, bahwa UUD 1945 merupakan UUD yang termodern. Seharusnya mereka kagum dan bangga atas hasil karya bangsanya sendiri yang lahir dari rahim budaya bangsanya sendiri.

***

Tidak semua UUD atau konstitusi mempunyai suatu Preambul atau Pembukaan.

Menurut teori konstitusi, Pembukaan adalah bagian dari UUD atau konstitusi yang tertinggi tingkatannya yang mendasari sistem konstitusi dan struktur bangunan negara yang bersangkutan.

Jadi, Preambul UUD 1945 mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan Indonesia. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan menguasai hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Semua itu dikendalikan oleh falsafah dasar negara yaitu Pancasila.

Kalau masyarakat Barat selama berabad-abad berada di bawah kekuasaan raja-raja yang mutlak berkuasa, sehingga rakyatnya berjuang untuk kebebasan dan persamaan, maka rakyat Indonesia berjuang untuk melenyapkan penjajahan dari muka bumi.

Tujuan yang hendak dicapai bangsa Indonesia dengan demikian adalah

(1) ke dalam (a) Persatuan bangsa dan Negara Indonesia (b) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

(2) keluar: (a) Menghapuskan penjajahan di atas bumi, (b) Tercapainya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  …

Yang mengarahkan kehidupan negara dan bangsa adalah cita negara (staatsidee), cita UUD (grondwetsidee) dan cita hukum (rechtsidee).

Cita negara yang dianut Indonesia adalah Integrasi yang berarti, bahwa aspek kenyataan tidak dapat dipisahkan dari aspek yuridis, hal mana tergambar dalam kalimat pertama, kedua dan ketiga dari Pembukaan UUD 1945.  …

Cita UUD yang dianut UUD 1945 adalah, keinginan untuk meletakkan masalah-masalah pokok tentang pengorganisasian kehidupan bernegara dalam suatu UUD, sehingga yang pokok-pokok saja yang dimuat dalam UUD, yang lainnya diatur dalam peraturan pelaksanaan.

Cita hukum yang terkandung dalam Pembukaan adalah pandangan etis, filsafat dan politik bangsa Indonesia.

Dari situlah kemudian disadur sendi-sendi dan asas-asas yang menguasai dan mengarahkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis dalam usaha-usaha bangsa mencapai cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai.

Jadi, cita hukum merupakan landasan berlakunya konstitusi Indonesia.

***

UUD 2002 telah mematikan Pembukaan dalam arti, bahwa Pembukaan tidak berfungsi lagi, sehingga batang tubuh UUD 2002 tidak ada hubungannya dengan Pembukaan.

Hal itu berarti bahwa UUD 2002 telah menghilangkan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan.

UUD 2002 adalah penganut demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis.

Melalui UUD 2002, MPR telah menjadikan Indonesia sebagai penganut demokrasi Barat dengan liberalismenya dan kapitalismenya.

Dengan UUD 2002 Indonesia telah kehilangan jati dirinya.

(Mengacu risalah ASS Tambunan bertajuk UUD 2002 Meniadakan Jati Diri Kita termuat di buku Amin Arjoso, 2010, hlm 221-226; silakan klik ini; cetak tebal dan penempatan alinea baru tidak sesuai naskah asli oleh kami tanpa menyentuh isi sama sekali; semata untuk kemudahan di layar monitor—Red)

Dekrit 5 Juli 1959: Modal Utama Perjuangan Kemerdekaan Jilid 2.

Maka genaplah sudah “kemenangan”  kaum IBe lewat penyelundupan hukum itu. Mengukuhkan Pancasila secara de facto masuk kotak.

Tetapi tidak secara de jure!

#Pernyataan dalam memorandum 10 anggota/mantan anggota MPR/DPR RI yang menolak 4 ”amendemen” UUD 1945.

#Termasuk Pernyataan Komponen Bangsa Untuk Kembali ke UUD 1945, pada 5 Juli 2007, yang diteken oleh 40 tokoh, pemuka negeri ini di antaranya almarhum Gus Dur, yang di dalam salah satu butir (3) tercantum:

Empat kali amandemen yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2004, selain melanggar hukum, karena tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkanMPR sendiri, juga substansi dan filosofinya telah sangat menyimpang, tercermin dari Batang Tubuh UUD 1945 dirombak sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan Pembukaannya, menyebabkan terjadinya KRISIS KONSTITUSI. Apalagi tidak ada TAP MPR yang membatalkan atau mencabut UUD 1945 Dekrit Presiden 1959.

