Islam Politik, Ekonomi Syariah

dan

Imperialisme

.

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad Ke-20

.

Oleh HM Isbakh

.

.

[Alinea-alinea terakhir tulisan sebelumnya Bagian III  hlm 159a-IVb  — Red DK]

.

Sebagai penutup, karena sastra Melayu periode Islam berfungsi sebagai terapi untuk menghibur Melayu yang dikalahkan oleh imperialis, fenomena yang dapat disejajarkan dengan fungsi terapi candu tersebut mengafirmasi apa yang sudah dikatakan Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.

.

Agama yang hadir dalam narasi mitos sastra Melayu memberikan efek opium yang memabukan hingga membuat perlupaan diri. Daripada melakukan perlawanan terhadap imperialis yang berisiko lebih baik melarutkan diri dalam sastra sufistik yang memabukan dan mentransformasi kekalahan menjadi kemenangan dalam angan-angan ilusi.

.

“The foundation of irreligious criticism is: Man makes religion, religion does not make man. Religion is, indeed, the self-consciousness and self-esteem of man who has either not yet won through to himself, or has already lost himself again. But man is no abstract being squatting outside the world. Man is the world of man – state, society.

.

This state and this society produce religion, which is an inverted consciousness of the world, because they are an inverted world. Religion is the general theory of this world, its encyclopaedic compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneur, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, and its universal basis of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human essence since the human essence has not acquired any true reality. The struggle against religion is, therefore, indirectly the struggle against that world whose spiritual aroma is religion.

.

Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.

.

The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions.

.

The criticism of religion is, therefore, in embryo, the criticism of that vale of tears of which religion is the halo.”
[Marx, Contribution to a Critique of Hegel’s Philosophy of Right, 1843]

.

[berlanjut ke Sub-Bagian IVc hlm 160a-IVc — Red DK]

__________________

.

Bagian I. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 132a-I & hlm 132b-I 

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

 hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II  

Bagian III. Ekonomi Islam dalam Tilikan Teori Nilai Kerja

 hlm 142a-IIIhlm 142b-III & hlm 142c-III 

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

 hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa  

Sub-Bagian IVb. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 159a-IVb

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad ke-20

 hlm 160a-IVchlm 160b-IVc

.

_________________

Pada akhir abad kesembilanbelas hingga awal abad keduapuluh, pemerintah kolonial Hindia-Belanda melancarkan rangkaian perang untuk menundukan Aceh. Dengan ditaklukannya Aceh, maka prototipe Islam Politik dalam kerajaan Aceh yang sebelumnya mendominasi kerajaan-kerajaan Islam nusantara di wilayah Melayu lenyap pula.

Pertanyaan yang muncul kemudian setelah bentuk negara Islam dalam model kerajaan nusantara lenyap ialah seperti apa bentuk Islam Politik yang diusung para pengikutnya dalam negeri yang sudah ditaklukan imperialis?

Tentunya kajian ini tidak dapat dipisahkan dari apa yang sudah diungkap pada bagian pertama serial artikel ini tentang hubungan imperialis dengan Islam politik.

Tesis utama yang menjadi motif dari seluruh rangkaian artikel ini diambil dari Samir Amin yaitu Islam politik adalah pelayan imperialis (Lihat apendiks 1: Political Islam in the Service of Imperialism dalam Samir Amin, The World We Wish to See, 2008). [lihat Referensi 8 Bagian I hlm 132a — Red DK].

Dalam bagian pertama serial artikel ini sudah diperlihatkan bagaimana imperialis Inggris berhasil mempartisi India yang Hindu dan Pakistan yang Islam, serta bagaimana imperialis Amerika Serikat menyokong rezim Wahabi di Arab.

Secara faktual apa yang menjadi daerah kekuasaan Islam dalam kekhalifahan yang terakhir, yakni kekhalifahan Turki, pada abad kesembilanbelas sudah sangat terdesak oleh imperialisme.

Dan pada abad keduapuluh, salah satu hasil perang dunia pertama adalah penghancuran kekhalifahan Turki (lihat Hobsbawn 1997, hal. 210), dan kemudian perkembangan selanjutnya Turki mengalami revolusi dengan menempuh jalur sekularisasi dan modernisasi pada haluan negaranya.

Dan bila kita mengacu pada Arab Saudi dan Pakistan sebagai perwujudan Islam Politik dalam bentuk negara Islam maka keduanya tidak independen tanpa kendali imperialis.

Berbagai peristiwa tersebut membawa respon pada sebagian Muslim berupa kemarahan, sebagaimana yang disebutkan Gus Dur atas temuan novelis V. I. Naipaul setelah ia (Naipaul) mengunjungi ke tempat “bangsa muslim” Asia di tahun 1979. Ini temuan Naipaul: Islam yang marah. (lihat artikel Gus Dur: Naipaul dan Islam yang Tidak Marah, dalam Abdulrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 2017)

Bernard Lewis juga mengamati respon atas pengaruh Barat dan modernisasi yang emosional ini dalam bukunya What Went Wrong? (2002).

“In the course of the twentieth century it became abundantly clear in the Middle East and indeed all over the lands of Islam that things had indeed gone badly wrong. Compared with its millennial rival, Christendom, the world of Islam had become poor, weak, and ignorant.

In the course of nineteenth and twentieth centuries, the primacy and therefore the dominance of the West was clear for all too see, invading the Muslim in every aspect of his public and – more painfully – even his private life.

There was worse to come. It was bad enough for Muslims to feel weak and poor after centuries of being rich and strong, to lose the leadership that they had come to regard as their right, and to be reduced to the role of followers of the West. The twentieth century, particularly the second half, brought further humiliation – the awareness that they were no longer even the first among the followers, but were falling even further back in the lengthening line of eager and more successful Westernizer, notably in East Asia.

The later rise of Japan had been encouragement, but also reproach. The later rise of the other new Asia economic powers brought only reproach. …

By all standards that matter in the modern world – economic development and job creation, literacy and ecucational and scientific achievement, political freedom and respect for human right – what was once a mighty civilization has indeed fallen low.” [Bernard Lewis, 2002, hal. 151 – 152]

Dalam suasana kekalahan (‘Kekalahan penguasa Muslim yang hampir bersifat total’ lihat Taufik, Huda dan Maunah, 2005, hal. 14) dan melenyapnya imperium kekhalifahan Turki yang menjadi acuan ideal negara Islam, muncullah gerakan pembaharuan Islam yang dimulai dari abad kedelapanbelas oleh Muhammad Ibn Abd. Wahab (pencetus gerakan Wahabi), kemudian dilanjutkan pembaharu lainnya yang banyak dilahirkan pada abad kesembilanbelas seperti Jamaluddin Al-Afghani (lahir di Kabul Afganistan 1839), Muhammad Abduh (lahir di Mesir 1849), Muhammad Rasyid Ridha (lahir di Suriah 1865), Sayyid Ahmad Khan (lahir di Delhi 1817), Muhammad Iqbal (lahir di Punjab Barat Pakistan 1873).

Sebagaimana telah diangkat pada artikel bagian kedua, telah disampaikan bahwa Islam dalam masa kekhalifahan Abasiyyah dan kemudian Kekhalifahan Turki, posisi non-Arab berada sejajar dengan Arab dan peradaban Islam dengan bersintesis dengan budaya lokal (non-Arab) seperti Persia, India dan daerah lainnya.

Inti dari gerakan pembaharuan ialah pembersihan dari unsur-unsur non-Arab tersebut, sehingga lebih tepat disebut gerakan pemurnian (puritanisme).

“Gerakan Muhammad Ibn. Abd. Wahab pada abad ke-18 M, lebih tepat dikatakan sebagai gerakan permurnian Islam yang secara keras untuk memberantas bid’ah, kurafat dalam pengamalan Islam.

Atau dalam bahasa lain, ia ingin menyembuhkan borok-borok yang diderita oleh umat Islam, karena dalam pemikiran dan usahanya hanya terbatas mengembalikan tauhid yang murni dan ibadah yang benar sebagaimana yang dipraktikan oleh Rasulullah Saw., sahabat-sahabatnya dan para thabiin.

Oleh karena itu, Muhammad Ibn Abd. Wahab oleh Iqbal dikatakan sebaga ‘pembaru puritan agung’.” [Taufik, Huda dan Maunah, 2005, hal. 81]

Perlu diperhatikan bahwa ide-ide pembaharuan tersebut cukup berpengaruh pada pemikiran K. H. Achmad Dahlan yang dituangkan dalam gerakan Muhammadiyahnya, meskipun gerakan ini hanya terbatas sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan.

Namun dalam praktiknya pengusungan ide-ide itu tidak dapat dilakukan dengan keras mengingat posisi Dahlan berada dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta di mana Islam telah bersintesis dengan budaya lokal kejawen. (Tentang watak sinkretisme Islam oleh elite penguasa Jawa sebagai strategi untuk mengimbangi wilayah pesisir Islam, lihat kutipan Tichelman pada artikel bagian IVa) [lihat hlm 153a-IVa –Red DK]

“Ide-ide pebaharuannya tertuang dalam gerakan Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 18 November tahun 1912 M. Organisasi ini mempunyai karakter tersendiri sebagai gerakan sosial-keagamaan.

Titik tekan perjuangannya mula-mula adalah pemurnian ajaran Islam dan bidang pendidikan. Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang berakar dalam upaya pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul.

Ide pembaruannya menyentuh Akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian talqin, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, menziarahi kubur-kubur yang dikeramatkan, memberi makanan sesajen kepada pohon-pohon besar, jembatan, rumah angker dan sebagainya, secara terminologi agama tidak dikenal dalam Islam. Bahkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam sebab dapat mendorong timbulnya kepercayaan syirik dan murusak akidah Islam.” [Taufik, Hida dan Maunah, 2005, hal. 129 – 130]

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah gerakan pembaharuan Islam nusantara dapat dikatakan Islam Politik?

Jawaban atas pertanyaan ini dilihat dari hubungannya dengan imperialis.

Bila gerakan pembaharu tidak melawan dan secara faktual malahan melayani kepentingan imperialis, maka berdasarkan pengertian Samir Amin tentang Islam politik pelayan imperialis, gerakan pembaharu itu dikategorikan sebagai Islam Politik.

Kami berpendapat bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad keduapuluh meski tidak mengusung suatu negara Islam yang independen dapat dievaluasi dengan kriteria ini.

Menilai hubungan gerakan politik terhadap imperialis merupakan kriteria utama yang diadopsi sepanjang artikel ini.

Pada awal abad keduapuluh fokus kajian ditujukan kepada perkembangan politik Sarekat Islam.

Di situ, dalam hubungannya dengan imperialisme Belanda, gerakan Islam dapat dibagi menjadi dua: mereka yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dan mereka yang berjuang melawan pemerintah Belanda.

Perlu diperhatikan bahwa peran pelayan imperialis pada kelompok yang pertama adalah memojokkan kelompok kedua yang melawan pemerintah imperialis.

Pengaruh kondisi internasional juga berpengaruh terhadap kemunculan kelompok kedua yang melawan pemerintah kolonial, yang terinspirasi oleh gerakan komunisme internasional.

Dan dalam upaya memojokkan golongan merah ini, sejak awal bentuk propaganda yang dilancarkan golongan pro-pemerintah kolonial ini adalah melabeli golongan merah sebagai golongan ateis dan tentunya antiagama.

Model propaganda ini tetap bertahan sampai saat ini.

Pada periode perang dunia kedua di pertengahan abad keduapuluh, intervensi imperialis Jepang menghasilkan dua produk kekuatan politik Islam yakni Masjumi untuk sayap partai politik Islam dan Hizbullah untuk sayap militernya.

Berbeda dengan imperialis Belanda yang memojokkan kaum ulama pemuka agama Islam (lihat rekomendasi Snouck Hurgronje pada bagian IVb) [lihat Sub-Bagian IVb hlm 153a-IVb & hlm 153b-IVa — Red DK] dan membatasi gerakan politik Islam, imperialis Jepang berupaya merangkul dan sampai batas-batas tertentu mempromosikan kekuatan Islam Indonesia.

Akan tetapi maksud untuk merangkul kekuatan Islam tersebut merupakan sesuatu yang sudah direncanakan dengan matang oleh Jepang dan dalam praktiknya perangkulan tersebut dimanfaatkan untuk memobilisasi rakyat Indonesia (yang mayoritas Muslim) dan mengeksploitasi sumber daya manusia serta sumber daya alam untuk kepentingan perang.

Memelihara kekuatan Islam politik ini juga memberikan keuntungan lebih bagi imperialis Jepang dengan melemahkan persatuan nasional anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

Pascaperiode kemerdekaan, Indonesia memasuki periode yang tidak begitu stabil setelah gagal dengan eksperimen demokrasi parlementer kemudian dilanjutkan dengan periode demokrasi termimpin.

Sejarah memerlihatkan bagaimana kekuatan Islam hasil karya imperialis Jepang ini membuat masalah disintegrasi bangsa dalam pemberontakan PRRI yang dikaitkan dengan Masjumi dan Darul Islam yang dipimpin oleh Kartosuwiryo yang berasal dari Hizbullah.

Pada periode orde baru kekuatan Islam terlihat seolah-olah tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena direpresi oleh rezim Soeharto.

Akan tetapi dalam periode orde baru sebenarnya Islam politik melancarkan gerakan propaganda terselubung dalam kegiatan dakwah. Dan Indonesia pasca Soeharto kekuatan-kekuatan Islam politik ini kembali merebak.

Kajian dalam artikel ini digunakan beberapa sumber penting di antaranya penelitian historis Takeshi Shirashi mengenai radikalisasi di Jawa pada periode 1912-1926 dalam bukunya Zaman Bergerak (1997); penelitian historis Harry Benda mengenai Islam periode jajahan Jepang 1942-1945 dalam bukunya The Cresent and The Rising Sun (Bulan Sabit dan Matahari Terbit, 1983); penelitian historis Bolland tentang politik Islam pascaperiode penjajahan Jepang (The Struggle of Islam in Modern Indonesian, 1982) dan penelitian George McT. Kahin dan Audrey Kahin yang menyoroti keterilibatan CIA badan inteligen Amerika Serikat dalam pemberontakan PRRI/Semesta (1997). Perlu juga ditambahkan beberapa tambahan sumber yang melingkupi gerakan Islam dalam periode 1900-1942 dari penelitiannya Deliar Noer (1982).

Pendekatan analisis dalam artikel ini masih tetap konsisten dengan pendekatan sejarah material di mana Islam politik selalu dikaji dalam relasinya dengan kekuatan imperialis.

Hubungan ini adalah hubungan yang invariant (menetap) meskipun terjadi mutasi (pergantian) kekuasaan imperialis yang berkuasa atas bumi Indonesia.

