Investigators of Empirical Facts”:

Berpikir ala Machisme

Ketika “Kiri” Minus “Ultimate Aim

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

 

Meski tajuk di atas sepintas ‘wah’ dan memang bernarasumber atau setidaknya terkait dengan Lenin, risalah Redaksi Dasar Kita pada pengeposan kali ini, sesungguhnya sebuah warita pendek.

Kabar singkat dari sebuah blog pewarta warga yang mewaritakan sebuah diskusi kecil (termasuk lewat WA) dengan dua kawan (katakanlah) aktivis-kiri, di salah satu acara “Belok Kiri Festival” (BKF). Di mana yang seorang dikenal bergiat di era Soeharto sedang ‘kencang-kencang’-nya. Seorang lagi jelang Soeharto lengser. Masing-masing kami sebut saja Binsar dan Yuang.

Di sela-sela jeda diskusi BKF pada suatu hari Minggu (6/3/2016) itu, Redaksi mencoba mengamprokkan keduanya dengan mengajukan tanya pada Binsar: “Tiongkok itu Sosialis?”

Silang pendapat antara Redaksi dan Binsar yang sempat ‘seru’ disimak Yuang tanpa komen. Hingga pembicaraan terhenti berhubung sesi berikutnya acara BKF akan berlanjut – Zely Ariene pembicaranya.

Tetapi diskusi kami dengan Yuang terus berlanjut lewat WA. Bukan saja menanggapi obrolan Redaksi-Binsar tersebut malah termasuk merespons Zely.

Redaksi mencoba merangkumnya di sini. Berharap teman-teman yang berangkat dari doktrin Marxian (setidaknya) lebih sensi pada geopolitik dunia yang hari-hari ini sedang ‘disemarakkan’ oleh OBOR (One Belt One Road) yang digagas Beijing/Xi Jinping.

Gagasan yang ‘jalur-darat’-nya “The Silk Road Economy Belt” dideklarasikan Xi Jinping di Astana, Ibukota Kazakhstan (September 2013). Dan ‘jalur-laut’-nya “The 21st Century Maritime Silk Road” di Gedung MPR Jakarta (Oktober 2013) – masih di era SBY yang menampik (atas tekanan Washington, versi RT) bergabung bank terkait yakni AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank). Tetapi Indonesia di bawah Jokowi tercatat sebagai founding member ke-22 AIIB, satu-satunya negara yang bergabung (25/11/2014) hanya selang sebulan sejak AIIB didirikan (24/10/2014). (Simak hlm 50d).

Visi Jokowi jalan ideologis Trisakti-Gotong Royong tak lain adalah salah satu dari konsep Panca Azimat (baca: sosialisme ala Indonesia) dengan cita-cita Ampera (sejatinya masyarakat ‘dari masing-masing sesuai kemampuan/kerjanya, kepada masing-masing sesuai kebutuhannya’). Konsep yang hemat Redaksi adalah ‘hasil kolaboratif’ — secara tacit knowledge (tak kasat mata ada di alam pikiran masing-masing) yang ‘saling bersinergi’ — antara PKI dan Soekarno jelang digelarnya Doktrin Truman di Jakarta pada 1965. (Simak hlm 56a).

Dalam pemahaman kami atas perspektif Pepe Escobar (simak hlm 53a), seorang kontributor/analisis untuk RT (d/h Russia Today) dan TomDispatch, Jokowi telah memilih model “pengintegrasian Eurasia” dengan bergabung AIIB/OBOR, memunggungi  model satu lagi yang ditawarkan Escobar “penyebaran Empire of Chaos”.

Dengan sikap geopolitik Jokowi semacam itu, kami mencoba ‘memanfaatkan peluang’ tersebut, jalan ideologis Jokowi-JK, dengan ‘langkah kecil’ mengamini bidasan Yuang di bawah ini – yang sudah dilengkapi-sunting berikut acuan terkait, diawali silang pendapat …

Redaksi DK – Binsar

“Ya, gua setuju-setuju aja Tiongkok sosialis,” Binsar menjawab kami. Namun, rupanya Binsar masih memberi imbuhan “tapi” untuk Tiongkok yang sosialis itu dengan menyebut kesenjangan kota-desa, kaya-miskin dalam konteks “kontradiksi” juga isu demokrasi-HAM di RRT.

