Islam Politik, Ekonomi Syariah

dan

Imperialisme

.

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

.

Oleh HM Isbakh

.

.

[Alinea-alinea terakhir tulisan sebelumnya Bagian III hlm 142c-III — Red DK *]

.

.
Pada akhirnya ekonomi Islam tidak memberikan solusi yang lebih baik dalam mengatasi eksploitasi dan krisis kapitalisme dari pada sosialisme.
.
Penolakan riba yang diusung tidak menjamin penghapusan eksploitasi tenaga kerja buruh dalam sistem produksi kapitalisme. Sistem bagi hasil tidak berhasil menyelesaikan masalah kemiskinan dunia ketiga yang sebagian dialami oleh rakyat di negara-negara Islam atau negara dengan mayoritas beragama Islam.
.
Tentu saja, sistem bagi hasil tidak berbicara apa-apa bila tidak disertakan dengan rencana konkret untuk mendongkrak tenaga produktif rakyat di dunia ketiga.
.
Dan mendongkrak kekuatan produksi rakyat yang tidak mungkin dipisahkan dari industrialisasi dan pembangunan infrastruktur yang menjadi syarat-syarat produksinya.
.
Program tersebut akan meniscayakan suatu konfrontasi terhadap negara-negara imperialis yang sama sekali tidak berbunyi suaranya dalam ekonomi Islam.
.
Jika Nabi memiliki perhatian terhadap orang-orang marginal yang tertindas dan tersingkir oleh sistem, jika Islam menolak riba atau tambahan yang tidak adil atas nilai komoditas, bukankah abolisi terhadap sistem yang mengeksploitasi buruh melalui tambahan waktu kerja yang tidak adil (sehingga dapat dianggap sebagai Riba yang sesungguhnya) merupakan ibadah yang sangat Islami?

.

***

[Selesai Bagian III berlanjut ke Bagian IV … silakan klik/simak IVa hlm 153a-IVa  — Red DK]

.

__________________

.

Serial Tulisan HM Isbakh:

Islam Politik, Ekonomi Syariah dan Imperialisme

(Empat Bagian/Bagian IV 3-Sub-Bagian)

.

Bagian I. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 132a-I & hlm 132b-I 

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

 hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II  

Bagian III. Ekonomi Islam dalam Tilikan Teori Nilai Kerja

 hlm 142a-IIIhlm 142b-III & hlm 142c-III 

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

 hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa  

Sub-Bagian IVb. Sastra Melayu: Islamisasi dan Ideologi

 hlm 159a-IVb

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad ke-20

 hlm 160a-IVc & IVc hlm 160b-IVc

.

_________________

.

Meski Islam politik sangat menyolok hadir di tanah air sejak periode reformasi dengan tuntutan penegakan hukum Islam sebagai dasar negara yang sering kali muncul dalam bentuk aksi-aksi kekerasan dan teror, “Islam Politik” yang dalam arti luas dimengerti sebagai cara mendasarkan politik atas landasan Islam bukan hanya sekadar dalam kehidupan budaya dan beragama saja, telah berakar dalam sejarah nusantara. Untuk itu kita dapat menelusuri fenomena tersebut sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang pertama.

Kerajaan-kerajaan Islam pertama di nusantara umumnya memiliki letak geografis di daerah pesisir dengan basis ekonomi bertumpu pada aktivitas terkait perdagangan bukan pertanian, maritim ketimbang agraris. Kemunculan mereka dimulai sejak abad ke-15, suatu era di mana suatu kerajaan besar Hindu nusantara, yakni Majapahit yang luas wilayah kekuasaannya mendekati Indonesia saat ini, mengalami kemerosotan.

Van Leur (1983) sosiolog Belanda telah mengangkat motif politik yang mendasari pendirian kerajaan Islam di nusantara tersebut. Islam dalam hal ini memberikan legitimasi bagi penguasa, para Sultan, kerajaan-kerajaan tersebut untuk memisahkan diri dari kerajaan Jawa yang beragama Hindu-Buddha.

Seolah-olah kita menemukan adanya elemen yang menetap dari masa lalu hingga masa kini, meski Islam Politik saat ini tidak dapat disamakan serta merta dengan “Islam Politik” pada kerajaan-kerajaan Islam awal nusantara, Islam yang digunakan dalam berpolitik memiliki tendensi yang sama. Tendensi disintegrasi atau perlemahan otoritas negara pusat.

Bukankah para Bapak Bangsa mengangkat Majapahit sebagai prototipe Indonesia, dan sumpah Palapa Gajah Mada yang bertekad menyatukan nusantara telah diabadikan menjadi nama satelit Indonesia yang menyimbolkan persatuan Indonesia? Tampaknya tendensi disintegrasi oleh Islam Politik ini menetap sejak jaman Majapahit, Hindia-Belanda dan pasca-kemerdekaan Indonesia.

Kita telah mempelajari pada bagian II artikel ini bagaimana partisi India menjadi India yang Hindu dan Pakistan yang Islam. Islam politik menuntut seluruh tatanan kenegaraan tunduk pada syariah Islam. Muslim harus hidup dalam negaranya sendiri, hukumnya sendiri.

Perbedaan kerajaan Islam nusantara dengan partisi India adalah [bahwa] tatanan kekuasaan imperialis global pada peristiwa partisi India didominasi oleh imperialis Inggris, sedangkan “imperialisme” pada era kemunculan kerajaan-kerajaan Islam nusantara belum memiliki pengaruh global sebagaimana yang eksis saat ini.

Kekhalifahan Ottoman (Turki) yang merupakan imperium Islam terbesar saat itu tidak memiliki minat “menaklukan” (baca: mengislamkan) nusantara. Kita akan lihat pada uraian selanjutnya di bawah bagaimana tidak seriusnya Ottoman menanggapi permintaan bantuan untuk Malaka atau Aceh dalam memerangi kekuatan kolonialis barat (Portugis).

Akan tetapi terlepas dari fakta jauhnya hubungan kerajaan-kerajaan Islam nusantara dengan Ottoman, kedekatan imperium tersebut dengan kerajaan-kerajaan Islam nusantara tertuang dalam khayalan imajinasi sastra Melayu.