Pada awal abad keduapuluh imperialis yang berkuasa di Indonesia adalah Belanda, diganti kemudian oleh Jepang pada masa perang dunia kedua, dan pasca perang dunia kedua hingga sekarang imperialis Amerika Serikat (AS).

Imperialisme Belanda, Kaum Sosialis Belanda dan Politik Etis Awal Abad ke-20

Sebagaimana kebiasaan sebelumnya yang menekankan pendekatan sejarah material, sebelum memasuki pembahasan utama tentang Islam politik di Indonesia perlu diperhatikan watak imperialisme Belanda yang mengeksploitasi Indonesia.

Setelah berakhir periode VOC maka pada abad kesembilanbelas dibentuk dan diperkuat suatu aparatus negara kolonial untuk menyokong sistem eksploitasi kolonial yang umumnya bertumpu pada aktivitas agraria.

Jawa merupakan pilar utama eksploitasi kolonial. Pada akhir paruh kedua abad kesembilanbelas Belanda memperluas eksploitasinya ke pulau-pulau lain di luar Jawa dan yang paling menyita perhatian adalah penaklukan Aceh.

Eksploitasi Indonesia oleh imperialis Belanda mengambil bentuk utama ekonomi ekstraktif berupa hasil-hasil bumi pertambangan atau produk-produk agraria.

Untuk menunjang sistem tersebut diperlukan suatu korps birokrasi negara kolonial yang berfungsi sebagai administrator produksi.

Tuntutan ini meniscayakan pendidikan bagi kaum pribumi yang diperuntukan untuk kelas priyayi yang direkrut dalam birokrasi pemerintahan kolonial.

Dengan demikian tuntutan material produksi sejalan dengan politik etis, yakni suatu politik untuk memerjuangkan peningkatan kesejahteraan kaum pribumi, di mana salah satu tokoh penting yang mengangkatnya adalah ahli Islam kolonial Snouck Hurgronje (yang sebagian inti pemikirannya sempat diangkat pada Sub-Bagian IVa rangkaian artikel ini).

Untuk memahami kelahiran politik etis tidak dapat dilepaskan dari keadaan di Eropa pada akhir abad kesembilan belas.

Perlu juga dicatat bahwa faktor signifikan yang menentukan politik di Eropa adalah kehadiran gerakan komunis yang dimulai sejak jaman Marx yang terorganisasi dalam Internasional Pertama.

Dalam perkembangannya gerakan ini terpecah menjadi dua kelompok besar yakni kaum sosial demokrat revisionis (Internasional Kedua) dan kaum komunis internasional (Internasional Ketiga).

“The new East Indian Policy included the extension of Dutch administration to all areas within the boundaries of the empire as determined in the treaties with Great Britain of 1829 and 1871 and with Portugal – concerning Timor – 1860.

This strengthening of Ducth control was accompanied by a first attempt to organize a popular educational system. Public health measures were another aspect of the new political trend, which in Dutch colonial history is known as the ‘ethical policy’.

The socialists, under the leadership of their colonial expert Hendri van Kol, advocated even more radical reforms and immediate plans for self-government in the Indies.

The first half of the XX century will be known in Dutch history as the age of Queen Wilhelmina. In 1890, after reigned forty-two years, King William III had died. Until her majority in 1898 his daughter reigned under the regency of her mother, Queen Emma.

The outstanding political political feature of the first decade of that period was the rapid rise of the Social Democratic movement in the form of political with consistently expressed revolutionary aims while showing a marked preference for gradual evolution.

The German Socialist Party under the leadership of August Babel was then the model for similar parties in all the states adjacent to Germany.

Toelstra, the most prominent Dutch leader, was deeply impressed by the success of socialist mass organization in Germany and by Eduard Bernstein’s conceptions of revisionist Marxist Socialism.

In his idealism he imagined that the fraternization of the working classes of Europe was near. Signs of internal dissension in his own party ought to have warned him, but continued what seemed a triumphant progress until the war of 1914 completely disillusioned him and broke him physically.

In 1897 the Socialist Party had only two representatives in the Second Chamber. In 1901 there were four, and 39,000 voters supported this ticket. In 1905 the Socialist representatives had increased to seven, backed by 65,000 voters out of a total of 625,000. Ten percent of the franchise holders were already won over.

The number of representatives remained stationary in the next election but popular support grew and, as consequence, the election of 1913 brought the Socialist eighteen seats and made them one of the strongest groups in Parliament.

In 1909 a rift in the Socialist ranks between the advocates of revolution and those of evolution led to secession of a small group of radicals.

This was the origin of the later Communist Party in the Netherlands. The new group included some of the best intellects of the party but very few of the rank and file.” [Vlekke, hal. 324 – 325]

Jumlah perwakilan kaum revisonis dalam parlemen Belanda sejak 1897 hingga 1913 semakin meningkat.

Kaum komunis yang merupakan pecahan dari kaum sosialis yang sebelumnya tergabung dalam partai sosial demokrat meski kecil dan tidak memiliki posisi dalam parlemen namun merupakan representasi intelektual yang terbaik dan, nanti akan kita lihat dalam paparan selanjutnya di bawah, menentukan dalam radikalisasi rakyat di Hindia-Belanda.

Politik parlemen di Belanda awal abad keduapuluh ditentukan oleh kaum etikus yang mengadvokasi politik etis di Hindia-Belanda, kaum revisionis dan partai konservatif Kuyper (dari gereja Kristen reformasi Belanda).

Meski ada perbedaan dalam beberapa hal hingga perdebatan sengit antara kaum revisionis dengan kaum konservatif, akan tetapi tampak bahwa pada hakikatnya mereka memiliki sikap yang sama dalam dukungan mereka kepada imperialisme.

Lenin menyebutkan ideologi kaum sosial demokrat revisionis sebagai social imperialism yakni “Socialist in words, imperialist in deeds” (lihat Wikipedia – kata kunci: social imperialism).

Meski mereka mengajukan perbaikan kesejahteraan rakyat pribumi dalam peningkatan pendidikan tapi ujung-ujungnya segala tujuan tersebut harus kembali kepada tujuan akumulasi modal imperialis.

Suatu kutipan dari van ‘t Veer (1985) sedikit banyaknya melukiskan dinamika hubungan kaum revisonis dengan kaum konservatif dan pengusung politik etis yang pro-imperialis dalam parlemen Belanda:

“Pada tahun 1897 untuk pertama kalinya diadakan pemilihan umum di Negeri Belanda berdasarkan undang-undang pemilihan yang baru.

Dibandingkan dengan tahun 1888, jumlah pemilih sekarang ini hampir dua kali lipat.

Kaum liberal dari berbagai macam yang tidak selalu jelas perbedaan warnanya masih merupakan mayoritas.

Suatu suara baru yang menarik perhatian tampil dalam Majelis dengan terpilihnya dua orang anggota dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial-Demokrat) yang baru dibentuk.

Kebetulan, dalam pemilihan kembali yang tidak dapat diramalkan sebelumnya itu, bahwa di samping pemimpin partai Mr. P. J. Troelstra untuk SDAP terpilih ‘ahli masalah’ Hindia yang terkenal Ir. H.H. Kol.

Dia memasuki suatu Majelis yang praktis tidak lagi memiliki ahli-ahli Hindia, apalagi sesudah coming man (pendatang) kaum liberal, orang Deli J.T. Cremer, yang menjadi anggota Majelis sejak tahun 1884, menjadi menteri jajahan dalam Kabinet Pierson.

Van Kol, yang dalam partainya disebut Hubertus si Dahsyat, bukanlah Pendatang baru dalam gerakan sosialis. Sudah sejak masa mahasiswanya di Delft, dengan diilhami semangat Komune Paris, dia menjadi anggota Internasional Pertama.

Di Hindia Belanda dia memulai karier sebagai insinyur Perairan pada Dinas Pekerjaan Umum, tetapi tetap dia juga menulis artikel-artikel dengan menggunakan nama samaran Rienzi untuk majalah-majalah seperti Recct voor Allen (Keadilan untuk Semuanya) Domela Nieuwenhuis.

Juga sebagai pembantu De Locomotief-nya Broosthoof dia mengemukakan sikap terhadap perubahan kebijaksanaan kolonial yang prinsipiil.

Sesudah masuk dinas tentara di Hindia selama dua puluh tahun, pada tahun 1896 dia diapkir (tetapi menurut dia sendiri karena alasan politik) dan pensiunnya dipercepat.

Baru 43 tahun usianya dan setahun sebelumnya dia turut mendirikan SDAP.

Tindakan pertamanya di Majelis pada perdebatan mengenai anggaran pada bulan November 1897 sekaligus merupakan adu kekuatan dengan menteri yang baru dan boleh dikatakan dengan semua fraksi yang lain mengenai apa yang disebutnya ‘malapetaka nasional’, ‘masalah penting yang meliputi semua, Persoalan hidup koloni-koloni kita, yaitu Aceh’.

Bukan saja terdapat suara baru yang sengit, tetapi juga cara penggarapan yang baru. Sesudah perdebatan Majelis, SDAP segera menerbitkan bagian bagian mengenai Aceh berbentuk brosur.

Atjeh in de Tweede Kamer memberikan Perhatian sepenuhnya pada campur tangan Van Kol dan Troelstra, yang untuk Pertama kali menempatkan Perang Aceh dalam sorotan kritik antikapitalistis dan anti-imperialistis yang prinsipiil.

Van Kol membuktikan dengan angka-angka bahwa biaya perang yang tinggi sebagian besar dibayar dari anggaran Hindia dan karena itu dengan sistem yang berlaku pada waktu itu praktis dihasilkan oleh rakyat Jawa. Banyak proyek kesejahteraan di Jawa ditangguhkan dan dibatalkan karena Perang Aceh menelan jutaan [gulden? — Red DK].

Sebagai insinyur bangunan air, Van Kol menguasai persoalan yang dibahas. ‘Semua perubahan penting, yang sangat mendesak pada akhirnya tidak ada artinya, bila kanker pada kemakmuran Hindia tidak dipotong habis.’

Mosi sosialis yang menghendaki penyelidikan tidak memihak akan ‘kemungkinan dan keinginan mengakhiri perang, dengan memertahankan kedudukan kita di Sumatera berdasarkan hukum internasional di Sumatera’ tampaknya sedikit pun tidak berhasil.

Hasilnya 75 suara lawan 3 (ada lagi satu calon sosialis bebas terpilih dalam Majelis), tetapi perdebatan tidak pernah sehebat itu dan harus terhenti berulang-ulang karena ribut — suatu hal yang baru dalam tata cara Parlemen Belanda. Lawan-lawan Van Kol dan Troelstra menyalahkan mereka menghasut rakyat, dan hal ini bukan selalu tidak benar.

Jawaban Kuyper atas kecaman bahwa dia (1873) menyalahkan perang dan kini menyokong partai perang, adalah ‘karena kita tidak bisa mundur lagi’, dalam brosur SDAP, umpamanya, demi kejelasan memeroleh anak judul Door moorden tot evengelie (Habis pembunuhan melaksanakan penginjilan).

Sidang itu paling ramai ketika Troelstra melibatkan pribadi Menteri Cremer dalam perdebatan.

Cremer, kata Troelstra, barangkali justru dialah orangnya ‘untuk menyatakan hubungan antara kapital Belanda dan perang Aceh’.

Bukankah dia pada pengangkatannya menjadi menteri turun sebagai presiden direktur Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran), sebagai presiden komisaris Deli Maatschappij dan sebagai komisaris Deli Spoor (Kereta Api) Senembah dan Medan Maatschappij?

Sebaliknya pula, pada gilirannya Cremer mengutip dengan kegembiraan brosur Land en volk van Java (Alam dan rakyat Jawa), yang tidak lama sebelumnya ditulis Van Kol sebagai Rienzi untuk menunjukkan bahwa kaum sosialis pun menganggap perlu penanaman modal di Hindia Belanda. Juga sebuah kutipan lain dari Van Kol dapat digunakan untuk menghantam dirinya sendiri.

Bila Troelstra dalam perdebatan menyatakan bahwa tidak ada yang baik dapat dilakukan Belanda daripada menarik diri seluruhnya dari Aceh, bagaimana pula pikiran kita tentang keterangan ini dalam buku kecil Rienzi:

‘Keinginan Multatuli yang diucapkan dalam percakapan rahasia: Akan sangat kita sayangkan, bila orang Belanda terdepak keluar. Sebab, walaupun dulu dan sekarang pemerintahan Belanda banyak sekali kekurangannya, walaupun kita telah menjatuhkan putusan yang adil tentang ketidakberesan pemerintah Belanda dan kita sering merasa malu tergolong ke dalam bangsa kulit pulih, satu kenyataan tidaklah dapat disangkal, yaitu: bahwa pemerintahan Belanda yang sejelek-jeleknya pun adalah lebih baik daripada pemerintahan bumiputra yang kita kenal.’

Mengenai dua hal ini, menteri yang liberal dan oposan yang sosialistis sepenuhnya sependapat.

Kedengarannya kontradiktif, tetapi pada semua pertentangan memang terdapat batas persetujuan pendapat yang luas antara Cremer sebagai perwujudan kaum pengusaha di India dan Van Kol sebagai wakil dari partai pembaharu, para pendukung yang sejak Brooshooft disebut ‘politik etis’.

Pada bulan Mei, jadi sebelum Van Kol terpilih menjadi anggota Majelis, Algemeen Handelsblad telah membicarakan Land en volk van java dengan sangat simpatik. Pembelaan yang dilakukan Rienzi untuk ‘politik susila dan meningkatkan kesejahteraan’ mendapat ‘simpati kita sepenuhnya’ dari sebuah koran yang menyokong Menteri Cremer!

Pada sejumlah besar langkah pembaharuan yang praktis, pada hakikatnya sedikit saja terdapat perbedaan apakah orang melakukannya atas dasar-dasar moral ataukah dengan pertimbangan bahwa kemakmuran yang lebih besar bagi rakyat Indonesia akan memupuk daya beli lebih besar pula yang menguntungkan ekspor Belanda.

Bahwa pekerja yang lebih berpendidikan barangkali memang pekerja yang lebih mahal, tetapi juga adalah pekerja yang lebih baik.

Imperialisme yang di Negeri Belanda baru menjabarkan dirinya pada akhir pemerintahan Menteri Cremer dan gubernur-gubernur jenderal, seperti Van der Wijck dan Van Heutsz, lebih merupakan teman sekutu daripada lawan politik kolonial yang etis.

