Menyambut 67 tahun Republik Indonesia 17 Agustus 2012.

Mengapa Pancasila Perlu-Perlunya

Masuk Kotak?

.

 Menyimak (Ulang) Sebuah Tulisan Soekarno pada  1926

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

.

Bagian Pertama hlm 23aBagian Kedua hlm 24aBagian Ketiga hlm 25a 

.

.

Dalam dua tulisan bersambung sebelumnya di bawah beranda tajuk Pancasila Masuk Kotak, Redaksi menyimpulkan bahwa perlunya perjuangan kemerdekaan jilid 2 lantaran kita ternyata kembali dijajah.

Dengan keprihatinan ini, untuk menyambut 67 tahun Proklamasi Kemerdekaan, Redaksi—dalam kapasitas sebagai pewarta warga bukan ilmuwan—mengajak Pembaca Budiman menyimak (ulang) tulisan almarhum Soekarno Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, termuat di koran Suluh Indonesia Muda pada 1926, jauh sebelum Indonesia merdeka. (Tulisan dimaksud secara utuh, hasil tindaian [scanning], tercantum di hlm 23c atau klik ini—Red).

Menarik, tulisan Soekarno tersebut (selanjutnya disingkat NIM–Red) ternyata tetap aktual—di abad ke-21 ini.

Malah, menurut hemat Redaksi, mungkin bisa menjadi salah satu acuan dalam membantu menjawab pertanyaan pada tajuk di atas. Sebuah tanya yang sejatinya ditujukan kepada kaum—pinjam istilah Presiden Zimbabwe Robert Mugabe di Sidang Umum PBB 2011—pembohong dan agresor di Irak-Libia (silakan simak hlm 14a atau klik ini–Red). Atau kaum IBe, kaum imperialisme beserta para antek/begundalnya, Redaksi menyebutnya pada dua tulisan sebelumnya menyoal Pancasila.

Coba kita simak.

Soal Rezeki dan Roh Asia.

… bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemashuran , bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula karena rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk—sebagai yang diajarkan oleh Gustav Klemm—akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. …

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri,” begitulah Dietrich Schafer berkata.” (NIM, hlm 1)

Demikianlah dua kutipan di awal tulisan Soekarno itu. Dan lanjutannya di bagian lain tulisan dimaksud:

Begitu tragisnya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragis inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab walaupun lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal.

Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya. Keinsyafan akan tragis inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis-lah adanya.

Memelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat, satu ombak tofan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita ikut semua harus memikulnya. …

Akan hasil atau tidaknya … bukanlah kita yang menentukan.

Akan tetapi, kita … tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut memersatukan gelombang-gelombang tadi itu! …

Sebab kita yakin bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!

Soekarno berlanjut mengawali sub judul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme! dengan:

Inilah  asas-asas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini. (NIM, 2)

Soal Rezeki, Imperialisme dan Kolonialisme.

Menarik. Bahwa “soal rezeki” Soekarno itu akan lebih dapat dipahami—setidaknya bagi Redaksi—dengan mengacu pada sebuah peta yang disusun DR Arief Budiman dalam bukunya  Teori Pembangunan Dunia Ketiga (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995).

(Buku ini–selanjutnya disingkat TPDK–pernah diacu Redaksi dalam membidas komentar pembaca Andre Ranti di hlm 13a atau silakan klik ini—Red)

Pemikiran tentang imperialisme dan kolonialisme bergumul dengan pertanyaan: Mengapa bangsa-bangsa di Eropa melakukan ekspansi keluar dan menguasai bangsa-bangsa lainnya, baik secara politis maupun ekonomis. Apa yang menjadi dorongan utamanya.

Ada tiga kelompok teori yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, yakni:

(1) Kelompok Teori yang menekankan idealisme manusia dan keinginannya untuk  menyebarkan ajaran Tuhan, untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

(2) Kelompok teori yang menekankan kehausan manusia terhadap kekuasaan, untuk kebesaran pribadi maupun untuk kebesaran masyarakat dan negaranya.

(3) Kelompok teori yang menekankan pada keserakahan manusia, yang selalu berusaha mencari tambahan kekayaan, yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi. (TPDK, 49-50)

Arief kemudian merinci secara selayang pandang ketiga kelompok teori tersebut. Dengan didahului penjelasan bahwa ketiga kelompok teori ini dirumuskan sebagai kelompok teori God ( Tuhan, kelompok 1), teori Glory (kebesaran, kelompok 2), dan Gold (emas, kelompok 3).