Artikel ini merupakan bagian keempat dari rangkaian kajian terhadap “Islam Politik, Ekonomi Syariah dan Imperialisme”. [cetak tebal dan selanjutnya di bawah ini khususnya terkait penjelasan penulis atas Bagian IV adalah dari kami, untuk semacam menggarisbawahi, alasan penulis membagi Bagian IV atas 3 Sub-Bagian — Red DK)

Pada bagian ini akan ditelusuri Islam politik di Indonesia sejak kemunculan pertama kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara didominasi oleh kerajaan Malaka pada abad ke-15 – abad ke-16, dan kemudian oleh kerajaan Aceh pada abad ke-17 – abad ke-18. Setelah itu pada abad ke-19, pasca perang Napoleon di Eropa, dominasi kerajaan Islam di nusantara terepresi dengan konsolidasi kekuatan kolonial (imperialis) Belanda dan Inggris.

Agar dapat menyesuaikan dengan keseimbangan panjang artikel dan fokus kajian, pemaparan dalam Bagian IV ini akan dibagi lagi dalam tiga sub-bagian.

Tulisan pertama Bagian IV [atau Sub-Bagian IVa hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa — dibagi dua halaman oleh kami, lihat penjelasan di akhir dari masing-masing halaman terkait, Red DK]  ini, berisi penulusuran historis Islam politik pada kerajaan-kerajaan Islam pertama, terutama kerajaan-kerajaan Islam yang mendominasi seperti Malaka dan Aceh. 

Meskipun kerajaan-kerajaan di Jawa juga telah masuk Islam seperti Mataram dan kemudian Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, mereka dikeluarkan dari kajian Islam politik dalam artikel ini sebab islamisasi kerajaan-kerajaan tersebut lebih bersifat adaptif daripada fundamentalis.

Di sini metodologi yang digunakan tetap berusaha untuk setia pada pendekatan sejarah material. Van Leur dengan menggunakan pendekatan sosiologi Weber telah menunjukan motif politik kerajaan-kerajaan Islam nusantara.

Akan tetapi sebagaimana yang telah dibahas pada Bagian II [hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II— Red DK], pendekatan Weber memiliki kelemahan bahwa ia mengacuhkan aspek bangunan bawah masyarakat yang dikaji yakni basis ekonomi. Weber berupaya mengembangkan sosiologinya sebagai kritik terhadap Marx. Bagi Weber politik otonom [kritik] terhadap basis material ekonomi.

Kelemahan ini terulang kembali pada Van Leur yang mengkaji politik kerajaan-kerajaan Islam nusantara menggunakan pendekatan Weber. Seolah-olah politik otonom sebagai kehendak penguasa pesisir untuk berkuasa tanpa ditopang oleh basis ekonomi.

Akan tetapi Meilink-Roelofsz telah menunjukan bahwa aspek basis ekonomi tidak dapat diacuhkan dalam menjelaskan politik kerajaan-kerajaan Islam nusantara dengan memerhatikan peran pedagang-pedagang asing muslim dalam ekonomi pesisir.

Tulisan kedua Bagian IV [atau Sub-Bagian IVb  [hlm 159a-IVb — Red DK], Islam sebagai ideologi yang terungkap dalam sastra Melayu. 

Beruntungnya kita telah memeroleh hasil-hasil penelitian yang menunjukan ideologisasi Islam dalam sastra Melayu oleh ahli sastra Melayu Rusia, Vladimir Braginski.

Ia telah menghasilkan karya monumental dalam bidang kajian sastra Melayu dengan melakukan penelitian sastra Melayu sejak periode pra-Islam hingga periode Islam abad ke Sembilan belas. Dengan menggunakan pendekatan dan pengaruh dari para ahli sastra Rusia pasca-Stalin seperti Konrad, Likhachev, Lotman dan Bakhtin, Braginsky mengkaji berbagai sastra Melayu berdasarkan genrenya dan menghubungkannya dengan perkembangan sastra Melayu dalam perkembangan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Melayu.

Hasil penelitian Braginsky memerlihatkan kepada kita bagaimana aspek intrinsik (bentuk) sastra Melayu berhubungan dengan aspek ekstrinsik sastra yakni politik kerajaan-kerajaan Islam Melayu.

Braginski menunjukan proses ideologisasi Islam sastra Melayu dalam dua tahap: tahap pertama merupakan diseminasi nilai dan ajaran keIslaman yang berlangsung pada tahap pengislaman awal Melayu; dan tahap kedua berupa pendalaman nilai-nilai keislaman melalui pengaruh sufi dalam sastra Melayu.

Tulisan ketiga Bagian IV [atau Sub-Bagian IVc  hlm 160a-IVc & hlm 160b-IVc masih proses penyuntingan, yang kami bagi atas dua halaman dengan alasan yang sama seperti pembagian di sub-bagian sebelumnya — Red DK],  yang sekaligus merupakan bagian terakhir dari keseluruhan rangkaian artikel ini mengkaji Islam politik di Indonesia pada abad kedua puluh.

Pada awal abad kedua puluh, dengan ditaklukannya kerajaan Aceh sebenarnya tidak ada eksistensi Islam politik dalam wilayah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial membatasi aktivitas organisasi Islam dalam kehidupan beragama dan budaya.

Dalam hal ini terdapat dua organisasi besar Islam yang diijinkan pemerintah kolonial yakni Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Karena itu kami tidak mengkaji secara khusus dua organisasi tersebut terlepas dari adanya pembaharuan Islam dari Timur Tengah yang berpengaruh pada Muhammadiyah. Bagaimana pun Muhammadiyah hanya membatasi aktivitas pada kegiatan sosial keagamaan dan pendidikan, tidak memerjuangkan haluan Islam politik dalam mewujudkan negara Islam, apalagi melawan pemerintah kolonial.

Akan tetapi menarik untuk memerhatikan  perkembangan organisasi Sarekat Islam (SI) yang awalnya merupakan organisasi yang dibentuk untuk memproteksi kepentingan borjuis kecil yakni para pedagangan batik pribumi (dan Islam) di Jawa melawan pedagang Tionghoa. Masuknya pengaruh sosialis mentransformasi organisasi borjuis kecil reaksioner ini menjadi organisasi yang melawan pemerintahan kolonial dan tentunya melawan imperialisme global serta menolak kapitalisme. Di sini Islam berperan sebagai pintu masuk ke dalam transformasi kesadaran akan eksploitasi sistem ekonomi.

Tentu SI yang dipengaruhi gerakan sosialis tidak dapat digolongkan sebagai Islam politik karena isi dari perjuangannya adalah untuk melawan penjajah, bukan untuk mendirikan negara Islam. Gerakan tersebut parallel dengan gerakan internasional menolak kapitalisme.