Politik ini menyatukan lagi tokoh-tokoh yang begitu berbeda-beda seperti Menteri AW.F. Indenburg Kristen, bekas perwira (pengganti Cremer), Van Kol dan anggota Majelis Mr. C. Th. van Deventer yang berpikiran bebas, dulunya pengacara dan sahabat Brooschooft di Semarang dan banyak pengaruhnya sesudah karangannya yang terkenal dalam majalah Gids tentang Een Eereschuld (Suatu Utang Budi) pada tahun 1899.

Dalam karangan ini telah dihitungnya bahwa Negeri Belanda berutang kepada Hindia sejumlah 187 juta gulden, yang seharusnya dipergunakan demi pelaksanaan politik kesejahteraan yang aktif

Imperialisme dan politik kolonial yang etis dalam tahap pertama adalah dua lengan pada tubuh yang sama. Hindia Belanda harus dimajukan pendidikannya, penyebaran penginjilan ditingkatkan, daerah-daerah Seberang dibuka untuk kehidupan perusahaan Barat, kehidupan rakyat Indonesia dibuat lebih makmur. Demi kepentingan siapa?

Tentang ini kedua golongan berbeda pendapat, tetapi dalam satu hal mereka sependapat bahwa pendidikan ini (sebagai suatu ‘kewajiban’ atau suatu ‘beban’) harus dilaksanakan dengan pimpinan Belanda.

Itulah sebabnya pada masa ini kaum etis dan kaum imperialis mengadakan hubungan yang baik sekali.“ [van ‘t Veer, 1985, hal. 189 – 192]

Dalam kenyataannya advokasi pendidikan kepada kaum pribumi dan kemudian rekomendasi Hurgronje untuk rekrutmen orang-orang pribumi dalam posisi-posisi pemerintahan dijalankan dengan setengah hati oleh pemerintah kolonial, sehingga hal ini yang memicu keresahan dan kemudian perlawanan kaum nasionalis, sebagaimana diamati oleh Kahin.

“By giving the Indonesian population, at least its elite, a Western education, it would be turned away from the path of Islam toward cultural association with the Dutch, and this would ‘remove all political and social significance from the difference of religion’.

If this association were not made, he held, ‘the inevitable impulse of civilization of the Indonesians,’ would be ‘to move further and further away from us, for then others than we will control the direction of their intellectual evolution.’

While providing the Indonesians with Western education, the government was to control Mohammedan education, watching against all Pan-Islamic propaganda, and be ‘completely intrasigent’ against admission of all political elements of Mohammedan doctrine and law.’

Snouck Hurgronje particularly emphasized that these Indonesians who acquired a Western education should be guaranteed position in the service of the state worthy of their education.

‘In multiplying the opportunities for natives of superior development‘, he held, ‘the government must revise the division of official functions so as to reserve a large part to the natives of modern culture’.

If his suggestion were fully carried out, Snouck Hurgronje anticipated that:

‘The Pan-Islamic idea, which has not yet taken a great hold on the native aristocracy of Java and the other islands, will lose all chace of existence within this milieu, when those who compose it have become the free associates of our civilization.

If it then happens that a part of the millions of native Indonesian, whose daily labor as small peasants does not permit their spirits to rise above the level of their field of rice, find themselves attacked by the epidemic of Pan Islamism, their compatriots who have become our associates and equals, will themselves have the greatest interest to ward off this menacing danger.

In order to emancipate the other classes from the Islamic creed, it is only a question of time, without application of force, if we know how to enlarge liberally our political and national frontiers. … (We add that it will also furnish, in other respects, the solution of the problem of future relation between the population of the Indonesian archipelago and the mother country.)

From the point of view of general politics, it is to our vital interest not to wait until unexpected circumstances compel us to give that which we can grant to the Indonesians voluntarily and in the form which seems to us the best.’

Cogent as Snouck Hurgronje’s ideas were, they were only partially carried out, and the results he anticipated were only partially achieved. The spread of Pan-Islamic ideas was largely checked, but the government was not successful in keeping out all political elements of Mohammedan teaching.

Modernist political and social ideas entered the country and exerted a tremendous influence, finally manifesting themselves in the first powerful Indonesian nationalist movement, the Sarekat Islam.

It was nationalistic, anti-imperialist, and socialistically inclined program of this movement, rather than the ideas of Pan-Islam, which was the ‘epidemic’ that attacked so considerable a part of the Indonesian population.

However, undoubtedly the most important reason for the nonfulfillment of Snouck Hurgronje’s expectations was the government failure to carry out his recommendation that Indonesians to whom it provided a Western education be guaranteed an important place in the service of the state.

Many of those who were given such posts upheld his thesis and did tend to identify themselves with the colonial political order. But the large majority of Western-educated Indonesians were either given posts which they felt to get governmental or any other employment where their training utilized.

It was this group which was to emerge as chief force behind the Indonesian nationalist movement and which soon produced leaders much more numerous than those coming from the slightly older Modernist Islamic root of the nationalist movement.” [Kahin, 1958, hal. 47 – 48]

Di samping posisi dalam pemerintahan, dalam bidang usaha kecil menengah, peran kaum pribumi pun di dalam sistem kolonial Hindia-Belanda diterlantarkan. Hal ini juga memicu ketidakpuasan dikalangan pengusaha menengah kecil.

“Bearing in mind the fact that many nominally Indonesian-owned industries were actually controlled by non-Indonesians, particularly Chinese, some additional comprehension of weak position of the Indonesian entrepreneurial group is given by the figures of a government survey showing ownership of industries in Indonesia employing more than six persons in 1925.

Of all enterprises, 2816 were owned by Europeans, 1516 by Chinese and only 825 by Indonesians, Arabs, and all other non-Europeans and non-Chinese combined.

If one speak of an Indonesian middle class, its entrepreneurial element had been almost eliminated by the circumstances attending 3 centuries of Dutch rule.

If the term ‘middle class’ can be used as pertaining to those non-aristocratic members of Indonesian society whose economic position was well above average, it can then be said that Indonesian middle class that existed during the las two decades of Dutch rule was predominantly noncapitalistic.

If the term can be employed in an equally loos but more restricted sense as meaning all such elements whose income was not directly derived from agriculture, it can be said that this middle class was not only predominantly noncapitalistic, but that for the most part it consisted of salaraied employees, most of whom were civil servants.

A government survey in 1918-1928 of urban areas showed that less than 2% of western-educated Indonesians were self-employed; over 83% worked for wages / only 2,1% of their employers being Indonesians, while the reminder was unemployed. These figures, the survey noted, did not indicated the western education was augmenting the economic development of native society.

To the extent that it led to employment for Indonesians it was to jobs with the Netherlands Indies government government and Western business enterprise. The opportunities opened up by the letter were, however, extremely limited.

Extensive survey made buy government commission in the still prosperous years of 1928-1929 showed that 25% of all Indonesians who had graduated from Western school were unable to find jobs were unable to find jobs were their education could be utilized.

Members of this group found their diplomas ‘devalued’ and were only able to get ‘jobs that were more on the periphery of economic life’ with salaries well below those earned in jobs calling for a knowledge of Dutch.

In private enterprise the increased supply of Indonesians educated along Western lines forced down the wage scale of those Indonesian employed by such concern. The commission stated, ‘about twice as many pupils graduated with Western education as jobs can be found for’.

It envisaged the situation growing much worse and anticipated that even in prosperous times over-all government employment could not increase more that 2% yearly, while the instruction of the Indonesian population in western education was increasing at a yearly rate of 6,7%.

Thus, it concluded that the ‘tempo of expansion exceed the scop of social development’.

The degree of economic devaluation of western education and the disparity between western-trained Indonesian and jobs available kept increasing. …

However, despite the decrease in growth of educational opportunities for the Indonesian population attendant upon the government’s retrenchment of expenditure during the depression years, the disparity between government jobs open to Indonesians and the Indonesians qualified to fill them continued to grow.” [Kahin, 1958, hal. 29 – 30, 33 – 34]

Dengan demikian sistem kolonial Hindia-Belanda memerlihatkan kerapuhannya yakni pada ketidakpuasan kelompok elit lokal, kelas menengah pribumi.

Agama dan Kelas-Kelas Sosial

Dalam kelas pengusaha kecil-menengah suatu elemen yang signifikan berasal dari kelompok santri, yakni kelompok yang diidentikkan kaum Muslim kota yang menjalankan keislamannya dengan taat sesuai syariah (dibedakan dengan kelompok muslim abangan dan priyayi yang dianggap tidak begitu menghiraukan agama). Golongan santri ini juga dapat juga mengacu pada orang desa yang kaya, yang sanggup naik haji ke Mekkah dan mendirikan pesantren.

Adapun klasifikasi santri-abangan-priyayi berasal dari antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz yang mengambil bahan penelitiannya Mojukuto pada 1953 – 1954 (lihat Harsja W. Bactiar dalam Geertz, 1981).

“Apabila penduduk Mojokuto dibagi dalam kelompok-kelompok menurut pandangan hidup mereka – ‘menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik mereka’ – maka terdapatlah tiga tipe budaya utama. Ketiga tipe itu dinamakan berturut-turut abangan, santri, dan priyayi. … Ketiga varian agama itu secara singkat dilukiskan sebagai berikut:

Abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk;

santri, yang menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga unsur-unsur tertentu kaum tani);

dan priyayi, yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi … (Geertz 1960:6)’” [Harsja W. Bachtiar, dalam Geertz. 1981, hal. 524]

Meskipun penggolangan orang Jawa (Muslim) ke dalam tiga kelompok tersebut banyak dikritik oleh ahli sosial Indonesia seperti Harsja W. Bachtiar dan Pasudi Suparlan, namun kami ingin mengambil klasifikasi tersebut karena dapat mengaitkan pembagian sosial tersebut dengan kelas sosial dalam terminologi sejarah material.

Geertz menurut kami berbicara budaya dari kelas-kelas sosial, dalam hal ini Abangan mengacu kepada terutama kelas petani; Santri mengacu kepada terutama kelas pedagang di kota; sedangkan Piyayi mengacu kepada kelas birokrat.

“Dengan tepat Profesor Bachtiar telah mengemukakan (1973: 80-90) bahwa penggunaan istilah Abangan, Santri dan Priyayi untuk mengklasifikasi masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan tadi tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama (Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyayi adalah suatu penggolongan sosial); dan juga, penggolongan yang dibuat Geertz tersebut nampaknya sebagai kategori absolut, sedangkan dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Sehubungan dengan penggolongan Abangan dan Santri, kelemahannya tidak semata-mata sebagaimana yang dikemukakan oleh Bachtiar, tetapi juga karena istilah Abangan adalah istilah denotatif, dan bukannya istilah referensi untuk mengidentifikasi diri sendiri.

Karena dalam istilah Abangan tercakup isinya yang bersifat merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan oleh mereka yang taat menjalankan ibadah agama Islam untuk menamakan mereka yang tidak atau kurang taat.

Sedangkan mereka yang tidak taat menjalankan ibadah agama Islam, biasanya menamakan diri mereka bukan sebagai Abangan, tetapi sebagai Orang Islam.

Sedangkan istilah Santri dapat berfungsi sebagai istilah denotatif maupun sebagai istilah referensi untuk mengidentifikasi diri sendiri.

Dengan demikian, kalau istilah Abangan itu adalah denotatif dan bersifat derogatif, tentunya Abangan adalah suatu golongan sosial yang bersifat longgar, dan perwujudannya ditentukan oleh konteks hubungan-hubungan sosial yang tertentu, yaitu dalam kaitannya dengan adanya Santri.

Dengan demikian, juga, deskripsinya mengenai struktur sistem simbol Abangan tentunya merupakan deskripsi mengenai suatu golongan sosial lainnya yang bersifat absolut, yaitu golongan Petani di pedesaan.

Dan sesungguhnya, Geertz memang berbicara mengenai struktur sosial petani pada waktu dia berbicara mengenai Abangan.” [Pasudi Suparlan, dalam Geertz, 1981, hal IX – X]

Asal-Usul dan Perkembangan Sarekat Islam

Dalam sistem ekonomi kolonial, posisi orang Tionghoa umumnya menempati tempat kedua setelah orang Eropa di mana pribumi menempati posisi yang terendah. Sistem ekonomi rasis tersebut menempatkan posisi etnis Tionghoa sebagai sasaran terdekat ketidakpuasan pribumi.

Bagi orang pribumi dengan pemikiran yang belum tercerahkan maka akan terseret dalam politik rasis kolonial yang berhasil mengalihkan konflik vertikal kelas tertindas versus imperialis menjadi konflik horizontal antarras.

Tepatnya konflik horizontal inilah yang tidak dapat dipisahkan dari asal-asul pendirian Sarekat Islam. Dalam hal ini gabungan kontribusi Geertz dan pengamatan Kahin berguna dalam menjelaskan dasar material kemunculan Sarekat Islam.

Sebagaimana disebutkan Geertz bahwa golongan santri identik dengan golongan pedagang pribumi dan pengamatan Kahin bahwa pedagang / pengusaha pribumi berada dalam posisi yang lemah, maka hal tersebut memicu konflik horizontal antara pedagang yang berlatar-belakang santri vs pedagang Tionghoa.

Sarekat Islam (SI) diorganisasi kelas pengusaha batik Muslim di Surakarta dengan tujuan menghadapi pengusaha Tionghoa, pada awalnya merupakan organisasi keamanan untuk kepentingan pengusaha pribumi. Di sini Islam menjadi identitas perekat pribumi.

“Sarekat Islam tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso pada awal 1912. Rekso Roemekso, yang didirikan oleh Haji Samanhoedi bersama beberapa saudara, teman, dan pengikutnya, adalah sebuah perkumpulan tolong-menolong untuk menghadapi para kecu yang membuat daerah Lawean tidak aman, agaknya karena pencurian kain batik yang dijemur di halaman tempat pembuatan batik.

Oleh karena itu, organisasi tersebut, seperti yang diperlihatkan oleh namanya, ‘penjaga’, adalah sebuah organisasi ronda yang bertugas mengawasi keamanan daerah.

Permusuhan yang semakin besar antara Rekso Roemekso dan organisasi serupa, Kong Sing, menimbulkan perkelahian kecil di jalanan pada bulan-bulan terakhir 1911 dan bulan-bulan awal 1912 antara orang-orang Jawa dari Roemekso dan orang-orang Tionghoa dari Kong Sing.

Serangkaian perkelahian jalanan ini mengundang penyelidikan polisi terhadap status hukum Rekso Roemekso, sebuah penyelidikan yang kemudian mengubah Rekso Roemekso dari sebuah organisasi ronda yang sederhana menjadi SI.” [Shiraishi, 1997, hal. 55 – 56]

Dalam perkembangannya, kehadiran tokoh pergerakan Tirtoadhisoerjo yang bukan berasal dari golongan santrilah yang memberikan kemajuan pada organisasi SI.

