3a. Tiongkok itu Sosialis (1/6)-Film The Founding of a Republic-14 Desember  2010

.

Tiongkok itu Sosialis (1/6)

Ajar dari Film The Founding of a Republic

.

Ajar Pertama & Kedua : Nonkekerasan & Gotong Royong (Masohi) Politik ala Tiongkok

(Bagian Pertama dari Tiga Subtulisan)

.

.

Tulisan ini jelas bukan kritik atau ulasan sebuah film. Tetapi sebagai ajar dari sebuah negara. Dalam hal ini, ajar dari berdirinya Negara Tiongkok 2, Republik Rakyat Tiongkok (RRT)–lewat film The Founding of a Republic (FaR, Redaksi menyingkatnya).

Ajar yang tampil dalam 6 tulisan bersambung ini yang sekaligus untuk memerkuat argumentasi Redaksi bahwa Tingkok itu Sosialis. RRT itu adalah sebuah negara sosialis dan bukan kapitalis. Di penutup tulisan bersambung ini hal dimaksud Redaksi pertegas, simak hlm 10a atau klik ini.

Lamun (namun), untuk lebih memerjelas posisi dalam menanggapi film The Founding of a Republic (FaR) sebagai sebuah ajar, Redaksi justru mengawalinya lewat buah tangan seorang penimbang, Kevin Ma (klik http://www.lovehkfilm.com/panasia/founding_of_a_republic.html#re view). Salah seorang pengulas FaR yang Redaksi pilih secara  acak di dunia maya.

Artinya, ketika Kevin menegaskan ia akan mengulas dari sudut pandang sinema dan tidak akan mengkritik—sesuatu  yang menurutnya sudah tertebak—kecenderungan ideologi. Redaksi malah mengambil posisi sudut pandang ideologi 3 atas film FaR.

Atau ketika Kevin pada timbangan yang lain dalam “Kozo’s mini-review” (klik http://www.lovehkfilm.com/blog/damnyoukozo/2010/02/04/ 2009-hong-kong-movies-that-i-didnt-review-part-2/) melontarkan nada terkesan sumbang. Bahwa, bahkan sewaktu diajukan rekomendasi sangat mudah: Anda suka pada Tiongkok atau benci pada Tiongkok?

FaR, tegas Kevin, tidak akan merubah masing-masing pilihan jawaban Anda itu. Sehingga bila Anda berpegang teguh pada salah satu pilihan itu, maka Anda sudah separuhnya menyukai atau membenci film tersebut. Setengahnya lagi? Setengahnya, tidak peduli dialognya sedikit atau banyak, akan membawa Anda tertidur.

Untuk rekomendasi pertanyaan Kevin di atas, Redaksi sepakat dan memilih salah satu jawaban: “menyukai Tiongkok”. (Kenapa memilih “menyukai”, Redaksi berharap penjelasannya akan terang benderang begitu pembaca tamat menyimak tulisan ini). Tetapi setelah itu, separuhnya lagi, Redaksi justru diametral dengan Kevin.

Redaksi malah makin melotot. Segar. Jauh dari rasa kantuk apalagi tertidur. Tenggelam dalam totalitas menonton hingga adegan akhir. Tidak ada lagi persoalan unsur-unsur film semisal dialog dan seterusnya itu.

Inilah, bagi Redaksi, sebuah contoh bagus. Bagaimana saat seorang penimbang seni seperti Kevin yang atas nama pijakan nonideologi (baca: nonpolitik) lalu mengira ia bisa “terbebas” dari ideologi.

Ia justru sedang berkampanye untuk sebuah ideologi yang pada dasarnya berseberangan dengan ideologi FaR. Tentunya pada “kadar yang subtil/halus”. Yang “fun-fun”; “aman-aman” saja.

Seperti halnya junta militer Soeharto 4 menekan mahasiswa waktu itu agar tugas utama belajar bukan berpolitik 5. Maka justru Soeharto sedang menekan “secara subtil” para mahasiswa untuk berpolitik yang mendukung dirinya.

.

Lima Ajar yang Dipetik

.

Kegairahan menonton hingga tamat, bahkan sampai guliran teks penutup (diiringi lantunan merdu suara bocah perempuan) usai,  didorong oleh film itu sendiri. FaR yang memang sangat inspiratif—setidaknya bagi Redaksi.

“Kehausan” Redaksi akan informasi terkini tentang RRT—negara dengan populasi nomor wahid dunia; (tetap) berasaskan Marxisme-Leninisme (ML); perekonomian semakin kokoh (praktis) menggeser Amerika; dst—setidaknya sebagian terpenuhi sudah. Begitu banyak pesan dan ajar yang Redaksi petik dari film FaR.

