Bagian II. Islam Politik, Ekonomi Syariah

dan

Imperialisme

.

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

.

Oleh HM Isbakh

.

.

[Alinea-alinea terakhir tulisan hlm 135a-II  — Red DK *]

.

Kita patut memeriksa apakah syarat-syarat produksi kapitalis telah eksis dalam peradaban Islam.

.

Apakah dalam masyarakat Islam telah berkembang milik privat yang bersamaan dengan itu terjadi pemisahan massa petani dengan alat produksinya (tanah) sehingga terbentuk massa proletariat yang tidak memiliki apa pun untuk dijual kecuali tenaga kerjanya?

.

Apakah produksi di bawah Islam tidak ditujukan untuk dikonsumsi langsung melainkan untuk pertukaran; produksi untuk menciptakan nilai tukar bukan nilai pakai semata? Tanpa syarat-syarat produksi itu sulit rasanya mengatakan bahwa peradaban Islam secara spontan dapat memunculkan revolusi industri yang sejajar dengan kapitalisme Barat.

.

Kita akan memeriksa ketersediaan syarat-syarat produksi itu secara lebih rinci pada uraian di bawah.

.

Secara umum perlu dikatakan bahwa ciri masyarakat oriental (Timur) masuk dalam tahapan relasi produksi Asiatik di mana alat produksi (tanah) dimiliki secara komunal.

.

Jadi relasi produksi Asiatik berbeda dengan feodalisme Barat yang menghadirkan kelas feodal pemilik tanah yang menindas dan kaum hamba petani yang dieksploitasi.
.
Dan sepanjang sejarah peradaban-peradaban oriental, fenomena yang berlangsung adalah instabilitas politik yang berlandaskan stagnasi sistem ekonomi.
.
Dalam instabilitas politik, rezim penguasa selalu berganti dari satu dinasti ke dinasti lainnya, namun corak produksi masyarakat relatif stagnan (tidak berubah) relasi-relasi produksinya.
.
Dunia agraria di Timur tetaplah merupakan suatu unit produksi desa-desa otonom di mana tanah dimiliki secara komunal tanpa perkembangan milik privat yang sejajar dengan feodalisme di Eropa atau bahkan belum bisa menyamai kepemilikan privat dalam sistem perbudakan di era klasik Romawi.

.

Timur Tengah Pra-Islam: Ketegangan Nomadisme dan Peradaban Agraris

.

[Berlanjut ke …  silakan simak/klikhlm 135b  Red DK]

.

__________________

.

Serial Tulisan HM Isbakh:

Islam Politik, Ekonomi Syariah dan Imperialisme

(Empat Bagian/Bagian IV 3-Sub-Bagian)

.

Bagian I. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 132a-I & hlm 132b-I 

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

 hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II  

Bagian III. Ekonomi Islam dalam Tilikan Teori Nilai Kerja

 hlm 142a-IIIhlm 142b-III & hlm 142c-III 

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

 hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa  

Sub-Bagian IVb. Sastra Melayu: Islamisasi dan Ideologi

 hlm 159a-IVb

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad ke-20

 hlm 160a-IVc & hlm 160b-IVc

.

__________________

.

Timur Tengah Pra-Islam: Ketegangan Nomadisme dan Peradaban Agraris

Sebagai ringkasan gambaran besar mengenai sejarah material dunia Islam di Timur Tengah, kami kutipkan surat-menyurat antara Friedrich Engels dan Karl Marx berikut:

… Yesterday I read the book about Arabian inscriptions of which I told you.

The thing is not devoid of interest, although priest and Bible apologist are written disgustingly all over it, his greatest triumph consist in being able to prove that Gibbon committed some blunders in ancient geography, from which it may deduced that Gibbon’s theology is also unsound.

The thing is called The Historical Geography of Arabia, by Reverend Charles Forster. The best one can get out of it is the following:

1. The genealogy given in genesis, purporting to be that Noah, Abraham, etc, is a fairly exact enumeration of the Bedouin of that time, according to their major or minor dialectal kinship, etc.

As we know, the Bedouin tribes have to the present day always called themselves Beni Saled, Beni Jussuff, and so on, i.e., the sons of so-and-so. This appellation, which spring from ancient patriarchal mode of existence, lead in the end to this kind of genealogy.

The enumeration in Genesis is corroborated more or less by the ancient geographer and the more recent travelers prove that the old names, with dialectal changes, still exist in their majority. 

However, it follows from this that the Jews themselves were nothing more than a small Bedouin tribe, just like the rest, which local conditions, agriculture, and so forth, placed in opposition to other Bedouins.

2.With regard to the great Arabian invasion, of which we spoke previously: that Bedouins made periodic invasions, just like Mongols, that Assyrian Empire as well as the Babylonian was founded by Bedouin tribes, on the same spot where later the Caliphate of Bagdad arose.

The founders of the Babylonian Empire, the Chaldeans, still exist under the same name, Beni Chaled, in the same locality.

The rapid rise of big cities like Nineveh and Babylon occurred in exactly the same way as only three hundred years ago similar giant cities, such as Agra, Delhi, Lahore, and Muttan, in the East Indies, were created by an Afghan or Tartar invasion. Thus Mohammedean invasion loses much of its distinctive character.

3. It seems that the Arabians, where they had settled down, in the Southwest, were just as civilized a people as the Egyptians, Assyrians, etc., as is proved by the buildings the erected.

This, too, explains much in the Mohammedan invasion. As far as that fake, religion, is concerned, it seems to follow from the ancient inscription in the South, in which the old national Arabian tradition of monotheism still predominates (as it among the American Indians) and of which tradition the Hebrew constitutes only a small part, that Mohammed’s religious revolution, like every religious movement, was formally a reaction, an alleged return to the old, the simple.

That Jewish so-called Holy Scripture is nothing more than a record of the old Arabian religion and tribal traditions, modified by early separation of the Jews from their consanguineous but nomadic neighbors – that is now perfectly clear to me.

The circumstance that Palestine is surrounded on the Arabian side by nothing but deserts, Bedouin land, explains the separate exposition, But the old Arabian inscription, tradition, and the Koran, and the ease with which all genealogies, etc., can now be unraveled evidence the fact that the main content was Arabic, or rather Semitic, in general, as with us Edda and German heroic saga.

[Engels kepada Marx, Manchester, kira-kira tanggal 24 Mei 1853]22

Dalam surat di atas, Engels menunjukan hasil studinya kepada Marx di mana ia memerlihatkan bahwa Islam (dalam teks surat tertulis Mohammedean atau Mohammed’s religion) lahir di Arab dalam suku Badui (Bedouin) yang merupakan bagian dari bangsa Semit.

Hitti (2018, hal. 10) menyebutkan bahwa istilah Semit berasal dari kata syem yang merujuk pada [Alkitab] Perjanjian Lama sebagai salah satu anak dari Nuh (Kej,10:1)17.[Kej.: Kejadian, Alkitab Perjanjian Lama]. 

Orang-orang Yahudi sendiri pada dasarnya merupakan bagian dari suku Badui (Semit) sehingga berkerabat dengan orang-orang Arab. Aslinya suku-suku Badui ini adalah suku-suku nomad (pengembara, tidak menetap) yang melakukan invasi ke permukiman-permukiman menetap yang lain atau kota-kota.

Watak nomad invasif Arab ini disamakan oleh Engels dengan suku-suku nomad lainnya seperti Mongol atau Tartar. Perlu disadari bahwa suatu alasan Kaisar pertama yang menyatukan Tiongkok membangun tembok besar adalah untuk menahan invasi suku-suku nomad dari utara.

Ketegangan yang periodik antara suku-suku nomad dengan peradaban menetap yang selalu muncul berulang dalam sejarah juga diakui oleh filsuf Yahudi Martin Buber.

The relationship between the nomad and settled civilization is a reccurent one in human history.

In the Babylonian kingdom in the last quarter of the Third Millenium B. C. E., the ‘Wall of the West’ was erected as protection against the nomad Amorites.

In Egypt the ‘wall of the Ruler’ was erected at the beginning of second Milleneum B. C. E., ‘in order not to permit the foreign hordes to come down again to Egypt, so that they should beg after their fashion for their cattle to drink’ (clearly an ironical description, implying that they might begin in that way but would afterwards expand).

So in China during the Third Century B. C. E. the Great Wall was erected to protect the Central Empire from the irruption of the nomads.” [Buber, 1958, hal. 26]23

Engels juga menyebutkan bahwa isi Al Quran pada hakikatnya bersifat semitik. Hitti (hal. 9) berpendapat bahwa Agama Islam dalam bentuk aslinya merupakan penyempurnaan dari agama-agama Semit.

Dan mengenai asal bangsa Semit ini, Hitti berpendapat teori yang menjelaskan bahwa mereka berasal dari Semenanjung Arab lebih kuat dibandingkan dengan teori yang menjelaskan bahwa mereka berasal Afrika Timur atau dari Mesopotamia sebagaimana pengaruh Perjanjian Lama

(Catatan penulis: menurut Perjanjian Lama, Adam berasal dari taman Eden yang berada di sekitar sungai Efrat; sedangkan Abraham berasal dari daerah Ur; kedua wilayah tersebut berada di daerah peradaban Mesopotamia kuno).

Berdasarkan teori asal bangsa Semit dari Semenanjung Arab, kemudian proses distribusi mereka ke seluruh daerah Timur Tengah dan sekitarnya dijelaskan oleh Hitti sebagai berikut:

Daratan di Semenanjung Arab kebanyakan padang pasir dan hanya menyisakan sedikit daerah yang bisa ditinggali di sekitar pinggirannya, dan daerah itu semuanya dikelilingi laut.

Ketika jumlah penduduk bertambah melebihi daya tamping tempat, mereka harus mencari tanah baru. Tetapi mereka tidak bisa menyebar ke bagian tengah daratan karena merupakan bentangan gurun pasir, dan juga tidak bisa semakin ke pinggir karena terhalang oleh lautan – hambatan yang ada pada masa itu tidak bisa dilalui.

Ledakan penduduk itu kemudian menemukan jalur terbuka di pantai sebelah Barat semenanjung, yang mengarahkan mereka ke sebelah Utara dan bercabang ke dua arah yang berlainan, yaitu ke Semenajung Sinai dan lembah subur sungai Nil.