Di akhir uraiannya mengenai ketiga kelompok teori itu Arief menulis:

Demikanlah uraian serba singkat dari kelompok-kelompok teori God, Glory dan Gold. Tampaknya, yang banyak dianut adalah teori imperialisme jenis ketiga, yakni yang menjelaskan gejala ini dari motivasi ekonomi.

Teori Marxis tentang imperialisme memang dimulai oleh Lenin, tetapi kemudian muncul teori-teori yang merupakan variasi lain dari teori yang dicetuskan Lenin.

Jelas, teori Marxis semuanya tergolong pada kelompok teori di mana kepentingan ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya imperialisme. (TPDK, 56)  

“Sinergi” Ketiga Kelompok Teori di Maluku, Cara produksi Asia.

Lagi-lagi hal menarik, setidaknya bagi Redaksi, dari (bagian) peta Arief ini.

Hemat Redaksi, ketiga kelompok teori ini malah “bersinergi”—tentunya dengan saham terbesar oleh kelompok teori Gold—dalam sepak terjang kolonial Belanda (baca: VOC*), di Maluku pada abad ke-17 berlanjut di abad ke-19.**

*Vereenidge Oostindische Compagnie; asal lema “kompeni”. Sebuah kongsi dagang swasta (semacam PT/Perseroan Terbatas saat ini) yang mendapat hak-hak dan fasilitas istimewa dari Kerajaan Belanda. Seperti VOC boleh memiliki tentara dan armada laut sendiri. Sehingga kerap disebut”negara di dalam negara”.

**Diselingi era di antara abad-abad ke-17 dan ke-19 tersebut yang dipenuhi gonjang-ganjing di tubuh sang penjajah; bermula dari kemerosotan keuntungan VOC (1673) hingga VOC yang — tak luput dari korupsi berikut “budaya” sogok untuk menjadi pegawai VOC  — resmi di bawah kekuasaan negara Belanda (1799); VOC yang berdiri pada 1602.

Lalu berkuasanya Daendles (1808-1811) sebagai dampak Kerajaan Belanda yang praktis menjadi vasal (vassal: budak, pengikut — Red/Echols-Shadily, 2005) Prancis.

Kemudian naiknya Raffles [1811-1816] buntut kekalahan Prancis terhadap Inggris. Lantas dua bulan pascakekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo, bendera Inggris turun dan bendera Belanda naik di Batavia (Agustus, 1816); hemat Redaksi, tak pelak lagi Maluku adalah “sebuah potret” kolonial global sejak dulu hingga memasuki abad ke-21 seperti risalah Redaksi di hlm 13a/klik ini.

(Sumber: Menjadi Indonesia, Parakitri T Simbolon, Penerbit Buku Kompas, 2007).

Khususnya di paruh abad ke-17, lima tahun The Hoamoal War/The Great Ambon War (1651-1656) yang digelar Landvoogd (istilah resmi Belanda kala itu yang dalam bahasa Inggris “Governor” bermakna “Gubernur”) van Amboina Arnold de Vlaming van Outshoorn (simak komentar di sebuah tulisan di sebuah blog ini).

Perang yang meluluhlantakkan kehidupan dan kebudayaan etnik Ambon di jazirah Hoamoal, barat Pulau Seram, berujung dimonopolinya perdagangan cengkeh. Karenanya, era kekejaman ini dikenal sebagai “zaman Vlaming”, mengacu tokoh seperti digambarkan dalam kelompok teori Glory di atas. Ujung-ujungnya kolonial pun makin menancapkan cengkramannya.

Terlebih pascaberdirinya VOC (1602 yang diambil alih Kerajaan Belanda baru pada 1799, lihat atas), pada 1649 dilancarkan apa yang dikenal sebagai Pelayaran Hongi (hongi tochten). Dengan armada (militer) laut, perahu-perahu kecil yang disebut “Kora” dilengkapi pasukan bersenjata (oleh hak istimewa VOC, lihat atas), untuk lebih “menjamin” monopolistis VOC sejak era Vlaming itu. Dengan tugas utama memusnahkan ladang-ladang cengkeh-pala bahkan menyiksa dan membunuh penduduk Maluku yang ketahuan melanggar peraturan (sepihak, tentunya), menjual cengkeh-pala tidak kepada VOC.

Lantas tercatat dalam sejarah, pada  abad ke-19 di Maluku—nyaris berbarengan berhasil ditumpasnya perlawanan rakyat pimpinan Pattimura (1817)— mulai terjadi penyebaran agama Kristen Protestan (representasi kelompok teori God di atas). Melahirkan sebuah istilah yang akrab di kalangan etnik Ambon Kristen “3 batu tungku”: Pemerintah Negeri/adat–Gereja–Pendidikan.