Lamun, dengan terbatasnya ruang, hanya beberapa ajar, tepatnya 5 ajar saja, Redaksi tampilkan dalam tulisan bersambung ini.

Yang pasti, dua ajar pertama justru berasal dari maksud dibuatnya film tersebut—seperti dicantumkan pembuat film FaR  pada teks pembuka:

Film ini dipersembahkan untuk peringatan  60 tahun RRT dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (KKPRT) yang Pertama”.

(Diindonesiakan  Redaksi dari teks dalam bahasa Inggris: This film is dedicated to the 60th anniversary of The People’s Republic of China and The 1st Chinese People Political Consultative Conference [CPPCC]).

Redaksi maksudkan, ajar pertama yang Redaksi petik terkait peringatan 60 tahun lahirnya RRT. Dan ajar kedua bertalian peringatan (juga 60 tahun) Konferensi Konsultatif  Politik Rakyat Tiongkok atau KKPRT yang Pertama.

.

Ajar pertamajalan damai/nonkekerasan

.

Ajar pertama dimaksud adalah jalan damai atau nonkekerasan.

Jalan ini yang awalnya ditawarkan PKT (Partai Komunis Tiongkok) dan disepakati KMT (Kuomintang). Lalu sejarah membuktikan Ketua KMT Chiang Kai-shek malah mengkhianatinya dengan kekerasan. Berbuntut pecahnya perang saudara terdahsyat yang berakhir dengan proklamasi berdirinya negara RRT.

.

Ajar kedua: gotong royong/masohi/sari pati/perasan terakhir  Pancasila

.

Ajar kedua adalah gotong royong/masohi atau sari pati atau perasan terakhir dari dasar negara kita Pancasila.

Tentunya ada tanya besar, apa iya begitu. Tapi itulah yang setidaknya Redaksi tangkap. Argumentasi lengkapnya di bawah nanti. Di sini cukup ditegaskan, bahwa musyawarah mufakat sebagai salah satu wujud gotong royong justru adalah ajar yang Redaksi petik sejak awal film FaR itu. Setidaknya dari sesaat sebelum berkobarnya perang saudara itu hingga digelarnya KKPRT yang Pertama.

Ajar Pertama dan Kedua dalam ‘satu helaan nafas’

Khusus Ajar Pertama dan Kedua, Redaksi mengulasnya dalam ‘satu helaan nafas’. Seperti halnya film FaR itu sendiri yang ternyata konsisten pada kedua maksud dibuatnya film tersebut.

Malahan lantaran relatif panjang, subtulisan (Ajar Pertama dan Kedua) ini dibagi atas tiga bagian masing-masing dalam tiga pengeposan. Redaksi namakan:

Bagian Pertama dari Tiga Subtulisan  (lihat bawah), (klik) Bagian Kedua dari Tiga Subtulisan, dan (klik) Bagian Ketiga dari Tiga Subtulisan.

.

Ajar Ketiga: dasar negara RRT yang tidak berubah

.

Selanjutnya, Ajar Ketiga yang Redaksi petik, adalah dasar negara RRT yang tidak berubah—bahkan disempurnakan, diperkokoh oleh para pemimpin RRT pascaMao—yakni Marxisme-Leninisme (ML).

.

Ajar Keempat: sang tercundang, sang boneka

.

FaR memberi ajar lain lagi setidaknya bagi Redaksi. Bahwa sang tercundang (terkalahkan–Endarmoko, 2006), tak lain adalah sang boneka imperialis. Orang Tionghoa yang tercerabut dari sejarahnya sendiri, tanpa harga diri malah bangga, kemudian terusir dengan malu ke ketiak tuannya. Di kita pun seorang boneka dari tuan yang sama sudah sedekade lebih lengser. Namun tuan itu berhasil menempatkan “orangnya”, untuk tidak mengatakan sang boneka berikutnya.

.

Ajar Kelima: kapitalisme (baca: ekonomi pasar) untuk mencapai tujuan-antara masyarakat sosialis (berkarakteristik) Tiongkok berlanjut tujuan ideal masyarakat komunis

.

Hal yang—membuat terkejut Redaksi—ternyata sudah disadari betul oleh para pemimpin PKT ketika proklamasi RRT sudah di ambang pintu.

oOo

Dengan begitu, seperti disinggung di atas, pada pengeposan ini–14 Desember 2010–yang sedang pembaca simak, adalah Bagian Pertama dari Tiga Subtulisan. Tiga rangkaian subtulisan terkait Ajar Pertama dan Kedua.

