Islam Politik, Ekonomi Syariah

dan

Imperialisme

.

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

.

Oleh HM Isbakh

.

.

[Alinea-alinea terakhir tulisan sebelumnya hlm 132b — Red DK *]

.

.
Sampai di sini kita telah belajar melalui logika biner tentang pemikiran politik Islam yang dapat dibagi dua berdasarkan relasinya terhadap imperialisme: pertama, pemikiran politik Islam dalam nasionalisme atau sosialisme yang melawan imperialisme; kedua, Islam Politik yang melayani imperialisme dalam model Arab Saudi dan Pakistan.
.
Bila kita kembali ke politik tanah air di mana muncul gagasan untuk mewujudkan Negara Islam (Syariah Islam) yang terinspirasi dari Islam Politik ketegori yang kedua tersebut, maka kita pun menyadari gagasan tersebut bukan berasal dari pemikiran original Islam Nusantara yang bersumber dari keadaan dan kebutuhan konkret rakyat Indonesia, melainkan dari imperialis.
.
Dalam hal ini Islam Politik merupakan suatu pandangan dunia yang dirancang imperialis, atau bila kita mengatakan berdasarkan naskah perjuangan buruh bersejarah: kaum borjuis menciptakan suatu dunia berdasarkan citra dirinya sendiri (MPK).21

.

***

[Selesai Bagian I, Berlanjut Ke Bagian II: silakan simak/klik hlm 135a-II — Red DK]

.

__________________

.

Serial Tulisan HM Isbakh:

Islam Politik, Ekonomi Syariah dan Imperialisme

(Empat Bagian/Bagian IV 3-Sub-Bagian)

.

Bagian I. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 132a-I & hlm 132b-I 

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

 hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II  

Bagian III. Ekonomi Islam dalam Tilikan Teori Nilai Kerja

 hlm 142a-IIIhlm 142b-III & hlm 142c-III 

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

 hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa  

Sub-Bagian IVb. Sastra Melayu: Islamisasi dan Ideologi

 hlm 159a-IVb

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad ke-20

 hlm 160a-IVc & hlm 160b-IVc

.

__________________

.

Abad pertengahan merupakan periode di mana Eropa berada dalam sistem ekonomi feodal.  Sistem  tersebut merupakan pengganti sistem ekonomi perbudakan dari periode sebelumnya.

Di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya periode tersebut menghadirkan peradaban Islam.

Dalam masa tersebut Islam bukan saja merupakan agama yang dianut umat pengikutnya di kawasan itu melainkan juga suatu bentuk negara dengan Khalifah sebagai pemimpin mereka dan Syariah sebagai dasar hukum mereka.

Akan tetapi dalam perkembangannya persaingan dengan kapitalisme Barat kekhalifahan diperlemah hingga pada akhirnya pada paruh pertama abad kesembilan belas kekhalifahan terakhir Turki (Ottoman) runtuh.

Namun dengan berdirinya negara yang berdasarkan Syariah Islam seperti Arab Saudi dan Pakistan yang diproteksi oleh Amerika Serikat (AS), ide mendirikan negara Islam pun menjadi mengglobal, tidak terkecuali hingga ke Indonesia.

Sejak periode kemerdekaan pun konsep Negara Islam sempat diusung oleh Masjumi, namun tidak memeroleh tempat dalam Konstitusi. Kemudian ia pun muncul lagi dalam bentuk pemberontakan Darul Islam, yang juga sudah dipadamkan oleh Republik.

Meski Indonesia berideologi Pancasila, tidak memilih dasar Negara pada salah satu agama mana pun, namun Syariah Islam secara parsial dijalankan oleh sebagian umat Islam.

Hal ini ditunjukan terutama dengan maraknya praktik ekonomi syariah yang muncul dalam berbagai istilah seperti ekonomi Islam, bisnis syariah, perbankan syariah, dan sebaginya.

Indonesia bukan Negara Islam namun bank sentralnya (Bank Indonesia) mendorong perbankan syariah1. Dan Indonesia pun telah mengeluarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah1.

Lembaga lainnya yang dinasionalkan adalah lembaga zakat nasional dengan nama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keppres RI No. 8 tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq dan sedekah pada tingkat nasional2.

Oleh sebab itu hadirnya lembaga-lembaga tersebut sebagai bagian dari Negara memerlihatkan bahwa syariah Islam sedikit banyaknya telah memberikan andil dalam sistem kenegaraan RI pasca-Soeharto.

Sarjana terkenal dalam bidang hukum Islam, Joseph Schacht, mengartikan syariah (The sacred Law of Islam) sebagai

an all-embracing body of religious duties, the totality of Allah’s commands that regulate the life of every Muslim in all its aspects” (Schacht, 1982, hal. 1)3.

Hukum syariah ini dihayati sebagai hukum yang berasal dari Allah yang dibedakan dengan hukum duniawi yang ditulis oleh manusia.

Dan karena berasal dari Allah maka cakupan urusan yang diatur bukan hanya melingkupi urusan duniawi melainkan juga urusan di akhirat.

Cendekiawan Islam Ibnu Khaldun (1332 – 1406) menjelaskan perbedaan penghayatan tentang hukum tersebut demikian:

“Jika hukum-hukum ini (hukum dalam suatu kerajaan atau pemerintahan tertentu – penulis) dirumuskan oleh para cendekiawan dan para pemimpin kerajaan dan para pakarnya berdasarkan akal murni mereka, maka dikatakan sebagai hukum akal. Sedangkan apabila dirumuskan dari syariat yang diturunkan Allah maka dikatakan sebagai hukum agama yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat sekaligus. (Mukaddimah, hal. 335)

Sedangkan hukum-hukum politik yang dirumuskan manusia tanpa petunjuk Allah hanya mengatur kehidupan dan kepentingan-kepentingan dunia semata.