Ketika kami mengatakan bahwa bukankah ini sebuah konsekuensi logis jalan kapitalis yang ditempuh untuk “mematangkan” RRT sebagai tahapan most advanced country (MPK Marx-Engels, 1848/Surakarta 17-8-1995).

Atau tahapan di mana ekonomi komoditi telah mencapai pengembangan penuh, yang dari sudut pandang cetak biru ekonomi terencana secara kasar didesain oleh Marx, dengan letih ditransformasikan Uni Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur. Negeri-negeri di mana ekonomi komoditi belum berkembang dan ekonomi natural menempati suatu bagian terbesar pada ekonomi nasional  (simak Duan Zhongqiao, hlm 40b).

Di samping PKT sendiri sejak 2013 sudah melansir “Cetak Biru Reformasi” dengan isu utama kesenjangan perdesaan-perkotaan selaras tujuan partai untuk mencapai masyarakat berada (well-off society). (Simak hlm 38c).

Dan, terkait isu demokrasi-HAM Binsar itu, bukankah dengan 700 juta penduduk perdesaan yang terangkat dari kemiskinan ekstrim versi Bank Dunia dalam tempo ‘hanya’ 36 tahun (1978-2014, simak hlm 67b) “Tiongkok adalah Kontribusi Terbesar Dunia bagi Pengembangan Riil Hak-Hak Asasi Manusia” (John Ross, simak hlm 52a).

Binsar lalu menegaskan bahwa dirinya menggunakan pendekatan “induksi” dalam melihat Tiongkok hari ini. Fakta-fakta di lapangan itu yang menjadi perhati Binsar. Dan kembali menekankan kontradiksi yang terjadi walau mengakui pengetasan kemiskinan di RRT yang sangat signifikan itu. (Isu kontradiksi ditanggapi Yuang lewat WA yang menyebutnya ada perbedaan antara  kontradiksi antagonistis dan kontradiksi nonantagonistis — lihat bawah).

Dan kemudian sama-sama disadari: Binsar membaca Indonesia secara induksi pasca-1965 sementara kami lebih pada keberhasilan imperialisme lewat Doktrin Truman. Sekaligus bagi kami kegagalan tahap tertinggi kapitalisme itu begitu Trisakti hadir kembali di panggung politik Indonesia permulaan abad ke-21. (Ibid hlm 56a).

Karenanya ideologi negara*** menjadi perhati kami termasuk ‘digenapinya Kesaktian Pancasila’ menjadi konstitusi gadungan UUD 2002 – saat kerusuhan Ambon sedang marak-maraknya: 1 “amendemen” per tahun selama 4 tahun (1999-2002).  Sebuah konstitusi baru bukan lagi amendemen yang sejatinya seturut citra mereka kaum pembohong dan agresor di Irak-Libia* (kini Suriah**): sarat neolib. (Simak hlm 21a).

——–

* Kemarin, Irak dan Bush dan Blair adalah para pembohong dan agresor ketika  mereka membuat pernyataan tak berdasar atas kepemilikan senjata pemusnah massal. Kini, negara-negara NATO adalah para pembohong dan agresor ketika mereka membuat pernyataan serupa yang tak berdasar atas perusakan kehidupan sipil oleh Kadhafi.

(Robert Mugabe, Presiden Zimbabwe di SU PBB ke-66 22 September 2013, New York)

** Data terbarui: dengan serangan udara Rusia (digelar sejak 30 September 2015) termasuk rudal-rudal yang ditembakkan dari kapal perang Rusia, bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata Pemerintah Suriah, ‘hanya’ dalam kurun 5 bulan (hingga 15 Maret 2016) di mana antara lain 9.000 sorties (serangan-serangan mendadak) serta 400 kawasan berpenduduk yang dibebaskan dari kaum pemberontak/teroris, ‘memaksa’ Washington/NATO ke meja perundingan di Jenewa. Untuk tidak mengatakan upaya imperialis meng-Saddam-Khadafi-kan Assad praktis gagal total.