Sekitar 3500 S.M., bangsa Semit melakukan migrasi mengikuti rute ini, atau mengambil rute ke utara menuju Afrika Timur. Di sana mereka bercampur dengan penduduk Hamit yang lebih dulu tinggal di Mesir.

(Catatan penulis: asal kata Hamit adalah Ham yang merupakan anak Nuh yang lain dalam Perjanjian Lama)

Orang-orang Mesir inilah yang berhasil meletakkan berbagai unsur peradaban kita yang paling fundamental. Merekalah yang pertama kali membangun hunian dari batu dan mengembangkan sistem kalender matahari.

Pada saat yang sama, migrasi serupa juga mengarah ke utara dan membangun basis hunian di lembah Efrat-Tigris, yang sudah lebih dulu dihuni oleh masyarakat berperadaban tinggi, yaitu bangsa Sumeria.

Bangsa Semit tiba di lembah tersebut sebagai bangsa nomad barbar, tapi kemudian belajar dari bangsa Sumeria, pendiri peradaban sungai Efrat, bagaimana cara membangun dan tinggal di rumah, bagaimana cara mengairi tanah dan, yang paling penting bagaimana cara menulis.

Bangsa Sumeria adalah bangsa non-Semit.Campuran kedua ras itulah yang melahirkan bangsa Babilonia, yang bersama-sama bangsa Mesir telah meletakkan fondasi kebudayaan manusia.

Di antara penemuan-penemuan lainnya, bangsa Babilonia telah mewariskan kepada kita struktur lengkungan dan lorong (mungkin berasal dari bangsa Sumeria) kereta beroda, serta sistem timbangan dan ukuran.

Sekitar pertengahan milennium ketiga sebelum Masehi, migrasi bangsa Semit lainnya membawa bangsa Ameria ke daerah Bulan Sabit Subur.

Ras-ras yang melahirkan bangsa Ameria di antaranya Kana (yang mendiami Suriah bagian barat dari Palestina setelah 2500 S.M.) dan orang pesisir pantai yang disebut oleh orang Yunani dengan sebutan Phoenisia.

Orang-orang Phoenisia adalah bangsa pertama yang menyebarkan sistem penulisan dengan huruf. Yang terdiri atas 33 simbol – satu penemuan terbesar umat manusia.

Antara 1500 dan 1200 S.M., bangsa Ibrani (Yahudi – Penulis) berhasil menemukan jalan ke Suriah bagian selatan, Palestina, dan bangsa Aramia (orang-orang Suriah) ke sebelah utara, terutama Coele-Suriah.

Di antara bangsa-bangsa lain, bangsa Ibrani merupakan bangsa pertama yang memerkenalkan gagasan yang jelas tentang satu Tuhan, dan monoteismenya merupakan cikal bakal keyakinan orang Kristen dan Islam.

Sekitar 500 S.M., bangsa Nabasia membangun peradaban di sebelah utara Semenanjung Sinai. Puncak beradaban mereka, yang dicapai ketika di bawah pengaruh Romawi, bisa dilihat dari reruntuhan ibu kota mereka yang megah, Petra, yang dibangun dari bebatuan.

(Catatan penulis: menurut Hitti, orang-orang Nabasia adalah suku nomad dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Transyordan dan juga tinggal di daerah Edomit yang berasal dari kata Idumeans, keturunan Esau dalam Perjanjian Lama)

Pada abad ketujuh Masehi terjadi migrasi baru dan terakhir di bawah panji Islam. Pergerakan migrasi itu membentuk suatu wilayah yang sangat luas, tidak hanya meliputi kawasan Bulan Sabit Subur – sebuah kawasan yang yang berbentuk busur yang terletak antara teluk Persia dan sudut Tenggara Laut Mediterania – namun juga meliputi wilayah Mesir, Afrika bagian Utara, Spanyol, Persia dan Asia Tengah.

Migrasi terakhir ini, yang terjadi dalam kecemerlangan sejarah manusia, dijadikan argumentasi oleh pendukung teori “Semenanjung Arab sebagai asal rumpun Semit”; mereka juga memerkuat argumentasinya dengan hasil penyelidikan bahwa bangsa Arab telah memelihara unsur Semit dalam kondisi yang lebih murni, dan mewujudkan cara yang lebih unik ketimbang kelompok-kelompok lain dari rumpun itu, dan bahwa bahasa mereka lebih dekat pada apa yang diyakini oleh para sarjana sebagai bentuk primitif bahasa Semit.” [Hitti, 2018, hal. 12 – 14]17

Dari penjelasan Hitti di atas kita melihat bahwa ada kekerabatan yang sangat dekat antara orang-orang Mesir, Suriah, Palestina, Irak dengan orang-orang Arab.

Karakteristik yang menyolok adalah Mesir yang berada di sekitar sungai Nil dan Suriah, Palestina serta Irak terletak di daerah utara Arab berada dalam daerah yang baik untuk bercocok tanam yang disebut daerah Bulan Sabit Subur.

Hal ini kontras dengan orang Arab yang umumnya nomaden (dengan pengecualian beberapa daerah seperti kerajaan Saba-Himyar di daerah Yaman dan kerajaan Nabasia yang telah merebut kota Petra di Arab Utara).

Mereka yang hidup agraris dan mengembangkan domestikasi hewan lebih memungkinkan untuk menghasilkan produk lebih dan mengakumulasi kekayaan, membangun kota-kota dan peradaban-peradaban besar.

Kondisi tersebut mengkondisikan kecemburuan pada suku-suku nomad yang hidup sederhana dan menyaksikan negeri-negeri disekitarnya tumbuh makmur.

Tidak bisa diabaikan bahwa hal ini mendorong invasi periodik yang dilakukan suku-suku nomad ke peradaban-peradaban sekitarnya sebagaimana dijelaskan oleh Engels pada poin nomor 2 dalam suratnya kepada Marx di atas.

Pada akhirnya mereka toh juga mendambakan cuaca yang bersahabat dan nyaman, tanah yang subur, kehidupan yang stabil sehingga tidak mengherankan bahwa bentuk keagamaan Semit/Yahudi kuno, Tuhan mereka menjanjikan tanah yang subur.

Filsuf Yahudi ternama, Martin Buber, menunjukan bahwa sebutan untuk orang-orang yang hidup nomaden tanpa tanah air yang menetap terkait dengan istilah Habiru23. Sebutan itu sering kali dihubungkan dengan moyang atau “Para Bapak” orang Israel.

The suggestion that the Hebrew, to whom this clan belong, are more or less identical with the Habiru, has come to be regarded as highly probable by overwhelming majority of student; it has even become for them a virtual certainty. … It is more important to compare the report of archeology during recent decades on the Habiru with the Bible narrative of ‘Abraham the Hebrew’ and his immediate descendants.

Certain essential characteristics are found to be common to both; but we must never forgot the high level of civilization represented by the ‘Fathers’ of Israel within the development of semi-nomadism.

Habiru means not a tribe or a people but a human type, in accordance with its particular way of life and peculiar relation with the surrounding world; yet the name has a decided tendency to evolve into an ethnic designation.

This human type composed of members of various groups of nations, among which the Semites (who presumably gave the first urge to the migrations) are for the greater part dominant.

They are people without a country, who have dissociated themselves from their national connection and unite in common journey for pasture and plunder; semi-nomadic herdsmen they are, or freebooters if opportunity offers.

They seemingly (we have to use analogy in order to complete what is known to us) wander to and fro in wilderness with their flocks of sheep and goats, they hunt wherever they can do so; they conduct a fleeting form of cultivation with primitive tools whatever they find suitable sites; they pitch their tents near town with which they exchange their produce; but they also endeavour to establish themselves more securely.

If they succeed in any enterprise of this kind, the leader of the band may quite conceivably rise to ducal rank; or they may temporarily become so powerful that the Egyptian administrative officials in the province of Syria and Palestine, for example, have to consider whether to make common cause with them as against Canaanite city-states or vice versa.

If war or band cannot advance on its own, it temporarily becomes a mercenary body for some party waging war. If it is broken up, the individual members gladly accept service in public works as overseers, scribes, etc.; they are given preference on account of their qualification and achievement, and rise to leading position.

What this type of life requires is a ‘particular combination of pastoral with the military virtues’; but it also calls for a peculiar mixture of adaptability and the urge to independence.

The civilizations into which they penetrate are their opportunity; they are also their danger.” [Buber, 1958, hal. 23 – 25]23 

Perbedaan corak kehidupan antara tinggal menetap dan mengembangkan budaya agraris dengan hidup berpindah-pindah nomaden juga memberikan bentuk keagamaan yang berbeda.

Pada masyarakat agraria dewa yang disembah terkait dengan ritus-ritus kesuburan dan umumnya mereka tidak hanya mengenal satu melainkan banyak dewa. Ilahi Baal yang disimbolkan dengan lembu dalam Perjanjian Lama adalah dewa kesuburan.

Berbeda dengan peradaban agraris itu, suku-suku Arab nomaden yang memiliki sistem kehidupan yang lebih sederhana percaya akan satu Tuhan (monoteisme); Tuhan yang membimbing dan menuntun mereka hidup di padang gurun yang keras; Tuhan yang menghantarkan mereka ke tanah yang dijanjikan.

Ketegangan antara peradaban menetap dengan ilah-ilah kesuburannya dan suku-suku nomad dengan ilahnya, juga tercermin dalam konflik agama.

Dalam Perjanjian Lama kita menemukan bagaimana Yahwe, ilahi suku Yahudi selama mengembara di padang gurun dan yang pencemmburu itu, tidak menerima Baal yang merupakan ilahi orang Kanaan atau Fenisia yang agraris sebagai tuhan lain.

Dengan terpenetrasinya sebagian suku-suku Badui nomad ke dalam peradaban menetap, sebagian mereka terserap dan hidup dalam kebudayaan serta agama peradaban yang menetap itu. Agama Yahudi merasa perlu membersihkan dirinya dari penyimpangan-penyimpangan peradaban agraris yang menetap.

“…ritus kesuburan merupakan unsur agamawi yang paling penting yang dihadapi baik oleh suku-suku Ibrani kuno, maupun oleh suku-suku Yahwistis, ketika mereka memasuki Kanaan.

