SOS SOS SOS

KMP Sedang Berkiprah

Melenyapkan NKRI Menyusul Uni Soviet & Yugoslavia

.

Koalisi Memusuhi Pancasila di Dalam Pancasila itu Sendiri

Ketika Menyoal Sila ke-4 Pancasila Minus UUD 2002

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

.

“Sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau pilkada langsung, ubah dulu Pancasila,” kata Fadli Zon saat diskusi ‘Pilkada Untuk Siapa?’. Demikian warita yang kami kutip dari Kompas.com (3/9/2014, 11.13 WIB) bertajuk “Fadli Zon: Kalau Mau Pilkada Langsung, Ubah Dulu Pancasila”.

Hemat Redaksi banyak di antara kita yang langsung reaktif tidak kritis dalam menyanggah pernyaataan Fadli—dari Gerindra sebagai salah satu parpol pengusung Koalisi Merah Putih (KMP).

Padahal yang terjadi di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, dalam 4 tahun berturut-turut (1999-2002) berbarengan kerusuhan Ambon sedang marak-maraknya, terbit total 4 “amendemen” UUD 1945 (satu “amendemen” per tahun) yang sejatinya adalah “menghapus sila ke-4 Pancasila”.

Coba kita simak argumentasi seputar pemilu-langsung oleh Prof Dimyati Hartono di bawah ini, yang akan menjadi jelas … seperti tajuk dan sub-sub tajuk di atas yang Redaksi berikan atas tulisan ini … SOS SOS SOS …

c. Sistem Pemilu

Pemilu adalah pengejawantahan kedaulatan rakyat dan wahan penyaluran aspirasi rakyat yang prinsip dan sistemnya telah ditetapkan dalam UUD 1945 yang asli, yaitu kedaulatan rakyat berdasarkan atas Pancasila dan dalam sistem kedaulatannya dijelaskan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan melalui permusyawaratan/perwakilan.

Dalam UUD 1945 yang asli, Pemilu ditujukan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, tidak untuk memilih Presiden. Sedangkan, Presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di MPR.

Kemudian, Presiden dipilih oleh MPR melalui musyawarah dengan mufakat, tidak dipilih langsung oleh rakyat.
Inilah yang dinamakan sistem perwakilan.

Dan sistem ini disebut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan—sila keempat Pancasila.

Dalam amendemen pasal 6 A, hal itu diubah, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

UUD 1945 hasil amendemen tentang Sistem Pemilu ini pun bertentangan dengan, dan menyimpang dari, prinsip konstitusi dan Dasar Negara yang keempat.

Pasal 22 E menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis tentang pemilu, sedangkan seharusnya menurut UUD 1945 yang asli, UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok saja.

Apa yang diatur secara teknis dalam pasal 22 E ayat (1) juga pasal 6 A hasil amendemen ini, adalah sebuah penyimpangan terhadap sistem dan prinsip konstitusi yang dianut oleh UUD 1945 yang asli karena UUD hasil amendemen telah mengatur hal-hal teknis tentang Pemilu seperti dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Hal ini diperjelas pada pasal 6 A ayat (4) yang menyatakan Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.

Amendemen ini telah melanggar prinsip dan merusak sistem yang secara mendasar dan prinsip diatur dalam UUD 1945 yang asli, dan sistem pemilihan umumyang telah mengubah sistem demokrasi perwakilan, yakni pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui sistem yang dipmpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menjadi pemilihan langsung, sedangkan sistem perwakilan ini adalah merupakan sila keempat dari Pancasila.

Dengan dilakukannya amendemen terkait dengan hal tersebut, termasuk sistem Parpol, sistem pemilihan umum, sebagaimana di sebut di depan, MPR telah mengubah bahkan mengganti sendi-sendi dasar negara yang disebut Pancasila.

Kenyataan yang terjadi sekarang ini adalah implementasi amendemen tersebut terkait dengan pemilihan umum bersifat langsung untuk memilih Presiden serta Wakil Presiden (Eksekutif), Gubernur, Walikota, Bupati, terbukti menimbulkan banyak konflik sosial.

Selain menyimpang dari dasar negara (sila) yang keempat, juga merupakan pemborosan keuangan negara dan inefisiensi dalam penyelenggaraan negara, menurunnya efisiensi kerja para penyelenggara negara karena disibukkan oleh banyaknya pemilihan umum (Pipres, Pilgub, Pilbup, Pilwalkot).

Kalau kita meneliti catatan kalender kegiatan kenegaraan, rata-rata hampir setiap tiga hari sekali dalam satu tahun ada Pemilu/Pilkada.