Di mana para guru yang terlibat dalam pendidikan umum di masa awal itu didominasi oleh para pendeta. Membuat seorang etnik Ambon mantan duta besar era Soekarno Johannes D de Fretes (di bukunya Kebenaran Melebihi Persahabatan, 2007) menjuluki  ”Agama Kristen Putih” (silakan klik ini dan untuk gambaran komprehensif simak juga blog kutikata Elifas T Maspaitella klik ini).

Berdasar sepotong data (ala) jurnalis ini, sulit bagi Redaksi untuk tidak menarik kesimpulan bahwa seorang Soekarno yang akrab dengan sejarah nasionnya dan berpandangan jauh ke depan,  adalah “sekubu” dengan teori Marxis perihal imperialisme dan kolonialisme.

Bahkan lebih dari itu. Soekarno yang berlanjut dengan greget (semangat untuk berbuat—KBBI, 1999) persatuan—yang disebutnya (di NIM)  sebagai “Roh Asia”, roh-rohnya pergerakan-pergerakan di Asia termasuk Indonesia—ternyata sungguh mengagetkan!

Soekarno, ternyata sampai pula—atau setidaknya hemat Redaksi berkesimpulan yang serupa—pada gagasan Lenin (1920-an) yang menyoal negara-negara koloni yang terbebas dari penjajahan, yang dalam suatu transisi bisa langsung “membypass” kapitalisme menuju sosialisme—orientasi sosialis, istilah kaum jauhari (cendekiawan) di era Uni Soviet.

Dengan syarat objektif: adanya sebuah front persatuan berkuasa tapi tidak harus diktator proletariat saat merebut kemerdekaan itu, saat di tahap awal transisi kapitalisme (yang di-bypass) menuju sosialisme itu. Hal yang, maaf, Arief sendiri luput  mengacunya dalam petanya di TPDK  ini—mungkin karena yang kami sebutkan belakangan ini bukan bersumber pada jauhari Barat. Dan tentu saja, di era Soekarno itu hemat kami belumlah populer istilah orientasi sosialis—bahkan semasa di ujung kekuasaan beliau sekalipun.

Malahan, dalam salah satu cabang kelompok teori yang dibahas Arief ini, kelahiran kelompok teori tersebut adalah untuk menolak pandangan Marx  yang dikenal dengan nama cara produksi Asia.

Tidak heran seorang Brian May di bukunya The Indonesian Tragedy (1978, hlm 82)   menyebut Soekarno:

ia seorang yang mendahului zamannya; termasuk sedikit orang yang memahami ketidakmampuan teknik-teknik ekonomi Barat yang kini terbukti berantakan di seluruh Dunia Ketiga.

(Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita—Red)

Karenanya Redaksi merasa perlu, mundur sejenak. Lebih ke belakang lagi, menyimak selayang pandang Arief  sebelum beliau mengulas lebih rinci kelompok teori ketiga itu: Gold.

Teori Modernisasi,  Teori Struktural, Teori Ketergantungan.

Mafhumlah kita dari peta TPDK Arief ini, bahwa bersama pemikiran seorang ahli ekonomi liberal Raul Presbich, teori Marxis tentang imperialisme  dan kolonialisme yang tergolong kelompok teori Gold itu, merupakan dua induk yang melahirkan Teori Ketergantungan.

Dan Teori Ketergantungan adalah bagian dari Teori Struktural. (lihat TPDK, 44, cetak tebal dari Redaksi)

Teori Struktural yang menurut Arief menolak jawaban yang diberikan oleh Teori Modernisasi.

Sementara Teori Modernisasi sendiri memberikan jawaban pada kesalahan Teori Pembagian Kerja Secara Internasional. (lihat TPDK, 41)

Teori Pembagian Kerja Secara Internasional yang didasarkan pada Teori Keuntungan Komparatif yang dimiliki oleh setiap negara, mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai keuntungan komparatif yang mereka miliki. (TPDK, 17)

Karena ada spesialisasi ini, terjadilah perdagangan internasional. Perdagangan ini saling menguntungkan kedua belah pihak. (TPDK, 16)

Arief lalu bertanya: “Apa yang salah pada teori ini?”

Teori Modernisasi … memberikan jawaban bahwa kesalahan terletak pada negara-negara yang terbelakang tersebut. Keterbelakangan adalah akibat dari keterlambatan negara-negara tersebut melakukan modernisasi dirinya.

