Mengenang 53 Tahun “Kejadian 30 September 1965” & Pasca-“Deklasifikasi 1965”:

.

Senyap Tanpa Gaduh

Berlanjutnya

Sosialisme ala Indonesia Soekarno

Menuju

Ekonomi-Pasar Sosialis ala Indonesia

.

Bukan Kapitalisme Negara di Tangan Kaum Kapitalis

.

Pengembangan Tenaga-tenaga Produktif dalam Rahim Kapitalisme 

.

“SDA & SDM Tak Terbatas” Avenger Jokowi

Menjawab

“Perang Tak Terbatas” Superhero Thanos

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

Risalah kami kali ini, untuk mengenang 53 tahun “Kejadian 30 September 1965” serta pada bulan depan bertepatan setahun, istilah kami, “Deklasifikasi 1965” (dilansir pada 17 Oktober 2017).

Dan kedua peristiwa tersebut di atas, sengaja kami tempatkan sebagai “latar” sekaligus sebuah “afirmasi”. Penegasan bahwa visi jalan ideologis yang dipilih Jokowi-JK: Trisakti-Gotong Royong/saripati Pancasila adalah tak lain dari “berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno” (selanjutnya B-SaIS). B-SaIS yang kami kira banyak dari antara kita tidak engah, karena berlangsung “senyap, tanpa gaduh”.

B-SaIS yang sudah kami tilik secara “selayang pandang” (berharap ada penelitian lanjut secara ilmiah) di pengeposan yang lalu.

Ketika kami mencoba menjawab tanya sejarawan Onghokham “di mana tempat Soekarno dalam sejarah?” Bahwa “Soekarno: Proklamator & Peletak Cikal Bakal Sosialisme ala Indonesia yang Lahir dari Rahim Kapitalisme ala Indonesia”. Selengkapnya silakan simak/klik hlm 122a. Kami tidak ulangi lagi, tetapi mencoba elaborasi lanjut seperti terindikasi pada tajuk berikut subjudul di atas dari risalah ini.

Kita mulai dari kedua “latar” tersebut di atas.

“Kejadian 30 September 1965” dan “Deklasifikasi 1965”

“Kejadian 30 September” adalah istilah yang digunakan Soekarno kali pertama beliau bereaksi terhadap peristiwa tersebut.

Setidaknya seperti pada cuplikan pidato beliau “Amanat Pelantikan Mayor Jenderal Soeharto Menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat, di Istana Negara, Jakarta, 16 Oktober 1965”:

“Kok saya mau ketawa, Saudara-saudara. Kenapa saya mau tertawa?

Sejak kejadian 30 September, di luar terutama sekali di kalangan nekolim [neo kolonialisme — Red DK], pers, radio, televisi, omong-omong kosong, gosip-gosip, dan lain sebagainya, berkata , the Republic of Indonesia is collapsing.”

[…]

Saudara-saudara, ya, ya, ya, ada kejadian-kejadian pada tanggal 30 September 1965.

Ada kejadian dalam Angkatan Darat Republik Indonesia. Ada kejadian dalam Tjakrabirawa. Ada kejadian dalam Angkatan Udara Republik Indonesia.

Tetapi dari sejak pagi-pagi tanggal 1 Oktober saya telah berkata kepada kawan-kawan yang bicara kepada saya, Saudara-saudara, kita ini di dalam revolusi. Revolusi yang mahabesar.

[…]

Terus terang saja, apa yang terjadi di dalam revolusi kita ini beberapa kali, jadi bukan hanya kejadian 30 September, tetapi dulu-dulunya juga selalu ada terjadi, terjadi kejadian-kejadian, adalah tidak lebih dan tidak kurang, sekadar, bahasa Belandanya, rimpel in de geweldige oceaan¹, yang dinamakan Revolusi Indonesia.

———

¹Riak gelombang dalam samudra dahsyat.

Tiap-tiap revolusi yang besar adalah semacam samudra. Tiap-tiap revolusi yang besar adalah sungai yang mahadahsyat, yang selalu mengalami ups and downs, selalu mengalami apa yang tadi saya katakan, rimpel di dalam stroom-nya [alirannya] yang mahadahsyat itu.

Yang penting bagi kita ialah, sebagai kukatakan dalam Kabinet Paripurna di Bogor tempo hari, bahwa kita tidak kehilangan kita punya kop [kepala], bahwa kita tidak kehilangan kita punya kluts [akal], kataku. 

Bahwa kita tetap mengerti arti segala kejadian. Bahwa kita tetap harus membuat aliran yang mahadahsyat ini tetap mengalir. Tetap mengalir, agar supaya dia akhirnya mencapai tujuannya. Ini adalah kewajiban kita semua.

(Dikutip dari pidato dengan judul seperti di atas di dalam “Revolusi Belum Selesai” Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaskara, Penyunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, PT Serambi Ilmu Semesta, 2014: 49-51 — cetak tebal dari kami, Red DK)

Jelas, setidaknya bagi kami, warisan pesan Bung Karno bagi generasi penerusnya di bagian akhir kutipan di atas, “kita tetap harus  … Ini adalah kewajiban kita semua”.

Dalam artian, kami melihat bahwa penguasa saat ini, Jokowi-JK dengan visi Trisakti-Gotong Royong, seperti digambarkan di atas, sedang melakoni kewajiban, sedang menapak jalan sosialistis tersebut: B-SaIS: Berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno.