Tirto memformalkan organisasi dalam bentuk Anggaran Dasar organisasi dan memperkenalkan bentuk perjuangan baru selain ronda, yakni boikot. “Walaupun ronda masih tetap penting bagi SI, suatu bentuk baru gerakan, boikot, diperkenalkan oleh Tirtoadhisoerjo dan Martodharsono kepada SI.” [Shiraishi,1997, hal. 61]

“Anggaran dasarnya dirumuskan dan ditandatangani oleh Tirtoadhisoerjo pada 9 November 1911, yang dalam bagian pengantarnya menyatakan pembentukan SI:

‘Semua orang sudah tahu bahwa sekarang ini adalah zaman kemajuan. Semboyan kita tentang perjuangan untuk mencapai kemajuan tidak boleh hanya menjadi omong kosong saja. Untuk itu kami memutuskan untuk membentuk perkumpulan Sarekat Islam.’

Artikel I anggaran dasar ini· menyatakan bahwa perkumpulan dapat didirikan di mana saja dengan lima puluh orang anggota, dan tujuan perkumpulan harus ‘membuat anggota perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong-menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan raja melalui segala cara yang tidak bertentangan dengan hukum negara dan pemerintahan’.” [Shiraishi, 1997, hal. 56 – 57]

Pada bulan Agustus 1912 ketika sepak-terjang SI sudah dianggap mengganggu ketertiban barulah Residen Surakarta mengeluarkan perintah untuk menghentikan semua aktivitas SI. Namun dampak tindakan ini malahan meluaskan SI ke daerah-daerah lain di luar Surakarta.

Dan dalam aktivitasnya SI meninggalkan ronda dan boikot, yang sudah dilarang, sehingga sekarang SI melakukan penerbitan surat kabar dan vergadering (pertemuan-pertemuan massa) (lihat Shiraishi, 1997, hal. 65).

“Pada awalnya propaganda SI dilakukan melalui hubungan pribadi oleh utusan yang dikirim hoofdbestuur. Pada September, afdeling SJ yang pertama didirikan di Kudus. Pada Oktober, perkumpulan Darmo Loemekso dibentuk di Bandung oleh saudara kandung Samanhoedi, Haji Amir. SI Surabaya juga telah didirikan dengan hoofdbestuurnya sendiri, yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.

Pada November afdeling-afdeling [afdeling – Red DK] SI didirikan oleh Djojomargoso di Madiun, Ngawi, dan Ponorogo. Akhir 1912, afdeling-afdeling SI di Bandung dan Semarang juga telah ada. Lalu pada awal 1913, surat kabar mulai menyebarkan berita tentang SI.

Di samping Sarotomo, surat kabar seperti Oetoesan Hindia di Surabaya, Sinar Djawa di Semarang, Kaoem Moeda di Bandung, dan Pantjaran Warta di Batavia secara defacto menjadi organ SI. Propaganda pada vergadering terbuka juga mulai dilakukan.

Vergadering SI yang besar pertama kali dilakukan di Surabaya pada Januari 1913 dan dihadiri sekitar sepuluh ribu orang. Vergadering itu diorganisir oleh Tjokroaminoto, yang belajar tentang kekuatan pertemuan seperti itu dari vergadering SI yang dibuat Douwes Dekker di Bandung pada 25 Desember, yang mungkin merupakan vergadering politik pertama di Hindia.

Vergadering SI itu begitu sukses sehingga aksi vergadering dengan cepat menjadi ciri yang paling menonjol dari gerakan SI. Surat kabar dan vergadering mempercepat perluasan SI. Ketika pertemuan umum SI yang pertama diadakan di Surabaya pada 26 Januari, telah ada lima belas afdeling SI, tiga belas di antaranya mengirim utusan yang mewakili 80.000 orang anggotanya.

Dua bulan kemudian, kongres SI yang pertama diadakan di Surakarta pada 25 Maret. Jumlah afdeling SI membengkak sampai empat puluh delapan, di antaranya empat puluh dua afdeling, yang memiliki anggota sebanyak 200.000 orang mengirimkan utusannya.” [Shiraishi, 1997, hal. 66 – 67]

Pada saat perluasan SI keluar Surakarta inilah muncul salah tokoh penting dalam pergerakan Islam dari Surabaya yakni Tjokroaminoto yang sekali lagi latar-belakang keluarganya sebenarnya bukan dari santri melainkan priyayi (kelas birokrat) (lihat Shiraishi, 1997, hal. 71 – 72).

Di Yogyakarta cabang SI dibentuk oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang berlatar-belakang santri dan yang merupakan juga pendiri Muhammadiyah (lihat Shiraishi, 1997, hal. 76).

Tentang Vergadering dan Stagnasi Perkembangan SI

Pertumbuhan SI di berbagai pelosok di Jawa merekrut juga kaum rakyat kebanyakan yakni kaum kromo yang tidak memiliki status dan buta huruf.

Adapun golongan ini dekat dengan kategori abangan dari Geertz, di mana dari segi penghayatan agama, golongan kromo dinilai sebagai “kurang taat”. Dan atribut lain yang melekat kepada orang kromo abangan adalah kekasaran, yang juga dekat dengan kelas petani (lihat Geertz, 1981).

Bentuk kegiatan pertemuan-pertemuan massa (vergadering) pada awalnya memberikan kesan yang menarik bagi anggota yang berasal latar belakang kromo karena dalam pertemuan tersebut seolah-olah menawarkan atmosfer kesetaraan di antara kelas-kelas sosial.

Mungkin suasana hati yang tepat untuk melukiskan peristiwa tersebut adalah kegairahan seperti menonton pertunjukan yang seru. Untuk ikut vergadering, kromo masuk dengan membayar uang anggota.

Namun sebagaimana yang diamati Shiraishi, daya tarik tersebut tidak serta merta meningkatkan kesadaran kritis rakyat. Di situ rakyat dikatakan bahwa Islam adalah identitas yang menciptakan solidaritas sesama Muslim terlepas dari kelas-kelas sosial.

Tetapi dalam pidato-pidato di pertemuan-pertemuan SI bahasa atau istilah-istilah yang bercampur dalam bahasa Belanda merupakan hal yang asing bagi rakyat. Shiraishi malah mengungkap studi yang menjelaskan kaitan SI dalam mitos ratu adil, mesianistik, yang tercipta dalam kesadaran rakyat.

“Para pemimpin cabang SI adalah kaum muda yang melihat adanya ungkapan kesadaran kaum muda di dalam SI.

Sementara itu, anggotanya adalah kaum kromo (rakyat buta huruf tanpa pangkat, status, atau harta) dan mereka menanggapi seruan SI bukan dalam surat kabar, tetapi dalam vergadering.

Mereka menghadiri vergadering-vergadering SI tanpa gagasan yang jelas tentang SI, mengetahui SI dalam pertemuan semacam itu, dan bergabung dalam organisasi itu dengan membayar uang masuk dan menerima kartu anggota mereka di tempat itu juga.

Oleh karena itu, bagi kaum kromo, suara yang mengekspresikan kesadaran kaum muda terlihat berbeda, dan pemahaman mereka tentang SI sangat bergantung pada pengalaman mereka dalam vergadering-vergadering itu. Jika begitu, apa sebenarnya SI itu?

Marco menggambarkan suasana sebuah vergadering pada puncak kongres SI:

Waktu poekoel setengah anem sore di station N.l.S., Balapan (Solo) orang-orang sama berdesak-desakan, jaitoe penoempang-penoempang spoor jang baroe datang dan orang jang menjempoetnja. Berpoeloeh-poeloeh andong (kreta sewan) sama memakai bendera jang ada hoeroefnja S.I. inilah boet tanda bahwa itoe kreta soedah di sewa perkoempoelan S.I. soedah tentoe sadja orang jang boekan leden S.I. dan tidak dipetoek kendaraan, terpaksa mesti berdjalan kaki, karena itoe waktoe tidak ada satoe andong sewaan jang tidak memakai bendera S.I.

Di sitoe semoea orang Islam menoendjoekkan sepekatnya hati seorang antara lainnja-. Didjalan-djalan siapa leden S.I., tentoe dia orang menoenjoekkaan kesenangannya hati masing-masing.

Semoea kreta S.I. itoelah menoedjoe ke kampoeng Kabangan, jaitoe tempat jang akan boeat vergadering Bestuur S.I.

Kedatangannja Wardojo dan Prajogo di Kampoeng Kabangan, tempatnja vergadering S.I.,di sini soedah beratoes ratoes orang jang hendak sama mengoenjoengi vergadering, semoea itoelah oetoesan tjabang Sarekat Islam seloeroeh tanah Djawa.

Muziek jang berboenji di tempat vergadering itoe semangkin membikin goembira hatinja orang Islam jang ada di sitoe. Bangsawan Kraton Solo, saudagar, prijaji Gouvernement dan orang particulier, mereka itoelah semoea sama menoenjoekkaan ketjinta’annja masing-masing.

Lantaran pengaroehnja Sarekat Islam, itoe waktoe tidak ada perbeda’an manoesia, semoea mengakoe saudara, baik orang jang berderadjat tinggi maoepoen orang jang berderadjat rendah.

Di sini suasana riang dan gegap gempita serta perasaan adanya kekuatan dan solidaritas di kalangan anggota SI dibentuk kembali dengan bayangan visual andong yang dihiasi dengan bendera SI, suara musik mungkin yang diputar lagu ‘Het Wilhelminus’ (lagu kebangsaan Belanda) — dan berulangkali digunakannya kata “semua” oleh Marco.

Ini adalah suasana vergadering, dengan suasana perayaan yang riang dan menyenangkan. Setiap pidato pasti mendapat sambutan hangat

Tetapi, ini bukan suatu perayaan yang biasa dilakukan orang Jawa. Satu hal, vergadering itu benar-benar modern. Musik, dan bukan gamelan, dibunyikan. Potret-potret dibuat. Orang-orang datang berpakaian sesuai seleranya — Jawa, Eropa, dan “Turki” (Arab).

Hal lain, vergadering itu begitu luar biasa karena tidak masuk ke dalam kerangka tata kolonial Jawa Belanda. Dalam sebuah vergadering yang diadakan pada saat kongres, misalnya, pemimpin-pemimpin SI — priayi pemerintah, orang particulier, dan pedagang-pedagang batik — duduk di kursi sejajar dengan pangeran dan pejabat tinggi kepatihan, bersilang kaki, merokok, mengobrol satu sama lain tanpa perlu jongkok dan sembah.

Dalam vergadering-vergadering lain yang diorganisir afdeling-afdeling SI pemimpin afdeling duduk di atas arena bersama-sama perwakilan hoofdbestuur SI dan afdeling-afdeling SI lainnya. Sementara itu, tamu-tamu seperti asisten residen, controleur, komisaris utama polisi, bupati, patih, dan beberapa jurnalis baik dari surat kabar Belanda maupun bumiputra, duduk di arena lain.

Pemimpin-pemimpin kring, pemimpin kelompok, dan pemimpin SI lainnya juga duduk di kursi-kursi yang telah disediakan untuk mereka. Orang-orang berdiri, menonton, dan mendengar. Kata sambutan dan penghormatan resmi dikumandangkan oleh pemimpin afdeling untuk penguasa setempat. Tidak ada maksud lain. Arena dikuasai oleh satria “dengan perlindungan pemerintah”.

Nada bicara mereka militan. Beberapa keluhan blak-blakan disampaikan kepada penguasa setempat. Kadang-kadang pegawai administrasi Belanda dan Jawa diserang. Solidaritas bumiputra juga dikumandangkan dalam nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat, dan status.

Buat kromo, pengalaman di vergadering-vergadering itu sama sekali baru, luar biasa, menggairahkan, dan aneh.

Kita bisa menggambarkan pengalaman itu begini. Bayangkan seorang petani di desa, mendengar kasak-kusuk tentang SI, lalu berjalan kaki bersama teman-teman dan sanak saudaranya ke tempat vergadering.

Di sana ia melihat dan mendengar hal-hal yang belum pernah diketahui ataupun disangkanya. Ia mengalami sebuah dunia baru di mana tata hierarki Jawa Belanda ditiadakan untuk sementara dan di mana pemimpin-pemimpin SI berlaku sejajar dengan pejabat-pejabat Belanda dan bumiputra sambil mengatakan kepada hadirin bahwa semua orang bumiputra bersaudara dan sama-sama manusia seperti orang Belanda.

Di tempat itu mereka membayar uang masuk, bergabung dengan SI, dan menerima kartu-kartu anggota. Kemudian mereka pulang dengan kartu anggota di tangan. Di rumah mereka bercerita tentang pengalaman yang luar biasa itu. Tetapi mereka tidak punya kosakata modern untuk mengungkapkannya.

Kosakata Belanda yang begitu sentral dalam kesadaran kaum muda sama sekali tidak bermakna bagi mereka. Reli disebut vergadering dan pidato disebut voordracht

Oleh karena itu, mereka mengungkapkan pengalaman baru yang luar biasa dan aneh pada saat vergadering dalam bahasa yang mereka kenal, termasuk bahasa Ratu Adil.

Dalam studi-studi tentang SI, sering dikemukakan penjelasan bahwa orang-orang mendatangi SI karena harapan-harapan “milenarian” dan “mesianik”. Akan tetapi, alur logis penjelasan itu kelihatannya terbalik. Justru pengalaman orang-orang pada saat vergadering yang tidak lazim dan aneh itulah yang menggerakkan bahasa Ratu Adil.

Dengan meluasnya SI, segala macam kasak-kusuk liar beredar. Datangnya Ratu Adil, perang, dan dibentuknya kekuasaan baru merupakan beberapa tema.

Di wilayah perkebunan-perkebunan swasta di Batavia, kasak-kusuk berbunyi bahwa dalam waktu dekat semua tanah· yang dikuasai orang timur asing (perkebunan swasta yang dikuasai orang Tionghoa) akan dikembalikan kepada orang bumiputra. Selanjutnya, dalam perang mendatang semua orang Tionghoa akan mati terbunuh dan orang Eropa akan diusir dari Jawa.

Di Banyumas, kasak-kusuk beredar bahwa orang Jawa yang bukan anggota SI tidak akan mendapat pertolongan kalau mereka berada dalam kesulitan selama perang antara raja Jawa dan raja Belanda.

Dan saat jumlah anggota SI sudah cukup maka SI akan membuat hukum-hukumnya sendiri dan anggota SI tidak perlu lagi tunduk pada hukum negeri.

Di tempat lain, orang-orang yang telah bergabung dengan SI menolak melaksanakan kerja wajib untuk negara dan bersikap “tidak pantas” terhadap pegawai-pegawai Belanda dan bumiputra.