Pada awal tulisan ketiga Bagian IV [atau Sub-Bagian IVc hlm 160a-IVc, sedang dalam proses penyuntingan, Red DK] kami mengangkat kajian SI yang meski tidak terkait dengan Islam politik, namun kita dapat membahas dua varian “politik Islam” (perlu dibedakan dengan “Islam Politik”) yang ada saat itu:

Yang pertama, SI yang dipengaruhi Agus Salim dan Tjokroaminoto yang tidak bermaksud melawan pemerintahan kolonial (dan karena itu bisa dikatakan mendukung atau menjadi antek pemerintahan kolonial) dan [yang kedua — Red DK] SI merah yang dipengaruhi oleh Samaoen dan Haji Misbach yang melawan pemerintahan kolonial. Beruntungnya kita bahwa sudah ada penelitian sejarah dalam periode itu yang dilakukan oleh Takeshi Shirashi, sejarawan dari Jepang.

Islam politik kembali lagi muncul pada era kemerdekaan di mana kelompok Islam berupaya mendasarkan haluan negara yang baru berdiri di atas syariat Islam. Organisasi politik yang mengusung Islam politik tersebut disokong oleh Jepang yakni Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).

Dalam IVc dikaji kiprah Islam politik pada era kemerdekaan, era demokrasi terpimpin dan orde baru.

***

Kemunculan Kerajaan-Kerajaan Islam dan Kemerosotan Majapahit

Pada abad ke-15 bermunculan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Melayu yang mana dipersatukan oleh kerajaan Malaka. Dengan demikian adalah natural dalam kajian tentang Islam politik ini diteliti kehadiran fenomena tersebut sejak pertama kali Islam terkonsolidasi secara politis dalam bentuk negara (kerajaan) di wilayah nusantara. Bukan secara kebetulan bahwa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara tersebut hadir bersamaan dengan kemerosotan “negara pusat” kerajaan Majapahit.

Pada abad ke-13 dan ke-14 kerajaan-kerajaan Jawa (Singasari dan kemudian dilanjutkan Majapahit) di samping bersandar pada ekonomi agrarian juga mengembangkan dirinya dalam aktivitas perdagangan. Denys Lombard (2005) menjelaskan secara singkat daerah kekuasaan Singasari, kerajaan pusat di Jawa sebelum Majapahit:

“Bagi kita, pemerintahan yang penting adalah pemerintahan Raja Kertanegara, raja Singhasari yang kelima dan terakhir (1254 – 1292), sebab pada periode inilah mulai tampak usaha-usaha politik Jawa ke arah negeri seberang. Nagarakretagama yang sangat berharga itu dalam pupuh 13 – 15 mengandung sebuah daftar ‘daerah-daerah yang wajib membayar pajak’ pada masa tulisan itu disusun (1365), dan dalam pupuh 41 dan 42 disebut satu per satu penaklukan di bawah pemerintahan Kertanegara.

Meskipun daftar itu lebih singkat, tampak bahwa tujuan ekspansionis Majapahit sudah dimulai kira-kira tiga perempat abad sebelumnya. Pasukan-pasukan Jawa konon sejak paruh kedua abad ke-13 tidak hanya menundukkan Pasundan, Madura dan Bali, tetapi juga “Bakulapura” yang pada umumnya dikaitkan dengan Tanjung Pura, di pantai selatan Kalimantan, “Gurun” yang di sini mengacu kepada sebagian Maluku (Kepulauan Gorong, di timur Seram), dan terutama ‘Pahang’ dan ‘Malaya’, suatu hal yang dengan jelas menunjukan bahwa Jawa Timur nyaris menguasai kantor-kantor dagang pesaing dari Semenanjung dan Sumatra, yang sampai saat itu secara tradisi masih berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Teks itu bahkan menyebutkan tanggal tepatnya ekspedisi yang dikirim melawan negeri-negeri Malayu: 1197 Saka, artinya 1275 M.” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 35]

Daftar daerah kekuasaan yang lebih luas disebutkan pada jaman Majapahit sebagai berikut:

“Keterangan sepintas saja itu untuk sebagian dibenarkan oleh apa yang dikatakan dalam Nagarakretagama tentang organisasi perdagangan antara Jawa dan “negeri-negeri wajib pajak”. Dalam pupuh 13 dan 14 diperinci tidak kurang dari 98 nama tempat yang dikatakan bergantung pada Majapahit dan yang, kalau ditempatkan di peta, meliputi kurang lebih keseluruhan wilayah Indonesia yang sekarang.

Ada disebut 25 negeri yang sama dengan keseluruhan Sumatra; daftar itu mulai Melayu, Jambi dan Palembang… lalu menyebut Minangkabau, Siak, Kampar … daerah-daerah Batak, kantor-kantor dagang di utara (Samudra dan Lamuri) dan berakhir dengan Lampung dan Barus.

24 Negeri disebut dari pantai selatan, barat dan utara Kalimantan (Kutai, Pasir, Baritu, Kuta Waringin, Lawai, Kapuas, Sambas, Buruneng yang mestinya sama dengan Brunei…).

Ada 16 negeri yang boleh jadi terletak di Semenanjung Melayu (di antaranya Pahang, Lengkasuka, Kalanten, Tringgano, Tumasik, Kelang dan Keda).

Akhirnya ada 33 yang harus ditempatkan di sebelah timur Pulau Jawa, di kepulauan Nusa Tenggara Barat (Bali, Lombok, Dompo, Bhima, Sumba), di Sulawesi (Luwuk, Makasar, Butun, Salaya), di Kepulauan Maluku (Gurun, Seran, Ambwan, Maloko) atau lebih jauh lagi (Timur, yaitu Timor, dan Wwanin yang mestinya Onin, di Irian).” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 39 – 40]

Apa yang membuat Jawa (Singasari dan kemudian Majapahit) menguasai kemaritiman wilayah nusantara tidak lain adalah karena kekuatan produksinya. Kemaritiman yang dicirikan oleh perdagangan ditopang oleh produksi material berupa produk-produk agraria. Jawa sendiri mestilah negeri yang sangat produktif. Di samping mengingat posisinya dalam kepulauan nusantara berada di tengah, ia berfungsi sebagai persinggahan sirkulasi produk-produk dari kepulauan-kepulauan di Timur.

“Kesaksian-kesaksian mengenai pengaruh politik dan pengaruh budaya itu hendaknya dikaitkan dengan apa yang kita ketahui dari sumber lain mengenai kemajuan pesat perniagaan Jawa.

