Slavoj Žižek:

Apakah Masa Depan Kita

Akan Menjadi

‘Sosialisme Kapitalis’ Tiongkok?

Sumber: RT, 21 Oktober 2018, 14:58   
 
https://www.rt.com/op-ed/441873-china-socialism-capitalism-zizek/
 
Dibahasaindonesiakan: Redaksi Dasar Kita

 

Slavoj Žižek: Will our future be Chinese 'capitalist socialism'?

(c) Reuters / Aly Song

 

RDK, 14/3/2024 — Meskipun ada sesekali pengecualian, demokrasi dan kapitalisme pernah dianggap nyaris sebagai ayat suci yang berjalan beriringan. Keberhasilan kebangkitan Tiongkok mematahkan anggapan tersebut.

Para teoritis sosial resmi Tiongkok melukiskan gambaran dunia saat ini yang pada dasarnya tetap sama dengan dunia pada masa Perang Dingin.

Dengan demikian, perjuangan di seluruh dunia antara kapitalisme dan Sosialisme terus berlanjut, kegagalan tahun 1990 hanyalah sebuah kemunduran sementara dan, saat ini, para oponen terbesar bukan lagi AS dan Uni Soviet, melainkan Amerika dan Tiongkok yang masih merupakan sebuah negara Sosialis.

Di sini, ledakan kapitalisme di Tiongkok dibaca sebagai kasus raksasa dari apa yang pada awal Uni Soviet mereka sebut sebagai Kebijakan Ekonomi Baru, sehingga yang kita miliki di Tiongkok adalah “Sosialisme berkarakteristik Tiongkok” yang baru namun tetap Sosialisme. Partai Komunis tetap berkuasa dan mengontrol secara ketat serta mengarahkan kekuatan-kekuatan pasar.

Memang, Domenico Losurdo, tokoh Marxis Italia yang meninggal pada bulan Juni tahun [2018] ini, menguraikan hal ini secara rinci, menentang Marxisme “murni” yang ingin membangun masyarakat Komunis baru segera setelah revolusi, dan menginginkan pandangan yang lebih “realis” yang mana menganjurkan pendekatan bertahap dengan pembalikkan dan kegagalan [turnarounds and failures].

Rasionalisasi Realitas

Roland Boer, seorang profesor yang tinggal di Beijing, mengenang gambaran yang mengesankan saat Losurdo sedang minum secangkir teh di jalan Shanghai yang sibuk pada bulan September 2016:

“Di tengah hiruk pikuk, lalu lintas, periklanan, pertokoan, dan gerak ekonomi yang jelas dari tempat tersebut , Domenico berkata, ‘Saya senang dengan ini. Inilah yang bisa dilakukan sosialisme!’

Di hadapan pandangan saya yang bingung, dia menjawab sambil tersenyum, ‘Saya sangat mendukung reformasi dan keterbukaan’.”

Boer kemudian melanjutkan argumennya mengenai “keterbukaan” ini: “Sebagian besar upaya telah diarahkan pada relasi produksi, dengan fokus pada kesetaraan sosialis dan upaya kolektif.

Ini semua baik-baik saja, tetapi jika setiap orang setara hanya karena mereka miskin, hanya sedikit yang akan merasakan manfaatnya.

Jadi Deng dan mereka yang bekerja dengannya mulai menekankan dimensi lain dari Marxisme: kebutuhan untuk melepaskan [unleash] kekuatan-kekuatan produksi.”

Namun, bagi Marxisme, “melepaskan tenaga-tenaga produksi” bukanlah “dimensi lain” melainkan tujuan utama mentransformasikan relasi produksi.

Dan inilah rumusan klasik Marx: “Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan-kekuatan produktif material masyarakat berkonflik dengan relasi-relasi produksi yang ada atau – hal ini hanya mengungkapkan hal yang sama dalam istilah hukum – dengan relasi kepemilikan dalam kerangka hak milik yang telah mereka jalankan sampai sekarang. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, relasi-relasi ini berubah menjadi belenggu-belenggunya. Kemudian dimulailah sebuah era revolusi sosial.”

Ironisnya, bagi Marx, Komunisme muncul ketika aspek produksi kapitalis menjadi hambatan bagi pengembangan lebih lanjut alat-alat produksi. Artinya, perkembangan ini hanya dapat dicapai melalui kemajuan (tiba-tiba atau bertahap) dari perekonomian pasar kapitalis ke perekonomian yang tersosialisasi.

Namun “reformasi” Deng Xiaoping membalikkan Marx [turn Marx around]. Pada titik tertentu, kita harus kembali ke kapitalisme untuk memungkinkan pembangunan ekonomi Sosialisme.