Di tempat lain lagi, semangat keagamaan Islam mendadak tinggi dan orang-orang yang datang sembahyang Jum’at juga rnakin banyak jumlahnya.

Anggota-anggota SI tidak mau lagi saling membantu dengan orang-orang yang bukan anggota SI atau mengundang mereka kalau ada acara slametan (kendurian). Pegawai agama desa yang bergabung dengan SI menolak melayani penguburan orang-orang yang bukan anggota Sl.” [Shiraishi, 1997, hal. 87 – 91]

Penjinakan SI dan Tjokro

Pertumbuhan SI yang semakin pesat mengelisahkan pemerintah kolonial Belanda, sehingga imperialis perlu mengambil tindakan untuk menjinakan organisasi ini.

Sebagaimana diungkap oleh Shiraishi, Belanda mencegah persatuan SI dengan tidak memberikan ijin legal kepada organisasi SI yang menyeluruh melainkan hanya SI-SI lokal.

Meskipun pemerintah kolonial memerbolehkan adanya organ pusat yang berfungsi sebagai pusat koordinasi namun secara logis organ ini tidak memiliki kekuatan hukum untuk berhadapan dengan SI-SI lokal. Kemudian pemerintah kolonial menancapkan intervensinya dengan menugaskan pejabat kolonial orang Belanda untuk “membimbing” SI.

“Sejak awal 1913, pemerintah Hindia mengamati ekspansi SI dengan penuh perhatian. Gubemur jenderal Idenburg menggerakkan semua aparat pemerintah untuk mengawasi dan mengumpulkan informasi tentang SI sambil tetap membiarkan keputusan pemerintah tentang SI mengambang.

Namun menjelang akhir Juni 1913, posisi ini makin sulit untuk dipertahankan SI tumbuh terus dengan kecepatan mengagumkan, dan “kebingungan” serta “ketidakteraturan” yang muncul di pinggiran gerakan SI semakin keluar dari jangkauan kontrol baik pimpinan pusat maupun afdeling SI. Masyarakat Eropa makin gelisah dan Suiker Syndicaat yang penuh kuasa menuntut gubernur jenderal membubarkan SI.

Pegawai administratif Belanda dan Jawa marah karena SI “mengguncang” kewibawaan mereka dan mengacaukan “rust en orde’ yang sangat mereka hargai. Oleh karena itu, mereka kemudian melakukan intervensi ke afdeling-afdeling SI.

Pada 30 Juni pemerintah Hindia akhirnya mengambil keputusan mengenai status hukum bagi SI. Keputusan itu menolak permintaan SI akan pengakuan hukum anggaran dasarnya dan menolak juga pemberian status hukum sebagai perkumpulan.

Sebagai gantinya, pemerintah menunjukkan sikapnya kepada pemimpin pusat SI bahwa mereka siap memberikan pengakuan hukum bagi SI-SI yang didirikan di tingkat lokal yang membatasi wilayah kegiatannya pada daerah tertentu.

Juga dijelaskan bahwa pemerintah tidak menolak dibentuknya badan sentral untuk kerja sama dan koordinasi antara SI-SI lokal.

Untuk melangsungkan transformasi afdeling-afdeling SI menjadi SI-SI lokal, wakil sekretaris satu dari pemerintah memberi instruksi kepada residen-residen agar mengizinkan kepada afdeling-afdeling SI untuk mengadakan vergadering dan tidak melarang kegiatan SI.

Dr. Rinkes, yang sekarang ditunjuk menjadi penasehat urusan bumiputra, menggantikan Dr. Hazeu, ditugaskan membimbing SI di jalan yang dipilih pemerintah. SI mencapai titik balik yang baru lagi dalam transformasinya.

Keputusan pemerintah tanggal 30 Juni disampaikan secara resmi oleh residen Surakarta kepada wakil-wakil Centraal Comite SI pada 10 Juli.

Pada hari yang sama, Centraal Comite SI mengadakan rapat umum SI afdeling dan menerima keputusan pemerintahan serta mengubah SI afdeling menjadi SI lokal. Tugas menyusun anggaran dasar baru bagi SI Iokal diserahkan kepada Tjokroaminoto.

Rinkes hadir pada pertemuan itu dan menawarkan bantuannya dalam penyusunan anggaran tersebut. Tawarannya ditolak karena Soewardi menentangnya dengan hebat. (Catatan penulis: Soewardi adalah Soewadi Surjaningrat, pemimpin SI Bandung, yang merupakan juga salah satu pemimpin Indische Partij bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker).

Hadirin kemudian malah mengambil keputusan untuk meminta bantuan Mr. Bijl, seorang pengacara di Semarang, untuk merumuskan anggaran dasar tersebut. Ketika menyusun anggaran itu, A.J.N. Engelenberg, bekas residen Bangka yang mengenal Tjokroaminoto pada awal 1913 ketika menyusun laporan yang mendalam tentang SI untuk gubernur jenderal, membantu Tjokroaminoto secara pribadi.

Rancangan anggaran kemudian disusun dan diserahkan secara informal kepada sekretaris pemerintah di akhir Oktober. Vergadering-vergadering mulai dilaksanakan pada akhir 1913 untuk mengubah SI afdeling menjadi SI lokal.” [Shiraishi,1997, hal. 94 – 95]

Transformasi SI menjadi organ yang dikendalikan pemerintah kolonial terjadi bersamaan dengan tampilnya Tjokroaminoto sebagai pemimpin SI pusat (CSI = Centraal Sarekat Islam) yang berkooperasi dengan pemerintah kolonial tersebut.

Dampak penjinakan tersebut membuat lenyapnya semangat dan harapan rakyat terhadap SI. Surat kabar yang memuat tulisan-tulisan Tjokro menjadi tidak bernilai, dan juga vergadering-vergadering ditinggalkan seperti “orang abis nonton wayang”, istilah sebagaimana yang digunakan Shiraishi.

“Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, SI tidak lagi seperti dulu. Seperti kita lihat, perluasan SI yang luar biasa pada paro pertama 1913 pada dasarnya dilandaskan pada solidaritas di kalangan bumiputra yang diungkapkan melalui surat kabar dan vergadering, yang makin dipertajam oleh suara yang militan, meyakinkan, bersemangat, dan menyenangkan dari para pemimpinnya.

Ketika orang-orang sudah terbiasa dengan suara itu, surat kabar dan vergadering tidak lagi menggerakkan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan bumiputra.

Kaum muda tetap membaca surat kabar dan mungkin tertarik pada pergerakan. Tetapi tulisan-tulisan Tjokroaminoto tidak lagi dianggap cemerlang dan luar biasa.

Suara yang lebih militan, meyakinkan, dan bersemangat dilontarkan oleh Marco, dan suara yang lebih terhormat dikeluarkan oleh pemimpin-pemimpin BO (Boedi Oetomo – Penulis). Kromo tidak lagi hadir dalam vergadering-vergadering.

Pada awalnya vergadering menjadi pengalaman yang unik, luar biasa, dan baru bagi mereka. Tetapi, sekali mereka mengenal apa sebenarnya vergadering itu, semuanya menjadi biasa saja, dan mereka tidak lagi membicarakannya.

Tentu saja mereka ingat kegairahan di masa sebelumnya dan uang yang mereka bayarkan kepada SI. Mereka masih menyimpan kartu anggota, dan kalau ada kesulitan segera menghubungi SI lokal untuk minta bantuan. Namun, bagi kebanyakan di antara mereka, SI telah menjadi bagian dari masa lalu.

Meminjam ungkapan ketua SI Semarang yang pernah digunakan untuk menggambarkan ambruknya BO, orang-orang meninggalkan SI seperti ‘orang abis nonton wajang’.” [Shiraishi,1997, hal. 103 – 104]

Tampilnya Marco dan Asal-Usul Perpecahan SI

Konflik antara kelas tertindas versus kelas penindas, proletariat vs borjuis, merupakan esensi sistem kapitalisme.

Demikian hal itulah fenomena yang sesungguhnya terjadi.

Sepandai-pandainya atau selicik-liciknya imperialis membuat skenario atau starategi dan taktik pengendalian gerakan rakyat tetap ada saja ada limitnya. Demikian pula yang terjadi dalam SI.

Penundukan pemimpin SI oleh pemerintah kolonial tidak mencegah munculnya suara-suara lantang dari yang lain. Di sinilah tampil Marco Kartodikromo sebagai kontrasnya Tjokro di dalam SI. Sementara Tjokro menurut pada arahan pemerintah kolonial, Marco berhadapan dengan pemerintah kolonial dan melontarkan serangan.

Meskipun Marco akhirnya ditangkap dan dipenjara karena delik pers (suatu hal yang disyukuri oleh para pemimpin CSI) namun fenomena munculnya Marco memerlihatkan potensi perpecahan dalam SI yang didasari atas dua sikap yang berbeda: berkooperasi atau ber-non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial di mana Marco merintis sikap oposisi dalam perjuangan modern terhadap imperialis.

Dua sikap ini kemudian mewarnai terus politik di Indonesia hingga masa kemerdekaan.

Munculnya Marco sebagai figur yang menentang dan dipenjara pemerintah kolonial menarik kaum komunis untuk menindaklanjuti momen tersebut untuk melakukan perorganisasian kekuatan anti-imperialisme.

“Dengan demikian, SI di bawah Tjokroaminoto bagai tong kosong nyaring bunyinya. Walaupun keanggotaannya terus bertambah dan membengkak, menenggelamkan BO dan Insulinde, tetapi tidak ada gagasan dan gaya yang baru dari Tjokroaminoto.

la tetap sebagai satria di bawah perlindungan pemerintah. Tetapi dunia dan zaman terus bergerak, berubah cepat menuju akhir Perang Dunia l.

Kesadaran kaum muda juga berubah seiring dengan itu.

Di luar SI BO, yang menonjolkan isu Indie Weerbaar, sukses mengkampanyekan perwakilan rakyat dan mengubah dirinya menjadi partai politik priayi pemerintah.

Dari dalam SI, Marcolah yang menyuarakan dan bertindak seperti apa seharusnya seorang pemimpin pergerakan dalam dunia dan zaman baru yang akan tiba.

…Marco menampilkan dirinya dengan jelas. Rinkes adalah orang yang membantu Tjokroaminoto mendominasi SI dan kemudian menjinakkan SI demi kepentingan pemerintah Hindia.

Welvaartscommissie adalah simbol penting bagi Politik Etis. Dengan mengkritik Rinkes dan anggota Welvaartscommissie, Marco sebenarnya sudah melancarkan “perang suara” melawan pemerintah Hindia dan Tjokroaminoto yang telah jatuh ke tangan mereka. …

Kekhasan Marco, ia dengan terus terang menjelaskan semua itu. la tidak menunggu, seperti yang dilakukan Tjokroaminoto ketika bertemu dengan gubernur jenderal Idenburg, orang Belanda itu mengajak dia dan teman-teman bumiputranya untuk duduk sebangku, sambil mengatakan ‘Kita semua manusia.’

Tidak seperti Tjokroaminoto, seorang satria ‘di bawah perlindungan pemerintah’ yang hanya perlu membuka suara, Marco harus ‘berteriak’ dan menyerang pemerintah sebagai satria sejati.

Namun anehnya, ia punya satu kesamaan dengan Tjokroaminoto dan kaum muda umumnya, karena yang jadi soal dengan “berteriak” adalah suara, bukan tindakan. Saat itu masih masa bersuara; masa bertindak belum tiba.

… Akhirnya, pada awal 1915 saat itu pun tiba. Ia dituntut karena persdelicten setelah menerbitkan empat surat pembaca dalam Doenia Bergerak. Keempat surat itu sebenarnya tidak berbeda jauh dari surat-surat lain yang dimuat dalam Doenia Bergerak atau surat kabar lainnya. Yang berbeda adalah sikap Marco.

Ia bertanggung jawab penuh terhadap tulisan-tulisan dalam Doenia Bergerak dan dengan tegas menolak menyingkap identitas para penulisnya kepada penguasa.

Di landraad, ia dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Ia naik banding ke pengadilan. Pemimpin CSI bersyukur dengan dihukumnya Marco.

Dalam Oetoesan Hindia ditulis “Sjoekoer kepada Allah” dengan adanya hukuman itu.

Namun, pertolongan datang dari Insulinde dan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging), yang didirikan Henk Sneevliet pada Mei 1915.

Saat itu ISDV masih merupakan klub debat kaum sosialis Belanda yang kecil. Sneevliet yang ingin mencari jalan untuk mempengaruhi bumiputra mengambil inisiatif memprotes hukuman terhadap Marco dan peraturan pers di Hindia.

Untuk mencapai tujuan itu, ia mengorganisir vergadering di Semarang pada Juli dan membentuk sebuah komite bersama D.J.E. Westerveld dari ISDV, G.L. Topee, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Kessing dari Insulinde.

Dalam vergadering bulan Juli itu Marco menyatakan, ‘Saya berani bilang selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia.’

… Setelah keluar dari penjara Marco bergabung dengan SI Semarang sebagai komisaris dan tidak kembali ke Surakarta sampai akhir 1924. Di masa selanjutnya, pergerakan ternyata tumbuh kembali di Surakarta, kali ini bukan di bawah panji-panji SI, tetapi di bawah Insulinde yang dipimpin oleh Haji Mohammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.” [Shiraishi, 1997, hal. 107, 113 – 122]

Meski kaum komunis (yang dipimpin Henk Sneevliet dalam ISDV) tidak menempati posisi penting dalam parlemen negara induk di Belanda, namun mereka memainkan peranan yang sangat penting dalam pengorganisasian rakyat tertindas di daerah jajahan.

Hal ini sesuai dengan arahan komunis internasional yang mendorong aliansi anti-imperialis bersama dengan kelas-kelas progresif (buruh, petani, borjuis nasionalis) di daerah jajahan.

Terutama setelah revolusi 1917 di Rusia, komunis internasional (Internasional Ketiga) yang dipimpin Lenin melihat peluang melakukan revolusi di negeri dengan kapitalismenya yang masih terbelakang. Lenin mengajukan teori rantai terlemah (weakest chain) kapitalisme justru berada pada negara-negara dunia ketiga yang terbelakang.

Selama masa penjaranya Marco, pergerakan mengalami transfomasi yang signifikan dalam kualitas perlawanannya.

Basis pengorganisasian massa dalam periode setelah 1917 adalah serikat-serikat buruh dan bentuk perlawanan yang muncul menggantikan boikot adalah mogok, sebagaimana yang disaksikan Shiraishi.

Di dalam SI sendiri hadir seorang kader komunis, Semaoen, yang memainkankan peranan penting dalam transformasi organisasi di kemudian hari.

“Selama Marco mendekam dalam penjara di Weltevreden pada 1917, pergerakan mulai menunjukkan tanda-tanda terjadinya regenerasi.