Mereka hanya mengetahui perkara-perkara duniawi yang tampak oleh mereka. Sedangkan tujuan Allah dalam menurunkan syariat tersebut adalah untuk kebaikan kehidupan mereka di akhirat kelak.

Dengan demikian, maka konsekuensi dari syariat ini adalah mendorong seluruh umat manusia berada dalam aturan-aturan syariat demi kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Pemerintahan yang berdasarkan syariat ini dipercayakan kepada orang-orang yang mampu mengembannya. Mereka adalah para Nabi dan orang-orang yang mengganti kedudukannya seperti para khalifah. (Mukaddimah, hal. 336)

… sebab seluruh seluruh aktivitas-aktivitas di dunia, di sisi Allah hanyalah sebagai piranti untuk mencapai kehidupan akhirat. Kekhalifahan ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah dalam menjaga Agama dan kehidupan dunia. (Mukaddimah, hal. 337)4

Bertolak dari penjelasan Ibnu Khaldun di atas kita mendapatkan adanya hubungan yang erat antara nilai-nilai keagamaan dan sistem kenegaraan dalam Islam.

Syariah sebagai landasan hukum tidak dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan politik dengan puncak kekuasaan berada di tangan Khalifah.

Sistem syariah selama periode Islam, bagaimana pun dihayati sebagai dasar negara oleh masyarakat yang hidup di wilayah yang membentang dari Afrika Barat Laut hingga India Barat Laut.

Mengenai pengaruh kehadiran Islam bagi masyarakat Arab dan sekitarnya, sarjana Islam yang lain, von Grunebaum, memberikan apresiasi sebagai berikut:

“Perubahan-perubahan  hakiki yang ditimbulkan oleh Islamisasi penuh dapat kita simpulkan dari perubahan-perubahan yang timbul pada orang-orang Arab Jahiliah (Arab sebelum memeluk Islam – penulis) setelah mereka menerima seruan Nabi.

Menurut definisi kita berdasarkan penyelidikan sendiri tentang kebudayaan tadi, transformasi budaya yang disebabkan atau diakibatkan oleh Islam agaknya terutama disebabkan oleh masuknya tiga nilai baru:

1. Islam menetapkan untuk kehidupan manusia suatu tujuan yang terdapat di dunia lain. Hidup di dunia ini tidak merupakan tujuan, melainkan lebih merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Oleh karena itu sasaran ambisi jahiliah seperti harta kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, tetap merupakan aspirasi yang bisa diterima, tetapi hanyalah jika terjalin dalam struktur organisasi hidup baru.

2. Dengan menetapkan bahwa masing-masing manusia bertanggung jawab atas nasibnya sendiri-sendiri di dunia berikutnya, maka kepercayaan ini telah melengkapi, atau setidak-tidaknya memajukan proses individuasi secara legal dan moral dalam cara yang sangat berarti.

Selain itu setiap saat kehidupan seorang mukmin menjadi amat relevan karenanya, sebab usaha untuk mencapai keselamatan tidak boleh dikendorkan sesaat juapun.

3. Dengan menekankan pentingnya masyarakat dalam kaitan dengan pelaksanaan beberapa kewajiban pokok agama bagi masing-masing orang selain Islam, maka Islam menekankan perlu adanya organisasi politik yang mengatur kehidupan bermasyarakat.

Orang Arab jahiliah tadinya berpikir dalam rangka kelompok kaum dan kabilah sedang orang muslim dibawa berpikir dalam rangka kelompok masyarakat politik yang sama luasnya dengan kawasan iman – dan karena itu akhirnya ditakdirkan menguasai dunia.

Umat manusia tidak lagi terbagi-bagi dalam suku-suku bangsa yang berlain-lainan – ia terpisah dalam golongan mukmin dan kafir dan pemisahan ini terus berlangsung sampai melewati liang kubur. (von Grunebaum, 1983, hal. 25)5

Dalam karangan yang sama, von Grunebaum juga menunjukan bahwa Islam dalam sejarahnya menghadapi masalah kesatuan dalam keragaman5.

Lahir dalam komunitas suku Arab di daerah Hijaz sebelah barat laut jazirah Arab yang memiliki sejarah kehidupan nomad, Islam mencoba untuk membangun komunitas menetap di perkotaan.

Mekkah dan Madinah adalah kota-kota awal di Hijaz yang berpengaruh dalam perkembangan Islam.

Kemudian, sejak Khalifah Abu Bakr (Khalifah pertama pengganti Nabi) Islam berekspansi memasuki daerah-daerah Arab lainnya dan hingga menggapai komunitas yang memiliki sejarah peradaban agraria yang besar seperti Mesir, Irak (Babilonia, Akkad, Assur) dan Iran (Persia).

Arah perkembangan ini meniscayakan suatu kontradiksi antara nilai Islam yang universal berhadapan dengan adat budaya lokal yang partikular.

Islam adalah agama yang ditulis dalam bahasa Arab dan hanya melalui bahasa inilah bangsa-bangsa lain yang non-Arab mempelajari Islam.

Kontradiksi yang sering muncul dalam bentuk sentimen Arab vs non-Arab ini kurang lebih mewarnai perebutan kekuasaan di antara elite-elite muslim pada awal dinasti Ummayah (yang berasal dari suku Quraisy di Mekkah)  dan awal dinasti Abbasiyah (yang berasal dari Persia).

Dalam kontradiksi-kontradiksi itulah syariah dihadirkan. Latar belakang kemunculan dan perkembangan syariah (sacred Law of Islam) dari era Nabi hingga invasi imperialisme barat secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Islamic law came into being and developed against a varied political and administrative background.

The lifetime of Prophet was unique in this respect; it was followed by turbulent period of the Caliphs of Medina (9 – 40 Hijra, A.D. 632-61).