Perubahan Lengkap

Tentu saja, ada ironi selanjutnya di sini yang sulit dilampaui. Kaum Kiri abad ke-20 ditentukan oleh penolakannya terhadap dua kecenderungan fundamental modernitas:

kekuasaan kapital dengan individualisme agresifnya dan dinamika yang mengasingkan diri serta kekuasaan negara yang otoritarian-birokrasi. [the reign of capital with its aggressive individualism and alienating dynamics and authoritarian-bureaucratic state power].

Apa yang kita dapatkan di Tiongkok saat ini adalah kombinasi dari dua ciri ini dalam bentuk ekstrimnya: negara otoritarian yang kuat dan dinamika kapitalis yang liar.

Kaum Marxis Ortodoks suka menggunakan istilah “sintesis dialektis dari hal-hal yang berlawanan”: menyatakan bahwa kemajuan sejati terjadi ketika kita menyatukan yang terbaik dari kedua kecenderungan yang berlawanan.

Namun nampaknya Tiongkok berhasil menyatukan apa yang kami anggap terburuk dari kedua kecenderungan yang berlawanan (kapitalisme liberal dan otoritarianisme Komunis).

Bertahun-tahun yang lalu, seorang teoritis sosial Tiongkok, yang memiliki hubungan dengan putri Deng Xiaoping, menceritakan kepada saya sebuah anekdot yang menarik.

Ketika Deng sedang sekarat, seorang pembantunya yang mengunjunginya bertanya kepadanya apa yang menurutnya merupakan tindakan terbesarnya, dan mengharapkan jawaban yang biasa bahwa ia akan menyebutkan keterbukaan ekonominya yang membawa perkembangan tersebut ke Tiongkok.

Yang mengejutkan mereka, ia menjawab: “Tidak, karena ketika kepemimpinan memutuskan untuk membuka perekonomian, saya menolak godaan untuk melakukan apa pun dan [termasuk] membuka kehidupan politik menuju demokrasi multi-partai.” (Menurut beberapa sumber, kecenderungan untuk melakukan apapun ini cukup kuat di beberapa kalangan Partai dan keputusan untuk memertahankan kendali partai sama sekali bukan sesuatu yang sudah direncanakan sebelumnya [preordined].)

Kasus Uji

Di sini kita harus menolak godaan liberal untuk bermimpi tentang bagaimana, jika Tiongkok juga membuka diri terhadap demokrasi politik, kemajuan ekonominya akan lebih cepat:

bagaimana jika demokrasi politik akan menghasilkan ketidakstabilan dan ketegangan baru yang akan menghambat kemajuan ekonomi? Seperti yang disaksikan di sebagian besar Uni Soviet lama?

Bagaimana jika kemajuan (kapitalis) ini hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang didominasi oleh kekuatan otoritarian yang kuat?

Ingat kembali tesis Marxis klasik mengenai Inggris modern awal: kaum borjuis berkepentingan untuk menyerahkan kekuasaan politik kepada aristokrasi dan memertahankan kekuasaan ekonomi untuk dirinya sendiri.

Mungkin sesuatu yang sama sedang terjadi di Tiongkok saat ini: kapitalis baru berkepentingan untuk menyerahkan kekuasaan politik kepada Partai Komunis.

Filsuf Jerman Peter Sloterdijk berkomentar bagaimana jika ada orang yang akan mereka bangun monumennya seratus tahun dari sekarang, maka dialah Lee Kuan Yew, pemimpin Singapura yang menemukan dan menerapkan apa yang disebut “kapitalisme dengan nilai-nilai Asia”. (Yang tentu saja tidak ada kaitannya dengan Asia dan semuanya berkaitan dengan kapitalisme otoritarian).

Meskipun demikian, virus kapitalisme otoriterian perlahan tapi pasti menyebar ke seluruh dunia.

Sebelum memulai reformasinya, Deng Xiaoping mengunjungi Singapura dan secara tegas memuji Singapura sebagai teladan yang harus diikuti oleh seluruh Tiongkok.

Perubahan ini memiliki makna sejarah dunia. Sebab, selama ini kapitalisme seolah tak bisa dipisahkan dengan demokrasi.

Tentu saja, dari waktu ke waktu terdapat jalan lain menuju kediktatoran langsung, namun, setelah satu atau dua dekade, demokrasi kembali memaksakan dirinya (ingat kasus Korea Selatan dan Chile).

Namun kini, hubungan antara demokrasi dan kapitalisme telah terputus. Jadi sangat mungkin bahwa masa depan kita akan meniru “sosialisme kapitalis” Tiongkok – yang jelas bukan sosialisme yang kita impikan.

 

ooOoo

 

 
Slavoj Zizek

 

Slavoj Zizek adalah seorang filsuf budaya, Peneliti senior di Institut Sosiologi dan Filsafat Universitas Ljubljana, Global Distinguished Professor of German di  New York University, dan International Director of the Birkbeck Institute for the Humanities of  the University of London.