Tulisan Zhufan zhi yang disusun kira-kira pada pertengahan abad ke-13 oleh seorang petugas pabean di Fujian, Zhao Rugua, menonjolkan kekayaan negeri itu, banyaknya hasil pertaniannya – seperti beras, jawawut, katun dan segala macam buah-buahan – mutu kain suteranya, melimpahnya rempah-rempah dan barang eksotik yang terdapat di pelabuhan-pelabuhannya, seperti gading, mutiara, kapur barus, cendana, cengkeh, sapang [secang], buah pinang dan terutama lada.

Para pedagang Cina, menurut naskah yang sama, membuat keuntungan yang sedemikian besarnya hingga kepeng Cina dari tembaga mereka selundupkan keluar untuk menukarnya di Jawa dengan lada. Dalam Zhufan zhi terperinci pula sebuah daftar nama tempat-tempat yang takluk pada Raja Jawa, yang interpretasinya tidak mudah, tetapi beberapa di antaranya mungkin sekali mengacu pada pulau-pulau di Indonesia bagian Timur, sebab ditegaskan bahwa orang Jawa mendatangkan buah pala dari tempat-tempat itu, yang kemudian mereka tawarkan kepada pedagang asing.

Pendapat Zhao Rugua itu telah dibenarkan dengan cara cemerlang sekaligus tak terduga, ketika para ahli arkeologi Cina pada tahun 1974 menemukan di pelabuhan Quanzhou – yaitu ‘Zaitun’ zaman dahulu – sisa-sisa sebuah jung abad ke-13 yang di dalamnya masih terdapat sebagian dari muatannya berupa buah punang, kayu yang bernilai tinggi dan lada. Wajarlah bila dibayangkan bahwa jung tersebut tenggelam sewaktu pulang dari sebuah pelabuhan di Laut Selatan, barangkali pelabuhan Jawa.

Dari kepeng Cina yang ditemukan, yang paling baru berasal dari 1271, sehingga bangkai kapal itu dapat diketahui asalnya dari tahun-tahun penghabisan dinasti Song selatan dan dari masa kejayaan Singhasari.

Di sini perlu dibaca kembali naskah Marco Polo yang, sayangnya, tidak pernah singgah di Jawa, tetapi membicarakan kekuasaan Jawa sewaktu ia dalam perjalanan pulang, ketika berlayar ke Sumatra Utara pada tahun 1291:

‘Pulau itu kaya sekali. Ada lada, buah pala, sereh, lengkuas, kemukus, cengkeh, dan semua rempah-rempah yang langka di dunia. Pulau itu didatangi sejumlah besar kapal dan pedagang, yang membuat laba tinggi di sana. Di pulau terdapat harta kekayaan sedemikian banyaknya hingga tidak ada orang di dunia ini yang dapat menghitungnya ataupun ataupun menceritakannya semua. Dan ketahuilah bahwa Khan Agung tidak dapat memperolehnya, karena jauh dan berbahayanya pelayaran menuju ke sana. Dari pulau itu, para pedagang Zaitun (Quanzhou) dan Mangi (Cina Selatan) telah memperoleh harta banyak sekali dan begitulah halnya setiap hari.’” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 35 – 36]

Dari gambaran kekuatan produksi dan kemaritiman Jawa, kita dapat mengkonstruksi asal-usul kerajaan-kerajaan Islam yang dirunut dari wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit tersebut. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa pada daerah-daerah tersebut didirikan kantor-kantor dagang kerajaan Majapahit.

“Semua kantor dagang itu tidak langsung diurus oleh pegawai-pegawai Majapahit. Yang ada sesungguhnya hanya jaringan dagang. Bagian inti di sini terdapat dalam pupuh 15 dan 16 yang mengatakan bahwa dalam kedudukannya, “pada setiap musim” (anken pratimasa) daerah itu mengirim segala macam hasil tanam, dan bahwa kepada mereka diutus ‘pembesar-pembesar dan pejabat-pejabat tinggi untuk memungut upeti secara tetap’. Ditegaskan bahwa ‘para pembesar’ (bhujangga) itu kebanyakan termasuk rohaniwan agama Siwa – orang Buddhis hanya berhak mendatangi daerah-daerah timur dengan ancaman hukuman yang paling berat – harus mengurungkan keinginannya untuk melakukan ‘perniagaan pribadi’.

Jadi pada masa Nagarakretagama pemerintah Majapahit mencoba menerapkan bentuk perdagangan negara tertentu, yang tanggung jawabnya diserahkan kepada pemuka agama yang bertindak sebagai pegawai. Apabila ada negara wajib pajak yang memberontak terhadap kekuasaan terhadap kekuasaan pusat, artinya mencoba melakukan perdagangan untuk kepentinganmya sendiri, tanpa melalui Pulau Jawa, maka dikirim ekspedisi penumpasan dan ‘pejabat-pejabat tinggi maratim’ (jaladi mantri) untuk memulihkan ketertiban dan menghukum yang bersalah.” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 39 – 40]

Bagi Majapahit perdagangan adalah perdagangan negara bukan perdagangan bebas. Kantor-kantor dagang di daerah diawasi oleh pejabat negara. Tidak ada ampun untuk korupsi pada kasus di mana kantor dagang memerkaya dirinya sendiri. Denys Lombard menunjukan asal-usul penguasa kerajaan-kerajaan Islam nusantara yang bertransformasi dari pejabat negara di kantor dagang kerajaan Majapahit.

“Ada alasan kuat untuk memerkirakan – meskipun sumber-sumber dalam hal ini pun sangat singkat – bahwa di Majapahit, seperti di Cina pada zaman Song atau Ming, ataupun di Siam abad ke-17 dan ke-18, perniagaan besar diselenggarakan demi negara.

Yang terjadi bukanlah perdagangan ‘bebas’ tetapi suatu kegiatan yang diserahkan kepada pegawai dan yang harus membawa untung untuk negara.

Sebuah naskah prosa Jawa dari abad ke-14, Nawanatya, yang membahas mengenai organisasi keraton, menyebutkan bahwa yang termasuk tugas yang paling penting adalah rakyan kanuruhan atau ‘kanselir besar’, yang harus mengurus pedagang asing atau yang datang dari pulau-pulau lain Nusantara. Ia harus menerima mereka dengan penuh hormat, seperti ‘tamu-tamu raja’, menampung mereka, memberi makan kepada mereka dan mengusahakan segala keperluan mereka.