Sementara Rusia yang menarik pulang pesawat-pesawat tempurnya dari pangkalan-pangkalan udara di Suriah pada pertengah Maret 2015 itu (bukti gamblang Rusia yang bukan agresor), masih “berlanjut” dengan menggelar 70-an lebih drone atau pesawat tanpa awak (UAV) melengkapi kerja intelijen termasuk konstelasi satelit mereka dalam konteks (ini yang membedakan dengan kaum imperialis) mentaati genjatan senjata.

(Simak pengeposan terbarui di hlm 71b; juga untuk dalih keterlibatan serangan udara Rusia dimaksud, simak hlm 65c).

*** Ideologi negara yang kami maksudkan di sini, bukanlah dalam pemahaman “ideologi” seperti yang dimaksud (pinjam istilah Yuang, simak pengeposan terbarui di hlm 71d) Kaum Kiri Secara Tidak Marxis.  Kaum yang menurut Yuang dan kami sepakati, menolak pengetahuan aproiri: analisis basis material imperialisme.

Tetapi lebih pada konstitusi 18 Agustus 1945 dalam konteks “negara dan hukum” versi kaum materialis yang antara lain berpendapat: “Teori Marxis-Leninis mengenai negara dan hukum adalah sebuah ilmu hukum politik [politico-legal] yang bertautan erat, di satu pihak, dengan filsafat dialektika dan materialisme historis, ekonomi politik, dan sosialisme ilmiah, dan di lain pihak, dengan berbagai sektor dan ilmu hukum terapan [applied legal sciences].  Yang juga berhubungan dengan ilmu-ilmu alam dan teknik.

(“Theory of State and Law” Contributors: A. Denisov, A. Kenenov, O. Leist, [et al /dan lain-lain], Progress Publisher, 1987:7; dibahasaindonesiakan oleh Redaksi DK).      .

“Investigators of Empirical Facts”: Berpikir ala Machisme

“Gaya berpikir Binsar yang induktif, bertolak dari kenyataan* itu, mirip sebuah kecenderungan di dalam filsafat yang disebut dengan positivisme,” tulis Yuang dalam WA ke Redaksi.

——–

* Gaya berpikir Binsar yang bertolak dari kenyaataan/empiris ini, pada pengeposan kami terbarui, Yuang saat menanggapi wawancara majalah Prisma dengan Arief Budiman (hlm 71d) menyebutnya “pendekatan apriori”. Pendekatan yang dimulai dari basis yakni tenaga produktif. Silakan simak penjelasan Yuan selanjutnya mengenai pendekatan “basis-superstruktur” ini di hlm 71d tersebut.

Mengenai filsafat positivisme itu, Yuang mengacu pada ‘manual ML’ (selanjutnya MML) di bawah Chapter 1. Philosopical Materialism, butir 6. Opponents of Philosophical Materialism, subtajuk The Attempt to Lay Down a “Third” Line in Philosophy (“Fundamentals of Marxism and Leninism Manual”, Second Revised Edition, Foreign Language Publishing House 1963: 43-45. Kutipan versi Bahasa adalah dari kami — Red DK).

Positivisme yang muncul pada paruh pertama abad [ke-19 — Red DK] yang lalu, menurut MML (:43), mewakili sebuah lini “ketiga” dalam filsafat [“third” line in philosophy ] karena berdiri “di atas” [above] baik filsafat materialisme maupun idealisme.*

———

Persoalan relasi pikiran manusia atas material adalah persoalan mendasar dari seluruh variasi filsafat, termasuk yang paling terkini. Mana yang primer [primary] keberadaan/ada [being] atau berpikir [thinking]? Para filsuf terbagi ke dalam dua kubu besar [two great camps] sesuai dengan bagaimana [masing-masing] mereka menjawab pertanyaan ini.