Antara 1917 dan 1920, dunia berubah dengan cepat dan zaman mulai terasa bergerak. Perang Dunia I memasuki tahap terakhir, mencapai titik usai, dan dunia pasca perang pun muncul.

Pada tahun-tahun ini, pergerakan mengalami transformasi yang mendalam.

Jika zaman awal SI ditandai oleh vergadering-vergadering, kini merupakan zaman pemogokan, di mana pemimpin-pemimpin baru dan pusat-pusat pergerakan bermunculan.

Di dalam SI, seorang aktivis ISDV muda, Semaoen, muncul sebagai pemimpin Sl Semarang dan VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel) dan ‘raja mogok’, Soerjopranoto, muncul sebagai pemimpin SI Yogyakarta dan PFB (Personeel Fabriek Bond), sambil mengganggu dan terus mengurangi dominasi Tjokroaminoto di CSL.

Tanpa SI, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Haji Mohammad Misbach memimpin lnsulinde/NIP-SH {Nationaal lndische Partij-Sarekat Hindia), penerus IP di Surakarta, sebagai kekuatan pergerakan ‘revolusioner’ dan memberi contoh seperti apa sebenarnya pergerakan yang ‘revolusioner’ itu.” [Shiraishi, 1997, hal. 123]

Perpecahan SI, Tampilnya Agus Salim, dan SI Merah

Hadirnya warna merah dalam SI mengubah hubungan imperialis Belanda terhadap Islam politik di Indonesia.

Jika dalam masa eksisnya kerajaan-kerajaan Islam pesisir nusantara, Islam politik berlawanan dengan imperialis hingga perang yang terakhir dengan kerajaan Aceh, maka pada abad kedua puluh Islam politik bergandengan tangan dengan imperialis.

Ini suatu fenomena yang mendasari tesis Samir Amin yang ditemui baik dalam hubungan Islam politik di wilayah Timur-Tengah dan India (Pakistan) dengan imperialis Inggris dan Amerika Serikat.

Di Indonesia Islam politik di awal abad keduapuluh yang tumbuh dalam SI tidak bermaksud mendirikan negara Islam independen, melainkan justru melanggengkan penjajahan; Islam politik menjadi instrumen pemerintah kolonial Belanda untuk melawan kaum komunis.

Strategi yang digunakan imperialis Belanda adalah menggunakan tokoh Islam, dalam hal ini muncul figur Haji Agus Salim, untuk mengarahkan haluan SI menjadi anti-komunis.

“Kongres CSI pada 1919 menjadi titik balik dari gerakan SI. Mulanya peristiwa Afdeling B dan pengawasan ketat terhadap SI-SI lokal Jawa Barat membuat para pengikut setia, orang-orang Arab, dan pedagang pribumi muslim putihan lari ketakutan dan akhirnya meruntuhkan basis kekuasaan Tjokroaminoto.

Tjokro juga kehilangan restu dari kaum etisi Belanda, dan masa kejayaannya sebagai Eenhoofdbestuur pun lenyap.

Alimin melontarkan perlunya “memurnikan” diri dalam pamfletnya Murnikan diri kita, yang ia bagikan saat kongres. Kemudian komite regional dibentuk.

Dengan suksesnya ‘perjuangan ekonomi’, serikat buruh menjadi komponen paling penting gerakan SI.

Kesuksesan itu juga menaikkan pamor Semaoen, ketua SI Semarang dan VSTP, dan Soerjopranoto, ketua SI Yogyakarta dan PFB.

Akan tetapi, yang kemudian berkembang sesudah kongres memertajam arti penting semua perubahan tersebut bagi pergerakan.

Pertama, runtuhnya basis kekuasaan Tjokroaminoto kian terpapar jelas. Hengkangnya banyak pengikut setia, seperti orang Arab dan pedagang muslim pribumi, membuat sumber keuangan Tjokro menipis.

Pada Mei 1920, simpanan CSI sudah kosong sehingga ia terpaksa ‘meminjamkan’ uang sebesar 2000 gulden bagi CSI. Namun anehnya, yang menjadi jaminan adalah mobil yang ia beli seharga 2800 gulden sebagai bendahara untuk dirinya sendiri sebagai ketua.

Kedua, kebutuhan untuk “memurnikan” SI yang dilontarkan dalam kongres telah diterjemahkan menjadi usaha mendisiplinkan partai (partijtucht).

Usaha ini merupakan proyek memperbesar kontrol CSI atas SI-SI lokal dan anggota-anggota biasa. Caranya adalah dengan mengorganisir komite regional dan melatih kader-kader (wargo roemekso) yang loyal pada CSI.

Jika usaha ini sukses SI akan beralih menjadi partai kader yang terorganisir baik, sekaligus memperbaiki lagi posisi kepemimpinan Tjokroaminoto. Akan tetapi, usaha ini ternyata tidak berhasil.

Meskipun komite-komite regional sudah dibentuk di beberapa keresidenan, pada dasarnya CSI tetap menjadi tempat berkonsultasi bagi ketua-ketua dan wakil ketua-wakil ketua SI lokal tanpa ada usaha mendisiplinkan, dan mengontrol SI-SI lokal, dan bahkan secara finansial CSI secara total bergantung pada SI-SI lokal tersebut.

Selain itu, juga tidak ada usaha yang cukup serius untuk melatih kader-kader, selain yang pernah secara singkat dilakukan di Garut. Ini pun tidak sukses. Malahan sebaliknya, komponen partijtucht yang lain menjadi lebih penting. Hal ini tidak pernah dinyatakan secara terbuka.

Ternyata selain gagasan partijtucht, yaitu memperkuat kontrol CSI atas SI-SI lokal, yang juga penting adalah gagasan bahwa SI-SI lokal dan anggota-anggota biasa harus tetap berada dalam batas-batas rust en orde-nya kolonial. Tujuannya adalah memperbaiki kredibilitas CSI pimpinan Tjokroaminoto di mata kaum etisi Belanda Buitenzorg.

Maksud ini memunculkan persoalan, apa yang harus dilakukan terhadap ‘communist’, khususnya SI Semarang pimpinan Semaoen dan Darsono.

Dalam konteks persoalan inilah tampil seorang H. Agoes Salim, arsitek utama strategi CSI baru. Salim menanjak jadi komisaris CSI dan adviseur kunci Tjokroaminoto pada kongres CSI tahun 1919 bukan karena mengontrol satu basis organisasi yang kuat, tetapi karena hubungan personalnya yang ekstensif dan begitu sempurna dengan kaum etisi Belanda.

la adalah mantan anak didik C. Snouck Hurgronje, penasihat untuk Urusan Bumiputra yang pertama. Atas rekomendasi Snouck, ia bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah pada 1905-1912 dan fasih berbahasa Arab sehingga sangat mengesankan para ulama dan kiai.

Kemudian ia bekerja sebagai staf Volkslectuur pimpinan Dr. Rinkes, pengganti Snouck, pada 1917-1919. Salim sendiri adalah satu-satunya anggota SI yang ditunjuk untuk masuk dalam komisi Carpenter Alling untuk reformasi konstitusional negara Hindia.

Salim juga sudah memiliki akses ke beberapa birokrat Belanda papan atas, seperti W. Muurling, bekas kepala Dinas Intelijen Politik (PID) dan wakil pemerintah dalam Volksraad; D. Talma, direktur keuangan yang kemudian menjadi ketua Sindikat Gula; dan R. A. Kern, wakil Penasihat Urusan Bumiputra, yang menggantikan posisi Hazeu pada awal 1920.

Si “jenius” yang lulus nomor tiga di kelasnya di HBS Batavia tahun 1904 ini secara fundamental selaras dengan pemikiran etis Belanda.

Sesudah kongres tahun 1919, bersama dengan Hasan Djajadiningrat, ia mencoba membangun koalisi anti-PKl/Sl Semarang dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh utama dan membimbing SI dengan basis Islam.

Langkah pertama diambil pada 1920 ketika Tjokroaminoto dan Salim mengadakan perjanjian dengan pemimpin sentral Moehammadijah untuk saling menolong.

SI ‘bergerak’ di lapangan politik dan Moehammadijah di bidang agama, pendidikan, dan sosial.

Tidak lama sesudah itu, Moehammadijah merevisi anggaran dasarnya. la memperluas aktivitasnya ke luar Keresidenan Yogyakarta, dan akhirnya organisasi ini rnenjadi kekuatan utama kaoem poetihan dalam koalisi anti PKl/SI Semarang.

Ketiga, persaingan antara Semaoen serta pemimpin VSTP Semarang lainnya dan ketua PFB Soerjopranoto semakin tajam sesudah kongres CSI tahun 1919.

PFB kemudian menjadi kekuatan utama koalisi anti-PKl/SI Semarang pada awal 1920. Peletup persaingan sengit itu adalah pembentukan federasi serikat buruh, PPKB (Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh), yang disetujui pada kongres CSI tahun 1919.

Pertemuan untuk mendirikan PPKB ini diadakan pada Desember 1919 di Yogyakarta. Meskipun Soerjopranoto mengira akan terpilih sebagai ketua, ia segera dikalahkan oleh Semaoen.” [Shiraishi, 1997, hal. 297 – 301, italik oleh penulis]

Fungsi Agus Salim sebenarnya menyerupai fungsi Rinkes sebelumnya yakni untuk membina SI agar sejalan dengan kepentingan imperialis.

Singkat kata itu adalah pekerjaan agen imperialis.

Kehadiran Agus Salim semakin memerjelas perpecahan ideologi dalam SI.

Islam bertentangan dengan komunis yang ateis, meskipun dalam praktik adalah Tjokro yang menjadi corong ideologi yang mengumandangkan pandangan ini.

Dengan demikian dalam politik di Indonesia asal-usul penggunaan agama (Islam) sebagai oposisi terhadap komunisme di mulai dari sini dan tidak dapat dipisahkan dari rekayasa imperialis.

Kita dapat melihat hasil pertarungan ideologis kedua kubu dalam SI pada dukungan massa rakyat.

Karena kini basis kekuatan real SI berada pada serikat-serikat buruh, maka pertarungan politik yang sesungguhnya berada dalam pencarian dukungan serikat-serikat buruh.

Hasil pertarungan ini dimenangkan oleh kaum komunis yang dibuktikan dengan diperolehnya dukungan buruh kepada mereka.

Shiraishi menjelaskan bagaimana proses pertarungan pengaruh kedua kubu tersebut sebagai berikut:

“Perkembangan selanjutnya terus menunjukkan kehancuran sisa-sisa basis kerja sama antara PKI dan pemimpin CSI. Ini salah satunya disebabkan oleh meningkatnya pengaruh komunis dalam gerakan serikat buruh.

Naiknya pengaruh komunis ini tidak hanya akibat hijrahnya propagandis serikat buruh, khususnya propagandis PFB dan PPPB (Perserikatan Pegawai Penggadaian Boemipoetra – Penulis), ke PKI, akan tetapi terlebih-lebih disulut oleh langkah-langkah ekonomi Fock yang menimbulkan rasa tidak aman di kalangan buruh.

Rencana rasionalisasi pemerintah yang diumumkan pada 1922 — PHK buruh-buruh ‘yang tidak diperlukan’, pemotongan upah, tunjangan kebutuhan pokok tunjangan rumah, dan tunjangan-tunjangan lainnya — telah menggelisahkan buruh, terutama pegawai-pegawai negara. Mereka mendesak pemimpin serikat buruh dan propagandisnya untuk mengadakan aksi.

Semaoen dan propagandis serikat buruh PKI lainnya mengambil kesempatan dengan adanya ketidakpuasan dan rasa tidak aman mereka.

Tetapi, VSTP telah kehilangan lebih dari setengah anggotanya ketika Semaoen tidak berada di Hindia sejak Oktober 1921 sampai Mei 1922 dan kepemimpinannya berantakan sesudah pembuangan Bergsma bulan Februari.

Sekembalinya Semaoen dari Rusia pada akhir Mei, Semaoen mengadakan tur propaganda dari Juni sampai Agustus, mengorganisir pertemuan dan rapat-rapat umum VSTP dan mengajak konsolidasi kekuatan organisasi.

Tur itu ternyata sangat sukses. Buruh-buruh kereta api, khususnya jawatan kereta api negara, kembali menjadi anggota VSTP.

Kekuatan lamanya baik dalam keanggotaan maupun dalam keuangan kembali. Bangkitnya VSTP dibarengi dengan meningkatnya kekuatan komunis di serikat-serikat buruh lainnya.

Sarekat Postel pimpinan Salim jatuh ke tangan Soedibjo, pemimpin Sl/VSTP PKl/Semarang. PFB di Semarang juga dibangun kembali pada 1922 oleh Soedibjo dan Ngadino (bekas konsul PFB).

Sebaliknya pemimpin-pemimpin CSI semakin memfokuskan kegiatan diri pada persatuan Islam yang salah satu contohnya bisa dilihat pada diri Tjokroaminoto.

Setelah dibebaskan pada April 1922, ia tidak kembali ke Yogyakarta, tetapi mendirikan markas gerakan di Kedung Jati, suatu kola kecil yang secara strategis merupakan titik temu dua jalur kereta api, yaitu Semarang dan Yogyakarta, dengan mengajak Soerjosasmojo (bekas sekretaris SI Madiun dan redaktur Islam Bergerak).

Di tempat ini, ia membangun basis organisasinya sendiri yang independen dari Moehammadijah.

Pada pertengahan 1922 muncul satu gerakan yang bermaksud memperbaiki PPPB dengan mendirikan Comite Pembangoenan Persatoean oleh Soerjopranoto, Soerat Hardjomartojo, Djajengsoedarmo, dan beberapa propagandis PPPB lainnya.

Tjokroaminoto memanfaatkan gerakan ini dan kemudian mengembalikan PPPB di bawah kepemimpinannya pada Agustus. Ia membatalkan keputusan yang dibuat pada pertemuan PPPB pada Februari tentang pemecatan seluruh anggota PPPB yang tidak mogok.

Anggota dan aktivis PPPB yang sudah dikeluarkan ini ketika itu masih tetap aktif di SI-SI lokal. Ia mengimbau bergabungnya kembali buruh-buruh pegadaian demi persatuan. Mengajak buruh pegadaian masuk PPPB lagi terbukti merupakan suatu manuver yang cerdik karena berarti berusaha mengikat lagi bekas propagandis PPPB yang sebenarnya tetap aktif di SI-SI lokal.

Tetapi, manuver ini ternyata tidak berhasil. Hancurnya pemogokan itu masih segar dalam ingatan mereka. Buruh-buruh pegadaian tersebut tidak begitu antusias untuk berserikat.