Inilah bukti bahwa kaum globalis telah bekerja sama dengan kaum reformis dalam menjalankan misinya untuk melakukan democratic reform melalui constitutional reform, yang tujuan akhirnya adalah merusak sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, sebab rusaknya sistem konstitusi menjadi sumber problematik dan kontroversi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengingatkan kembali pelajaran pahit yang dialami Uni Soviet, yang karena tidak siap menghadapi arus dan gelombang globalisasi, negara itu lenyap dari sejarah dunia. Begitu juga halnya Yugoslavia, yang hancur berkeping-keping menjadi negara-negara kecil.

Sadar atau tidak sadar, kaum reformis yang duduk di PAH 1 BP MPR tidak hanya mengganti sistem politik dan sistem pemilu, serta merombak dasar negara yang keempat, tetapi lebih tepat disebut telah melakukan pengkhianatan terhadap Pancasila.

Inilah problematik yang dihadapi mengenai sistem pemilu dalam amendemen.

(Dikutip dari Prof. Dr. M. Dimyati Hartono SH “Problematik & Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009; hlm 73-75. Merupakan bagian dari sub-subbutir c. Sistem Pemilu yang adalah subbutir 5. Dari Segi Politik dari Bab VII Problematik Amendemen UUD 1945 hlm 51 – 83. Cetak tebal dari kami kecuali subjudul butir c di atas–Red DK. Simak hlm 46a blog ini).

Seperti Redaksi tengarai pada pengeposan bulan lalu, 14 Agustus 2014, Prabowo-Hatta akan terus “merangsek” untuk terus memasalahkan Pilpres 2014 melalui segala macam cara. (Simak hlm 47).

Koalisi Merah Putih yang sejak awal kampanye Pilpres—koalisi bagi-bagi kursi,Tabloid Obor Rakyat, lembaga-lembaga Quick Count tidak kredibel—hingga tuntutan yang tak dikabulkan Mahkamah Konstitusi, sudah menunjukkan “ketidaktulusan” perjuangan mereka seturut salah satu orang tua mereka. Tokoh Partai Sosialis Indonesia yang bekerja sama dengan kaum imperialis musuhnya Sukarno, menjadi bagian dari gerakan separatis era 1950-an. (Simak hlm 13a), juga pengeposan terbarui hlm 65a).

Sehingga, begitu isu paling anyar bulan ini yang digelindingkan Fadli Zon seperti diwaritakan Kompas.com (13/9/2014, 11.13 WIB) di atas, publik heboh memprotes keras!

Lamun, hemat Redaksi adalah kaum globalis-imperialis yang justru kegirangan, bersuka cita dengan protes itu.

Lantaran, konstitusi gadungan UUD 2002/niramendemen UUD 45 hasil intervensi NDI (National Democratic Institute)-Madeleine Albright (mantan Menlu AS) justru yang menghapus sila ke-4 Pancasila.

Yang bukan saja men-down-grade MPR yang tidak lagi menjadi locus of power, sang pemberi mandat bagi Presiden (Mandataris MPR), tapi sistem pemilu-langsung sejak itu menggantikan sistem perwakilan.

Tetapi bagi Redaksi Dasar Kita, Fadli Zon sekaligus juga telah melakukan “blunder”, membuka aib agenda tersembunyi KMP sendiri: begundal imperialis. Menentang Trisakti-Masohi/Gotong Royong, visi misi pemerintah baru Jokowi-JK. Beda-beda tipis dengan greget imperialis yang mengkudeta-merangkak Soekarno, setengah abad silam.

Pasalnya, Fadli menyoal pemilu-langsung dengan menyodorkan argumentasi sila ke-4 Pancasila tapi tidak menyentuh sama sekali UUD 2002/niramendemen UUD 45.

Jadi, untuk kami, sangat terang benderang. KMP kembali melakukan hal-hal pandir dalam berpolitik. Ya, namanya juga setiras wayang. Tapi memiliki power signifikan yang di-charge sang Tuan.

Makanya kami kirim isyarat untuk publik: SOS SOS SOS KMP sedang berkiprah melenyapkan NKRI menyusul Uni Soviet dan Yugoslavia –seperti peringatan yang dilansir Dimyanti Hartono di bukunya itu.

KMP koalisi memusuhi Pancasila di dalam Pancasila itu sendiri ketika menyoal sila ke-4 Pancasila minus UUD 2002. Hal yang dilakoni sang pelaku kudeta merangkak atas Soekarno berlanjut bawahan/yuniornya di militer yang (kok bisa?) dua periode menjadi RI-1. (Simak hlm 35a).

ooOoo

Tinggalkan komentar