Mereka yang perhati bahwa basis material — alam [nature] — adalah primer [dan] memandang pikiran [thought], spirit sebagai properti [milik] dari materi [matter], menjadi bagian dari kubu “materialisme”.

Mereka yang memertahankan pikiran, spirit atau ide itu eksis sebelum alam dan alam itu ada, dalam satu dan lain cara, penciptaan spirit dan ketergantungan padanya, tercakup [dalam] kubu “idealisme”.

(MML: 43)

Kaum yang seperti Binsar ini, lanjut Yuang, disebut “investigators of empirical facts” [kaum penyidik fakta-fakta empiris — Red DK] yang sudah diembat Lenin dalam sebuah bukunya yang tebal Materialism and Emperio Critism.

Klaim sebagai kaum penyidik fakta-fakta empiris ini, mengacu manual ML (ibid: 43), lantaran klaim mereka sebagai men of science [manusia ilmu pengetahuan], kaum yang bukan materialis maupun idealis.

Tetapi sesungguhnya, kaum ini menyerang materialisme bersama-sama dengan kaum idealis, ke kubu mana mereka menjadi bagian.

“Tetapi kenyataan itu, fakta bagi kaum ini dibatasi ‘persepsi’ dan ‘sensasi’ saja (baca: terbatas pada kenyataan lapangan yang sanggup ditangkap saja). Bila ada hal lain yang tidak berasal dari sensasi atau persepsi, ditolak,” Yuang menimpali.

WA dari Yuang ini ‘dijelaskan-lanjut’ oleh MML (: 43):

“Untuk menolak menjawab pertanyaan mendasar dari filsafat dan mengafirmasi [menegaskan] bahwa hal tersebut tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, kaum positivis menutupi diri mereka sendiri dari dunia material, mengisolasi diri mereka di dalam kerangka kerja [framework] dari kesadaran mereka sendiri sehingga bergeser ke posisi idealisme subjektif*

——–

Di samping idealisme objektif**, yang menggerakkan [drives] alam dari beberapa ide ilahi [some divine idea], ada pula idealisme subjektif, yang menyatakan [asserts] bahwa hal-hal material hanyalah jumlah total  kesadaran-kesadaran, pikiran-pikiran kita. 

———

** Pandangan idealis atas dunia di dalam bentuknya yang paling primitif, tetapi tetap yang paling luas tersebar, menemukan ekspresinya dalam doktrin religius dari spirit nonmaterial, atau keilahan [deity], yang diandaikan hadir sebelum sistem alam semesta [physical universe] dan [malah] diciptakannya.

Filsafat ini [idealisme subjektif] membuat dunia bagian dari kesadaran subjek, artinya [bagian] dari pengakuan manusia [cognising human being].

[Seorang] Idealis subjektif akan bertanya: Apa yang saya tahu tentang hal-hal di sekeliling saya? Dan jawabnya adalah: Hanyalah sensasi dari warna, rasa [taste], bau [odour], kepekatan [density], bentuk [form], dan seterusnya. […]

Idealisme subjektif adalah distorsi kasar [/mementahkan; crude distortion] relasi aktual antara persepsi kita dan berbagai hal [things]. Ia mengidentifikasikan persepsi manusia dengan hal-hal yang dipandangnya [perceived].   

Kesimpulan logis yang bisa ditarik dari ajaran dasar idealisme subjektif tersebut adalah ini: hal-hal [/segala-sesuatu; things] dan persepsi mereka adalah satu dan sama. Tetapi dalam kasus itu kita harus menyimpulkan bahwa keseluruhan dunia diciptakan oleh saya sendiri, oleh kesadaran saya, dan semua individu-individu yang lain, termasuk orang tua saya, hanyalah persepsi pikiran saya [my mind] dan tidak eksis secara objektif.

Jadi idealisme subjektif mengarah pada [lead to] solipsisme [solipsism] (dari istilah Latin solus bermakna sendirian [alone] dan ipse bermakna sendiri [self]), sebuah filsafat absurd yang menyatakan bahwa hanya saya sendiri yang eksis, dan bahwa keseluruhan dunia, termasuk orang-orang lain, semata-mata isapan jempol [figments] dari imajinasi saya.