Di samping itu, sudah banyak propagandis PPPB termasuk dua sekretaris komite sentral (Soerat Hardjomartojo dan Djajengsoedarmo), yang menjadi anggota PKI. Tjokroaminoto tidak sukses menarik PPPB ke basisnya dan ia segera kembali ke markas CSI Yogyakarta.

Kemudian Tjokroaminoto beralih ke Islam.

Pada September, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemipoetra dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam.

Ia juga muncul sebagai ketua kongres Al Islam yang diadakan oleh Salim, Fachrodin, dan ketua Al lrsjad, Moehamad Soerkati, di Cirebon pada 31 Oktober sampai 2 November.

Seperti yang didefinisikan Salim, arti penting kongres tersebut ialah satu usaha ‘mendorong persatoean segala golongan orang Islam di Hindia dan atau orang Islam seloeroeh doenia dan bantoe-berbantoe’ dan melihat Kemal Ataturk sebagai pemimpin teladan, yang bekerja demi persatuan Islam, yang menurut Salim sama dengan ‘Pan-lslamisme’.

Kongres Al Islam ini menandai munculnya Tjokroaminoto sebagai tokoh persatuan Islam. Kemudian, ia memulai tur propagandanya, mengunjungi banyak SI lokal yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan dan mengadakan rapat-rapat umum dan pertemuan SI lokal.

Dalam pidatonya, ia mengemukakan dua hal pokok.

Pertama, SI itu berdasarkan agama Islam, dan karena komunis ‘tidak percaya pada Tuhan dan tidak mengakui agama Islam,’ ia menyatakan, komunisme tidak sesuai dengan SI.

Disiplin partai yang disepakati pada kongres CSI Oktober 1921 karenanya harus dipertahankan dan lebih jauh diperkenalkan kepada SI-SI lokal.

Kedua, ia mengemukakan gagasannya tentang Partij Sarekat Islam (PSI), yang didukung oleh kader-kader (wargo roemekso) yang loyal pada hoofdbestuur.

Organisasi wargo roemekso merupakan ide yang ia kemukakan sesudah kongres CSI 1919 untuk memperkuat kontrol CSI atas SI-SI lokal.

Sekarang ide itu muncul kembali sebagai bahan baku untuk membentuk PSI sebagai partai kader SI yang merupakan suatu gerakan massa yang sudah mati, yaitu SI.

Menanggapi kongres CSI Madiun, hoofdbestuur PKI mengadakan kongres PKI dan SI Merah pada awal Maret 1923 di Bandung dan Sukabumi. Semaoen mengetuai kongres itu. Enam belas afdeling PKI dan 15 dari 20 SI Merah mengirimkan delegasinya.

Ada dua hal penting yang patut dicatat dari kongres tersebut.

Pertama, PKI sekarang menampilkan dirinya sebagai partai yang bekerja untuk kepentingan rakyat Hindia yang ‘sesungguhnya’ dan menyerang ‘SI Tjokro’.

Semaoen menyatakan bahwa CSI ‘ada dibawah pengaruh kapital’ (baca: uang) dan mengatakan:

‘Bagaimanapun masih kecilnya partai ini, ia sudah disegani oleh musuh, dan banyak pemimpin kita yang benar-benar dibuang. Partai ini masih kecil dan hanya terdiri dari 200 orang anggota.

Kendatipun demikian, partai kita sudah diserang karena tujuan partai kita benar-benar mengacu pada kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Karena itulah, partai ini akan selalu mendapat tempat di kalangan rakyat . . . Semangat komunisme telah tertanam di hati rakyat.

Tujuan kita bukanlah mengikuti jejak anarkisme, tetapi jalan menuju komunisme yang sesungguhnya.’

Inti dari pidatonya, Semaun menekankan bahwa PKI merupakan partai ‘yang ditakuti musuh’.

Partai ditakuti dan diserang musuh, bukan karena partai itu anarkis, tetapi karena ‘semangat komunisme’.

Semangat ini membawa partai untuk bekerja demi ‘kepentingan rakyat sesungguhnya’ Hindia dan, seperti yang dikatakan Soekindar dalam pidatonya, untuk menciptakan ‘doenia baroe’.

Ketua SI Sukabumi, Sardjono menyerang Tjokroaminoto menjadi ‘tidak murni’.

Dan seperti kita akan lihat selanjutnya secara lebih detil, Misbach, yang untuk pertama kalinya muncul sebagai seorang propagandis PKI dan SI Merah, menjelaskan bahwa prinsip dasar komunisme adalah ‘sama rasa sama rata’, jadi cocok dengan Islam, dan menyerang Tjokroaminoto sebagai ‘ratjoen.’

Kedua, untuk menanggapi pembentukan PSI, PKI memperkenalkan perubahan organisasi yang cukup mendasar dalam keterkaitannya dengan SI-SI lokal. …

Dalam pengamatan McVey, keputusan ini mengubah total posisi PKI dalam gerakan massa: jika sebelumnya PKI bekerja sebagai salah satu bagian dalam gerakan massa sekarang ia secara terbuka menempatkan dirinya sebagai pemimpin gerakan massa.

Ide dasar dan daya penggerak partai ini sama dengan yang dipergunakan oleh Tjokroaminoto dalam PSlnya: partijtucht — penciptaan partai kader yang disiplin dan kohesif secara ideologis dan penempatan partisipasi masa di bawah komando partai.

Dengan diselenggarakannya kongres CSI di Madiun dan kongres PKI dan SI-Merah maka dimulailah zaman partai. Dan kedua partai PKl/SI Merah dan PSl/CSI, telah siap bersaing merebut hegemoni dalam arena pergerakan. ….” [Shiraishi, 1997, hal. 323 – 331]

Periode tahun 1920 – 1923 merupakan periode yang disebut Shiraishi sebagai zaman reaksi, namun juga merupakan zaman partai (Shiraishi, 1997, hal. 295).

Dalam periode tersebut pemerintah kolonial meningkatkan represi terhadap gerakan baik terhadap yang “hijau” maupun (terlebih-lebih) terhadap yang “merah”.

Pemerintah kolonial juga memberangus pemogokan-pemogokan buruh serta mengurangi anggaran pengeluaran (yang juga berkonsekuensi pada pengurangan jumlah pegawai pemerintahan).

Penggantian Gubernur Jenderal dari van Limbrug-Strium yang bergaya aristokrat liberal ke Dirk Fock yang bergaya otoriter.

Namun apakah hal demikian mengubah hubungan imperialis dengan Islam politik?

Memang sepintas lalu pemerintah kolonial melakukan pencidukan terhadap Tjokroaminoto pada 30 Agustus 2021, namun menurut Shiraishi penangkapan tersebut dapat dianggap sebagai bantuan untuk memulihkan citra Tjokro yang sudah jatuh akibat serangan Darsono perihal keuangan CSI. Penangkapan itu justru membuat Tjokro menjadi martir (Shiraishi, 1997, hal. 316).

Dalam suasana represi oleh pemerintah kolonial, persatuan dalam organisasi justru diperlukan, namun setelah kemunculan Agus Salim semakin menajam perpecahan yang dicirikan dengan pertentangan ideologis antara Islam vs komunisme.

Akan tetapi pertarungan dimenangkan oleh komunis; massa memihak kepada PKI. Pada akhirnya agaknya orang pun paham pihak mana yang sungguh memerjuangkan nasib mereka.

Dalam hal ini rakyat tampaknya paham bahwa agama hanya digunakan sebagai kedok belaka, sebagaimana yang diamati oleh Shiraishi:

“Hoofdbestuur CSI telah meninggalkan gerakan serikat buruh sesudah kalahnya pemogokan buruh pegadaian. PSI/CSI tidak pernah lagi berhasil mendapatkan kembali lahan yang telah ditinggalkan CSI.

Sedang PKI/SI Merah justru bisa menyelamatkan diri dari penghancuran atas pemogokan buruh kereta api sehingga bisa berjaya melampaui pesaingnya, yaitu PSl/CSI, dalam menancapkan hegemoni dalam pergerakan pada akhir 1923 dan awal 1924.

Alasannya barangkali sederhana saja dan sebenarnya baik kegagalan PSI/CSI maupun kesuksesan PKI/SI Merah itu merupakan dua sisi dari fenomena yang sama.

PSl/CSI terhenti perkembangannya karena mereka yang masih berani melawan pemerintah dan kapitalisme menganggap seruan persatuan Islam (pan-lslamisme) dari PSl/CSI itu hanya kedok belaka.

Mereka dianggap menggunakan samaran Islam untuk mundur dari kancah pergerakan. Dalam hal ini. kampanye PKI melawan PSI/ CSI terbukti efektif PKI menyerang Tjokroaminoto karena mengtjokro-nya {penggelapan uang), Salim sebagai bekas mata-mata PID dan haji londo (haji Belanda), dan Moehammadijah sebagai Djamiat’oel Chasanah, cabang keagamaan dari Politiek Economische Bond yang didanai oleh sindikat gula.

Di lain pihak seruan PSI/ CSI untuk persatuan Islam dan kampanyenya melawan PKl/SI Merah (‘Komunis tidak percaya Allah dan tidak mengakui agama Islam’) tidak terlalu berarti keberhasilannya.

Kampanye ini hanya bisa menarik kaum putihan. Sedangkan Islam yang militan bergabung dengan Misbach dalam serangannya kepada ‘SI Tjokro’ dan ‘MD’ (Moehammadijah) yang dianggapnya ‘palsu’ dan ‘moenafik’.

Pegawai-pegawai agama, ulama, dan kiai kalau tidak menjauhi PSl/CSI, mereka bergabung dengan Djamiat’oel Chasanah.

Rencana PSl/CSI menunjuk propagandis dan mengorganisir cursussen untuk warga roemeksa tidak pernah terealisir. Cursusboek-nya, Pembrita PSI, berhenti terbit dan Tjokroaminoto harus menutup markasnya di Kedungjati pada akhir tahun 1923 karena kesulitan uang.

Darsono mengatakan dengan penuh rasa kemenangan, bahwa PSl/CSI pada pertengahan tahun 1924, ‘tidak lagi mempunyai organisasi, tanpa alat organisasi, tidak punya administrasi, dan tidak punya kantor, dan tidak dapat menyelenggarakan kongres.’

Oleh karena hampir secara total bergantung pada Moehammadijah untuk kelangsungan baik organisasi maupun keuangan, tak pelak organisasi itu telah beralih menjadi senjata politik Moehammadijah.

Sukses PKI adalah sisi lain dari fenomena itu. PKI dan SI Merah sukses mengajak mereka yang masih berani melawan pemerintah.

Seruan ideologi komunisme diletakkan di nomor dua. ‘Mereka yang mau bergabung dan menjadi anggota adalah mereka yang berani, sebab mereka benar dan bukan pendjilat,’ adalah kalimat-kalimat yang ditekankan PKI dan SI Merah dalam rapat-rapat umum mereka.

Kekuatan utama yang banyak menyumbang kesuksesan PKI untuk tetap memperoleh dukungan massa adalah mereka yang baru bebas setelah 3 sampai 4 tahun dipenjara akibat keterlibatan dalam peristiwa Afdeling B di Jawa Barat, yaitu bekas-bekas PFB, VSTP, PPPB, dan aktivis serikat buruh lainnya.

Pada akhir tahun 1923 dan awal tahun 1924 mereka bekerja sebagai propagandis untuk PKI dan SI Merah. Mereka mendirikan lnformatie Kantoor di Jawa tengah, Semarang, Kendal, Madiun, Surakarta, dan Cirebon untuk ‘menolong penduduk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan membina ketidakpuasan mereka pada penguasa’.

Sekolah-sekolah SI, yang dipelopori Tan Malaka di Semarang pada 1921, didirikan lagi di Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Pati (semua di Keresidenan Semarang), Bandung dan Sukabumi (Keresidenan Priangan), serta Madiun dan Nganjuk lnformatie kantoor dan sekolah-sekolah SI itu, beserta’ kantor-kantor bekas serikat buruh yang sudah tidak aktif, bersama-sama menjadi pos terdepan propaganda PKI dan SI Merah.

SR-SR baru dibangun dan SI Merah kemudian beralih menjadi SR-SR. Di Jawa Tengah, pusat aktivitas komunis adalah kota merah Semarang.

Dari tempat inilah pengaruh komunis meluas ke wilayah sekitarnya sampai ke kota-kota kecil lainnya sepanjang jalur kereta api, dari Pali, Demak, dan Purwodadi ke timur; dari Salatiga, Boyolali, dan lebih jauh Madiun dan Nganjuk ke selatan; dan dari Pekalongan. Brebes. Tegal, dan Cirebon ke barat. Kemudian di Priangan, Jawa Barat. Bandung dan Sukabumi muncul sebagai pusat aktivitas komunis.

Jadi pada pertengahan 1924. PKI muncul sebagai kekuatan yang pengaruhnya melampaui PSl/CSI dan menjadi satu-satunya partai yang dengan jujur mampu menyatakan memiliki pengikut massa meskipun jumlahnya tidak sebesar SI tahun 1910-an.

Tetapi, yang harus dilihat bahwa persaingan intens di antara dua partai itu pada zaman reaksi ini telah menghasilkan transformasi mendalam pada pergerakan.

Satu hal pertarungan ideologi antara komunisme PKI dan lslamisme PSI/CSI menjadi terbuka.

PKI bersikap netral terhadap Islam. Mereka menyerang PSI/CSI karena mundur dari arena dan karena semakin beda ‘di bawah pengaruh kapital (uang)’.

Mereka menekankan takutnya kapitalis pada komunisme (‘Semangat komunisme membuat kaum kapitalis ketakutan’).

Tetapi, sebaliknya PSI/CSI menyerang mereka selalu dengan senjata ‘tidak beragama’. ‘Komunis tidak mempercayai Allah dan tidak mengakui agama Islam’ menjadi kata-kata yang klise.

Dengan berkembangnya PKI semakin banyak tersedia literatur komunisme berbahasa Melayu. …” [Shiraishi, 1997, hal. 334 – 337]

Apa yang telah diuraikan oleh Shiraishi tentang sejarah Sarekat Islam di atas memerlihatkan bahwa Islam politik cenderung memihak kepada pihak imperialis sementara menjauhi kepentingan rakyat.

Pada awal pendiriannya SI berlaku sebagai organisasi “tukang pukul”-nya pengusaha batik, di mana Islam dijadikan identitas yang membedakan mereka dengan pengusaha Tionghoa.

Di sini dampak politik tersebut menguntungkan imperialis dalam mencegah kemunculan borjuasi nasional yang kuat.

Setelah modernisasi organisasi, SI menghadirkan surat kabar dan vergadering-vergadering. Namun lama-kelamaan vergadering-vergadering itu pun ditinggalkan rakyat, seperti “orang habis nonton wayang”, karena Islam politik tidak memberikan tawaran perbaikan nasib rakyat yang signifikan.