Dilanjutkan Bagian Kedua dari Tiga Subtulisan, direncanakan pada pengeposan bulan depan 14 Januari 2011.

Bagian Ketiga/Terakhir dari Tiga Subtulisan–bagian terakhir dari tiga rangkaian subtulisan Ajar Pertama dan Kedua–direncanakan pada pengeposan 14 Februari 2011.

Lamun Ajar Ketiga baru pada pengeposan 14 April 2011.

Soalnya pada 14 Maret 2011 itu tepat 128 tahun wafatnya Karl Marx (1883), Redaksi berniat memuat utuh tulisan Soekarno menyambut peringatan 50 tahun wafatnya Marx di Majalah Fikiran Ra’jat edisi 1933—78 tahun silam.

Kemudian, Ajar Keempat direncanakan pada pengeposan 14 Mei 2011.

Dan Ajar Kelima baru pada pengeposan 14 Juli 2011. Mengapa?

Karena pada pengeposan 14 Juni 2011, dalam rangka memeringati Hari Jadi ke-66 Pancasila, Redaksi berencana memuat utuh Pidato Lahirnya Pancasila oleh Soekarno.

oOo

.

Ajar Pertama & Kedua : Nonkekerasan & Gotong Royong (Masohi) Politik

ala Tiongkok

(Bagian Pertama dari Tiga Subtulisan)

.

Awalnya Jalan Damai: Masohi Politik ala Tiongkok

Menjawab tanya di atas terkait Ajar Kedua, gotong royong atau masohi, sejujurnya, Redaksi terkesima. Tercengang, termangu-mangu, hilang akal, terjantur (Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, 2006).

Pasalnya, kesadaran “Bhineka Tunggal Ika”, semangat “musyawarah mufakat” sebagai salah satu wujud sari pati Pancasila  “gotong royong” atau “masohi” (Bahasa Indonesia serapan dari bahasa Melayu Ambon 6) yang menjadi kebanggaan kita itu ternyata sudah langsung dipraktikkan para politisi Tiongkok ketika akan membentuk sebuah nasion Tiongkok bersatu. Mereka menyebutnya “konsultatif politik”. Belakangan dikenal sebagai, seperti disinggung di atas, “konferensi konsultatif politik rakyat Tiongkok”, KKPRT.

Mungkin berlebihan, tapi bagi Redaksi, tak pelak lagi KKPRT adalah sebuah “Masohi Politik ala Tiongkok”. Sebuah praktik demokrasi yang didefinisikan oleh rakyat berkuasa—sampai sekarang masih menjadi bagian praktik politik RRT. Malah KKPRT tetap berperan strategis hari-hari ini. Menjadikannya salah satu modal utama dalam menapak jalan maha panjang sosialisme berkarakteristik Tiongkok menuju cita-cita ideal mereka masyarakat komunis. Keperkasan RRT kini, sulit untuk dilepaskan dari sumbangsih KKPRT, Masohi Politik ala Tiongkok itu.

Sementara di sisi lain, Redaksi menangkap pesan kuat pembuat film FaR, bahwa negara Tiongkok, RRT itu didirikan bermula dari jalan damai, bukan dengan kekerasan.

Redaksi melihat bahwa sebagai sebuah media audio visual, pembuat film FaR jelas sekali berkeinginan kuat menepis kampanye negatif pers Barat (juga pers kita pasca1965) tentang RRT yang penuh kekerasan. Bahwa kaum “Maois” itu, kaum “komunis” itu, identik pembunuhan, pembantaian, berdarah-darah, dst.

Dengan subtil para pembuat film FaR itu melawan kampanye itu dengan nonkekerasan. Melawan kekerasan dengan nonkekerasan lewat kampanye Masohi Politik ala Tiongkok KKPRT. Dengan subtil pula film FaR menunjukkan keinginan kuat para pemimpin Tiongkok untuk Bermasohi Politik ala Tiongkok ketimbang lewat kekerasan.

FaR pada hakikatnya sedang menjunjung harkat manusia tanpa harus menggunakan kekerasan sekalipun bukan hal tabu. “Jika perang itu dijatuhkan musuh kita, kita harus membalasnya,” ujar Mao.

Sehingga, sangat masuk akal, setidaknya bagi Redaksi, film FaR diawali dengan teks di layar penuh. Penjelasan atas gambar berikutnya, adegan pembuka, pesawat terbang yang membawa  Mao Zedong dan rombongan menemui pemerintah Kuomintang—untuk merundingkan perdamaian.