Setiap bentuk idealisme subjektif mau tak mau [/terikat; bound] untuk mengarah pada konklusi solipsitis, dan hal ini membuktikan kepalsuannya itu.   

(MML: 42)

Tetapi upaya menghadirkan lini “ketiga” dalam sejarah filsafat yang termanifestasikan dalam Machisme, dimentahkan oleh MML — terutama dengan mengacu kritik Lenin yang keras atas kaum Machian dalam bukunya yang disinggung Yuang Materialism and Empirio-Criticism itu.

Seluruh sejarah filsafat menunjukkan tidak ada dan tidak mungkin ada lini “ketiga” apapun dalam filsafat di samping materialisme dan idealisme.

 Semakin cepat hal itu disadari oleh para penganutnya, semakin cepat mereka akan terbebas dari kebingungan [kaum] positivis [positivist confusion] dan dengan kuat mengalaskan diri mereka pada dasar ilmu pengetahuan dari filsafat materialis.

Pada pergantian abad [XIX ke XX], positivisme memanifestasikan dirinya sebagai Machisme, untuk menghormati Ernst Mach, seorang fisikawan [physicist] dan filsuf Austria, [filsafatnya] yang juga dikenal sebagai empirio-criticism (kritisme pengalaman [the criticism of experience]. 

Mach dan para pengikutnya, khususnya muridnya orang Rusia A Bogdanov, mengklaim telah mengatasi “one-sidedness” [satu keberpihakan] atas materialisme dan idealisme. Tetapi kenyataannya, filsafat Mach pada dasarnya sebuah variasi dari idealisme subjektif [lihat atas]. 

Mach mengafirmasi bahwa “elemen-elemen” primer dari alam semesta adalah impresi-impresi rasa [sense impressions]. Segala sesuatu adalah “kompleks elemen-elemen” [complex of elemets] (atau impresi-impresi rasa) dan seluruh alam adalah jumlah total “urutan elemen-elemen” [sequences of elements] yang “disusun” [“arranged”] oleh manusia dalam memikirkan tentang dunia.

Lamun, kaum Machian cermat dalam menyembunyikan esensi idealis subjektif pandangan mereka dengan mengklaim bahwa elemen-elemen ini (impresi-impresi rasa) adalah “netral”, bukanlah materialis maupun idealis, dan bukan fisik maupun karakter mental.

Menyajikan maksud yang sama untuk menutupi idealisme, dengan mengklaim bahwa filsafat mereka seluruhnya didasarkan pada “pengalaman” [“experience”], dan pengalaman itu  adalah sumber dari semua pengetahuan.

Filsafat reaksioner Machisme ini dikritik oleh Lenin dalam bukunya Materialism and Empirio-Criticism.

Lenin menunjukkan bahwa referensi kaum Machian atas “pengalaman” tidak membuat filsafat mereka sebuah ilmu pengetahuan. Lantaran “pengalaman” dapat ditafsirkan dengan cara materialis dan idealis.

Materialis mengakui bahwa semua pengetahuan kita berasal dari pengalaman, tetapi saat bersamaan, ia [Lenin] menekankan bahwa pengalaman ini terlibat dengan [deals with] dunia objektif eksternal [external objective world], dengan kata lain, pengalaman kita memiliki sebuah konten objektif.

[Hemat kami, Redaksi Dasar Kita, pendekatan Lenin ini yang mendasari empat aksara Mao Zedong “seek truth from facts” untuk meringkaskan garis ideologis “dialetik materialisme historis”; ungkapan Mao yang kemudian menjadi terkenal oleh Deng Xiaoping yang menggunakannya sebagai “kata-kata kunci” dalam melakoni “reformasi pasar” menghantar Tiongkok menjadi raksasa ekonomi saat ini  — simak risalah terbarui kami di hlm 81b].

Machian, sementara sepakat bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman, menyangkal eksistensi dari realitas objektif yang diberikan dalam pengalaman. Malahan mereka berpendapat bahwa pengalaman perhati [concerned] bukan dengan dunia objektif, tetapi semata-mata dengan sensasi, persepsi dan konsepsi kita dan investigasi kita harus dibatasi hal ini.