Dapat diduga bahaya Baalisme Kanaani itu hampir tidak berbeda dengan Baalisme di Fenesia. Aspek kesuburan masih dipentingkan di Fenisia, di mana proses urbanisasi sudah agak lanjut, apalagi Kanaan yang pola kehidupannya masih bercirikan pertanian.

Baalisme memang merupakan unsur kuat dalam kebudayaan Kanaan, terbukti dari nama-nama perorangan pada periode Amarna, dan nama-nama tempat di seluruh Palestina yang banyak mengandung kata ‘Baal’ di dalamnya.

Ketika suku-suku Israel meninggalkan pola hidup semi-nomadis dan mulai bercocok tanam, mereka semakin dipengaruhi oleh adat-istidat Kanaan, termasuk ritus-ritus dan perayaan Baalisme.

Salah satu faktor yang memerlancar proses itu adalah bahwa nama ‘Baal’, yang memang berarti ‘Tuhan’ atau ‘tuan’, dapat dikenakan kepada allah yang mana saja. Jadi, nama itu di kalangan Yahwis dapat dipakai tentang Yahweh sendiri.

Bahwa memang terjadi demikian, cukup terbukti dan nama-nama perorangan yang berlaku di antara para penyembah Yahweh: Yerubaal, Mefibaal, dan sebagainya.

Tetapi, kemudian kebiasaan memakai nama yang mengandung kata Baal itu dianggap berbahaya, sehingga nama-nama yang mengandung unsur ‘yah’ (Yahweh) atau El tidak digunakan. 

Pada taraf berikutnya lagi, unsur Baal itu diucapkan atau ditulis sebagai ‘Bosyet’ yang berarti ‘celaan’ atau ‘malu’. Kata Baal tidak boleh dipakai lagi untuk menjelaskan hubungan Allah dengan manusia (Hos. 2:16) [Hos.: Hosea, Perjanjian Lama]. Cerita-cerita seperti riwayat Baal Peor (Bil. 25:3, 5) [Bil.: Bilangan, Perjanjian Lama] yang berasal dari sumber kuno (bnd. Hos. 9:10) menyaksikan kecenderungan menggunakan nama Baal maupun oposisi terhadapnya.

Dari zaman awal, Yahwisme bertentangan dengan kultus Baal. Tabiat Yahweh berlainan dengan kuasa alamiah yang didewakan dalam oknum Baal itu, yang menyatakan diri melalui proses-proses peredaran musim, pasang-surut, mati dan bangkit; unsur-unsur yang demikian tidak ada hubungan sedikit pun dengan Yahweh karena Yahweh adalah Allah Kekinian, Allah Penguasa proses sejarah, yang memerintah dunia manusia dengan firman dan karya-karya-Nya.

Oleh karena itu Yahwisme harus memberantas unsur-unsur dalam agamanya sendiri, yang telah terkena pengaruh Baalisme dan yang ada hubungannya dengan ritus kesuburan beserta ritus-ritus seksual yang mengekspresikan aspek kesuburan itu, dan dengan mati dan bangkitnya Allah.

Yahwisme mengubah perayaan-perayaan pertanian: unsur-unsur ‘kesuburan’ ditolak, dan yang dipertahankan ialah aspek-aspek yang dapat dilepaskan dari konteks kultus kesuburan serta diasimilasikan ke dalam agama Yahwisme.

Dari situ timbul ketiga masa raya pertanian di Israel (musim semi, musim panas, dan musim gugur), terutama masa raya Tujuh Minggu.

Pada zaman selanjutnya jelas sekali bahwa masa-masa raya tersebut dibersihkan dari segala sisa kekafiran, yaitu waktu dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah penyelamatan Israel (Ul. 16; Im. 23) [Ul.: Ulangan; Im.: Imamat, Perjanjian Lama].” [Vriezen, 2003, hal. 33 – 34]24

Melalui refleksi perjalanan historis daerah Timur Tengah kuno yang didominasi konflik permanen antara suku-suku nomad (yang berasal dari gurun) dengan peradaban agraris menetap (umumnya di sekitar sungai-sungai), kita pun menemukan melalui ilustrasi di atas bahwa konflik di tingkatan basis material menular ke konflik keagamaan. Tuhan suku nomad yang tunggal versus ilah-ilah peradaban agraris menetap. Namun hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari konflik pada bangunan bawah.

Islam yang disebarkan oleh Muhammad lahir dalam suku Quraisy yang merupakan bagian dari suku-suku Badui tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah di wilayah tersebut.

Namun sebelum kita memasuki kajian tentang kemunculan Islam, karena kajian ini menggunakan pendekatan sejarah material maka pertama-pertama perlu diketahui dulu keadaan alam di daerah tempat lahirnya Islam dan pola kehidupan orang Badui.

Dua kota penting kelahiran Islam yakni Mekkah dan Madinah berada di daerah yang disebut Hijaz yang terletak di sekitar sebelah Barat Semenanjung Arab.

Cuaca di sana sangat keras dan membentuk karakteristik orang Arab yang tinggal di daerah tersebut. Musim kering berlangsung panjang dan dapat berlangsung hingga 3 tahun; hujan hanya berlangsung singkat dan kalaupun terjadi dapat berwujud badai (Hitti, hal 20)17. Cuaca demikian menyulitkan untuk bercocok tanam. 

Tanaman utama di Semenanjung Arab adalah kurma.

Dimakan bersama susu, buah kurma merupakan makanan utama orang badui, dan di samping daging unta, merupakan satu-satunya makanan padat mereka. Minuman dari buah kurma diperam disebut nabidh, dan sangat disukai.

Biji buah kurma yang ditumbuk dapat dibuat menjadi makanan unta. Memiliki ‘dua benda hitam’ (al-aswadayn), yaitu air [nabidh] dan kurma, merupakan mimpi setiap orang badui. Nabi diriwayatkan pernah bersabda, ‘Hormatilah bibi kalian, yaitu pohon kurma yang diciptakan dari tanah yang sama dengan Adam.’ Para penulis Arab menyebutkan seratus jenis kurma yang terdapat di Madinah dan Sekitarnya.” [Hitti, hal. 23 – 24]17

Tanaman lainnya seperti anggur dan kopi bukan berasal dari Hijaz melainkan dari daerah-daerah subur yang dapat membudidayakan tanaman-tanaman tersebut. Kopi yang dikenal sebagai produk khas Yaman dan yang sering disebut “anggur Islam” dibawa ke Semenanjung Arab bagian Selatan pada abad ke-14 dari Abissinia (Ethiopia); sedangkan anggur dibawa dari daratan Suriah pada abad ke-4 M (Hitti, hal 22 – 23)17.

Di samping tanaman, perlu dijelaskan dua ternak utama yang menunjang kehidupan suku badui, yakni kuda dan unta.

Menurut Hitti (hal. 25), kuda merupakan hewan yang paling belakangan kepada bangsa Arab kuno.

Sebagai hewan peliharaan pada awal zaman klasik di timur Laut Kaspia, yang dikembangbiakkan para penggembala nomad Indo-Eropa, kuda baru belakangan dibawa dalam jumlah besar oleh orang-orang Kassit dan Hitti, dan dari sanalah – sekitar dua abad sebelum Masehi – kuda dibawa ke Asia Barat.

Dari Suriah, kuda diperkenalkan ke Semenanjung Arab sebelum abad pertama Masehi. … Karena ketenaran dalam bentuk fisik, daya tahan, kecerdasan dan kepatuhan kepada pemiliknya, kuda keturunan Arab (kuhaylan) dikenal oleh orang-orang Barat sebagai keturunan kuda unggulan.” [Hitti, hal. 25]17 Kekuatan pasukan berkuda merupakan faktor yang menentukan dalam serbuan kilat (ghazw) yang menjadi tradisi orang Badui17.

Hewan kedua yang penting dalam kehidupan material orang Badui adalah unta.

Unta merupakan sumber penghidupan orang-orang nomad, kendaraan, dan alat tukar mereka. Mahar, barang tebusan (diyah), benda taruhan (maysir), simbol kekayaan para pemimpin, semua dihitung dengan bilangan unta.

Unta merupakan teman setia orang badui, alter ego dan penolong mereka. Orang badui meminum air susunya (yang diberikan juga untuk ternak mereka), memakan dagingnya, menutupi tubuh mereka dengan kulitnya, dan membuat tenda dari bulunya. Kotorannya mereka jadikan bahan bakar, dan air seninya mereka jadikan tonik rambut dan obat. 

Bagi orang-orang badui unta lebih dari sekedar ‘bahtera gurun’; ia merupakan karunia Tuhan (lihat Q.S. 16: 5 – 8). Mengutip ungkapan Sprenger, orang badui adalah ‘parasit unta’. Orang badui pada masa sekarang merasa bangga jika disebut sebagai ahl al-ba’ir, masyarakat unta.” [Hitti, hal. 26]17

Sistem sosial kehidupan orang-orang Badui adalah sistem kesukuan yang kuat dengan lembaga pengambil keputusan yang demokratis. Sesungguhnya sistem monarki kerajaan yang berkaitan erat dengan peradaaban agraris yang menetap merupakan sesuatu yang asing bagi orang Badui.

Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan sebutan ’ashabiyyah’ (semangat kesukuan). Ia mengisyaratkan loyalitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota klannya dan secara umum mirip dengan patriotisme yang bersifat fanatik dan chauvanistik. …

Setiap klan dipimpin oleh seorang kepala yang disebut syaikh. Tidak seperti kesan yang ditimbulkan dalam film-film Hollywood, seorang syaikh merupakan anggota senior dalam klannya. Kepemimpinan tercermin dalam wejangan-wejangannya yang bijak, sikapnya yang pemurah dan pemberani.

Senioritas dari segi usia dan kualifikasi individual menjadi acuan utama dalam penentuan seseorang layak menjadi syaikh atau tidak.

Dalam persoalan hukum dan militer, dan kepentingan bersama, seorang syeikh bukanlah pemilik otoritas absolut, ia harus berkonsultasi dengan dewan suku yang terdiri atas para kepala keluarga. Jabatannya sebagai syaikh berlangsung selama dikehendaki oleh para anggota suku.