Pada 1945, ketika asap mesiu Perang Dunia II sudah menghilang, pecahnya perang Tiongkok di hari-hari mendatang masih tetap belum bisa dipastikan. Keputusan penting perlu diambil menyangkut nasib rakyat Tiongkok. Pada 28 Agustus, untuk menghasilkan pendirian sebuah nasion yang damai dan demokratis, Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT), terbang dari Yan’an ke Chongqing bertemu Chiang Kai-shek untuk negosiasi damai.

(Diindonesiakan Redaksi dari tampilan teks dalam bahasa Inggris)

(Bersambung Bagian Kedua dari Tiga Subtulisan)



___________________

1 ajar bermakna petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut); Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua,1999; selanjutnya disebut KBBI dalam rangkaian tulisan ini. (Idem catatan kaki 8 di hlm 2b atau klik ini).

2 Tiongkok sebuah negeri di Asia; Tionghoa bangsa yang tinggal di Tiongkok; dua kata yang dimaknai oleh KBBI. Untuk selanjutnya akan digunakan dalam blog ini sebagai ganti istilah Inggris China (berikut pelafalannya “caine”) yang saat ini secara luas dipakai bahkan oleh media massa cetak maupun elektronik papan atas. Paling banter Redaksi akan menyebut, misalnya, “tinta cina” atau “pecinan”.

Sekaligus, adalah secuil ikhtiar dari media elektronik pewarta warga ini untuk menularkan rasa bangga. Bahwa Bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa pengantar digunakan oleh sebuah negara berpopulasi nomor empat dunia, seluas daratan Eropa. Dengan pijakan unik Pancasila yang sejatinya menuju formasi sosial sosialistis. (Lihat hlm 1 “Mengenai Blog Ini” atau klik ini, juga hlm 2 “Mengenai Blok Ini-Formasi Sosial Sosialistis” atau klik ini)

3 Untuk keterangan lebih lanjut istilah “ideologi”, simak catatan kaki 2 di hlm 1 atau klik ini.

4 Untuk keterangan lebih lanjut istilah “junta militer“, simak catatan kaki 1 di hlm 2b atau klik ini.

5 Junta militer Soeharto lewat Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, NKK/BKK-nya Daoed Joesoef  (1978-83), menganjurkan mahasiswa agar tugas utama belajar bukan berpolitik. Hasilnya, dahsyat! Selepas hampir tiga dasawarsa (!), hari-hari ini, sebagian besar mahasiswa lebih suka “fun-fun”, “aman-aman” saja ketimbang berpolitik melawan arus utama: yang ribet, sepi, enggak heboh, sarat risiko lagi! Padahal Fuad Hassan telah mengakhiri NKK/BKK sejak 1990. (Simak Fadli Zon, klik Gerakan Mahasiswa dan Organisasi Kemahasiswaan Era 1990-an)

Untuk keterangan lebih lanjut istilah “masohi “, simak catatan kaki 1 di hlm 1 atau klik ini.


Satu tanggapan »

  1. Satu kata deh: “puyeng” ya bacanya kalau orang awam.

    Redaksi Dasar Kita

    Terima kasih orangawam sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Terima kasih juga untuk masukan. Kami sendiri mencoba mengambil posisi “pewarta warga” meski yang diacu–mau tak mau–diutamakan pada (karya) kaum cerdik pandai.

    Berharap setidaknya ada greget, semangat yang tertebar, syukur-syukur hinggap dan (apalagi) berbenih, sebiji sekalipun, untuk Indonesia yang lebih baik ke depannya.

    Salam hangat

    Suka

  2. Bagaimana dengan Indonesia?

    Redaksi Dasar Kita

    Terima kasih Bung Sawato, sudah mampir dan meninggalkan komentar berupa tanya pendek tapi sangat esensi dan menggelitik kami.

    Sebenarnya, jawaban atas pertanyaan Bung Sawato, ada dalam “keutuhan” tampilan blog kami ini. Yang mottonya: “pewarta warga untuk formasi sosial sosialistis”. Mengacu pada makalah Arief Budiman di HIPIS Palembang, 1984—termuat secara bersambung di hlm 44a dan 45a.

    Arief yang berargumen bahwa cita-cita masyarakat sosialisme Indonesia dengan kuat dinyatakan dalam Pancasila-UUD 1945.

    Atau kalau secara ringkas dapat kami sebutkan dan simpulkan, bahwa “reformasi pasar” ala Deng Xiaoping sudah lebih dulu diajukan oleh Soekarno dalam konsep Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

    Bedanya, RRT punya partai tunggal berkuasa PKT (Partai Komunis Tiongkok)–lantaran masih ada 8 partai lainnya tidak berkuasa–yang melakoni “kediktatoran proletariat” (baca: sebagai penjamin sekaligus pengawal yang keberpihakannya pada rakyat tak diragukan lagi) jalannya “sosialisme berkarakteristik Tiongkok”. Sementara di kita, Soekarno menawarkan Front Persatuan/FP “Nasionalis-Islamis-Marxis” (simak hlm 23c) yang dalam 50 tahun terakhir ini mendapat konotasi “buruk” dalam istilah “Nasakom”.