Pendeknya, Machian dalam kenyataannya mengadopsi pandangan idealisme subjektif.

[…]

Ia [Lenin] menulis: “Setiap orang tahu bahwa sensasi manusia itu ada; tetapi sensasi independen dari manusia, sensasi lebih dulu dari manusia, adalah omong kosong, sebuah abstraksi tak bernyawa [lifeless abstarction], sebuah kecerdikan [kaum] idealis”.

[…]

Apakah alam eksis lebih dulu dari manusia, tanya Lenin pada kaum Machian. Bila alam adalah ciptaan pikiran manusia, bila ia dapat direduksi pada sensasi, maka konsekuensinya manusia yang membuat alam, dan bukan sebaliknya. Sekarang kita tahu dari ilmu pengetahuan alam [natural sciences] bahwa alam hadir jauh sebelum manusia.

[…]

Apakah orang lain hadir di samping saya, tanya Lenin pada kaum Machian. Inferensi [simpulan] tak terhindarkan dari filsafat Machian adalah bahwa semua orang semata-mata kompleks sensasi, artinya, produk dari otak saya.

Filsafat Machian mengarah pada solipsisme, dan hal ini adalah bukti konklusif atas kondisi tak mendukungnya [its untenability] itu. Filsafat tersebut menikmati pengaruh luas pada permulaan abad. Dan pada  abad duapuluh filsafat itu memberi jalan pada bentuk baru dari positivisme.

(MML: 44-45) 

Kontradiksi Antagonistis dan Non-Antagonistis

Mengenai sikap “kontradiksi” Binsar dalam melihat Tiongkok, Yuang kembali merujuk pada MML (:81-82) dengan tajuk seperti kami kutip di subjudul di atas. Merupakan subbab dari Chapter 2 Materialist Dialectics, bagian dari Part One, The Philosophical Foundations of Marxist-Leninist World Outlook di mana bab pertamanya Chapter 1 Philosophical Materialism.

Kami lalu mencoba memungut beberapa kalimat/alinea dari subbab dimaksud.

Dalam relasinya dengan kehidupan sosial, adalah penting untuk membedakan kontradiksi antagonistis dan non-antagonistis.  

Kontradiksi antara kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingan dasarnya tak terdamaikan [irreconcilable] disebut antagonistis.

Seperti kontradiksi antara para penindas dan yang ditindas, para pengeksploitasi dan yang dieksploitasi.

Di zaman kita, hal ini diterapkan terutama sekali pada kontradiksi antara kelas pekerja dan kaum kapitalis. Hal yang tidak akan hilang sampai kelas kapitalis tercabut dengan cara-cara damai atau nondamai dari kekuatan politik dan dari cara-cara produksi [means of production], serta dengan demikian, dari yang paling memungkinkan [yaitu] dari rakyat pekerja yang dieksploitasi.

Hal ini hanya bisa terjadi melalui sebuah revolusi sosialis.  

[…]

Ketika eksploitasi manusia oleh manusia berakhir, kontradiksi antagonistis juga menghilang secara bertahap. 

Tetapi ini tidak berarti bahwa tidak ada kontradiksi apapun yang tetap berada di bawah sosialisme.

“Antagonisme dan kontradiksi sama sekali bukanlah hal yang sama,” tulis Lenin. “Di bawah sosialisme yang pertama akan menghilang dan yang kedua akan tetap bertahan.”

Kontradiksi nonantagonistis akan tetap bertahan setelah para penyintas [survivals; sintas: survive] perbedaan kelas dihapus.

Timbulnya kontradiksi di dalam masyarakat tidak hanya antara kelas-kelas, tetapi juga antara berbagai aspek kehidupan sosial yang berbeda, misalnya antara produksi dan konsumsi, antara sektor-sektor ekonomi yang berbeda, antara persyaratan-persyaratan untuk pengembangan tenaga-tenaga produktif dan bentuk-bentuk manajemen ekonomi yang ada [existing], dst.

