Menyambut 73 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

.

Pilpres 2019 Joko Widodo-Kiai Ma’ruf Amin 

Koalisi Indonesia Kerja

.

“Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 2”

60 %-plus Panca Azimat Revolusi Soekarno

.

Menjawab Onghokham, Di mana Tempat Soekarno dalam Sejarah?

 

Soekarno:

Proklamator Peletak Cikal Bakal Sosialisme ala Indonesia

yang Lahir dari Rahim Kapitalisme ala Indonesia 

.

Oleh Redaksi Dasar Kita.

.

Dalam pengeposan kami pada Mei 2014 (simak/klik hlm 44b), ketika mempublikasikan Visi Misi dan Program Aksi/Nawa Cita pasangan pemenang Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), kami memberi catatan atas penggunaan istilah “Front Persatuan” (United Front–simak/klik inihlm 25a):

Redaksi Dasar Kita, memilih menggunakan istilah “Front Persatuan” untuk gagasan Jokowi “koalisi tidak bagi-bagi kursi”.

Istilah yang gregetnya lebih dekat ke UUD 1945 ketimbang UUD 2002 cacat hukum itu. Dalam arti, partai-partai politik dimaksud bersatu pada platform yang sama (konstitusi 18/8/45) dalam perjuangan untuk rakyat, untuk sebuah RI yang lebih baik.

Di samping, istilah “Nasionalis-Islamis” merupakan perwujudan 2 dari 3 asas yang dilansir Soekarno pada 1926: Nasionalisme, Islamisme, Marxisme (simak/klik hlm 23c).

Perlu diketahui, bahwa saat Pilpres 2014 itu, Jokowi-JK didukung oleh 4 parpol parlemen yakni PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), NasDem (Nasional Demokrat), Hanura (Hati Nurani Rakyat) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Serta sebuah parpol nonparlemen PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Jadi, 4 parpol “nasionalis” dan 1 parpol “Islamis”. Kini kami menyebutnya “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 1”

Kemudian pada Pilpres 2019 mendatang Presiden Jokowi yang menggandeng Cawapres (calon Wakil Presiden) Kiai Ma’ruf Amin*, didukung koalisi yang meluas (dari 5 parpol pada 2014) menjadi 9 parpol, yang dinamakan “Koalisi

———

*Mengingatkan kami pada Mao pasca-kemenangan Revolusi Oktober 1949 yang menggandeng mantan pembantai anggota-anggota Partai Komunis Tiongkok. Mungkin lebih dekat pada salah satu moto ahli strategi perang Tiongkok kuno Sun Tzu: keep your friends close, but keep your enemies closer.

Indonesia Kerja”. Kami menyebutnya “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 2”.

Di mana sebanyak 6 parpol parlemen, 4 parpol yang sama pada Pilpres 2014 (PDI-P, NasDem, Hanura, PKB) ditambah 2 parpol lagi Golkar (Golongan Karya) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Kemudian 3 parpol nonparlemen, 1 parpol yang sama pada Pilpres 2014 (PKPI) ditambah 2 parpol lagi PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Perindo (Persatuan Indonesia Raya). Jadi ada 7 parpol “nasionalis”, 2 parpol “Islamis”.

Saat risalah ini disiapkan (medio Agustus 2018) tampaknya koalisi kedua kubu yang bertarung (Jkw-KMA vs PS-SU) belum final. Karena masih ada parpol nonparlemen yang belum bergabung ke salah satu koalisi tersebut.

Dari Pidato “17-an” Soekarno Terakhir: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Kompak Mengemban Panca Azimat Revolusi

Kembali ke sebutan kami “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 1 & 2”.

Dalam konteks risalah ini, pertama-tama kami mulai dengan mencoba mengingatkan kembali salah satu jargon Bung Karno (BK) “Jasmerah” — jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Lalu ke isu “persatuan” (kompak, istilah BK) dan berlanjut Panca Azimat Revolusi, serta bermuara di jawaban atas pertanyaan sejarawan Onghokham: “Di mana tempat Soekarno dalam Sejarah?”

Jargon “Jasmerah” mengusik memori dan membawa kami pada pidato “17-an” terakhir dari BK pada 17 Agustus 1966. (Belakangan “Jasmerah” menjadi julukan, diidentikkan dengan pidato ini). Di mana di bagian-bagian jelang penutupnya BK menyebut jargon tersebut yang khusus dikaitkan dengan  isu “persatuan”.  BK memakai istilah “kompak”. Kompak bersatu, kompak dalam mengemban Panca Azimat Revolusi.