The rule of Umayyads, the first dynasty in Islam (41 – 132 Hijra, A.D. 661 – 750), represented, in many respects, the consummation of tendencies which were inherent in the nature of community of the Muslims under the Prophet.

During their rule the framework of a new Arab Muslim society was created, and in this society a new administration of justice, an Islamic jurisprudence, and through it, Islamic law itself came into being.

The Umayyads were overthrown by the Abbasids, and early Abbasids attempted to make Islamic law, which was still in formative period, the only law of the state. They were successful in so far as the kadis (kadi adalah hakim dalam hukum Islam – penulis) were henceforth bound to sacred Law.

There followed the gradual dismemberment of Islamic Empire to which it is, in nature of things, difficult to assign definite dates but which well on its way about the year 300 of hijra or about A.D. 900.

Now Islamic law profited from its remoteness from political power; it preserved its stability and even provided the main unifying element in a divided world of Islam.

The modern period, the Western sense of term, saw the rise of two great Islamic states on the ruins of previous order, the Ottoman Empire in the Near East and the Mogul Empire in India; in both empire in their hey-days (the sixteenth and the seventeenth century respectively) Islamic law enjoyed the highest degree of actual efficiency which it had ever possessed in a society of high material civilization since the early Abbasid period.

The symbiosis, in the wake of Western political control, of Islamic law and of Western law in British India and in Algeria (starting in the eighteenth and nineteenth century respectively), gave birth to two autonomous legal systems, Anglo-Muhammadan law and Droit musulman algerien.

Finally, the reception of western political ideas in the Near East has provoked, in the present century, an unprecedented movement of modern legislation. (Schacht, 1982, hal. 3 – 4)3

Dari penjelasan Schacht di atas kita memeroleh gambaran bahwa sesungguhnya hukum Islam yang secara formal terkodifikasi baru terbentuk pada periode kekuasaan dinasti Umayyah sekitar satu abad setelah periode Nabi, kemudian dalam periode kekuasaan dinasti Abassiyah hukum ini dijadikan satu-satunya hukum Negara.

Schacht kemudian juga menunjukan kepada kita bahwa hukum Islam yang telah menjadi hukum Negara tersebut (syariah) baru efektif diimplementasikan pada abad keenambelas dan ketujuhbelas oleh imperium Ottoman (Turki) dan Mogul (India) (lihat juga Lewis 1983 hal. 373 yang mengacu pada Schacht tentang peran sultan-sultan Ustmaniah atau Turki dalam mengusung syariah)6.

Dengan demikian sejarah perkembangan Islam dalam syariahnya menghadapi kontradiksi antara kesinambungan (kontinuitas) semangat Islam yang universal dan keretakan (diskontinuitas) pergantian kekuasaan.

Pada era Nabi, komunitas muslim Arab masih kental diwarnai oleh solidaritas suku nomadis yang kental. Di situ syariah dalam bentuk yang formal belum dapat menggantikan solidaritas suku nomadis dengan kepemimpinan Nabi yang karismatik.

Namun setelah era empat kekhalifahan oleh sahabat penerus Nabi, kelembagaan politik kekuasaan Islam berbentuk imperium dengan penerus pemegang kekuasaan yang diturunkan secara garis biologis.

Atas dasar fakta tersebut, syariah tidak diragukan lagi merupakan ideologi (bangunan atas/suprastruktur) yang memberikan legitimasi struktur kekuasaan tersebut.

Dan sejak imperium Abbasiyah (Persia) dan Ottoman (Turki) elite kekuasaan bukanlah dipegang oleh suku Arab lagi.

Sebagaimana yang dijelaskan dimuka kontradiksi universalisme Islam yang umumnya mengacu kepada semangat kesukuan nomadis Arab vs tradisi lokal (yang non-Arab)  dalam sejarah Islam senantiasa timbul dari dulu sampai sekarang dalam bentuk gerakan-gerakan pemurnian Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah Rasul seperti yang muncul dalam pembaharuan Ibn Taimiyyah pada akhir dinasti Abbasiyah, gerakan Wahhabi pada Abad kedelapan belas, serta gerakan intelektual pembaharu pada abad kesembilan belas hingga awal abad keduapuluh.

Gerakan-gerakan itu tertawan dalam kontradiksi tersebut.

Di sini kita menemukan kejanggalan. Gerakan pembaharuan atau pemurnian Islam seringkali muncul sebagai oposisi atas praktik syariah yang membeku oleh kekuasaan imperial yang dekaden, dalam wacana politik kini, pengusungan syariah justru dilakukan oleh kelompok fundamentalis yang secara ideologis dekat dengan gerakan permurnian seperti Wahhabi misalnya.

Bila kita kembali kepada isi dari syariah terlepas dari pengaturan perihal ritual keagaman seperti sholat, puasa, dan sebagainya Schacht menunjukan bahwa,

Bahan penting pertama yang masuk ke dalam pembentukan materi pokok hukum Islam ialah hukum keluarga dan hukum warisan, dan hingga taraf tertentu juga tata cara orang-orang Arab masa pra-Islam (Schacht 1983, hal. 80).”7

Hal kedua yang menjadi perhatian Schacht adalah hukum yang mengatur kontrak dagang seperti riba atau bunga (Schacht 1983, hal. 81).7

Ketiga, tentang hukum pidana mengenai identifikasi kejahatan atau ketidakadilan (Schacht 1983, hal. 82).7

Dari ketiga tema tersebut dapat kita lihat bahwa isi syariah, terlepas dari tampilan religiusnya, menyoroti aspek kehidupan material umatnya terutama aspek ekonomi seperti pengaturan perdagangan, urusan keluarga seperti perkawinan dan perceraian yang sering kali melibatkan distribusi harta milik dan pengaturan pewarisan milik privat.