Kemudian pada fase berikutnya ketika SI merambah ke dalam serikat-serikat buruh, Islam politik malahan meninggalkan kepentingan buruh untuk memfokuskan diri pada persatuan Islam.

Dalam kenyataannya Islam politik tidak dapat dikatakan representasi kehendak massa rakyat atau mayoritas umat Islam.

Ia hanya bagian kecil dari politik Islam (catatan: penulis membedakan antara “Islam politik” yang melayani imperialis dengan “politik Islam” yang lebih luas, yang memuat juga Islam kiri yang antiimperialis).

Semua riwayat tindak-tanduk Islam politik yang hadir dalam Sarekat Islam sudah terungkap faktanya dan sudah diuji dalam sejarah sebagai kegagalan.

Dan berbicara tentang ideologi, terdapat pendekatan yang mensintesis Islam dengan komunisme, yang dilakukan oleh Misbach; belum lagi bila kita menghitung Soekarno dengan konsep Nasakom-nya.

Semua itu memerlihatkan bahwa Islam politik yang diusung Tjokro dan Salim hanya merupakan bagian kecil dari politik Islam yang real eksis di Indonesia. (Catatan: penulis tidak memuat dalam artikel ini uraian sintesis teologi Islamnya Misbach dengan komunisme. Pembaca dapat menemukan uraian dan kajiannya dalam Shiraishi, 1997, Bab 7. Tetapi poin penting yang kami tekankan di sini ialah pemikiran Islam kiri yang antiimperialis itu ada di Indonesia dan berkontras dengan Islam politik).

Perkembangan SI Pasca-Elemen Merah Disingkirkan Pemerintah Hindia-Belanda

Perkembangan gerakan pasca penangkapan penyingkiran kaum komunis oleh pemerintah kolonial pada tahun 1926 diisi oleh politik Islam dan nasionalis. Ini sebenarnya situasi yang mirip dengan politik Indonesia pasca tahun 1965 sampai sekarang: ada Islam, ada nasionalis, minus komunis.

“Tahun 1927 juga mencatat pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Soekarno dan dengan demikian di Indonesia dimulailah sebuah partai yang menantang kedudukan Sarekat Islam ataupun kepemimpinan Islam umumnya dalam rangka pergerakan perjuangan kemerdekaan.

Posisi yang penting dari pemimpin-pemimpin PNI di dalam gerakan kemerdekaan menyebabkan terjadinya dua sayap di dalam lingkungan gerakan itu, yaitu nasionalis Islam di satu pihak, dan nasionalis yang netral agama di pihak lain.

Secara ideologi adanya kedua sayap ini dapat dicatat terus sampai masuknya tentara Jepang di Indonesia pada tahun 1942, dan dapat juga dikatakan sampai masa merdeka.

Tetapi periode ini mencatat pula realisasi dari persatuan semua partai-partai nasional, termasuk Sarekat Islam; malahan, sekurang-kurangnya untuk saat yang singkat, persatuan dari partai-partai, serikat-serikat sekerja dan organisasi-organisasi agama, semuanya.

Tetapi seperti dikatakan, hal ini tidak berlangsung lama. Sikap Sarekat Islam (dalam tahun 1930 namanya diubah menjadi Partai Syarikat Islam Islam Indonesia) terhadap pemerintah tetap bermusuhan. Politik Hijrah dijalankan dengan lebih tegas, walaupun dengan tidak terlalu konsisten.

Sebab partai bersama-sama dengan organisasi politik lain menuntut berdirinya suatu parlemen di Indonesia, yang berarti kerjasama (kooperasi) dengan pihak Belanda.

Masa yang kita bicarakan inipun juga mencatat pecahnya Sarekat Islam sendiri menjadi beberapa partai kecil, seperti Penyadar dan Komite Kebenaran PSII. Di samping itu partai baru, Partai Islam Indonesia, menyalurkan aspirasi dari banyak anggota organisasi pendidikan dan sosial Islam yang dahulunya disalurkan melalui Sarekat Islam.

Perhatian kepada Islam sebagai agama dalam pengertian yang sempit tidak berkurang. Tetapi dalam masalah ini Sarekat Islam hanya merupakan salah sebuah organisasi di antara organisasi-organisasi lain yang banyak. Ia tidak dapat lagi menyatakan dirinya menjadi wakil dari sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.” [Deliar Noer, 1982, hal. 154]

Yang menarik memerhatikan posisi kubu SI Tjokro dan Salim yang pada tahun 1930 telah bertransformasi menjadi Partai Syarekat Islam (PSI).

Dalam pergerakan posisi partai politik ditentukan dari sikapnya terhadap pemerintahan kolonial yang diformulasikan sebagai pilihan antara berkooperasi dan bernonkooperasi terhadap pemerintah kolonial. Dalam PSI sikap politik dinyatakan dengan istilah “politik hijrah”.

Sikap PSI dalam politik hijrahnya sebenarnya tidak terlalu jelas. Salim menyejajarkan politik tersebut dengan nonkooperasi yang dijalankan Gandhi.

Akan tetapi anehnya sikap nonkooperasi tersebut ditentukan dengan diangkatnya Tjokro dalam Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyatnya pemerintah kolonial Belanda).

Dengan demikian penentuan sikap melawan atau tidaknya organisasi tergantung pada diberikannya jabatan pimpinan partai mereka. Dan perkembangan PSI selanjutnya ialah semakin kecilnya partai tersebut dengan terpecah-pecahnya beberapa partai kecil sehingga PSI tidak dapat dikatakan mewakili massa Islam di Indonesia secara signifikan.

“Hijrah sebagai suatu politik kebijaksanaan Sarekat Islam dilancarkan untuk pertama kali dalam tahun 1923 sebagai akibat ketidak-percayaan partai terhadap pemerintah, dan keyakinan partai bahwa kerjasama dengan pihak pemerintah hanya akan menyebabkan partai lebih jauh saja dari tujuannya.

Salim telah mengemukakan hal ini dalam Volksraad. Dalam kongres partai pada tahun 1923 ia juga menyebut-nyebut tentang politik non-kooperasi yang dijalankan Gandhi di India dan menyarakan agar cara ini dipergunakan terhadap pihak Belanda di Indonesia.

Tetapi partisipasi Sarekat Islam di dalam Volksraad bergantung kepada persoalan pengangkatan Tjokroaminoto ke dalam dewan ini.

Partai memutuskan bahwa Sarekat Islam akan berpartisipasi di dalam dewan tersebut hanya apabila Tjokroaminoto diangkat sebagai anggota.

Ketika pemerintah mengabaikan harapan ini barulah partai secara positif memutuskan untuk menjalankan politik nonkooperasi, dan meminta kepada seorang anggotanya R.P. Suroso untuk meninggalkan Sarekat Islam apabila ia tetap berpendirian melanjutkan keanggotaannya di dalam dewan.

Pada mulanya tidaklah begitu jelas dalam partai itu sendiri apakah politik itu disebut non-kooperasi ataupun Hijrah. Mulanya Salim sendiri menganggap kedua nama itu sama, ketika ia berkata bahwa swadeshi akan menghasilkan ‘Hijrah yaitu non-kooperasi’.

Dan ini diartikannya sebagai suatu sikap untuk ‘menjauhkan diri dari urusan pemerintahan’. Kemudian ia membedakan istilah ini letika dikatakannya bahwa ‘faham non-kooperasi dalam PSI [Sarekat Islam] diganti dengan faham Hijrah’.

Maksudnya bahwa ‘sikap menolak kerjasama dengan pihak lain yaitu pihak Belanda diganti menjadi; bekerjasama menyusun diri, menyebuahkan suara dan mempersatukan buatan di dalam kalangan sendiri pada seluruh padang kehidupan pergaulan: sosial, ekonomi dan politik’.

Hijrah, sambungnya, tidaklah sama dengan ‘mentalitet pasif’ melainkan merupakan sikap ‘aktif’.
Kebijaksanaan ini telah jelas pada tahun 1925 ketika kongres Sarekat Islam berpendapat tidak ada gunanya untuk mengajukan mosi apapun juga terhadap pemerintah.

Kongres tersebut malahan tidak mengemukakan protes apapun juga terhadap pemerintah yang melarang Tjokroaminoto dan Salim untuk menghadiri dan memimpin konferensi partai sepropinsi Kalimantan.

Keputusan pemerintah itu hanya diumumkan kepada Kongres oleh pimpinan kongres yang memberikan tanggapan bahwa kongres ‘semata-mata bergantung kepada Tuhan’.

Ketergantungan kepada Tuhan semata-mata merupakan suatu tema yang berasal dari tauhid dan dilahirkan kembali dalam Tafsir Asas Partai pada periode akhir Sarekat Islam.

Ia juga dicerminkan pada tahun 1927 pada waktu penolakan Tjokroaminoto terhadap tawaran pemerintah untuk duduk kembali di dalam Volksraad, suatu keputusan yang disokong oleh kongres partai pada tahun yang sama, yang juga menetapkan bahwa politik Hijrah hendaklah juga diperluas sampai ke dewan-dewan daerah, termasuk dewan-dewan desa.

Kebijaksanaan ini ditekankan kembali pada tahun 1931, ketika pemerintah sebagai akibat dari tindakan penghematannya sehubungan dengan zaman krisis ekonomi mengeluarkan banyak pejabat-pejabat dari kepegawaiannya.

Peningkatan pengangguran ini dalam tahun-tahun ini menyebabkan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam menunjuk kepada perlunya Hijrah dalam ekonomi dan politik.” [Noer, 1982, hal. 159 – 160]

Mendekati akhir tahun 40-an terdapat upaya untuk memersatukan umat Islam di Indoensia dalam Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI).

Kali ini masuk ke dalamnya di antaranya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah di samping PSI. Namun kehadiran organ tersebut tidak dapat dikatakan meningkatkan perlawanan terhadap penjajahan secara signifikan melihat tujuan pendiriannya adalah untuk perdamaian dan persatuan umat Islam.

“Sikap kompromi seperti ini menghasilkan berdirinya suatu federasi, Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya tanggal 21 September 1937, atas inisiatif Kyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah, Kiyai Haji Muhammad Dahlan dan Kiyai Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, serta W. Wondoamiseno dari Sarekat Islam.

Beberapa organisasi lokal juga hadir dalam rapat pembentukannya. Sekretariat pertama dari federasi itu terdiri dari W. Wondoamiseno (sekretaris), Mansur (bendahara), Dahlan dan Wahab (anggota).

Disetujui bahwa federasi baru itu akan menjadi suatu ‘tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar agama Islam di seluruh Indonesia’.

Tujuannya adalah ‘untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemasyalatan ummat dan agama Islam, yang keputusannya itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpunan-perhimpunan yang menjadi anggotanya…’ Statuta yang akhirnya disetujui pada tanggal 14-15 September 1940 menekankan perlunya persatuan kegiatan kaum Muslimin di tanah air serta pada umumnya kaum Muslimin di dunia, sedangkan akan diusahakan untuk ‘mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang telah bergabung di dalam MIAI, maupun yang belum’.

Untuk menjelaskan cita-cita persatuan ini sebuah panitia yang terdiri atas Wondoamiseno dan Abikusno dari Sarekat Islam, Mansur dari Muhammadiyah, Sukiman dari PII dan Hadikusumo dari Muhammadiyah, dalam tahun 1942 menyusun pedoman penjelasan tentang perlunya persatuan ini berdasarkan Qur’an.” [Noer, 1982, hal. 262 – 263]

Kepentingan Imperialis Jepang Terhadap Islam Politik Indonesia

.

(Berlanjut, masih di Sub-Bagian IVc, ke hlm 160b-IVc; sekaligus sebagai penutup seluruh serial tulisan HM Isbakh ini — Red DK)

 

Referensi

1. Benda, Harry J. 1983. The Crescent and The Rising Sun. Indonesian Islam under The Japanese Occupatiion 1942 – 1945. KITLV. Foris Publication. Holland/USA.

2. Bolland, B. J. 1982. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Springer Science+Business Media. Dordrecht.

3. Feillard, Andrée. 2017. Islam dan Demokrasi: “Sekularisasi” di Ujung Tanda Tanya. Dalam: Revolusi Tak Kunjung Selesai. Potret Indonesia Masa Kini. Editor: Rémy Mardinier. Cet. 1. KPG.

4. Geertz, Clifford. 1981. Abangan, santri, priyayi, dalam masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta.

5. Kahin, George Mc Turnan. 1970. Nationalism and Revolution in Indonesia. First Printing Cornell Paperback. Cornell University Press.

6. Kahin, George Mc Turnan & Kahin, Audrey R. 1997. Subversi sebagai politik luar negeri: menyingkap keterlibatan CIA di Indonesia. Grafiti Medika Pers. Jakarta.

7. Lewis, Bernard. 2004. Krisis Islam. Antara Jihad dan Teror Yang Keji. PT. Ina Publikatama. Jakarta.

8. Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942. Cetakan kedua. LP3ES.

9. Santoso, M. H. Budi. 2013. Darul Islam. Pemberontakan di Jawa Barat. Pustaka Jaya. Jakarta.

10. Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman bergerak: radikalisme rakyat Jawa. 1912 – 1976. Grafiti. Jakarta.

11. Taufik, Akhmad. Huda, M. Dimyati. Maunah, Binti. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Rajawali Press.

12. Tichelman, Fritjof. 1980. The Social Evolution of Indonesia of Indonesia. The Asiatic Mode of Production and Its Legacy. Martinus Nijhoff. The Hague.

13. Van ‘t Veer, Paul. 1985. Perang Aceh. Kisah kegagalan Snouck Hurgronje. Grafiti Press. Jakarta.

14. Wahid, Abdurrahman. 2017. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Cet.1. Noktah & LKiS. Yogyakarta.

.

——–

.

* Tulisan HM Isbakh tulian Sub-Bagian IVc ini aslinya adalah utuh. Seperti halnya pada bagian atau subbagian sebelumnya, kami sengaja membaginya, di sini, atas dua halaman (hlm 160a-IVc & hlm 160b-IVc), seijin penulisnya, semata untuk memberikan semacam jeda, waktu mengaso sebentar, pada perangkat pembaca budiman. Meski Referensi kami cantumkan pula bukan saja di akhir tulisan (hlm 160b-IVc) tapi juga pada hlm 160a-IVc ini.

Juga perlu kami jelaskan, bahwa alinea-alinea baru, kutipan-kutipan yang indent (masuk beberapa spasi ke arah kanan di awal alinea) adalah dari kami. Tanpa menyentuh isi sama sekali, lagi-lagi semata untuk “menyesuaikan” dengan perangkat pembaca (Red DK).