Konsep Panca Azimat Revolusi Soekarno yang lebih dikenal sebagai Sosialisme ala Indonesia itu, terdiri dari [1] Pancasila, [2] Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis), [3] Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 1945/Sosialisme ala Indonesia/Demokrasi Terpimpin/Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia), [4] Trisakti (Berdaulat dalam bidang Politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, Berkepribadian dalam Kebudayaan) dan [5] Berdikari (Berdiri di Atas kaki Sendiri) …

Itulah intisari daripada peringatanku tadi, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, never leave history! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu sendiri–never, never leave your own history.

Telaah kembali, petani kembali.

Kenapa kita di masa lampau jaya? Kenapa kita di masa lampau menderita tamparan-tamparan, menderita setbacks?

Jaya, karena kita kompak bersatu antara seluruh bangsa dan antara semua golongan revolusioner!

Jaya, karena kita samenbundelen alle revolutionnaire krachten in the natie. [bahasa Belanda yang maknanya secara tidak harafiah seperti baris di atas/sebelum ini — Red DK].

Jaya,  karena semua kompak mengemban Panca Azimat Revolusi.

 Jaya,  karena semua kompak mengemban Pancasila.

Jaya,  karena semua kompak mengemban Nasakom, Nasasos [Nasa-sosialis], atau Nasa apapun juga.

Jaya,  karena semua kompak mengemban Manipol-USDEK.

Jaya,  karena semua kompak mengemban Tri Sakti.

Jaya,  karena semua kompak mengemban Berdikari total!

Dan menderita tamparan,menderita setbacks, pada waktu kita terpecah belah dan tidak samenbundelen semua revolutionnaire krachten in onze nation!

Inilah sejarah perjuanganmu, inilah sejarah history-mu. Pegang teguh kepada sejarahmu itu–never leave your own history! Peganglah apa yang kita telah miliki sekarang, yang adalah akumulasi daripada hasil semua perjuangan kitadi masa lampau, kataku tadi.

Dan kataku tadi, jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan perjuanganmu nanti akan paling-paling bersifat amuk saja, seperti kera di gelap gulita.

(Cuplikan “Pidato Presiden Soekarno pada Hari Ulang Tahun ke-21 Republik Indonesia, Jakarta, 17 Agustus 1966” — Revolusi Belum Selesai , Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965–Pelengkap Nawaksara, Penyunting Budi Setiyono & Bonnie Triyana, Cetakan I, 2014: 602-603).

Menjawab Onghokham “Di mana Tempat Soekarno dalam Sejarah?” — Soekarno: Proklamator & Peletak Cikal Bakal Sosialisme ala Indonesia yang Lahir dari Rahim Kapitalisme ala Indonesia.

Seperti kami singgung di atas, dengan menelisik “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 1 & 2” Pemerintahan Jokowi diawali dengan “Jasmerah”, kemudian isu “persatuan/kompak” berlanjut Panca Azimat Revolusi–dalam pidato “17-an” Soekarno diatas. Sekali lagi, bermuara pada jawaban pertanyaan sejarawan Onghokham: “Di mana tempat Soekarno dalam Sejarah?”

Menarik bila menelisik agak menukik visi jalan ideologis dari Jokowi-JK yaitu Pancasila-Gotong Royong. Ternyata visinya itu sudah mencakup sedikitnya 60 % atau 3 dari 5/Panca Azimat Revolusi, yakni Trisakti-Berdikari*-Pancasila (lihat atas).

———

*Di mana azimat Berdikari (Berdiri di Atas kaki Sendiri) menurut hemat kami, dengan Trisakti sebagai visi dari 9 agenda prioritas visi misi atau Nawa Cita mau tidak mau dalam batas-batas tertentu sudah pula (ikut) ditegakkan.

Tetapi bisa juga, katakanlah 60%-plus. Karena yang disebut BK dalam cuplikan pidatonya di atas, “Nasa apapun juga” (unsur Nasakom dalam Panca Azimat Revolusi) sudah pula Jokowi penuhi, minus “kom” tentu saja –bahkan sudah sejak Jokowi kali pertama ikut Pilpres pada 2014 lalu itu.

Di mana waktu itu beliau berduet bersama politisi muslim Jusuf Kalla. Dengan dukungan “koalisi tidak bagi-bagi kursi” (5 parpol) yang kini kami sebut “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 1” itu.

Kemudian meluas hari-hari ini  dengan dukungan “Koalisi Indonesia Kerja” (9 parpol) yang kami sebut “Front Persatuan Nasionalis-Islamis Jilid 2” saat Jokowi menggandeng Kiai Ma’ruf Amin (lihat atas).

Tentu saja Presiden Joko Widodo, yang hanya “sekali” bicara soal ideologi ketika visinya “Jalan ideologis Trisakti-Gotong Royong”, sepengetahuan kami belum pernah bicara terkait Panca Azimat Revolusi Soekarno. Apalagi “Sosialisme ala Indonesia”, boro-boro bicara Nasakom juga Manipol-USDEK. Isu-isu yang sudah tidak lagi “kompatibel” dengan zaman now, juga gaya politik Jokowi yang emoh gaduh.