Mengingat besarnya aspek kehidupan material yang diatur dalam isi syariah maka kelanjutan logis atas temuan itu adalah pertanyaan penelitian mengenai kehidupan material seperti apa yang menunjang syariah secara khusus dan Islam secara umum.

Hubungan antara kehidupan spiritual dan kehidupan material telah menjadi bahan pokok kajian ilmu-ilmu sosial.

Frederich Engels dalam The Peasant War in Germany menunjukan mengapa gerakan pemberontakan petani di Jerman pada abad keenambelas mengambil bentuk-bentuk keagamaan, ialah disebabkan karena kekristenan (Katolik) pada abad pertengahan merupakan pilar utama penyokong sistem feodalisme Eropa8.

Kemudian dalam suatu penelitian sosiologi, Max Weber menunjukan hubungan antara etika protestan dengan kapitalisme9.

Bila kekristenan (Katolik) dikaitkan dengan corak produksi [mode of production] feodalisme dan protestanisme dengan kapitalisme, maka dengan pola kajian yang sama pertanyaan penelitian diarahkan untuk menjawab dengan corak produksi seperti apakah Islam dikaitkan?

Dari kelas-kelas sosial manakah pendukung Nabi Muhammad berasal pada awal kemunculan Islam? Dari kelas sosial manakah Muhammad berasal? Kelas sosial manakah yang memerangi Muhammad (Islam) sehingga memaksanya hijrah ke Madinah?

Seperti apa sistem ekonomi politik Madinah atau kota-kota Islam lainnya di bawah Nabi dan Khalifah-Khalifah penerusnya? Seperti apa sistem ekonomi politik dalam negara (syariah) Islam dalam imperium Umayyah, Abbasiyah dan Ottoman? Siapa kelas yang berkuasa atas produksi dan distribusi dan siapa kelas yang berproduksi dalam imperium tersebut? Kelas sosial mana yang mengusung dan diuntungkan oleh syariah dan kelas mana yang dirugikan atau menentangnya?

Metodologi

Bagaimana pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas dapat dijawab?

Bila kita kembali pada dua contoh studi terkenal yang telah disebutkan di atas, hubungan antara kehidupan spritual dengan kehidupan material, hubungan antara bangunan atas (suprastruktur) dengan bangunan bawah (infrastruktur), maka kita menemukan perbedaan mendasar antara pendekatan Frederich Engels dan Max Weber.

Engels memberi penekanan dominasi bangunan bawah. Kehidupan material menentukan kehidupan spritual. Sedangkan Weber sebaliknya.

Keduanya juga memiliki sikap politik yang berbeda. Engels salah satu inisiator gerakan komunis; Weber adalah pendukung imperialisme Jerman10.

Engels dengan tidak melepaskan prinsip bahwa sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini adalah sejarah perjuangan kelas11, menunjukkan bahwa bentuk-bentuk agamais seperti mistisisme, panteisme dan asketisme dalam peristiwa pemberontakan tani di Jerman pada abad keenambelas tidak dapat dilepaskan dari ekspresi lapisan kelas masyarakat yang terbawah pada masa itu8.

Pandangan ini merupakan konsep materialis atas sejarah (materialist conception of history).

Beberapa ahli sosiologi seperti Talcott Parsons, Pitirim Sorokin dan Reinhard Bendix menafsirkan karya Weber sebagai penjelasan kausal terbalik, atau sanggahan atas konsep materialis atas sejarah, bahwa aspek spiritual(etika protestan)lah yang mendeterminasi aspek material (kapitalisme) (Turner, 1984, hal. 7 – 8)12.

Namun tafsir ini sudah disanggah oleh kubu lainnya. Salah satu sosiolog terkemuka dari Australia, Bryan S. Turner, menyatakan, dalam konteks sosiologi Islam, bahwa

“penjelasan Weber tentang Islam terdapat unsur determinis yang kuat dan ini menempatkan Weber pada posisi yang mendekati posisi Marx” (Turner, 1984, Hal. 11)12.

Gerth dan Mills (1946) juga memerlihatkan bahwa salah satu pendiri penting ilmu sosiologi itu mengakui kebenaran pendekatan materialis:

Weber does not squarely oppose historical materialism as altogether wrong; he merely takes exception to its claim of establishing a single and universal causal sequence. Apart from whether or not he ‘understood’ dialectical thought in his reduction of it to causal proposition, the approach did prove eminently fruitful.

Part of Weber’s own work may thus be seen as an attempt to ‘round out’ Marx’s economic materialism by a political and military materialism. The Weberian approach to political structures closely parallels the Marxian approach to economic structures.

Marx constructed economic periods and located major economic classes in them; he related the several and political factors to the means of production. In political matters, Weber looks for the disposition over weapons and over means of administration.”10

Weber mengakui pengaruh (baca: determinasi) bangunan bawah terhadap bangunan atas, namun ia menghindari pandangan yang vulgar dari materialisme historis dengan mengakui kompleksitas masyarakat.

Meski mengakui pengaruh ekonomi, ia menambahkan penjelasan dari aspek militer dan birokrasi. Dengan demikian apa yang dikontribusikan oleh Weber sebenarnya hanya merupakan suplemen terhadap pandangan materialis atas sejarah.

Alih-alih mau menghindari penjelasan materialis yang ia anggap telalu vulgar, Bryan S. Turner (1984, hal. 75 – 76) malah menunjukan bahwa posisi Neokantian Weber terjebak dalam subyektivisme sepihak.

Kasus dalam studi Weber tentang etika protestan dan kapitalisme cenderung menekankan pada penghayatan subyek Calvinis akan imannya sebagai faktor penentu.