Orang Arab secara umum dan orang badui secara khusus terlahir sebagai seorang demokrat. Ia berhadapan dengan syaikh-nya dalam kedudukan setara.

Masyarakat tempat tinggalnya memandang rendah segala sesuatu. Gelar malik (raja) tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab kecuali jika merujuk penguasa-penguasa asing … tapi, selain berwatak demokratis, orang-orang Arab juga berwatak aristokrat. Ia memandang dirinya sebagai penciptaan unggulan.

Baginya, bangsa Arab adalah bangsa terbaik (afkhar al-umam). Manusia yang [tak] berperadaban, menurut orang-orang Badui, adalah manusia yang kurang bahagia dan lebih rendah tingkatannya.

Kemurnian darah, kefasihan bahasa, keindahan puisi, kekuatan pedang dan kudanya, dan yang paling penting, kemuliaan keturunannya (nasab) merupakan kebanggaan utama orang Arab. Setiap orang sangat membanggakan garis keturunannya yang luar biasa, dan sering menyambung garis keturunannya itu hingga Adam. Selain orang Arab, tidak ada bangsa lain yang memandang genealogi setara dengan ilmu pengetahuan.” [Hitti, hal. 34 – 35]

Ada kecenderungan bahwa manusia nomad secara umum dan suku Badui secara khusus memandang diri mereka sebagai ras unggulan.

Baginya, bangsa Arab adalah bangsa yang terbaik (afkar al-umam). Manusia yang [tak] berperadaban, menurut orang-orang Badui, adalah manusia yang kurang bahagia dan lebih rendah tingkatannya” (Hitti, hal. 35).

Martin Buber dalam kajiannya terhadap manusia Habiru yang nomaden menilai bahwa mereka memandang orang yang terikat dalam peradaban agraris yang birokratis kehilangan kebebasannya23.

Tapi di lain pihak tidak dipungkiri bahwa masyarakat yang telah hidup dalam peradaban menetap telah mengembangkan kekuatan produksi lebih besar daripada masyarakat nomad. Hal ini menyebabkan masyarakat dalam peradaban cenderung menimbun kekayaan lebih besar.

Pola kehidupan sosial peradaban yang lebih kompleks berasal dari adanya pembagian kerja dan kemudian pembagian kerja tersebut akan menghasilkan pemisahan antar kelas produsen dan non-produsen, tertindas dan penindas.

Engels telah menjelaskan bagaimana perkembangan kehidupan material manusia berkembang dari yang paling sederhana ke yang kompleks, dari kehidupan liar (savages), ke barbarisme hingga akhirnya menuju ke peradaban (civilization) menghasilkan pembagian kerja dan pembentukan kelas-kelas sosial dan oposisi di antara mereka25.

Orang-orang Badui yang telah hidup menetap dan menikmati kekayaan melupakan tradisi kehidupan nomaden mereka.

Oleh karena itu karakteristik agama-agama Semit yang bersifat nubuat seringkali ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di kota-kota yang hidup dengan segala kemewahan, kebejatan moral dan kemesuman perilaku seks mereka.

Kelahiran Islam juga memiliki keserupaan dengan karakteristik agama-agama Semit.

Di sini kelahiran Islam dalam hal posisinya sebagai oposisi terhadap kehidupan mewah dan ketidakadilan sosial di kota juga masih membawa kelanjutan sifat nubuatan agama-agama Semit.

Kelahiran Islam dan Perjuangan Kelas

Bagian pra-Islam di atas telah dibuka dengan kutipan dari Engels dan akan diulangi pada bagian ini dengan mengacu pada Engels.

Dalam karyanya On the History of Early Christianity, Engels menunjukan bahwa terdapat kesejajaran antara kelahiran agama Kristen dan gerakan Komunis.

Keduanya berasal dari gerakan kaum tertindas.

The history of early Christianity has a notable points of resemblance wih the modern working-class movement.

Like the latter, Christianity was originally a movement of oppressed people: it first appeared as the religion of slave and emancipated slaves, poor people deprived of all right, of peoples subjugated or dispersed by Rome…. The parallel between the two historic phenomena forces itself upon our attention as early as Middle Ages in the first rising of oppressed peasants and particularly of the town plebeians. 

These risings, like all mass movement of the Middle Ages, were bound to wear the mask of religion and appeared as the restoration of early Christianity from spreading degeneration, but behind the religious exaltation there was every time a very tangible worldly interest.26

Engels juga memercayai bahwa selubung agama dalam gerakan massa tertindas juga berlaku dalam Islam. Pada catatan kaki terhadap kutipan barusan di atas ia menulis:

“… Islam is a religion adapted to Orientals, especially Arabs, i.e., on one hand to townsmen engaged in trade and industry, on the other to nomadic Bedouins.

Therein lies, however the embryo of a periodically recurring collision. The townspeople grow rich, luxurious, and lax in observation of the ‘law’. The Bedouins, poor and hence strict morals.

Contemplate with envy and covetousness these riches and pleasures. Then they unite under a prophet, a Mahdi, to chastise the apostates and restore the observation of the ritual and the true faith, and to appropriate in recompense the treasure of the renegades.

In a hundred years they are naturally in the position as the renegades were: a new purge of the faith is required, a new Mahdi arises, and the game starts again from the beginning.

That is what happened from the conquest campaigns of the African Almoravids and Almohads in Spain to the last Mahdi of Khartoum, who so successfully thwarted the English. It happened in the same way or similarly with the risings in Persia and other Mohammedan countries.

All these movements are clothed in religion, but they have their source in economic causes, and yet even when they are victorious they allow the old economic conditions to persist untouched.

So the old situation remains unchanged and the collision recurs periodically. In the popular risings of the Christian West, on the contrary, the religious disguise is only a flag and a mask for attacks on an economic order which is becoming antiquated. This is finally overthrown, a new one arises, and the world progresses.”26

Engels mengangkat masalah konflik antara kaum miskin nomad dengan orang kaya kota sebagai basis material yang tidak terpisahkan dengan Islam. Konflik yang muncul secara siklis baik dalam awal kelahiran Islam maupun setelah Islam berdiri di atas dinasti-dinasti penguasa.

Perbedaan yang ditekankan oleh Engels dalam gerakan massa (kelas) di Barat dengan di dunia Islam ialah bahwa di Barat revolusi-revolusi membawa perubahan secara signifikan dalam corak produksi (dari perbudakan ke feodalisme, kemudian ke kapitalisme); namun pada dunia Islam (oriental) gerakan-gerakan pemurnian agama tidak membawa perubahan signifikan pada corak produksi (the old economic conditions to persist untouched).

Pembaharuan/pemurnian agama Islam dipimpin oleh Nabi atau Mahdi bersifat peringatan moral bagi rezim penguasa yang lalim.

Ketika rezim yang korup tersebut telah diturunkan rezim baru juga akan mengulangi daur kehidupannya seperti yang sebelumnya.

Siklus hidup rezim penguasa ini telah digambarkan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukkadimah (pasal ketiga dari kitab pertama, pasal ke-17) bahwa imperium akan cenderung menghancurkan diri mereka sendiri ketika memasuki fase akhir berupa fase pemborosan dan hidup berlebih-lebihan4.

Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas tentang keterkaitan antara kehidupan sosial ekonomi dengan kelahiran Islam, pertama-tama perlu diketahui dulu sejarah sosial ekonomi di daerah kelahiran Islam yakni Hijaz.

Arab menjelang kemunculan Islam adalah wilayah yang serba kacau yang diwarnai konflik antar suku.

Hitti menjelaskan situasi tersebut sebagai “hari-hari orang Arab”.

Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan ‘Hari-hari orang Arab’ (ayyam al-‘Arab).

Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antarsuku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput atau mata air.

Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara para penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa.

Meskipun selalu siap untuk berperang, orang-orang Badui tidak serta merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca.

Meskipun demikian, ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan populasi orang-orang badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial.

Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.” [Hitti, Hal. 110]17

Kekacauan tersebut tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sejarah Arab.

Pada periode sebelumnya sebagaimana telah disebutkan di atas, Arab pra-Islam dikuasai oleh kerajaan Saba-Himyar yang berada di Yaman.

Posisi Hijaz pun merupakan bagian dari kerajaan tersebut. Mekkah yang merupakan salah satu kota di Hijaz berada dalam jalur perdagangan yang diawasi kerajaan Himyar [Hitti, hal. 72]17.

Daerah Arab Selatan ke Barat dan Utara merupakan rute perdagangan penting yang menghubungkan wilayah Timur dan Barat [Hitti, hal. 72]17.

Kerajaan Himyar akhirnya runtuh karena serangan orang-orang Abbisinia yang di bawah pengaruh Bizantium [Hitti, hal. 75 – 76]17. Di samping serangan tersebut wilayah Himyar juga telah tertimpa musibah jebolnya bendungan besar Ma’rib] akibat banjir bandang [Hitti, hal. 79]17

Kedua peristiwa tersebut [hancurnya Kerajaan Himyar dan jebolnya bendungan besar Ma’rib] menyebabkan keadaan sosial ekonomi Hijaz menjadi kacau.

Terkait dengan kedua hal itu, sosiolog Bryan S. Turner dalam Sosiologi Islam menjelaskan faktor-faktor material yang melatar-belakangi kemunculan Islam:

Kebangkitan Islam ditunjang oleh pra-kondisi material berupa konflik yang berlangsung di seantero jazirah Arab.

Yang pertama ialah persaingan politik antara negara-negara perbatasan untuk mendapatkan hegemoni atas jazirah dan yang kedua konflik yang terus-menerus antara kota dan padang pasir, yakni, kelompok-kelompok pedagang kota dengan suku-suku pengembara.

Sejarah Arab pra-Islam dapat difahami melalui hubungan yang berubah-ubah antara kemaharajaan-kemaharajaan, negara-negara penyangga dan kota-kota dengan pelanggan-pelanggan sekitarnya, yang selalu mengembara.

Kalau kemaharajaan-kemaharajaan dan negara-negara itu kuat, maka kota dan pemukim-pemukim di oasis yaitu tempat-tempat subur di padang pasir akan mampu menghindari rongrongan-rongrongan suku-suku gurun pasir.