Hubungan internasional dalam arti kontak dengan dunia luar bahkan dianggap membantu negara-negara ini, khususnya dalam pengenalan nilai-nilai modern, pemberian modal, pendidikan dan transfer teknologi. (TPDK, 41)

Teori Struktural, Base dan Superstructure.

Tetapi seperti disinggung di atas, menurut Arief Teori Struktural kemudian hadir menolak Teori Modernisasi.

Teori Struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terdapat di negara-negara Dunia Ketiga yang mengkhususkan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, di mana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah.

Maka, surplus dari negara-negara Dunia Ketiga beralih ke negara-negara industri maju. (TPDK, 41)

Arief melanjutkan:

Teori Struktural sebenarnya merupakan teori-teori yang memakai pendekatan struktural. Pendekatan ini:

Menekankan lingkungan material manusia, yakni organisasi kemasyarakatan beserta sistem imbalan-imbalan material yang diberikannya, perubahan-perubahan pada lingkungan material manusia termasuk perubahan teknologi.

Lingkungan materal ini dianggap sebagai faktor yan lebih penting dari pada keadaan psikologi dan nilai-nilai kemasyarakatan yang ada dalam memengaruhi tingkah laku manusia.

Dengan demikian, dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan gejala atau proses sosial yang terjadi, Teori Struktural mencari faktor-faktor material lingkungan manusia sebagai faktor yang menyebabkannya.

Teori Struktural sering dianggap bersumber pada teori yang dilontarkan oleh Karl Marx, terutama teorinya tentang bangunan bawah atau base, dan bangunan atas atau superstructure.

Marx menyatakan bahwa kondisi material  manusia merupakan sumber dari kesadaran dan tingkah laku manusia.

Kondisi material yang ada dalam sebuah masyarakat nyata antara lain adalah sistem produksi dan distribusi sumber alam yang ada.

Kondisi material ini menentukan sistem sosial, sistem politik, sistem budaya manusia. …

Bangunan bawah (base—Red) adalah aspek material dari kehidupan manusia, bangunan atas (superstructure—Red) adalah aspek non materialnya.

Kalau bangunan bawahnya berubah, bangunan atas juga akan mengikutinya.

Maka dalam teori ini aspek materi menjadi lebih penting dari aspek ide. Filsafat materialisme memang menjadi dasar dari teori Marx. (TPDK, 42-43)

Atau Redaksi coba  “lengkapi” dengan pemahaman para jauhari di era Uni Soviet:

Keadaan tenaga-tenaga produksi menentukan … sifat dari relasi-relasi produksi manusia, artinya struktur ekonomi dari masyarakat.

Struktur ekonomi ini pada gilirannya menyusun basis (base menurut Arief—Red), fondasi, di mana berdiri banyak jenis relasi-relasi, ide-ide, institusi-institusi sosial.

Ide-ide tentang masyarakat (politik, legal, filsafat, agama, dll),  institusi-institusi dan organisasi-organisasi (negara, Gereja, partai-partai politik, dll) yang berdiri diatas basis tersebut menyusun superstruktur masyarakat.

Teori basis dan superstruktur menjelaskan bagaimana di dalam analisis final cara produksi menentukan seluruh aspek kehidupan sosial dan menyatakan taut (link—Red) antara relasi sosio-ekonomi dan seluruh relasi-relasi lainnya dari sebuah masyarakat tertentu.

Setiap masyarakat yang diketahui pada sejarah memiliki kekhasan basis yang superstrukturnya bersesuian.

(Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita dari Fundamentals of Marxism Leninism Manual, Second Revised Edition, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1963, hlm 123)

Arief sendiri, menggunakan pendekatan filsafat materialisme ini, pendekatan struktural atau singkatnya pendekatan materialis.

Setidaknya itu yang Redaksi tangkap ketika Arief menawarkan sistem sosialisme menggantikan sistem kapitalisme bagi Indonesia—sesuai cita-cita utama konstitusi Pancasila-UUD 1945.

Salah satu persoalan yang harus kita pecahkan untuk membuat pembangunan di Indonesia berhasil menciptakan masyarakat adil-makmur adalah mengendalikan keserakahan manusia akan harta benda. Ini kualitas yang harus kita usahakan tumbuh dalam proses regenerasi.

(Arief Budiman, Menciptakan Masa Depan Indonesia yang Lebih Baik. Masalah Ilmu Sosial dan Proses Regenerasi, simak hlm 2a blog ini atau klik ini).