Itulah sebabnya mengapa bukanlah hal yang abnormal mengenai kontradiksi dialektis yang timbul dalam kehidupan.

Benar, bahwa kontradiksi kerap melibatkan kegalauan dan kesulitan di dalam hidup, kerja dan perjuangan. Banyak energi yang dicurahkan untuk mengatasinya.

Tetapi tidak ada kemajuan tanpa kontradiksi, tanpa perjuangan untuk menyelesaikannya.

[…]

Kontradiksi dari masyarakat sosialis diatasi oleh rakyat pekerja di bawah kepemimpinan Partai Marxis-Leninis melalui pengembangan yang cepat dan kontinyu atas sumber-sumber daya material dan teknisnya serta pengembangan lebih lanjut dari sistem ekonomi, dan kesadaran rakyat pekerja.

Resolusi dari kontradiksi ini mengarah pada konsolidasi lebih lanjut sistem sosialis dan masyarakat maju menuju komunisme.

(MML:81-82)

Alinea-alinea penutup dari salah satu subbab MML yang diacu Yuang ini, menjawab dan menyimpulkan-sudah “kontradiksi” versi Binsar atas Tiongkok — kaum Penyidik Fakta-Fakta Empiris yang berpikir ala Machisme.

Apalagi bila kami coba mengacu pada Mao, menjadi lebih jelas lagi posisi kaum — yang sejatinya menurut Lenin berpandangan idealisme subjektif — ini dalam konteks Tiongkok:

Kontradiksi antara kita dengan musuh adalah kontradiksi yang antagonistis. Dari kontradiksi-kontradiksi di kalangan rakyat, kontradiksi di antara rakyat pekerja adalah nonantagonistis, sedang kontradiksi antara kelas-kelas terhisap dengan kelas-kelas penghisap, di samping segi antagonistis, mempunyai segi nonantagonistis.

(Kutipan Kata-Kata Ketua Mao Tse Tung, Edisi Pertama 1967 [Versi Bahasa], Dicetak di Republik Rakyat Tiongkok,  hlm 57, Tentang Mengurus Secara Tepat Kontradiksi di Kalangan Rakyat, 27 Februari 1957. Atau dalam versi Inggris, simak/klik Mao Tse Tung, Quotation from Mao Tse Tung, 4.The Correct Handling of Contradiction Among People)

Atau di bagiannya yang lain risalah Mao ini:

Masalah pembersihan terhadap kaum kontrarevolusioner adalah masalah perjuangan yang termasuk dalam kontradiksi antara kita dengan musuh.

Di kalangan rakyat kita ada sementara orang yang mempunyai pandangan agak lain tentang masalah ini. Ada dua macam orang yang pandangannya lain dengan pandangan kita.

Mereka yang berpikiran kanan tidak membedakan kita dengan musuh, menganggap musuh sebagai orang kita sendiri. Orang-orang justru dianggap sebagai musuh oleh massa yang luas, mereka anggap sebagai sahabat.

Mereka yang berpikiran “kiri” memerbesar kontradiksi antara kita dengan musuh begitu rupa sehingga mereka menganggap kontradiksi tertentu di kalangan rakyat sebagai kontradiksi antara kita dengan musuh, dan menganggap orang-orang yang sesungguhnya bukan kontrarevolusioner sebagai kontrarevolusioner.

Kedua pandangan ini salah. Kedua-duanya tidak bisa secara tepat mengurus masalah pembersihan terhadap kaum kontrarevolusioner atau secara tepat menilai pekerjaan ini.

 (Ibid)

Ketika “Kiri” Minus Ultimate Aim”

“Diskusi dengan Zely Ariene kemarin juga menarik untuk direfleksikan,” tulis Yuang dalam WA berikutnya ke Redaksi DK.

Zely mengajukan konsepnya sendiri tentang kiri baru dan kiri lama.

Kiri baru menurut Zely fokus pada perluasan gerakan. Sedangkan kiri lama fokus pada penguatan atau perluasan organisasi.