    Dan dari pemahaman kami, FP “berfungsi serupa” dengan PKT khususnya menghadapi “biang kerok”, pengadu domba, pengusung politik devide et impera negeri-negeri Dunia Ketiga sejak era Soekarno hingga yang terbarui di abad 21 Ukraina—menyusuli Irak Libia Suriah. FP yang ternyata secara teoritis, sudah ditawarkan Lenin dalam konteks pembebasan nasional negeri-negeri jajahan. Memungkinkan negeri-negeri bersangkutan melangkaui (bypass) kapitalisme menuju orientasi sosialis. (Simak hlm 23a, 24b, 25a).

    Jadi ketika Sukarno di-Kudeta-Merangkak, berantakanlah seluruh “perangkat lunak” untuk sebuah RI yang Trisakti (berdaulat politik, mandiri/berdikari ekonomi, berkepribadian budaya sendiri) atas dasar masohi/gotong royong sari pati Pancasila. Hal yang ½ abad kemudian akan dicoba direnda kembali oleh Jokowi-JK–seperti dengan jelas tertera dalam visi misi mereka (simak hlm 44b)–juga dengan FP tapi minus kaum Marxis-Leninis, lantaran belum lagi eksis secara politik.

    Meski ada perbedaan hakiki dengan era Soekarno. Hadirnya UUD 2002/niramendemen UUD 1945 secara de facto bukan de jure berhubung masih hadirnya secara legal Dekrit 5 Juli 1959. Menjadikan Pancasila-UUD 45 “masuk kotak”. (Simak hlm 21a 22a)

    Sebuah keberhasilan kaum imperialis dan begundalnya (baca: NDI-Madeleine Albright dan “link”-nya di Indonesia)–menggenapi “prelude” 1965–yang bagaikan kiriman santet mematikan, tidak menimbulkan kehebohan boro-boro sebutir peluru meletus. “Penyelundupan Hukum”, para politisi dan pakar hukum kita waktu itu menyebutnya.

    Yang selama 4 tahun (1999-2002) para penyelundup bertopeng “wakil rakyat” di Senayan itu “bekerja keras” demi kepentingan kaum penjajah berbuahkan 4 “amendemen” (1 “amendemen” per tahun). Berbarengan kita “disibukkan” dengan kerusuhan Ambon yang (kok bisa) berlangsung lama (1999 hingga sekitar 2005-2006). Beda-beda tipis dengan kiprahnya Gubernur Ambon de Vlaming van Oudshorn yang selama sekitar 5 tahun di pertengahan abad ke-17 memporakporandakan jazirah Hoamoal di ujung barat Pulau Seram (karenanya dikenal pula sebagai “The Hoamoal War” atau orang-orang Ambon tempo dulu menyebutnya “zaman de Vlaming”). Berbuntut dimonopolinya perdagangan cengkeh oleh VOC.(Simak hlm 13a)

    Sehingga, bagi kami justru adalah menjadi tugas 5 parpol FP Nasionalis-Islamis itu untuk membantu “mengkondusifkan” habitat UUD 2002 menjadi habitat UUD 45. Sehingga pemerintah Jokowi-JK tinggal “getok palu” dekritkan batalnya demi hukum UUD 2002. Dan FP pun lanjutkan dengan kerja mahakeras untuk segera mengamendemen pada greget Tritunggal UUD 45 (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan)–simak hlm 42a.

    Sebuah pertarungan sejati melawan musuh sejati Soekarno sejak mudanya, “Perjuangan Kemerdekaan Jilid 2” kami menyebutnya. Sehingga kami termasuk yang promasyarakat madani yang kuat yang bermasohi dengan FP untuk menghadirkan Negara yang lebih kuat lagi–seturut visi misi Jokowi-JK. Dengan salah satu tujuan terdekatnya menghalau neolib. (Simak hlm 18b)

    Di sinilah Bung Sawato, secara garis besar menurut hemat kami perbedaan kita dan Tiongkok, RI dan RRT. Dari sudut pandang basis sebuah negeri di mana berdiri superstruktur yang bersesuaian. (Simak hlm 23a untuk sekadar gambaran pendekatan materialis ini)

    Terima kasih. Salam hangat.

    Suka

Tinggalkan komentar