Artinya, perubahan yang Arief tawarkan itu pada basis (dari formasi sosial kapitalistis ke formasi sosial sosialistis) sehingga superstruktur (kualitas manusia pada proses regenerasi) akan mengikuti.

Pendekatan materialis ala Arief ini seakan sesuatu yang “baru” bagi kita di Indonesia. Padahal hanya lantaran menjadi barang “haram” sejak Kudeta Merangkak atas Soekarno itu.

Dari Sebuah Karya Marx dan Engels.

Arief kemudian mengacu pada sebuah karya monumental Marx dan Engels paruh abad ke-19 untuk menunjukkan kesejajaran pandangan Marx atas Dunia Ketiga (bukan di karya monumental mereka berdua itu)—cara produksi Asia—dengan Teori Modernitas yang ditolak Teori Struktural. Padahal Teori Struktural justru melakukan pendekatan lewat  filsafat materialisme Marx seperti disinggung di atas.

… seperti halnya Teori Modernisasi, Marx dan Engels mengikuti juga pandangan perkembangan unilinear  (urutan perkembangan/progres biasanya dari primitif ke yang lebih maju—Red/The Free Dictionary) dari proses pembangunan negara-negara di dunia ini.

Negara-negara yang sekarang terbelakang di masa depan akan menjadi seperti negara-negara maju sekarang. …

Karena itu, semua negara akan terpaksa memakai cara berproduksi kaum borjuis. Kalau tidak, mereka akan hancur.

Perkembangan kebudayaan berarti berkembangnya budaya kaum borjuasi ini. Dengan lain perkataan: kaum borjuis menciptakan dunia ini sesuai dengan apa yang dibayangkannya. …

… bagi Marx dunia akan berkembang menuju kapitalisme global.

Arief lalu menyitir metafor Marx: Puteri Cantik dan Pangeran Ganteng. Sang puteri yang tertidur dibangunkan sang pangeran dengan sebuah “ciuman” atau “sebilah pedang”.

Pangeran Ganteng tersebut adalah negara-negara industri maju, yang akan “membangunkan” negara-negara Dunia Ketiga melalui (ciuman—Red) perdagangan dunia, atau melalui (sebilah pedang—Red) kekuatan militer.

Oleh karena itu, tidak bisa dihindarkan lagi, semua negara di dunia akan menjadi negara kapitalis.

Semua borjuasi di dunia akan menindas kaum buruh.

Karena itulah Marx menyerukan supaya kaum buruh di seluruh dunia bersatu untuk menggulingkan sang penindas, karena kaum buruh  (yang sudah miskin dan tak punya apa-apa lagi) tidak akan kehilangan apapun kecuali  belenggu (kemiskinan) yang merantai dirinya. (TPDK, 43-44)

Jadi, sekali lagi, lewat timbangan karya monumental Marx dan Engels ini, Arief memetakan argumen Marx khususnya terkait Dunia Ketiga—cara produksi Asia: konsep perkembangan unilinear seperti halnya Teori Modernisasi—yang ditolak kaum pemikir kelompok Teori Struktural termasuk Paul Baran di samping yang sudah disebut di muka Raul Prebisch, salah satu induk Teori Struktural.

Pendeknya, bagi Marx, dunia di luar benua Eropa dan Amerika adalah dunia yang kuno, statis, ketinggalan jaman, tak ada dinamika apa-apa.

Ini dituangkannya dalam konsep yang dikenal dengan nama cara produksi Asia.

Seperti juga ahli ilmu sosial Eropa lainnya pada waktu itu, Marx berpendapat bahwa kolonialisme membawa kebaikan bagi negara-negara Dunia Ketiga, karena dia membangunkan negara-negara ini dari tidurnya.

Pandangan ini, seperti juga pandangan-pandangan lain dari kaum intelektual Eropa ketika itu, ditolak oleh para pemikir pembangunan sekarang. (TPDK, 44)

Harapan Redaksi, uraian singkat atas uraian serba singkat  peta teori disusun Arief Budiman di bukunya itu, dapat membantu kami dan Pembaca Budiman dalam menyimak (ulang) tulisan Soekarno dimaksud.

Syukur-syukur bisa membantu memahami kiprah culas kaum imperialisme: mengapa  Pancasila perlu-perlunya masuk kotak—di bagian kedua berlanjut di bagian ketiga risalah bersambung ini.

Syukur-syukur bisa meningkatkan ketegaran greget perjuangan kemerdekaan jilid 2!

(Bersambung di hlm 24b atau klik ini)

Tinggalkan komentar