Jadi bagi Weber panggilan iman Calvinislah yang menciptakan kapitalisme12, bukan sebaliknya kapitalisme memberikan dasar legitimasi untuk iman Calvinis; agama menentukan kehidupan ekonomi, bukan sebaliknya.

Tentang pengaruh faktor-faktor lain selain ekonomi, Sebenarnya Engels sudah mengantisipasi maksud Weber dalam menambahkan aspek-aspek lain pada studi kemasyarakatan:

According to the materialist conception of history, ultimately determining element in history is production and reproduction of real life. More than this neither Marx nor I has ever asserted.

Hence if somebody twists this into saying that the economic is the only determining one he transforms that proposition into a meaningless, abstract, senseless phrase.

The economic situation is the basis, but the various elements of superstructure-political form of class struggle and its results, to wit: constitution established by victorious class after a successful battle, etc., juridical  forms, and even the reflexes of all these actual struggles in the brains of the participants, political, juristic, philosophical theories, religious views, and their further development into systems of  dogmas-also exercise their influence upon the course of the historical struggles and in many cases preponderate in determining their form. 

There is an interaction of all these elements in which, amidst all the endless host of accidents (that is, of things and events whose inner interconnection is so remote or so impossible of proof that we can regard it as non-existent, as negligible), the economic movement finally assert itself as necessary.

Otherwise the application of the theory to any period of history would be easier than the solution of a simple equation of the first degree.” [dari surat Engels kepada Joseph Bloch. 21 – 22 September 1890]13

Dengan demikian apa yang ditambahkan Weber dan sosiologi dari aspek birokrasi dan militer, bila hal itu dianggap sebagai kontribusi penting, tidak menegasikan kajian basis ekonomi dalam analisis masyarakat sebagaimana yang didekati melalui konsep materialis atas sejarah.

Karena pentingnya kajian atas kehidupan material yang melatarbelakangi agama maka hal tersebut mendorong kami untuk melakukan kajian dari aspek bangunan bawah Islam.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengutamakan aspek kehidupan material masyarakat yang ditelaah.

Aspek kehidupan material ini adalah bagaimana masyarakat tersebut berproduksi menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup, mendistribusikan barang produksi tersebut mengkonsumsi dan mempertukarkannya.

Keempat topik tersebut (produksi, konsumsi, distribusi dan pertukaran) disebutkan pada bagian pertama Grundrisse14.

Elemen penting yang dianalisis karena paling menentukan dalam kehidupan material tersebut adalah tenaga-tenaga produktif dan relasi-relasi produksi15.

Tenaga produksi melingkupi alat-alat produksi, teknologi dan pelaku produksi (kelas produktif).

Relasi produksi melingkupi hubungan-hubungan sosial antara kelas-kelas baik yang produktif maupun yang nonproduktif.

Dalam relasi produksi, kita memerhatikan siapa (kelas mana) yang menguasai alat-alat produksi, bagaimana distribusi barang dilakukan, bagaimana surplus produksi diperlakukan.

Tenaga-tenaga produktif dan relasi-relasi produktif membentuk apa yang disebut corak atau cara produksi yang merupakan bangunan bawah (basis material) dari masyarakat.

Sedangkan Bangunan atasnya (suprastruktur) adalah ideologi, agama, sistem hukum, dan politik.

Ada beberapa relasi produksi klasik yang sudah dikenal yakni komunal-primitif, perbudakan, feudalisme, kapitalisme dan sosialisme15.

Dan dalam kata pengantar artikel A Contribution to The Critique of Political Economy (1859), Marx telah mengenal relasi-relasi produksi: oriental yang komunal; Yunani dan Romawi kuno dengan sistem perbudakannya; perhambaan pada periode abad pertengahan di Eropa (feodal); dan kapitalisme dengan sistem kerja upahannya16.

Dipandang dari skema perkembangan sejarah material klasik dari relasi produksi komunal hingga sosialisme, akan dicoba dianalisis pada tahap corak produksi manakah peradaban Islam diletakkan.

Pertanyaan penelitian lebih jauh adalah, apakah kita dapat menyamakan feodalisme di Barat dengan relasi-relasi produksi dalam peradaban Islam? Dan apakah kekuatan dan relasi produksi dalam peradaban Islam telah memunculkan syarat-syarat produksi kapitalisme?

Periodisasi Sejarah Material Islam

Sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari wilayah Timur Tengah secara umum dan Arab secara khusus.

Kita mencatat bahwa Semenanjung Arab dapat dibagi dalam beberapa bagian.

Yang sekarang kita ketahui sebagai Arab Saudi adalah baru salah satu bagian dari Semenanjung Arab di daerah Barat Laut yang dulu disebut Hijaz.

Bergerak ke arah Barat Daya kita menemukan Yaman; ke selatan, Hadramaut; Tenggara, Oman; Timur, Bahrain; Timur Laut, Kuwait.

Daerah-daerah tersebut merupakan oasis (daerah subur di padang pasir) yang dapat dihuni manusia dan yang mengelilingi sebagian besar daerah Arab yang merupakan gurun pasir yang terletak di jantung semenanjung tersebut.

Daerah yang kena pengaruh Islam penting lainnya di sebelah Timur Laut, Irak; kemudian lebih ke Timur kita menemukan Persia (Iran); di sebelah Utara, Suriah, yang mana sebelah Baratnya adalah Palestina.

Islam juga berpengaruh hingga ke benua Afrika terutama sebelah Utara dan Timur Laut di antaranya Maroko (disebut juga Al Maghrib), Aljazair dan Libya (yang termasuk Negara-negara suku Berber), Mesir, Sudan, dan Abissina (sekarang Ethiopia).

Daerah penting lainnya di antaranya Turki dan sebelah Barat Laut India.

Pertimbangan letak geografis dalam kajian di sini penting sebab daerah Arab di kelilingi oleh lokasi-lokasi tempat peradaban manusia muncul seperti Mesir dan Mesopotamia di Irak.