Sebaliknya runtuhnya kemaharajaan mengacau-balaukan ketertiban sosial negara-negara penyanggah dan memungkinkan penduduk padang pasir atau padang rumput mengganggu lalu lintas perdagangan dan dengan demikian mengancam keamanan masyarakat permukiman.

Surutnya Al-Yaman sebagai kekuatan komersial utama di semenanjung itu, berpindahnya suku-suku pengembala ke Utara dan naiknya Mekkah sebagai pusat perdagangan, haruslah ditinjau dalam rangka hubungan-hubungan internasional kenegaraan dan dalam tatanan hubungan antara kota dan padang pasir.

Sementara persengketaan antara kerajaan-kerajaan luar, yakni kerajaan Parsi dari dinasti Sassaniah dan kerajaan Kristen Bizantium melawan kerajaan Himyariyah telah menghancurkan basis ekonomi Arabia Selatan, maka rusaknya bendungan Ma’rib, tak lain dari arti rontoknya kondisi-kondisi sosial di Arabia.

Kendati pun perdagangan luar negeri sangat berarti, namun ekonomi, dalam negeri Al-Yaman didasarkan pada pertanian irigasi, yang kuncinya adalah bendungan Ma’rib.

Ketika bendungan itu pertama kali bobol dalam tahun 450 M., kerajaan cukup kuat mengalokasikan sumber-sumber sendiri untuk melakukan perbaikan segera. Ketika bendungan itu bobol untuk kedua kalinya dalam tahun 542 situasi politiknya sudah berubah.

Kehancuran politik, ternyata tidak memungkinkan perbaikan bendungan itu, ketika bobol kembali dalam tahun 570. Akibatnya lahan-lahan luas yang subur tidak dapat dipakai dan kembali diduduki suku-suku pengembara dari masyarakat yang semula menetap.

Peristiwa tragis ini kemudian disebut von Grunebaum sebagai “pem-Badui-an-ulang”, yaitu pergeseran kekuasaan dari masyarakat permukiman ke masyarakat nomaden.

Krisis ini merupakan faktor tambahan bagi pemunculan Mekkah sebagai pusat usaha dan perdagangan di jazirah itu. Mekkah mampu untuk memeroleh sisa-sisa perdagangan al-Yaman.

Perang yang berkepanjangan antara Parsi dan Bizantium menyebabkan jalur perdagangan di teluk Parsi dan Laut Merah tidak aman, di samping melemahkan ekonomi negara-negara itu.

Akibatnya perdagangan pantai melalui Mekkah dan Yathrib makin lama, makin penting. Mengalirkan kekayaan ke Mekkah melahirkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan sosial, politik dan kebudayaan jazirah.” [Turner, hal. 46 – 48]12

Di samping posisi strategis dalam jalur perdagangan sebagaimana yang dijelaskan Turner, Mekkah yang merupakan kota tempat kelahiran Islam juga sudah menjadi kota suci bagi penziarah.

Pada masa itu Mekkah telah menjadi tempat ziarah spiritual yang memberikan keuntungan bagi penguasa di kota itu. Adapun Ka’bah di Mekkah sebelum Islam telah terlebih dahulu menjadi tempat religius.

Ka’bah pra-Islam, yang kemudian menjadi tempat suci Islam, adalah bangunan berbentuk kubus sederhana, yang awalnya tidak beratap, yang menjadi tempat penyimpanan batu meteor hitam yang diagungkan sebagai benda sakral.

Pada masa kemunculan Islam, bangunan itu dipugar tahun 608 oleh orang-orang Abissinia memanfaatkan bahan-bahan material dari sisa-sisa kapal Bizantium atau Abissinia yang hancur di Laut Merah. Kawasan yang dipandang sakral (haram) berada di sekitarnya. Para Jemaah haji beribadah ke sana setahun sekali dan memersembahkan berbagai korban.

Tradisi Islam menyebutkan bahwa Ka’bah awalnya dibangun oleh Adam meniru bentuk aslinya di surga, dan setelah banjir besar, Ka’bah dibangun kembali oleh Ibrahim dan Isma’il.

Setelah masa keduanya, pemeliharaan Ka,bah tetap berada di tangan keturunan Isma’il hingga akhirnya Banu Jurhum, dan kemudian Banu Khuza’ah, yang memerkenalkan penyembahan berhala, mulai menguasainya.

Lalu datang suku Quraisy, yang melanjutkan jalur keturunan Isma’il. Ketika sedang melakukan renovasi, Isma’il diberi batu hitam oleh Jibril, yang kini masih ditempatkan di sudut sebelah tenggara Ka’bah, dan termasuk dalam rangkaian-rangkaian ibadah haji.” [Hitti, hal. 125 – 126]17

Berbeda dengan kota-kota kerajaan-kerajaan agraris, Mekkah merupakan kota yang disokong oleh aktivitas perdagangan dan ziarah keagamaan.

Dari kegiatan itu terbentuklah kelas pedagang yang mengakumulasi kekayaan. Suku Quraisy sebagai sukunya Nabi Muhammad merupakan suatu suku penjaga tempat suci di Mekkah.

Bersamaan dengan akumulasi kekayaan dagang, luntur pula lah nilai-nilai kesukuan Badui nomaden dan juga terciptalah suatu kesenjangan sosial antara orang kaya kota dan orang miskin nomad.

’Muruwwah’ diartikan orang Arab sebagai semua kebajikan berdasarkan tradisi rakyat, yang melandasi nama baik anggota atau suku, termasuk mematuhi kewajiban-kewajiban kekeluargaan, keharusan memberikan perlindungan, keterbukaan menerima tamu dan pemuliaan hukum agung yaitu balas dendam berdarah. 

Di pusat perdagangan yang baru di Mekkah, bertepatan dengan lahirnya Muhammad, ‘Muruwwah’ sebagai suatu sistem moral dan setia-kawan kesukuan tidaklah lagi mempunyai relevansi sosial.

Kalau dalam kerangka gurun pasir setiap individu terikat pada adat suku dan statusnya ditentukan oleh kelahiran serta ketaatan pada ‘muruwwah’, maka sebaliknya ekonomi Mekkah mendorong individualisme dan motivasi prestasi.

Pembatasan-pembatasan kekayaan pribadi hilang sedikit demi sedikit. Kalau dulu ada batasan alami terhadap pemilikan (berikut penjaga) unta, sekarang adanya modal dan tersedianya barang-barang mewah dan logam-logam berharga telah memacu setiap orang untuk melipatkan kekayaan pribadinya, dengan demikian masyarakat menjadi jauh lebih beraneka dan berlapis-lapis.

Yatim piatu, janda dan para orang-orang tua tidak lagi dapat mengharapkan perlindungan sanak keluarga. Karena adat kesukuan telah runtuh dan mereka sadar, dan mereka makin lama makin takluk pada mekanisme pasar yang murni.

Suku sebagai unit utama kehidupan masyarakat diganti oleh kaum sebagai badan pengontrol sosial, akan tetapi satuan ini pun pada gilirannya, digantikan oleh hubungan perhambaan sahaya dengan tuan atau pekerja dengan majikan yang telah menjungkirbalikkan sistem status asal-usul yang asli.

Dengan begitu unit-unit sosial masyarakat Mekkah yang sebenarnya bukan lagi kaum dalam bentuk aslinya, bukan pula kelompok sanak keluarga setempat, tetapi gerombolan-gerombolan pedagang kaya, keluarga dan bawahan.

Para bawahan inipun terdiri atas beberapa kelompok. Pembedaan status yang dulu masalah kecil di kalangan pengembara pada rumput kini urusan penting di Mekkah.

Pembagian kerja yang makin terspesialisasi, orientasi prestasi dan keruntuhan moralitas tradisional serta dibarengi oleh individualisme yang garang telah melahirkan situasi sosial yang anomie [berkurangnya standar sosial atau etika yang biasa dalam diri individu/kelompok] di Mekkah.

Sebagai jawaban atas ketiadaan cara-cara atau norma-norma ini pencari-pencari keagamaan mulai bermunculan mencoba nilai-nilai baru yang akan memberikan koherensi [koherensi Red DK] kehidupan sosial dan personal.” [Turner, hal. 49 – 50]12

Dalam situasi naiknya pamor Mekkah sebagai kota dagang dan agama pascaruntuhnya kerajaan Arab agraris Himyar, munculnya ketimpangan sosial, serta terkikisnya nilai-nilai solidaritas suku Badui nomad, Muhammad lahir.

Berikut kami akan ringkaskan riwayat hidup Nabi Muhammad dengan mengacu pada Hitti (2018)17, Gibb (1980)27, Turner (1974)12, dan Ali (1949)28.

Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 571 M dari keturunan suku Quraisy. Ayahnya, Abdullah, meninggal saat ia masih di dalam kandungan. Ibunya, Aminah, meninggal saat ia berusia enam tahun.  Awalnya Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abd al-Muththalib. Kemudian setelah kakeknya meninggal ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.

Muhammad memiliki karakteristik pribadi yang berbeda dengan orang Arab yang lain. Dalam hal ini Ali (1949) mendiskripsikannya sebagai berikut:

Above all, his earlier life was marked by that rare characteristic, rarest of all in Arabia at the time, love of the poor, the orphan, the widow, the weak, the helpless and the slave.” [Ali, hal. 3]28

Selama masa mudanya, Muhammad bekerja sebagai wakil-niaga seorang janda pedagang yang kaya keturunan suku Quraisy di Mekkah, Khadijah.

Pada usia 25 tahun Muhammad menerima usulan pernikahan dari Khadijah yang berusia lebih tua 15 tahun, karena ia terkesan dengan kelurusan hati dan kehematan Muhammad. Perkawinan ini membawa Muhammad kepada sumber keuangan dan keberlimpahan ekonomi.

Turner (1974) berpendapat bahwa perkawinan Muhammad dengan Khadijah merupakan peristiwa yang penting karena dua alasan.

Pertama perkawinan itu memberi Muhammad waktu dan sumber keuangan untuk meditasi. Sesudah perkawinan itulah Muhammad memulai kebiasaannya secara teratur mengasingkan diri ke pegunungan Hira.

Mengasingkan diri ini memberinya kesempatan untuk merenungkan kelesuan fisik dan mental masyarakat Mekkah dan juga untuk menghibur diri atas kehilangan dua orang anak laki-lakinya sewaku masih kecil.