Gua enggak habis pikir kenapa perluasan gerakan harus dipertentangkan dengan penguatan atau perluasan organisasi ya?

Mestinya sejalan. Tampaknya ini sesuai dengan posisi Zely sendiri yg saat ini “tidak berpartai”.

Dan juga tampaknya sikap enggak mau berorganisasi politik ini pas ketemu/cocok dengan panitia BKF [Belok Kiri Festival]/seniman-seniman.

Yang penting gerakan, organisasi enggak penting! Ini cuma menambah absurditas saja.

Kalimat penutup WA Yuang kepada kami, tak lain adalah kritk Yuang yang mengacu pada kalimat sari pati Lenin jelang penutup tulisannya Marxisme dan Revisionisme (hlm 21b):

Suatu pelengkap alami terhadap tendensi ekonomi dan politik dari revisionisme adalah sikap mereka terhadap tujuan akhir dari gerakan sosialis. “Gerakan adalah segala-galanya, tujuan akhir tidak ada sama sekali” (The Movement is every thing, the ultimate aim is nothing — Redini yang ditangkap dari frasa Bernstein yang mengungkapkan substansi revisionisme lebih baik ketimbang banyak diskuisisi (penelaahan, pemeriksaan—Red) yang panjang .

Ya, gerakan adalah segala-galanya,  ultimate aim is nothing. Sikap kaum revisionis terhadap tujuan akhir dari gerakan sosialis. Atau dalam istilah kami: “kiri” minus “ultimate aim”.

Tidak heran, Zely dalam data terbarui, paling getol menyokong gerakan “Papua merdeka” — di era pemerintahan Jokowi,sang “Soekarno Abad XXI” (dimak hlm 80a) yang sedang menggenjot infrastruktur yang sudah setengah abad tak tersentuh para jenderal begundal imperialis — dengan  tujuan gerakannya, merucuk apa yang dikritik Yuang itu, sejatinya nothing, “enggak penting, ini cuma menambah absurditas saja!”

Isu “demokrasi-HAM” yang diangkat Zely dalam gerakan pro-Papua  merdeka, beti beda-beda tipis posisi induktif Binsar dalam melihat Tiongkok hari ini — termasuk mengaplikasikan “kontradiktif” secara tidak Marxis terhadap “demokrasi-HAM” Beijing.

Sikap Binsar maupun Zely yang nonmaterialis khususnya dalam melihat Indonesia hari-hari ini, pada pengeposan terbarui kami  (simak/klik hlm 71d — wawancara Prisma dengan Arief Budiman seperti sudah disinggung di atas) diembat habis oleh Yuang.

[Semisal] Saat ada kaum yang mendukung kemerdekaan Papua, apakah mereka sudah memeriksa dari kepentingan imperialis (Amrik)? Kalau gaya berpikir Binsar, sang investigator of empirical fact, mah gak bakal nyampe ke sono, sebab ia menolak yang apriori: analisis basis material imperialisme.

Yang mereka lihat hanya fakta-fakta sensasi. Bahwa ini ada tentara nembakin orang-orang Papua, … kasihan warga Papua diperlakukan tidak manusiawi … dimerdekakan sajalah.

Gaya berpikirnya subjektif sekali hanya bertolak dari fakta (terbatas) yang ditangkap indera.

Posisi “the investigators of empirical facts”. Posisi kaum Machian, yang berkelit mengambil lini ketiga yang “netral” antara materialisme dan idealisme. Sejatinya menghindar posisi idealisme subjektif yang mengarah pada solipsisme, berlindung di balik pandangan mentereng: positivisme-baru abad XX sambil, tentu saja, mencampakkan konten objektif.

Sebuah refleksi menarik seperti tengari Yuang, atas salah satu acara BKF, setidaknya untuk kami …

Jakarta hari-hari ini disesaki (atau tidak “sejuk”, istilah kerap dilontarkan Jokowi, mengacu warita terbarui kunjungan Raja Salman): “Investigators of Empirical Facts”: Berpikir ala Machisme Ketika “Kiri” Minus “Ultimate Aim”

ooOoo

Tinggalkan komentar