Peradaban-peradaban besar tersebut memiliki ciri corak ekonomi agraris yang berbeda daripada sebagian suku-suku Arab yang nomadis (berpindah-pindah, tidak menetap).

Di semenanjung Arab sendiri, di sebelah Selatan (daerah Yaman-Hadramaut) telah berdiri suatu kerajaan agraris yakni Saba-Himyar17.

Orang Saba sudah hidup dari 750 S.M. hingga 115 S.M. Sejak tahun 115 S.M. penguasa Saba digantikan oleh penguasa dari suku Himyar yang terus memerintah hingga kurang lebih 525 M.

Secara umum sejarahwan Philip K. Hitti membagi sejarah Arab ke dalam tiga periode yakni:

  1. Periode Saba-Himmyar, yang berakhir pada awal abad keenam Masehi.
  2. Periode Jahiliah, yang dalam satu segi dimulai dari “penciptaan Adam” hingga kedatangan Muhammad, tetapi lebih khusus lagi … meliputi kurun satu abad menjelang kelahiran Islam.
  3. Periode Islam, sejak kelahiran Islam hingga masa sekarang.

[Hitti, hal. 108]17 

Dari segi periodisasi sebenarnya ada beberapa versi seperti disebutkan dalam Soetomo (2018)18 dan Hodgson (1974)19. Dan Fauzan Muslim (2016) juga menyebutkan beberapa versi periodisasi peradaban Islam lainnya, di antaranya dari peneliti orientalis Barat, Gibb (1926)20:

  1. Zaman heroic: tahun 500 – 622 M;
  2. Zaman ekspansi: tahun 622 – 750 M;
  3. Zaman keemasan: tahun 750 – 1055 M;
  4. Zaman perak: tahun 1055 – 1258 M;
  5. Zaman kekuasaan Mamluk: tahun 1258 – 1800 M.

Sedangkan referensi dari penulis Arab, Dar al-Masyrik (1986), yang dikutip dalam Muslim (2016) menyebutkan lima periode juga dengan sedikit perbedaan20:

  1. Zaman jahiliyah: tidak disebut tahunnya;
  2. Zaman Islam dan Bani Umayyah: tahun 622 – 750 M;
  3. Zaman Abbasiyyah: tahun 750 – 1258 M;
  4. Zaman kemunduran: tahun 1258 – 1798 M;
  5. Zaman kebangkitan: abad ke-19 – 20 M.

Sumber Arab lainnya yang dikutip dalam Muslim (2016) adalah Jami’at al-Iman (1993)20:

  1. Zaman jahiliyah: sekitar satu setengah abad sebelum Islam;
  2. Zaman permulaan Islam: sejak kedatangan Islam sampai berakhirnya zaman Khulufa’ al-Rasyidin: tahun 40 H;
  3. Zaman Bani Umayyah: tahun 40 – 132 H;
  4. Zaman Bani Abbasiyyah: tahun 132 – 656 H;
  5. Zaman Turki: yahun 656 H hingga berakhirnya Turki Usmani di negara-negara Arab abad ke-13 H;
  6. Zaman modern: abad ke-13 H sampai sekarang.

Tiga periodisasi yang diacu oleh Fauzan Muslim memiliki kemiripan yaitu dasar acuan pembagiannya berdasarkan suksesi dinasti imperium Islam.

Setelah Nabi Muhammad dan keempat Khalifah penerusnya, dunia Islam dipimpin oleh suksesi dinasti dari Umayyah, Abbasiyyah hingga ke Turki.

Namun tidak semua ahli mengikuti acuan suksesi dinasti seperti itu. Sejarawan kondang dari AS, Marshall G. S. Hodgson, membagi sejarah peradaban Islam dalam 3 periode di mana masing-masing periode dibagi lagi menjadi 2 subperiode18,19, yakni:

  1. Classical Age of Islam
    1. The Islamic Infusion: Genesis of a New Social Order (570 – 692)
    2. The Classical Civilization of the High Caliphate (692 – 945)
  2. The Expansion of Islam in the Middle Period
    1. The Establishment of an International Civilization (945 – 1274)
    2. Crisis an Renewal: the Age of Mongol Prestige (1258 – 1503)
  3. The Gunfire Empire and Modern Times
    1. The Second Flowering: The Empire of Gunpowder Times (1503 – 1789)
    2. The Islamic Heritage in the Modern World (1789 – 1950s)

Dari berbagai versi periodisasi Islam di atas, periodisasi yang dibuat Hitti dari perspektif sejarah material menarik sebab memasukkan dua periode pra-Islam yakni periode kerajaan agraris yang panjang (Saba-Himyar) dan periode singkat 1 abad menjelang Islam yang penuh kekacauan (masa Jahiliah) setelah keruntuhan kerajaan agraris Saba-Himyar.

Hitti tidak membagi-bagi periode Islam dalam sub-sub periode lagi. Dengan demikian Hitti tidak meninggalkan pentingnya periode panjang pra-Islam di Arab.

Periodisasi yang menggunakan pergantian dinasti sebagai acuan patut dipertanyakan sebab tidak memersoalkan apakah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Islam mengalami perubahan secara signifikan atau apakah fenomena tersebut hanya menunjukan sekadar penggantian rezim penguasa tanpa mengubah sistem ekonomi.

Dari segi bangunan bawah sistem ekonomi politik masyarakat Islam, bila kita mengacu pada periodisasi Hitti, tidak ada perubahan basis material yang signifikan dalam periode Islam.

Dari bahasa dialektika materialis dapat dikatakan bahwa perluasan wilayah Islam tampak bersifat perkembangan kuantitatif namun tidak disertai perubahan kualitatif.