Tapi “kerja3X” beliau lewat jargon #Pemerataan (salah satu “ciri khas” sosialisme yg secara hakiki membedakannya dengan kapitalisme — ref Arief Budiman)  … sangat jelas sekali jauh dari orientasi kapitalistis–sebagai ultimate aim, tujuan akhir.

Sekalipun ada  “embel-embel” Welware State (Negara Kesejahteraan). Upaya (sia-sia) “memanusiawikan” kapitalisme, setidaknya kami yakini tidak akan kompatibel di negeri-negeri Selatan-Selatan yang mengalami penjajahan imperialisme akut dalam bilangan abad.

Sehingga, kami yang dengan sadar memilih “posisi” pewarta warga–dengan berikhtiar (belajar) berpendekatan materialisme-historis–mencoba membaca dan menempatkan seorang Joko Widodo dalam satu periode kepemimpinannya serta ancang-ancang beliau menghadapi Pilpres 2019.

Khususnya dalam visi beliau Trisakti-Gotong Royong dengan 9 agenda prioritas atau Nawa Cita/”hadirnya negara”, lalu dengan jargon #Pemerataan (lewat menggenjot secara masif infrastruktur dalam batas kemampuan APBN yang ekspansif dan prudent/kehati-hatian) yang tetap pada cita-cita Soekarno: sebuah “Masyarakat Adil dan Makmur”.

Sementara dari tilikan kami yang sangat sederhana di atas (berharap ada penelitian ilmiah terkait), bahwa sekitar 60%-plus dari konsep Panca Azimat Revolusi atau konsep Sosialisme ala Indonesia yakni Trisakti-Berdikari-Pancasila telah dicakup oleh visi Jokowi Trisakti-Gotong Royong tersebut–plus “Nasa minus kom”, Nasionalis-Islamis.

Tak pelak, Jokowi bagi kami adalah #SoekarnoAbad21–seperti argumentasi kami dalam tilikan ala pewarta warga “Selamat Jalan Fidel Casto, Selamat Datang Soekarno Abad XXI” (simak/klik hlm 80e).

Bahkan dengan sebuah pencapaian yang hemat kami bisa dikatakan sebagai representasi keunggulan atas penjajahan berikutnya (jilid 2!) setelah Proklamasi 1945. Yaitu 51 % divestasi PT Freeport Indonesia, pada 2017 lalu–3 tahun Jokowi sebagai Presiden RI.

Sebuah “ikon” penjajahan pasca-Kudeta Merangkak yang berhasil dikalahkan. Di sebuah republik yang oleh Arief Budiman disebut sebagai berformasi sosial kapitalistis atau kapitalisme khas Indonesia–atau kami menyebutnya “kapitalisme ala Indonesia” (simak/klik hlm 43a).

Maka, kami “beranikan diri” untuk mengajukan tesis bahwa Jokowi, yang bisa saja tanpa beliau sadari, tengah melanjutkan dan sekaligus membuktikan konsep Panca Azimat Revolusi bukanlah isapan jempol belaka dari seorang Proklamator 17 Agustus 1945 yang kerap dituduh “demagogi” (penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat — KBBI-daring).

Dalam satu kalimat: “Berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno”.

Sekaligus, risalah ini, yang relatif ringkas ini, dengan segala keterbatasan kami dalam posisi sebagai pewarta warga yang bukan ilmuwan yang mencoba berpendekatan materialis-historis, merupakan jawaban atas pertanyaan sejarawan Onghokham “Di mana tempat Sukarno dalam sejarah?” (“Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965”–Komunitas Bambu, 2013: 29):

Soekarno: Proklamator & Peletak Cikal Bakal Sosialisme ala Indonesia yang Lahir dari Rahim Kapitalisme ala Indonesia.

Pernyataan “lahir dari rahim kapitalisme” berasal dari pernyataan Marx di tulisannya “Critique of Gotha Progamme”:

“Apa yang kita bahas di sini adalah sebuah masyarakat komunis, bukanlah dikembangkan  pada dasarnya sendiri, tetapi, sebaliknya, justru ia muncul dari masyarakat kapitalis; yang dengan demikian dalam segala hal, ekonomi, moral, dan intelektual , masih dicap dengan tanda lahir dari masyarakat lama, dari rahim mana ia  muncul. Dengan demikian, produsen individual menerima kembali dari masyarakat—setelah dilakukan pemotongan—persis apa yang dia berikan untuk itu.

(Simak/klik hlm 30e dalam versi Bahasa Vince Sherman “Sosialisme Sesungguhnya Ada di Vietnam”).

.

ooOoo