(Mengacu buku Amin Arjoso, 2010, hlm 285-288, silakan klik ini; cetak tebal oleh kami—Red)

#Arsip AG-AK-P: kumpulan notulen otentik, memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesiayang diingatkan Prof Sofian Effendi.

#UUD 1945 termodern dan hasil karya bangsanya sendiri yang lahir dari rahim budaya bangsanya sendiri–yang diingatkan almarhum Prof ASS Tambunan.

Adalah sebagian argumentasi-argumentasi kuat yang digelontorkan kaum politisi, akademsi pancasilais, tingkat nasional dalam membuktikan: Pancasila-UUD 1945 secara de jure tak terpatahkan.

Dalam kalimat para anggota/mantan anggota MPR/DPR RI di memorandum mereka, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR 1999-2004 tidak sah dan batal demi hukum.

Dan dalam pemahaman Redaksi, adalah Dekrit 5 Juli 1959 yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno itu, mengutip pernyataan 10 anggota/mantan anggota MPR/DPR, tetap sah dan berlaku bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia.

Maka, setidaknya bagi Redaksi, Dekrit 5 Juli 1959 adalah modal utama kita dalam perjuangan kemerdekaan jilid 2.

Perjuangan, mengulangi apa yang sudah Redaksi sampaikan di bagian pertama tulisan bersambung ini, untuk menghapus UUD 2002 tersebut. Menegakkan Pancasila-UUD 1945, membebaskan diri dari kaum IBe. Menuju masyarakat adil makmur, masyarakat sosialis Indonesia, sosialisme khas Indonesia, sosialisme berkarakteristik Indonesia.

Tujuan yang hemat kami sama sebangun dengan tujuan bangsa Indonesia yang diingatkan almarhum Prof ASS Tambunan di atas, ke dalam maupun keluar.

ooOoo

Satu tanggapan »

  1. Begitu hebatnya pemikiran pendiri bangsa ini … tapi sayang … disalahgunakan oleh sebagian orang yang mendapat kepercayaan oleh rakyat.

    Tapi saya tetap optimis masih ada manusia baik di bumi pertiwi ini. Karena apabila tidak ada lagi manusia baik di bumi pertiwi ini … subhan-aallah … sangat besar cost yang akan dibayar bila terjadi revolusi.

    Saya merindukan masa sekolah dulu. Yang apabila menyanyikan lagu-lagu perjuangan, darah saya terasa mendidih. Ingin berbuat sesuatu yang bisa diberikan kepada Ibu Pertiwi.

    Wahai Sang Pencipta hadirkan kepada kami pemimpin sesungguhnya. Pemimpin yang kalau perang ada di garis depan perang melawan ketidakadilan dan perang melawan korupsi.

    Karena kedua perang tersebut apabila tidak ditegakkan di bumi pertiwi ini, maka akan bermunculan kembali bambu runcing. Yang dahulu diarahkan kepada orang asing (penjajah) sekarang tidak menutup kemungkinan diarahkan ke saudara/bangsa sendiri. Subhana-allah …

    Reaksi Dasar Kita

    Terima kasih nagobelit sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Kalau boleh Redaksi tambahkan, seperti kata Kiki Syahnakri (simak hlm 2b.5 blog ini), dampak kebijakan penguasa yang salah jauh lebih merusak (destruktif) ketimbang korupsi.

    Bukan berarti korupsi dibiarkan merajalela. Tapi, pertama-tama kebijakan penguasa/pemerintah yang diturunkan dari konstitusi hasil “penyelundupan hukum” (baca: UUD 2002/nir amendemen UUD 45) yang kudu dibereskan.

    Seperti ketentuan UUD 1945 bahwa MPR sebagai pemegang supremasi kedaulatan negara tertinggi yang memberi mandat kepada Presiden RI sebagai “mandataris MPR” dalam menjalankan roda kepemerintahan. Ini sekarang sudah hilang.

    Ketidakadilan yang disebut “maha bencana” tak lain adalah UUD 2002/niramendemen UUD 45. Dan hemat kami, karut-marut negeri tercinta hari-hari ini, hulunya konstitusi UUD 2002 ini.

    Malah dari tulisan bersambung ini Pancasila Masuk Kotak, ternyata kita sudah dijajah kembali.

    Jadi, siap kan nagobelit untuk perjuangan kemerdekaan jilid 2: hapus UUD 2002!

    Tetap Merdeka!

    Suka

Tinggalkan komentar