Dengan menempatkan peradaban Islam secara umum ke dalam satu fase seperti Hitti secara tidak langsung mengatakan bahwa tidak ada perubahan corak produksi yang signifikan pada masyarakat di bawah Islam.

Sementara itu berbeda dengan Hitti, Hodgson membagi sejarah Islam dalam 6 periode sehingga dunia Islam terlihat dinamis. Penelitian Soetomo menunjukan bahwa pemikiran Hodgson dapat dianalisis menggunakan arkeologi pengetahuan Michel Foucault18.

Arkeologi pengetahuan Foucault menyoroti diskontinuitas dalam perkembangan sejarah dan fokus kajiannya adalah diskursus (wacana) bukan perubahan pada struktur kehidupan material masyarakat.

Adalah dekonstruksi wacana yang sedang dikerjakan Hodgson dalam menulis sejarah Islam. Ia berupaya menolak penulisan Islam yang terdistorsi superioritas Barat (Soetomo, hal. 161)18.

Menurut Hodgson peradaban Islam lahir tidak dari Arab, melainkan peradaban-peradaban besar yang agraris di sekitar sungai-sungai dari Nil ke Oxus.

Namun bagi Hodgson peradaban agraris memiliki kapasitas terbatas dalam berinovasi, lebih banyak diisi oleh bekerja dari pada berpikir dan lebih banyak menanamkan norma-norma sehingga peradaban ini tidak mampu menghadapi modernisasi dan teknikalisasi (Soetomo, hal. 188)18.

Menurut Hodgson masyarakat oriental seperti Tiongkok di bawah dinasti Sung dan Islam sudah melampaui mentalitas agraria sehingga memberikan pijakan untuk berspekulasi bahwa revolusi industri (baca: kapitalisme) niscaya akan lahir di wilayah-wilayah tersebut apabila tidak terjadi invasi Mongol (Soetomo, hal. 200)18.

Kami berpendapat bahwa poin-poin pemikiran Hodgson problematik.

Pertama, dengan mengkritik superioritas barat ia mengidealisasi masyarakat oriental.

Bahwa kapitalisme barat telah melampaui peradaban-peradaban oriental (timur) dari segi capaian-capaian material hal itu sudah merupakan fakta historis yang tidak perlu ditangisi.

Marx dan Engels pun mengagumi capaian-capaian kapitalisme yang jauh melampaui peradaban-peradaban besar dari Timur manapun.

“Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari semua perkakas produksi, dengan makin sangat dimudahkannya sarana-sarana perhubungan menarik semua bagsa, sampai yang paling biadab pun masuk ke dalam peradaban.

Harga-harga murah dari barang dagangannya merupakan artileri berat yang memporak-porandakan segenap tembok Cina, yang menaklukan kebencian kepala-batu dari kaum biadab terhadap orang asing. Ia memaksa semua bangsa, dengan ancaman pemusnahan, untuk menerapkan cara produksi borjuis…” [MPK]11

Persoalannya bukan menolak kemajuan Barat dengan mengidealisasi atau mencari-cari nilai-nilai ketimuran dan dengan demikian memertahankan keterbelakangan.

Persoalannya adalah persoalan yang dihadapi perjuangan dunia ketiga selama ini ialah bagaimana mengejar ketinggalan.

Kedua, anggapan Hodgson bahwa peradaban oriental (secara khusus Islam) sanggup berkembang spontan menuju kapitalisme apabila tidak diganggu oleh invasi Mongol merupakan tesis yang perlu diperiksa.

Kita patut memeriksa apakah syarat-syarat produksi kapitalis telah eksis dalam peradaban Islam.

Apakah dalam masyarakat Islam telah berkembang milik privat yang bersamaan dengan itu terjadi pemisahan massa petani dengan alat produksinya (tanah) sehingga terbentuk massa proletariat yang tidak memiliki apa pun untuk dijual kecuali tenaga kerjanya?

Apakah produksi di bawah Islam tidak ditujukan untuk dikonsumsi langsung melainkan untuk pertukaran; produksi untuk menciptakan nilai tukar bukan nilai pakai semata?

Tanpa syarat-syarat produksi itu sulit rasanya mengatakan bahwa peradaban Islam secara spontan dapat memunculkan revolusi industri yang sejajar dengan kapitalisme Barat.

Kita akan memeriksa ketersediaan syarat-syarat produksi itu secara lebih rinci pada uraian di bawah.

Secara umum perlu dikatakan bahwa ciri masyarakat oriental (Timur) masuk dalam tahapan relasi produksi Asiatik di mana alat produksi (tanah) dimiliki secara komunal.

Jadi relasi produksi Asiatik berbeda dengan feodalisme Barat yang menghadirkan kelas feodal pemilik tanah yang menindas dan kaum hamba petani yang dieksploitasi.

Dan sepanjang sejarah peradaban-peradaban oriental, fenomena yang berlangsung adalah instabilitas politik yang berlandaskan stagnasi sistem ekonomi.

Dalam instabilitas politik, rezim penguasa selalu berganti dari satu dinasti ke dinasti lainnya, namun corak produksi masyarakat relatif stagnan (tidak berubah) relasi-relasi produksinya.

Dunia agraria di Timur tetaplah merupakan suatu unit produksi desa-desa otonom di mana tanah dimiliki secara komunal tanpa perkembangan milik privat yang sejajar dengan feodalisme di Eropa atau bahkan belum bisa menyamai kepemilikan privat dalam sistem perbudakan di era klasik Romawi.

The self-sufficient villages, a simple productive organism, constantly reproduce themselves in the same form, and where destroyed by accident are built up again on the same place, with the same name.

Here is found the key to the mystery of unchangeability of Asiatic societies, the quest for which Marx began in 1853, in his correspondence with Engels.