Yang kedua, perkawinan itu memerkenalkan kepada golongan elite perdagangan dan keuangan.” [Turner, hal. 52]12

Menjelang akhir bulan Ramadhan tahun 610 M., saat Muhammad sedang mengasingkan diri di gua Hira dan diliputi kegelisahan, keraguan, dan harapan akan kebenaran ia menerima wahyu pertamanya.

Malam terjadinya peristiwa itu dikenal sebagai “Malam Penuh Keagungan” (laylah al-qadr). Setelah wahyu pertama turun, yang menandai awal masa kenabiannya, berlangsung masa kekosongan atau masa jeda (fatrah).

Kemudian wahyu turun sepanjang hidup Muhammad dalam bentuk suara yang berbeda-beda dan kadang-kadang muncul sebagai gema lonceng (shalshalah al-jaras).

Pada akhir periode kenabiannya, wahyu tersebut turun dalam satu suara – surah-surah Madaniyah – yang dikenali sebagai suara Jibril.

Isi wahyu yang disampaikan kepada Muhammad merupakan afirmasi kepada monoteisme Semit yang sudah disampaikan oleh nabi-nabi disebutkan dalam Perjanjian Lama.

Seruan dan risalah yang disampaikan oleh Muhammad, putra Arab ini adalah seruan kenabian seperti yang disampaikan oleh nabi-nabi Ibrani lainnya yang disebutkan dalam Perjanjian Lama. 

Inti ajarannya menegaskan bahwa Tuhan itu Esa. Dia Mahakuasa. Dia adalah Pencipta alam raya. Dan bahwa akan datang hari pembalasan. Balasan pahala di surga menanti mereka yang melaksanakan perintah Tuhan, dan hukuman yang pedih di neraka menanti orang yang mengabaikannya.” [Hitti hal. 141 – 142]17

Sebagai suasana latar belakang yang memungkinkan penyebaran ajaran Muhammad kita telah mengetahui sebelumnya eksistensi monoteisme Semit di suku-suku nomad.

Para penganut monoteisme yang bukan termasuk golongan Yahudi dan Kristen tersebut di Mekkah, disebut kaum Hanif.

Dan situasi sosial ekonomi Arab pascaruntuhnya kerajaan Himyar yang kacau memersiapkan kemunculan Islam.

Istilah hanif terdapat dalam Qur’an sepuluh kali dalam bentuk tunggal dan dua kali dalam bentuk majemuk di mana istilah itu digunakan merumuskan agama Ibrahimi yang berbeda dari penyembah berhala, agama Yahudi dan Kristen.

Hal ini menunjukan bahwa ‘hanif’ dan ‘hanafiyyah’ dapat disamakan dengan ‘muslim’ dan Islam. …

dalam penelitian modern baru-baru ini dan upaya menelusuri kondisi-kondisi ekonomi dan budaya di Mekkah abad keenam, terdapat bukti sosiologis bahwa Mekkah saat itu siap untuk menyambut munculnya seorang tokoh kharismatik dan bentuk moralitas atau agama yang lebih mendasar dibanding dengan apa yang telah diberikan humanisme kesukuan-kesukuan maupun oleh orang-orang ‘hanifiyyah’”. [Turner, hal. 51 – 52]12

Pengikut-pengikut pertama Muhammad berasal dari keluarga dan orang-orang dekat lainnya.

His wife Khadijah, was the first to believe in him, and she was followed by other who were either his most intimate friends or closely related to him.” [Ali, hal. 4]28

Sepupu Muhammad, Ali, dan kawan sesukunya, Abu Bakr, juga mengikutinya. Kemudian setelah itu datanglah pengikut-pengikut baru yang kebanyakan berasal dari kalangan budak dan lapisan kelas bawah.

Ketika pengikut Muhammad semakin banyak, kelas aristokrat pedagang yang menguasai ekonomi Mekkah merasa terancam.

Gerakan dan seruan Muhammad mereka pandang sebagai bidah, dan bisa merugikan kepentingan ekonomi orang Quraisy yang merupakan penjaga Ka’bah, bangunan suci tempat ‘berkumpulnya’ sejumlah dewa dan pusat ibadah orang-orang Arab.” [Hitti, hal. 142]17

Salah satu orang dari kalangan aristokrat Quraisy di Mekkah yang menentang Muhammad adalah Abu Sufyan yang berasal dari keluarga Umayyah.

Lama-kelamaan pengikut Muhammad mengalami persekusi.

Ketika pengikut-pengikut baru, kebanyakan dari kalangan budak dan kelas bawah, mulai menambah jumlah barisan orang-orang beriman, masyarakat dan pemuka suku Quraisy mengganggap bahwa olok-olok dan makian yang selama ini mereka lontarkan ternyata tidak berpengaruh apa-apa.

Karena itu mulai menempuh jalan kekerasan.

Tindakan itu memaksa sebelas keluarga Mekkah bermigrasi ke Abissinia dan diikuti oleh sekitar 83 orang lainnya pada 615 M. Salah seorang migran yang paling terhormat adalah ‘Utsman ibn ‘Affan.

Para migran itu memeroleh suaka di daerah Najasi yang beragama Kristen, yang dengan tegas menolak mengembalikan orang-orang beriman itu ke tangan para penindas mereka.” [Hitti, hal. 142 – 143]

Muhammad pada awalnya masih dalam posisi relatif aman karena posisi istri dan pamannya yang cukup berpengaruh di dalam masyarakat Mekkah. Namun posisi ini mulai goyah ketika keduanya meninggal pada tahun 619 M.

Jika orang-orang Mekkah tidak mendengarkan dia, Muhammad mencoba berkhotbah di Taif, namun menemui kegagalan.

Jalan keluar dari keadaan mendesak ini muncul dari luar ketika pada tahun 620 M sekitar 75 orang Yatsrib yang terkesan oleh setiap perkataannya mengundang Muhammad untuk tinggal di Madinah dengan harapan dapat bertindak sebagai pendamai antara suku Khazraj dan Aws yang selalu bertikai17.

Setelah gagal dalam dakwahnya di Taif dan tempat kelahirannya, Muhammad mengijinkan 200 pengikutnya untuk menghindari kekejaman Quraisy dan pergi diam-diam ke Madinah; ia sendiri pergi menyusul dan tiba di sana pada 24 September 622.

Kejadian itu terkenal dengan sebutan hijrah – bukan sepenuhnya ‘pelarian’, tapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara saksama selama sekitar dua tahun sebelumnya.

Tujuh belas tahun kemudian, Khalifah Umar menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah sebagai awal tahun Islam, atau tahun Qamariyah (yang dimulai 16 Juli).” [Hitti, hal. 145]17

Peristiwa hijrah ini mentransformasi hidup Muhammad dari pengemban tugas kenabian menjadi pemimpin komunitas, kalau tidak mau dikatakan negarawan, hingga akhir hidupnya.

Dalam mengorganisasi masyarakat Madinah agama menyatu dengan kekuatan politik dan hal ini secara inheren berasal dari ajaran Islam sendiri.

In the mind of Mohammed (as in the minds of his opponents) the new religious association had long been conceived of as a community organized on political lines, not as a church within secular state.

In his exposition of prophetic history this was an essential part of the Divine purpose in sending prophets. We need not look outside Arabia for the source of this conception, although if Mohammed had done so he would have found religion and state bound up together in all contemporary organization, Persia, Byzantium, and Abyssinia. 

The novelty, then, at Medina was that the religious community was translated from theory to practice.” [Gibb, hal. 19]27

Adapun Madinah (Yatsrib) adalah kota yang berjarak kurang lebih 510 km di utara Mekkah yang sebelumnya telah dihuni oleh suku-suku Yahudi dari Banu Nadhir dan Banu Quraidzah di samping suku Aws dan Khazraj yang berasal dari Yaman.

Tanah di situ sangat cocok untuk ditanami kurma. Di tangan orang-orang Yahudi ini Madinah diubah menjadi kota pusat pertanian.17

Para pengikut Nabi yang berimigrasi dari Mekkah disebut kaum Muhajirin. Orang Madinah “asli” yang masuk Islam disebut kaum Anshar (para penolong).

Namun tampaknya memasukkan orang baru ke dalam suatu kota yang telah mapan dengan corak produksi agraris tidak serta merta menyebabkan integrasi langsung dalam sistem ekonomi tersebut.

Hitti menjelaskan bahwa solusi untuk memenuhi kebutuhan material kehidupan mereka, [kaum] Anshar melakukan hal yang biasa dilakukan suku-suku nomad sebelumnya yakni penjarahan kafilah yang membawa barang-barang dagangan.

Kegiatan itu sangat merugikan para pedagang di Mekkah yang dipimpin Abu Sufyan dari keluarga Umayyah. Keadaan tersebut meniscayakan konflik antara kedua kubu.

Dengan memanfaatkan masa-masa “gencatan senjata pada bulan suci” dan keinginan menyejahterakan para imigran (Muhajirin), umat Islam Madinah, yang kini disebut Anshar (para penolong), di bawah pemimpin barunya hendak menyergap sebuah kafilah dagang musim panas yang sedang menempuh perjalanan pulang dari Suriah ke Mekkah.

Tentu saja penyergapan itu akan memukul aktivitas utama kehidupan kota metropolis-perdagangan itu. Pemimpin kafilah, Abu Sufyan, mengetahui rencana tersebut dan mengirim berita ke Mekkah untuk meminta bantuan.

Pertempuran antara orang-orang Mekkah dan orang-orang Madinah, kebanyakan kaum Muhajirin, terjadi di Badar, 144,5 Km, sebelah barat daya Madinah pada bulan Ramadan 624 M.

Berkat kepemimpinan Muhammad, umat Islam yang berjumlah tiga ratus orang berhasil mengalahkan seribu orang Mekkah.

Seberapa pun pentingnya peristiwa itu dari sudut pandang militer, Perang Badar telah menjadi landasan kepemimpinan Muhammad. Islam telah memeroleh kemenangan pertama dan menentukan. Kemenangan itu sendiri ditafsirkan sebagai restu Tuhan terhadap agama baru itu. 