Ditegaskan bahwa rakyan kanuruhan itu ‘harus mengetahui semua bahasa’, sehingga dapat dibayangkan adanya dinas juru bahasa yang mengingatkan kita pada si-yi-guan yang termasyur, ‘Kantor Penerjemah’ yang dikenal baik di Cina.

Akhirnya dikatakan bahwa ‘ia memungut dari pedagang-pedagang itu pendapatan untuk dirinya sendiri’ dan bahwa ia ‘tidak ragu-ragu kehilangan uang atau memeroleh uang’, sehingga kita boleh beranggapan bahwa sebagian dari pajak yang dipungut atas perdagangan menjadi haknya, dan bahwa ia diizinkan juga untuk melakukan  beberapa usaha demi kepentingannya sendiri. Jadi rakyan kanuruhan itu mencanangkan para syahbandar, yang agak kemudian kita dapatkan di kesultanan-kesultanan.” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 39]

Dalam proses disintegrasi dan kemerosotan kerajaan Majapahit, Islam merupakan identitas perlawanan para bakal kesultanan-kesultanan nusantara terhadap Majapahit yang diidentikan dengan Hindu sebagaimana diungkap oleh Van Leur. Fenomena ini juga perlu dikaitkan oleh kemunduran kerajaan Hindu di India dan berdirinya kerajaan Mogul yang Islam di India, salah satu mitra dagang penting nusantara, yang memberikan kesempatan pertumbuhan Islam di kawasan Asia Tenggara.

“The question of how Islam was spread. Trade itself did not play independent role in the change. The trade of the Moslem was no more directly related to conquest of Islam in Southeast Asia than Indian trade had been related to the expansion of Brahmanic culture there. In this case too, trade and faith need to be kept separated. Nor did Islam bring ‘economic development’ to Indonesia. The Islamization of Indonesia was development determined step for step by political situation and political motives. …

At the end of thirteen century rulers of some newly-arisen coastal states in northern Sumatra adopted Islam. With the political decline of the parts across the straits, on Southern Sumatra, the new trading settlement Malacca developed quickly and was nourished in its growing strength by the powerful trade movement of 15th century. Its dynasty then adopted Islam and used it as a political against Indian trade – in which the Moslem trade from the port of north west India was at that time taking a chief position, – against Siam and China, and against the Hindu regime on Jawa.

The decline in Brahmanic political hierocratic power reached its end with the establishment of Mogul authority in 1526 and the fall of the kindom of Vijayanagor in 1556. All together gave Islam its chance in Indonesia …

The antithesis between the aristocratic families to exercise their own supreme authority over the state, made Islamization into a political instrument.” [Van Leur, 1983, hal 112 – 113]

Dalam pandangan Van Leur, Islam sama sekali tidak membawa peningkatan kehidupan ekonomi wilayah nusantara. Islam melulu merupakan urusan politik kelas penguasa. Hal ini juga berlaku pada penguasa-penguasa Jawa yang masuk Islam.

“The Javanese aristocracy, who wished to gain control of central power, used the new religion for political motives…
In the disturbances of 16th century with first the state of constant war against the Christians and the hard struggle against the Dutch Company dominating social, economic, an political life in Indonesia, Islam become entirely a political affair, and exclusively an affair of aristocracy, the people in political power.

Islam did not bring a ‘higher civilization’. On contrary, that was already excluded by the position of the ‘missionaries’. That much of the Hindu-Indonesian cultural tradition has been preserved is to be explained by the position of the Javanese aristocracy-turned-Moslem as the dominant group from the ranks of which the rulers and the officials of the new Moslem central government came, so that the Indian-Indonesian cultural heritage of the inland states was preserved in patrimonial, bureaucratic structure of administrative state.

Not did Islam bring ‘economic development’. The trade and transportation forms remained as the had been traditionaly. …

The portuguese colonial regime, then, did not introduced single new economic element into the commerce of Southern Asia. The forms of political and economic domination – monopolies, financial, exploitation, ‘fiscalization’ of government – all of then originated in the caliphates and Bizantium, and were transferred to Portugal carried on there, by Jews and Italians. The political power of the Portuguese, based on their military superiority, now made possible for large scale application of those from in Asia.” [Van Leur, 1983, hal 115 – 116, 118]

Tichelman (1980) berpendapat bahwa islamisasi aristokrasi Jawa berhubungan dengan akomodasi sinkretis Islam dengan budaya Jawa di mana agenda politis yang menyertainya adalah penaklukan ulang daerah pesisir. Strategi ini merupakan jawaban terhadap politik identitas agama yang dilakukan penguasa pesisir.

“In the 15th and the beginning of the 16th centuries Malacca was truly the base for the Islamization of North Java’s trading parts. Gresik was ruled by spiritual lords from their religious centre on Mount Giri (c. 1500-1635). As the Pasisir flourished commercially in the hands of the Muslim traders, the harbour principality of Demak penetrated far into the Javanese interior, and seemed likely to appropriate for itself part of the ancient authority of Majapahit. However, as Demak penetrated further into the Kedjawen it became more Asiatized.

Early in the 17th century the middle Javanese kingdoms of first Pajang and somewhat later of Mataram started a counteroffensive: an Asiatic attempt at self-preservation in the shape of syncretic accommodation to the new irrepressible religion, together with fierce resistance to its principal Indonesian political, economic and ideological propagandists. The rulers of Mataram were bent on re-conquering the Javanese Pasisir again and again, the independent economic and political centres of which were to be neutralized or liquidated in the course of the 17th century.” [Tichelman, 1980, hal. 46 – 47]

Pandangan Van Leur tentang “Islam Politik” kerajaan-kerajaan Islam nusantara di mana Islam dipandang melulu dari dimensi politik tanpa mengindahkan basis material ekonomi Islam apa yang menyokong negara Islam tersebut telah dikritik oleh sejarahwan Belanda yang lain.

Meilink-Roelofzs (1962) memerlihatkan bahwa peran pedagang-pedagang asing muslim telah hadir dalam kehidupan ekonomi di pesisir. Dengan mengacu pada catatan Tome Pires ia menunjukan bahwa kebanyakan kerajaan pesisir Islam didirikan oleh pedagang muslim dan kebanyakan jabatan syahbandar di kerajaan-kerajaan Islam nusantara umumnya didominasi oleh pedagang asing muslim.

Jadi dari fakta tersebut terlihat bagaimana kombinasi politik dan ekonomi ditemukan hadir pada persona penguasa-pedagang dan dengan demikian politik bukanlah suatu entitas yang independen melainkan senantiasa dibangun di atas dasar ekonomi.