This constancy contrasts with the dissolution and rebuilding of the Asiatic States, the restless change of Dynasty; the structure of economic foundation of the society remains untouched by the storms in the region of the political clouds.” [Krader, 1975, hal. 124]21

Timur Tengah Pra-Islam: Ketegangan Nomadisme dan Peradaban Agraris

.

[Berlanjut ke …  silakan klik/simak hlm 135b-II — Red DK]

.

Referensi

  1. Perbankan Syariah, https://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Contents/Default.aspx, diakses tanggal 20 Maret 2019.
  2. Profil Baznas, http://baznas.go.id/profil, diakses tanggal 20 Maret 2019.
  3. Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, Clarendon Press, Oxford, 1982.
  4. Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Pustaka Al-Kautsar, 2016.
  5. E. von Grunebaum, Bab2. Masalahnya: Kesatuan Dalam Keragaman, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  6. Bernard Lewis, Bab 15. Turki: Westernisasi, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  7. Joseph Schacht, Bab.5: Hukum Islam, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  8. Friedrich Engels, Excerpts from The Peasant War in Germany, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  9. Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Yusup Priyasudiarja (terj.), Narasi – Pustaka Promothea, Yogyakarta, 2015.
  10. From Max Weber: Essays in Sociology, H. H. Gerth & C. Wright Mills (Ed.), Oxford University Press, 1946.
  11. Karl Marx & Frederick Engels, Manifesto Partai Komunis, Surakarta, 17 Agustus 1995.
  12. Bryan S. Turner, Sosiologi Islam. Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber., Cetakan Pertama, Penerbit C. V. Rajawali, Jakarta, 1974.
  13. Frederick Engels, Surat kepada Joseph Bloch tanggal 21 – 22 September 1890, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  14. Karl Marx, Grundrisse, ditulis Oktober 1857 – 1858, dipublikasi pertama di Moscow 1939 oleh Institut Marx-Engels-Lenin.
  15. V. Stalin, Materialisme Dialektis dan Historis, terbit pertama tahun 1938.
  16. Karl Marx, A Contribution to The Critique of Political Economy. Preface.(terbit pertama tahun 1859), dalam Karl Marx & Friedrich Engels, Selected Works, Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1955.
  17. Philip K. Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamat Riyadi (terj.), Cetakan I, Zaman, 2018.
  18. Greg Soetomo, Bahasa dan Kekuasaan dalam Sejarah Islam. Suatu Riset Historiografi, Obor, 2018.
  19. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam. Vol. I: The Classical Age of Islam, The University Chicago Press, Chicago & London, 1974.
  20. Fauzan Muslim, Satra dan Masyarakat Arab. Zaman Umayyah-Abbasiyyah, Cetakan 1, Penaku, Jakarta, 2016.
  21. Lawrence Krader, The Asiatic Mode of Production. Sources, Development and Critique in the Writings of Karl Marx, Van Gorcum & Comp. B. V. – Assen, The Netherlands, 1975.
  22. Frederick Engels, Surat kepada Karl Marx tanggal 24 Mei 1853, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  23. Martin Buber, Moses The Revelation and The Convenant, Harper Torchbooks, 1958.
  24. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, Terj. I. J. Cairns, Cet. Ke-4, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
  25. Frederick Engels, The Origin Family, Private Property, and the State,
  26. Friedrich Engels, On the History of Early Christianity, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  27. A. R. Gibb, Islam, Oxford University Press, Oxford, fourth impression, 1980.
  28. Muhammad Ali, The Living Thought of the Prophet Muhammad, The Ahmadiyya Anjuman-I-Ishaat-I-Islam, Ahmadiyya Building, Lahore, Pakistan, 1949.
  29. Talal Asad, Ideology, class and the origin of the Islamic State. Text reviewed: Sulayman Bashir (1978) Tawazun an-naqaid; muhadarat fi-l-jahiliyya wa sadr al-islam (The Balance of Contradictions; lectures on the pre-Islamic period and early Islam), Jerusalem, Economy and Society, Vol. 9, No. 4, November, 1980.
  30. Maxime Rodinson, Islam dan Kapitalisme, Asep Hikmat (terj.), Penerbit Iqra, Bandung, 1982
  31. Surat Marx kepada Engels, London, 2 Juni 1853, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  32. Claude Cahen, Bab 5: Kaularaga Politik, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  33. Bernard Lewis, The Political Language of Islam, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1988.
  34. Akhmad Taufik, M. Dimyati Huda, Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Rajawali Press, 2005.
  35. Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, Seri INIS, Jilid IX, Jakarta, 1991.
  36. Bernard Lewis, Krisis Islam, Antara Jihad dan Teror yang Keji, PT Ina Publikatama, Jakarta, 2003.
  37. Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, Oxford University Press, New York, 2002.
  38. Frederick Engels, Anti-Duehring, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1959.
  39. Frederick Engels, dari artikel korespondensi kepada suratkabar kaum Chartist Inggris Northern Star, Vol XI, 22 Januari 1848, No. 535, hal. 7, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.

———

* Tulisan HM Isbakh Bagian II ini aslinya adalah utuh. Seperti halnya pada Bagian I, kami sengaja membaginya atas tiga halaman (hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II), seijin penulisnya, semata untuk memberikan semacam jeda, waktu mengaso sebentar, pada perangkat pembaca budiman. Meski Referensi kami cantumkan bukan saja di akhir tulisan (hlm 135c-II) tapi juga pada hlm 135a-II ini dan hlm 135b-II.

Juga perlu kami jelaskan, bahwa alinea-alinea baru, kutipan-kutipan yang indent (masuk beberapa spasi ke arah kanan di awal alinea) termasuk cetak tebal (bila tidak ada keterangan dari penulis) adalah dari kami. Tanpa menyentuh isi sama sekali, lagi-lagi semata untuk “menyesuaikan” dengan perangkat (Red DK).