Semangat kedisiplinan dan tidak takut mati yang tercermin dalam kontak militer pertama ini merupakan ciri khas agama itu dalam seluruh penaklukannya yang lebih besar di masa-masa berikutnya. 

Memang benar bahwa pada tahun berikutnya (625 M), dalam perang Uhud, orang-orang Mekkah di bawah pimpinan Abu Sufyan, bisa membalas kekalahan mereka, bahkan berhasil melukai Nabi, namun kemenangan itu tidak bertahan lama.

Islam bangkit kembali, kemudian berubah dari posisi bertahan menjadi menyerang, dan tampaknya seruan dakwah Islam selalu mendapatkan sambutan.

Sejak saat itu, Islam menjadi sebuah agama dalam negara.

Dan di Madinah, setelah perang Badar, Islam berubah menjadi lebih dari sekedar agama negara – Islam merupakan negara itu sendiri. Sejak saat itu, dan bermula dari sana, Islam menjadi apa yang dikenal dunia saat ini, sebuah institusi militan.

Pada 627, sebuah ‘persekutuan’ (al-ahzab), yang terdiri atas orang-orang Mekkah dan tentara bayaran dari suku Badui dan Abissinia, kembali memerangi orang-orang Madinah.

Sekali lagi, pasukan kafir berbaris melawan Allah.

Atas usulan Salman, seorang muslim dari Persia, Muhammad memerintahkan pasukannya untuk menggali parit mengelilingi Madinah.

Tidak percaya dengan taktik perang semacam itu, yang menurut orang-orang Badui merupakan tindakan yang paling tidak jantan yang pernah mereka lihat, pasukan penyerang itu akhirnya bergerak mundur di akhir bulan setelah jatuh kurban sebayak 20 orang dari kedua belah pihak.

Setelah pengepungan berakhir, Muhammad menyerang orang-orang Yahudi karena ‘bersekongkol dengan pasukan penyerang’, yang mengakibatkan terbunuhnya 600 orang suku utama Yahudi, Banu Quraidzah, dan sisanya yang masih hidup, diusir dari Madinah.

Kelompok Muhajirin kemudian ditempatkan di daerah perkebunan kurma yang kosong karena ditinggalkan pemiliknya.

Banu Quraidzah, adalah musuh pertama Islam, namun bukan yang terakhir, yang ditawari dua pilihan: masuk Islam atau diperangi.

Setahun sebelumnya, Muhammad telah mengusir Banu Nadhir suku Yahudi lain di Madinah.

Orang-orang Yahudi Khaibar, sebuah daerah oasis yang dikeliliingi benteng di sebelah utara Madinah, menyerah pada 628 M dan bersedia membayar upeti.” [Hitti, hal. 146 – 147]17 

Dari penjelasan Hitti di atas terlihat ada perubahan watak perjuangan umat Islam awal dari bertahan (di Mekkah) menjadi agresif setelah mereka bermukim di Madinah.

Hitti juga menjelaskan di atas bahwa agresivitas tersebut didorong oleh kebutuhan material umat Islam awal yang belum menguasai tanah untuk dikelola sehingga memaksa mereka kembali pada cara-cara suku nomad menjalani kehidupan.

Namun setelah pengikut Muhammad memenangkan pertempuran, suku Yahudi yang menguasai tanah-tanah pertanian disingkirkan. Tanah-tanah tersebut kemudian dikuasai oleh kaum Muhajirin.

Orang tidak dapat mengabaikan motif ekonomi dibalik pengusiran tersebut.

Seorang sarjana Inggris, H. A. R. Gibb, memberikan penjelasan lain tentang agresivitas tersebut. Hal tersebut terkait dengan nilai strategis Mekkah.

Untuk memertahankan perdamaian dalam kota Madinah maka ancaman dari kota-kota lain perlu ditiadakan. Salah satu kota yang harus dijinakkan adalah Mekkah.

Di samping itu Mekkah memiliki arti yang strategis dalam penjelasan Gibb:

Mecca was moreover the intellectual and political leader of Western Arabia; so long as Mecca remind hostile the Islamic community was in danger of extinction.

More positively, Mohammed earnestly desired to enlist the talents of the Meccans in service of Islam.

Nowhere else in Western Arabia was there such intellectual grasp or such political capacity, though he realized as clearly that in depth religious conviction Medina was the real spiritual centre of the new community.” [Gibb, hal. 20]27

Pada tahun 628 M diadakan perjanjian Hudaybiyah yang mengakhiri perang antara umat Islam di Madinah dengan orang-orang Mekkah.

Rencana Muhammad untuk merekrut elite suku Quraisy dalam Islam seperti yang dikaji oleh Gibb di atas akhirnya terwujud. Di sini beberapa tokoh suku tersebut seperti Khalid ibn al-Walid yang dijuluki pedang Islam dan politisi ulung Amr ibn al-Ash masuk Islam.

Orang-orang Mekkah masuk Islam dan Muhammad yang sebelumnya meninggalkan Mekkah kini masuk Mekkah dengan kemenangan. Ia melenyapkan berbagai penyembahan berhala di Ka’bah.

Nabi meninggal pada tanggal 8 Juni 632 karena sakit sewaktu sedang menyiapkan sebuah kampanye ke Palestina Selatan12.

* * *

Setelah uraian di atas tentang riwayat singkat Muhammad dan kelahiran Islam kita kembali kepada Engels dan menemukan paralelitas antara sejarah agama Kristen awal dan agama Islam awal.

Keduanya berasal dari gerakan kaum tertindas. Keduanya juga berhasil merebut kekuasaan politik. Agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran romawi. Dari agama kelas tertindas kemudian menjadi agama penguasa. 

Sedangkan Islam telah menjadi agama (baca: ideologi) Negara mulai dari Madinah, Mekkah dan kemudian meluas dengan ekspansi serta penaklukan umat Islam di Timur Tengah.

Setelah Muhammad meninggal terjadi problem dalam menentukan pengganti pemimpin umat.

Khalifah Rasul Allah (Penerus Rasul Allah) pertama adalah Abu Bakr yang merupakan pendukung serta teman setia Nabi yang paling awal. Khalifah selanjutnya adalah Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakr.

Khalifah ketiga yang terpilih adalah Utsman yang berbeda dengan dua khalifah sebelumnya yang berasal dari kaum Muhajirin yang hijrah ke Madinah karena dipersekusi oleh orang Mekkah. Utsman ini berasal dari kelas aristokrat Mekkah, suatu kelas yang dulu memersekusi kaum Muhajirin. Latar belakang ini belum terlupakan dan menimbulkan benih perpecahan.

Meski demikian ketiga khalifah pertama ini terpilih berdasarkan institusi musyawarah kesukuan Arab yang demokratis, bukan berdasarkan keturunan.

Utsman kemudian digantikan oleh Ali. Pada masa khalifah keempat ini terjadi konflik berdarah sesama umat Islam. Pada tahun 661 Ali dibunuh dan Muawiyah dari dinasti Umayyah tampil sebagai khalifah.

Sejak saat itu khalifah diteruskan berdasarkan garis keturunan.

Para pendukung Ali yang militan membentuk partai Syiah kependekan dari shiat Ali (partai Ali)12. Islam yang tadinya didukung oleh kelas tertindas di Mekkah, kini dikuasai oleh kelas aristokrat berasal dari Mekkah.

Paralelitas sejarah agama Kristen awal dan agama Islam awal ini juga paralel dengan gerakan buruh yang ditunjukan Engels dalam On the History of Early Christianity26.

Dalam perjuangan menggulingkan kelas feodal, kaum buruh malahan dimanfaatkan oleh kelas kapitalis yang akhirnya merebut kekuasaan politik.

Yang menarik didiskusikan di sini adalah penjelasan sosiologis Weber terhadap kenabian secara umum. Sebagai penolakannya terhadap pandangan materialisme sejarah, Weber mengajukan teori “penerobosan kharismatis” nabi [Turner, hal. 35]12.

Dalam konteks Islam, aplikasi teori Weber ini menempatkan Nabi Muhammad sebagai simbol kepemimpinan kharismatis. Bagi Weber tugas kenabian tidak terpisahkan dari tradisi dan dalam konteks Islam ini berhubungan dengan cita-cita nomadik semit kuno yang terkikis.

Namun apabila aspek itu saja yang ditekankan maka penjelasan kemunculan Islam menjadi berat sebelah cenderung menekankan aspek psikologis pemimpin dan massa sehingga menjadi ahistoris dan mengabaikan kondisi sosial ekonomi yang membuat kehadiran pemimpin kharismatik jadi mungkin.

Weber akhirnya mengakui pengaruh material kekuatan basis ekonomi terhadap kelahiran Islam sebagaimana diamati oleh Turner. 

Sesudah mengakui Islam sebagai ‘misi murni kenabian’, Weber seterusnya memberikan penjelasan-penjelasan keberhasilan religius yang pada dasarnya bersifat ekonomis dan deterministis.

Weber rupanya diam-diam melansir kata, bahwa Nabi kian lama kian menyadari, bahwa posisinya tergantung dari keberhasilan memobilisasi prajurit-prajurit, yang diidentifikasi Weber sebagai kelompok pendukung agama baru itu.

Ada sejumlah pernyataan Weber yang sangat menonjol. Karena Muhammad gagal memeroleh pijakan yang cukup di Mekkah atas dasar ‘priestic conventicals’, ia terpaksa minta bantuan tenaga prajurit dan tak pelak lagi pesan-pesan monoteistisnya dibentuk dalam persepsi kepentingan-kepentingan militer.

Dengan demikian Islam menyiapkan dinamika psikologis untuk suatu kasta prajurit dan doktrin sosial Muhammad hampir seluruhnya diarahkan kepada tujuan persiapan psikologis orang-orang yang percaya untuk pertempuran, agar dapat dipelihara sejumlah maksimum prajurit-prajurit untuk kepercayaan itu.

Prajurit-prajurit seperti itu didorong, tidak hanya oleh syarat-syarat pengabdian murni kepada kharisma Nabi, tetapi oleh harapan mendapat tanah dan kekuasaan.