“Van Leur’s views about the peddling character of Asian trade are linked with his controversial thesis about the expansion of Islam. In his efforts to present the Moslem traders in Indonesia as “little men” without any spiritual or economic influence, he sees politics as the guiding force behind the acceptance of Islam, because the Indonesian princes and notables embraced Islam for purely political motives. Apart from the fact that he greatly underestimates the spiritual element, he fails to appreciate the importance of the economic motive.

Thanks to Pires’ Suma Oriental, we are now well informed about the conversion of Malacca and also of the small Moslem states on the coast of Java; in the latter, in particular, the influence of the Islamic traders is quite evident. And these people were by no means all socially insignificant: as late as 1634 Philip Lucasz, a Company official, speaks of the wealth of those merchants from western Asia, and this certainly applied to an earlier period too.

Moslem missionaries, including various Arabs, also appeared in their company. Moreover, it was quite possible for the two qualities, commercialism and religious zeal, to be combined in one person. According to Pires, who was in a position to know, most of the small Moslem states on the north coast of Java had actually been founded by Moslem traders, and so the original Javanese Hindu princes had not, as Van Leur assumes, embraced Islam because of political and religious antagonism to the inland Hindu state.

In fact the only seaport ruler of Javanese origin, the ‘king’ of Tuban, actually remained on friendly terms with the Hindu ruler of the inland state. The influence of the Moslem centre of Malacca also seems to have been of great importance, and this influence was certainly more economic than political in character, even though political motives also played a part in the conversion of this city.

Even when the foreign Moslem merchants did not manage to get all the power into their own hands, they frequently succeeded in obtaining influential positions in the state, particularly positions closely connected with commerce which could be made to serve their own commercial ends.

Most of the shahbandars whom we shall encounter in the Indonesian Archipelago are foreigners. When a merchant from abroad obtained sovereignty, the basis of his power was land tenure rather than commerce. Not one of the coastal states could exist on trade alone; all of them relied on an agrarian hinterland. Malacca was the only exception to this rule, but then, as a market town, Malacca was also in an unusually favourable position.

Van Leur sees a big gulf between the Asian trader and the native upper class. Social classes were indeed widely separated, as we shall see in the case of Malacca. But even for a foreigner, it was by no means impossible to climb from the lowest social stratum to the highest positions in the land, which meant that admission to the ranks of the nobility was not out of the question.” [Meilink-Roelofzs, 1962, hal. 6 – 7]

Dengan tilikan dari Meilink-Roelofzs di atas maka terlihat Van Leur mengulangi kelemahan analisis yang dilakukan sosiolog Max Weber sebagaimana yang telah dibahas dalam bagian II rangkaian artikel ini, yakni memisahkan politik dari ekonomi.

Kerajaan Dagang dan Kontradiksinya

Dari perspektif sejarah material, ada perbedaan mendasar corak produksi kerajaan-kerajaan Islam nusantara dengan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa. Yang terakhir merupakan organisasi kerja produksi material (padi) dalam persawahan-persawahan skala besar yang meskipun tahapannya digolongkan pada corak produksi asiatik sebagaimana dibahas dalam Bagian II rangkaian artikel ini.

Pada corak produksi asiatik tidak dikenal kepemilikan alat produksi secara pribadi, tanah merupakan alat produksi yang dimiliki secara kolektif. Akan tetapi ketika kita mencoba untuk mengklasifikasi corak produksi kerajaan-kerajaan Islam nusantara kita dihadapkan pada kesulitan.

Jelas bahwa keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut masuk dalam jaringan perdagangan internasional, akan tetapi pendapatan mereka sesungguhnya bukan dari aktivitas dagang yang sesungguhnya di mana kegiatan dagang yang dimaksud merupakan aktivitas menjual barang lebih mahal daripada biaya perolehannya (sirkuit M – C – M’; lihat Bagian III [hlm 142a-III, hlm 142b-III &hlm 142c-III]).

Penghasilan utama kerajaan-kerajaan Islam tersebut berasal dari pajak atau imbal jasa penunjang dagang. Posisi kerajaan-kerajaan yang berada dalam jalur perdagangan internasional memfungsikan mereka sebagai tempat persinggahan sehingga pendapatan diperoleh dari kapal-kapal yang singgah di pelabuhan mereka.

Dengan demikian kita tidak dapat mengkategorikan kerajaan tersebut bercorak kapitalisme dagang. Berbeda dengan merkantilisme negara-negara Eropa seperti Belanda yang melakukan monopoli atas barang-barang dagangan sehingga memiliki kekuasaan dalam menetapkan harga komoditas terhadap pembelinya, kerajaan-kerajaan Islam nusantara tidak memfokuskan diri untuk mengakumulasi keuntungan dengan cara tersebut.

“Di kepulauan Indonesia hal itu lebih jelas lagi, sebab kalau di Asia pada abad ke-15 dan ke-16 terdapat suatu sistem yang memadukan kepentingan dagang dan politik secara koheren, maka itu pastilah kesultanan-kesultanan Nusantara.

Seperti kita lihat, fungsi pertama kesultanan itu adalah perdagangan, dan coraknya cenderung mengingatkan kita kepada kota-kota dagang di Italia atau di Vlaanderen. Sultan sendiri beserta kerabatnya ikut berdagang dan mempunyai saham dalam ekspedisi-ekspedisi di laut, dan bagian terbesar dari pendapatan negara berasal dari pabean dan aneka ragam pajak perdagangan.

Semua bangsa Asia dapat mendatangi pelabuhan-pelabuhan itu, dan pada dasarnya tidak satu pun ditolak karena alasan keagamaan; di sanalah bangsa-bangsa Eropa dapat belajar. Di Malaka, menurut Pires, orang asing sangat banyak: orang Gujarat, Tamil, Pegu, Siam, Cina, Habsyi, Armenia; mereka datang bergabung dengan orang Melayu, Jawa, Bugis, para pedagang dari Luzon dan kepulauan Ryukyu … (sesungguhnya teks Portugis itu menyebut tidak kurang dari enam puluh satu nama etnis). Kosmopolitisme sedemikian terdapat pula di semua kesultanan lainnya: Cirebon, Banten, Ternate, Aceh, kemudian Makasar, Banjarmasin, Palembang.” [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 6 – 7]

Benar bahwa terjadi penumpukan kekayaan dalam bentuk uang, tetapi pada kerajaan-kerajaan Islam nusantara kita tidak menemukan syarat-syarat material lain yang dibutuhkan untuk berkembang ke dalam corak produksi kapitalisme seperti perkembangan kapasitas alat-alat produksi dan teknologi. Hal ini akan menimbulkan kontradiksi bagi dirinya sendiri. Ketika kerajaan (kota) tumbuh, maka dibutuhkan peningkatan kapasitas produksi untuk menghidupi penduduknya.

Ricklefs (2001) dengan mengacu kepada Lombard (1991) mencatat kerapuhan basis material kerajaan-kerajaan yang mengabaikan pembangunan “industri”-nya sendiri. Di sini kajian kerentanan negara dagang mengacu pada model pada kerajaan Aceh yang merupakan salah satu kerajaan yang mendominasi kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Melayu pada abad ke-16 dan ke-17 setelah Malaka ditaklukan Portugis.

“Negara Aceh di bawah pemerintahan Iskandar Muda, dalam masa yang dianggap sebagai ‘zaman keemasan’-nya sebenarnya berdiri di atas fondasi-fondasi yang rapuh.

Negara ini menghadapi masalah sama seperti yang dihadapi kesultanan Malaka, Malaka Portugis, Batavia VOC, ataupun negara-negara lain yang bercita-cita menjadi suatu negara perdagangan pantai yang besar: bagaimana menghidupi penduduk-penduduk yang bukan kaum agraris tetapi sangat diperlukan bagi keberhasilannya dalam perang maupun dalam perdagangan.

Wilayah pedalaman Aceh tidak dapat dikendalikan dengan mudah, atau juga tidak mudah menghasilkan surplus bahan pangan yang cukup memadai untuk menopang kota Aceh.

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang dominan di kota, sedangkan penduduknya terdiri atas berbagai kebangsaan. Pada garis besarnya, Aceh merupakan sebuah negara perdagangan internasional yang terletak di pantai Aceh yang diperintah oleh bangsa Melayu, tetapi tidak banyak berbeda dengan negara-negara Melayu lainnya.

Karena ibukota negara selalu bergantung pada wilayah pedalaman, maka usaha untuk mendapatkan tawanan-tawanan perang yang dapat dipekerjakan sebagai budak-budak pertanian yang terletak di dekat ibukota merupakan salah satu tujuan dari serangan-serangan yang dilancarkan Iskandar Muda.

Lombard melukiskan kemunduran Aceh pada akhir abad ke XVII sebagai bagian dari keberhasilan sebelumnya, karena daerah perkotaan telah berkembang dalam ukuran yang lebih besar daripada kemampuannya untuk menghidupi penduduknya.” [Ricklefs, 2001, hal. 86]

Lombard menjelaskan secara lebih detail bahwa kontradiksi kerajaan Aceh terletak pada ketidakmampuannya untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan kapasitas produksi permukiman dan makanan (secara khusus beras).

“Ciri pertama yang penting: tak ayal lagi pusat perkotaanlah yang kita hadapi dan bukan negara pertanian sebagaimana kebanyakan negara Asia suka dibayangkan orang sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.

Bukan suatu ibukota kedaerahan sebagai simpulan suatu wilayah, pusat tertanamnya kekuasaan dan pemerintahan dengan tugas menguasai pedesaan-pedesaan sekelilingnya (sebagaimana bakalnya Aceh abad XIX).

Kalaupun kekuasaan para Sultan telah berusaha memasuki pedalaman, terjadinya baru pada tahap kedua. Fungsi pertama Aceh ialah sebagai persimpangan jalan dunia, tempat lintasan-lintasan dari Tiongkok, Siam, Pegu, Bengali, Surat, Yaman, Istambul, Flandre, London silang menyilang di suatu titik yang rupa-rupanya kurang menguntungkan letaknya.

Aceh yang pertama-tama bersifat kota itu menghadapi masalah-masalah yang pada pokoknya merupakan masalah kota: masalah pemukiman (yang tidak teratasi meskipun pembangunan dipercepat), masalah makanan (perlunya mengadakan sejumlah beras yang setiap hari makin banyak bagi penduduk kota melimpah ruah itu), masalah persaingan (perlunya supaya dengan cara apa pun monopoli niaga yang menentukan keberhasilannya dihormati).” [Lombard, Kerajaan Aceh, 1991, hal. 241]

Jadi penyebab kemunduran kerajaan Aceh adalah pengabaian kerja produktif material, dan karenanya mereka akan menghadapi konsekuensi-konsekuensinya.

Pada Bagian II [hlm 135a-II, hlm 135b-II & hlm 135c-II — Red DK] kita juga memelajari bahwa salah satu fenomena yang ditemui bersamaan kemunduran kekhalifahan Turki adalah penilaian yang rendah terhadap pekerjaan dalam bidang ekonomi produktif dan penilaian bahwa karier yang terhormat adalah menjadi pejabat negara.

“Masalah pertama yang harus diatasi penduduk yang kebanyakan tinggal di kota itu dan yang wajib memberi makan tidak untuk dirinya saja tetapi juga untuk awak kapal asing yang banyak datang berniaga ialah mengadakan beras untuk menyambung hidupnya dan hidup mereka, karena kalau tidak ada beras, terancamlah perniagaan maupun kehidupannya.

Keadaan alamnya tidak terlalu buruk dan daerah sekitar Aceh sesudah rawa-rawa pantai memerlihatkan keluasan-keluasan yang subur.

‘Tanahnya baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada perumputan yang bagus sekali, tempat merumput sekian banyak kerbau yang dipakai untuk mengolah tanah, untuk menarik bajak atau muatan’.

Biri-biri kurang subur di sana, lain sapi, kuda dan unggas. Pelaut-pelaut yang datang dari benua Eropa yang masih hidup dari pertanian, hatinya masih hati petani benar dan mereka semuanya marah melihat tanah-tanah itu tak digarap, atau diolah kurang baik atau kurang banyak: ‘Yang mereka tanam hanyalah padi … dan hanya sedikit sayuran ‘they plowe the ground with buffles of which there are great plenties but with small skill and less diligence.’

Sebab menurut pendapat umum orang Aceh itu bukan petani. ‘Orang-orang itu angkuhnya sedemikian hingga tak sampai hati memegang bajak’. ‘Maka mereka tidak mau memikirkannya dan segala urusannya mereka serahkan kepada budak mereka’.

Di dekat-dekat kota memang ada ‘beberapa petani’; mereka menanam padi sedikit dan hidup dari hewan yang mereka piara, terutama untuk dimanfaatkan sendiri, atau dari ayam dan itik yang telurnya mereka jual di kota. Tetapi semua itu tanggung-tanggung saja dan membawa masalah besar bagi Sultan: ‘Daerah ibu kotanya tak cukup pertaniannya untuk memberi makan kepada penduduknya sehingga sebagian besar berasnya datang dari luar.’