Karena itulah, perang suci dalam Islam pada intinya adalah suatu gerak-bisnis yang yang ditujukan ke arah pemenuhan bonus berupa harta tak bergerak, dengan demikian usaha-usaha itu utama sekali ditujukan kepada kepentingan tanah feodal.” [Turner, hal. 56 – 57]12

Meskipun Weber sudah mengakui dorongan ekonomi pengikut Muhammad untuk memeroleh tanah dalam ekspansi-ekspansinya, penilaian Weber ini dinilai masih berat sebelah oleh Turner karena memandang Islam sebagai hanya agama prajurit dan mengabaikan aspek aktivitas komersial (perdagangan) yang banyak diangkat dalam Al Quran dan kehidupan perkotaan yang berbeda dengan kehidupan nomad (Turner, hal. 57 – 60)12.

Aktivitas perdagangan dan kehidupan perkotaan ini dipresentasikan oleh kelas pedagang aristokrat Mekkah yang identik dengan keluarga Umayyah.

Untuk menanggapi kritik Turner terhadap Weber ini, kami mengacu kepada artikel Talal Asad yang menekankan faktor dorongan ekonomi penguasaan tanah dan nilai-nilai surplusnya yang lebih dominan ketimbang aktivitas perdagangan kelas aristokrat pedagang29.

Dalam artikel tersebut, Talal mengkritik pandangan Sulayman Bashir yang senada Turner menyoroti peran dominasi kelas pedagang elite suku Quraisy.

Oleh Bashir, kota-kota di Arab dipandang sebagai pos dari jalur perdagangan yang menghubungkan wilayah Timur dan Barat.

Masuknya Mekkah ke dalam pangkuan Islam pascaperjanjian Hudaybiyah dipandang jauh dari kekalahan kelas aristokrat pedagang kaya Mekkah, melainkan justru kemenangan karena pemimpin-pemimpin Islam diambil dari kelas tersebut. [Asad, hal. 451 – 452]29 

Bukti yang memerkuat Bashir, Khalifah ketiga Utsman dan wangsa Umayyah yang mengkudeta kekhalifahan Ali, keduanya berasal dari elite suku Quraisy.

Jadi bagi Bashir ekspansi Islam ke seluruh jazirah Arab dan sekitarnya dipandang sebagai representasi kepentingan kelas pedagang Quraisy dalam mengamankan jalur perdagangan.

Pandangan Bashir sebenarnya senada dengan kritik Turner terhadap Weber yang mengangkat Islam sebagai ideologi kelas pedagang.

Asad mengkritik pandangan (Bashir) tersebut dan menekankan transformasi basis material signifikan yang terjadi pada golongan elite Quraisy dari pelaku perdagangan menjadi penguasa tanah.

Negara (Syariah) Islam dipandang oleh Asad sebagai institusi politik pengekstrak nilai lebih hasil-hasil pengolahan tanah.

Now my argument so far has been primarily theoretical. I have been merely concerned to spell out some of conditions that favoured Mecca merchants as a group of long-distance traders who mediated exchange relations between politically independent social units.

And I have suggested that contrary to what Bashir maintains, an attempt at political centralization of the Arabian peninsula was not clearly in their interests as a merchant class. It does not follow that such an attempt was impossible, but only that it cannot be represented as necessary to their mercantile interest.

From an historical point of view it is not at all insignificant that the process of political unification accompanying the rise of Islam was launched not from Mecca but from Medina, whose economic base was not commerce but cultivation and pastoralism.

And while it is quite true that the conquest of Mecca by the Prophet did not spell the end of Quraysh importance, it did mean their end as merchant class.

In his concern to emphasise the continuing importance of Quraysh leaders before and after the Prophet’s death Bashir has missed this important structural transformation.

From being an autonomous differentiated merchantile class which acquired its income from the existence of exchange relation between politically independent entities, the Quraysh leaders became warrior, administrator, estate-holders, and recepients of state allowances in an empire.

In other words, within the space of a few decades after the incorporation of Mecca into the expanding umma, there was an almost total change in the dominant forms of property enjoyed by Quraysh.” [Asad, hal. 455]29

Pandangan Asad yang menyatakan bahwa terjadi transformasi basis ekonomi elite kelas pedagang menjadi tentara, birokrat, penguasa tanah, dan penerima tunjangan negara (warrior, administrator, estate-holder, and recepients of states allowances) menurut kami lebih dekat dengan posisi Marx dan Engels yang menempatkan bangunan bawah imperium Islam ke dalam corak produksi asiatik.

Pada bagian berikut ini akan diurai corak produksi asiatik secara khusus dalam dunia Islam.

.

Corak Produksi Asiatik dan Syariah Sebagai Bangunan Atasnya

.

[Berlanjut ke … silakan simak/klik hlm 135c-II — Red DK]

.

Referensi

  1. Perbankan Syariah, https://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Contents/Default.aspx, diakses tanggal 20 Maret 2019.
  2. Profil Baznas, http://baznas.go.id/profil, diakses tanggal 20 Maret 2019.
  3. Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, Clarendon Press, Oxford, 1982.
  4. Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Pustaka Al-Kautsar, 2016.
  5. E. von Grunebaum, Bab 2. Masalahnya: Kesatuan Dalam Keragaman, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  6. Bernard Lewis, Bab 15. Turki: Westernisasi, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  7. Joseph Schacht, Bab.5: Hukum Islam, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  8. Friedrich Engels, Excerpts from The Peasant War in Germany, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  9. Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Yusup Priyasudiarja (terj.), Narasi – Pustaka Promothea, Yogyakarta, 2015.
  10. From Max Weber: Essays in Sociology, H. H. Gerth & C. Wright Mills (Ed.), Oxford University Press, 1946.
  11. Karl Marx & Frederick Engels, Manifesto Partai Komunis, Surakarta, 17 Agustus 1995.
  12. Bryan S. Turner, Sosiologi Islam. Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber., Cetakan Pertama, Penerbit C. V. Rajawali, Jakarta, 1974.
  13. Frederick Engels, Surat kepada Joseph Bloch tanggal 21 – 22 September 1890, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  14. Karl Marx, Grundrisse, ditulis Oktober 1857 – 1858, dipublikasi pertama di Moscow 1939 oleh Institut Marx-Engels-Lenin.
  15. V. Stalin, Materialisme Dialektis dan Historis, terbit pertama tahun 1938.
  16. Karl Marx, A Contribution to The Critique of Political Economy. Preface.(terbit pertama tahun 1859), dalam Karl Marx & Friedrich Engels, Selected Works, Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1955.
  17. Philip K. Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamat Riyadi (terj.), Cetakan I, Zaman, 2018.
  18. Greg Soetomo, Bahasa dan Kekuasaan dalam Sejarah Islam. Suatu Riset Historiografi, Obor, 2018.
  19. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam. Vol. I: The Classical Age of Islam, The University Chicago Press, Chicago & London, 1974.
  20. Fauzan Muslim, Satra dan Masyarakat Arab. Zaman Umayyah-Abbasiyyah, Cetakan 1, Penaku, Jakarta, 2016.
  21. Lawrence Krader, The Asiatic Mode of Production. Sources, Development and Critique in the Writings of Karl Marx, Van Gorcum & Comp. B. V. – Assen, The Netherlands, 1975.
  22. Frederick Engels, Surat kepada Karl Marx tanggal 24 Mei 1853, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  23. Martin Buber, Moses The Revelation and The Convenant, Harper Torchbooks, 1958.
  24. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, Terj. I. J. Cairns, Cet. Ke-4, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
  25. Frederick Engels, The Origin Family, Private Property, and the State,
  26. Friedrich Engels, On the History of Early Christianity, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  27. A. R. Gibb, Islam, Oxford University Press, Oxford, fourth impression, 1980.
  28. Muhammad Ali, The Living Thought of the Prophet Muhammad, The Ahmadiyya Anjuman-I-Ishaat-I-Islam, Ahmadiyya Building, Lahore, Pakistan, 1949.
  29. Talal Asad, Ideology, class and the origin of the Islamic State. Text reviewed: Sulayman Bashir (1978) Tawazun an-naqaid; muhadarat fi-l-jahiliyya wa sadr al-islam (The Balance of Contradictions; lectures on the pre-Islamic period and early Islam), Jerusalem, Economy and Society, Vol. 9, No. 4, November, 1980.
  30. Maxime Rodinson, Islam dan Kapitalisme, Asep Hikmat (terj.), Penerbit Iqra, Bandung, 1982
  31. Surat Marx kepada Engels, London, 2 Juni 1853, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.
  32. Claude Cahen, Bab 5: Kaularaga Politik, dalam Islam – Kesatuan Dalam Keragaman, Gustave E. von Grunebaum (Ed), Yayasan Obor Indonesia & Lembaga Studi Islamika, 1983.
  33. Bernard Lewis, The Political Language of Islam, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1988.
  34. Akhmad Taufik, M. Dimyati Huda, Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Rajawali Press, 2005.
  35. Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, Seri INIS, Jilid IX, Jakarta, 1991.
  36. Bernard Lewis, Krisis Islam, Antara Jihad dan Teror yang Keji, PT Ina Publikatama, Jakarta, 2003.
  37. Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, Oxford University Press, New York, 2002.
  38. Frederick Engels, Anti-Duehring, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1959.
  39. Frederick Engels, dari artikel korespondensi kepada suratkabar kaum Chartist Inggris Northern Star, Vol XI, 22 Januari 1848, No. 535, hal. 7, dalam Marx & Engels. Basic Writings on Politics and philosophy., Lewis S. Feuer (Ed.), Anchor Books, 1989.

———

* Tulisan HM Isbakh Bagian II ini aslinya adalah utuh. Seperti halnya pada Bagian I, kami sengaja membaginya, di sini, atas tiga halaman (hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II), seijin penulisnya, semata untuk memberikan semacam jeda, waktu mengaso sebentar, pada perangkat pembaca budiman. Meski Referensi kami cantumkan pula bukan saja di akhir tulisan (hlm 135c-II) tapi juga pada hlm 135a-II dan hlm 135b-II ini.

Juga perlu kami jelaskan, bahwa alinea-alinea baru, kutipan-kutipan yang indent (masuk beberapa spasi ke arah kanan di awal alinea) termasuk cetak tebal (bila tidak ada keterangan dari penulis) adalah dari kami. Tanpa menyentuh isi sama sekali, lagi-lagi semata untuk “menyesuaikan” dengan perangkat (Red DK).

.