Jadi orang Aceh selalu bergantung pada luar dan para sultan selalu harus memikirkan dua hal, yaitu supaya di satu pihak pengiriman beras yang dihasilkan di bawah kolong langit asing, tetap mengalir ke kota, dan supaya di pihak lain ada budak untuk menanam padi di daerah sekitarnya.

Pentingnya kedua keharusan itu tak bisa tidak harus digarisbawahi karena ikut menentukan seluruh politik kota itu keluar. Sesaat saja perhatian terhadap hal itu mengendur, maka membumbunglah harga, bahkan bisa timbul kelaparan.

Dalam Bustan us-Salatin disebut adanya kekeringan dan kelaparan yang merupakan bencana besar di bawah ‘Ali Ri’ayat Syah (kira-kira 1605) satu klan Iskandar Muda dianggap berhasil memberi kepada setiap orang kemungkinan untuk makan sampai kenyang.

Semua penjelajah Eropa sama-sama menegaskan bahwa beras jarang ada dan mahal. Lancaster sudah berkata pada tahun 1602: ‘Rice is brought from other places, it is a good marchandise and is sold by the bambue six or seven bambues for nine pence.’

Pada zaman Beaulieu, kira-kira 20 tahun kemudian, beras yang ‘didatangkan dari Pidir (‘bumbung Aceh’) dan dari Daya tidak memadai, maka diadakan pengiriman lewat laut yang datangnya dari Semenanjung.

Pada zaman Dampier masih tetap ada kekurangan besar dan bangsa Eropa yang telah menyadari keuntungan yang bisa diperolehnya, sekarang datang dengan membawa beras yang tinggi nilainya itu pada kapal-kapal mereka sendiri atau mengimpor budak-budak dari Koromandel untuk menanam padi.

Hampir tak pernah momok kelaparan tidak menghantui jalan-jalan Aceh yang kadang-kadang menjadi tempat matinya berpuluh-puluh budak sekaligus; mereka didatangkan dari negeri jauh dan bahkan belum sempat bekerja.

Untuk menjelaskan ‘kemunduran’ Aceh, kita sudah tentu harus memerhitungkan persoalan yang semakin gawat semakin kota itu tumbuh, dan yang kian hari kian sukar penyelesaiannya hingga pada akhirnya sama sekali tak terselesaikan lagi.” [Lombard, Kerajaan Aceh, 1991, hal. 79 – 81]

Suatu komoditi pokok yang ditemukan langka di Aceh pada kenyataannya adalah beras. Ini adalah suatu harga mahal yang harus dibayar ketika kerajaan-kerajaan Islam nusantara melepaskan diri dari negara Hindu Jawa yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi beras.

Melepaskan diri dari “negara kesatuan” Majapahit kini menuai dampak strategisnya. Sekaligus hal ini memerlihatkan kerapuhan negara dagang maritim yang tanpa dibangun oleh suatu basis produksi material yang kokoh.

Pelajaran yang dipetik: betul bahwa Indonesia adalah negara maritim, tetapi ada 2 tipe kemaritiman yang ditemukan dalam sejarah yakni kemaritiman model Majapahit di mana perdagangan ditunjang oleh produksi material yang kokoh (baca: industri) vs kemaritiman kerajaan-kerajaan Islam nusantara perdagangan digalakkan dengan mengabaikan produksi material.

Sampai di sini kita dapat membenarkan pernyataan Van Leur “Not did Islam bring ‘economic development’” jika dan hanya jika kenyataan tersebut dikaitkan dengan fakta sejarah material. Tepatnya aspek pengabaian produksi material inilah yang mengalienasi Islam Politik.

Kedatangan Barat dan Kemerosotan Kerajaan-Kerajaan Islam

[berlanjut ke halaman berikutnya masih di Sub-Bagian IVa hlm 153b-IVa— Red DK]

.

Referensi

.

  1. Dobbin, Christine. 1983. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784 – 1847. Curzon Press.
  2. Gobée, E. dan Adriaanse, C. 1990. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936. Kata Pengantar oleh P. SJ. Van Koningsveld. Seri Khusus INIS Jilid I. Jakarta.
  3. Hurgronje, Snouck. 1906. The Achehnese. Vol. 1. Late E. J. Brill. Leyden.
  4. Jasmi, Kairul. 2014. Minangkabau Dalam Reportase. Kumpulan Feature. Cet. 1. Penerbit Kabarita.
  5. Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Versi E-book Komunitas Bambu.
  6. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia. Cet. 3. Gramedia. Jakarta.
  7. Meilink-Roelofsz, M. A. P. 1962. Asian Trade and European Influence in Indonesian Achipelago between 1500 and About 1630. Martinus Nijhoff. The Hague.
  8. Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Cet. 3. Penerbit Serambi. Jakarta.
  9. Tichelman, Fritjof. 1980. The Social Evolution of Indonesia. The Asiatic Mode of Production and Its Legacy. Internasional Institute of Social History Amsterdam. Martinus Nijhoff. The Hague.
  10. Van Leur, J. C. 1983. Indonesian Trade and Society. Essays in Asian Social and Economic History. KITLV.
  11. Van ‘t Veer, Paul. 1985. Perang Aceh. Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Cet. 1. Grafiti Press. Jakarta.

.

——–

* Risalah HM Isbakh, Tulisan pertama Bagian IV, atau Sub-Bagian IVa ini aslinya adalah utuh. Seperti halnya pada Bagian I dan Bagian II, di Bagian IV khususnya Sub-Bagian IVa ini, kami sengaja membaginya, di sini, atas dua halaman, hlm 153a-IVa dan hlm 153b-IVa, seijin penulisnya, semata untuk memberikan semacam jeda, waktu mengaso sebentar, pada perangkat pembaca budiman. Meski Referensi kami cantumkan pula bukan saja di akhir hlm 153b-IVa tapi juga di hlm 153a-IVa ini.

Juga perlu kami jelaskan, bahwa alinea-alinea baru, kutipan-kutipan yang indent (masuk beberapa spasi ke arah kanan di awal alinea) termasuk cetak tebal (bila tidak ada keterangan dari penulis) adalah dari kami. Tanpa menyentuh isi sama sekali, lagi-lagi semata untuk “menyesuaikan” dengan perangkat (Red DK).