Sekaligus membuyarkan pesimistis, nyinyirnya sebuah media massa yang lahir, tumbuh kembang bersama rezim (ikut) menghempaskan pikiran-pikiran Soekarno di era pasca-Kudeta Merangkak itu.

Ketika kalimat akhir komentar — khas inlander yang mapan-pasrah jauh dari spirit progresif revolusioner, semangat emoh sosialistis — sebuah majalah mingguan kondang era Orde Baru itu di sampul belakang buku “Revolusi Belum Selesai” dimaksud: “… Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya jadi kembang api: membuncah lalu hilang bersama malam.–TEMPO”.  

Padahal begitu arsip-arsip rahasia Pemerintah Amerika Serikat terkait “Kejadian 30 September” dibuka ke publik atau (sebutan kami) “Deklasifikasi 1965” yang dilansir pada 17 Oktober 2017* oleh Lembaga Swadaya Masyarakat AS National

———

*Tepat 65 tahun yang lalu, yang dikenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober 1952”. Peristiwa yang oleh Brian May (dalam bukunya Indonesia Tragedy, 1978, hlm 78) disebut sebagai “sebuah prototipe” menuju kudeta (merangkak–Red) yang berhasil itu.

Pada tanggal itu, Kepala Staf AD Kolonel AH Nasution mengerahkan sekitar 30.000 orang dan mengarahkan moncong meriam ke kediaman resmi Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta.

(Sumber: MR Siregar “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan” (1995: 65) dan Usman Tampubolon “Pemberontakan PRRI-Permesta: Tahap Akhir Pemerintahan yang Labil”, Prisma No.7, Agustus 1978 — dimuat di Catatan Kaki 7, simak/klik hlm 2b)

Security Archive (NSA), tengarai Soekarno yang masih di rentang waktu Kudeta Merangkak itu pun, terbukti sudah:

“Awas, Saudara-saudara, awas! Jangan kita pun ditunggangi oleh nekolim atau CIA. Dan saya berkata kepada Saudara-saudara, mereka itu begitu lihainya, sehingga kalau umpamanya  kita ini ditunggangi, dat wij het niet eensvoelen³ bahwa kita ini ditunggangi. Cara menunggangi itu bukan main lihainya, Saudara-saudara!

——–

³Kita malah tidak merasakan.

Mereka mempunyai pengalaman puluhan tahun tentang hal itu”.

(Amanat PJM Soekarno di Hadapan Pemimpin dari 7 Partai Politik di Guest House Istana Presiden, Jakarta, 27 Oktober 1965; di dalam “Revolusi Belum Selesai” Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaskara, Penyunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, PT Serambi Ilmu Semesta, 2014: 90)

Berikut ini kutipan sebagian dari pembuka “Deklasifikasi 1965” dimaksud:

Washington, D.C., 17 Oktober 2017 – Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengetahui secara mendetail bahwa bagian Angkatan Darat (AD) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan operasi pembunuhan massal terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965, menurut dokumen-dokumen yang baru saja dibuka (tidak dirahasiakan lagi) dan diposting hari ini oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University.

Bahan-bahan baru ini menunjukkan lebih jauh bahwa para diplomat di Kedutaan Besar AS di Jakarta menyimpan catatan identitas para pemimpin PKI yang dibunuh, dan para pejabat AS mendukung secara aktif upaya-upaya AD untuk menghancurkan gerakan buruh yang berorientasi kiri di Indonesia.

Ketigapuluh sembilan dokumen yang diturunkan hari ini berasal dari sebuah kumpulan hampir 30.000 halaman arsip catatan harian Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia, dari 1964 hingga 1968. 

(Sumber: nsarchive.gwu.edu, Di bawah Tajuk: “Kedutaan Besar AS Mengikuti Berjalannya Pembunuhan Massal di Indonesia pada Tahun 1965”— di mana, sekali lagi, sebutan “Deklasifikasi 1965” adalah istilah dari kami, Red DK)

Dengan demikian, “Deklasifikasi 1965” membuat semakin berandang dan terbukti pula kesimpulan Suar Suraso di dalam bukunya “Jalan Sutera Abad 21” (Ultimus, Bandung, 2016). Di penutup salah satu bab yang bertajuk “Perang Dingin Melanda Indonesia, Membasmi PKI dan Gulingkan Bung Karno” (122-123):

“Penggulingan Bung Karno dan pembasmian PKI adalah realisasi the policy of contaiment — politik pembendungan komunisme — strategi sejagat Perang Dingin yang dilancarkan Amerika Serikat semenjak usainya Perang Dunia II.

Inilah salah satu puncak Perang Dingin di Asia”. 

Maka menjadi jelas pula ketetapan-ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) misalnya, baik yang melengserkan Soekarno ataupun terkait pelarangan ideologi Marxisme-Leninisme yang diyakini kaum kiri pendukung berat Soekarno pada waktu itu, kehilangan legitimasinya. Bahkan hemat kami jauh sebelum “Deklasifikasi 1965”.

Adalah Abdurrahman Wahid yang dengan cantik dan cerdas pada 1982 — saat penguasa Orde Baru yang otoriter itu sedang sangar-sangarnya anti-komunisme — menurunkan tulisan “pornografi politik” (waktu itu) bertajuk “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme”(simak/klik hlm 99).

Apalagi tulisan tersebut seakan meng-update bagian krusial dari tulisan monumental Soekarno muda (1926) “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (simak/klik hlm 23c) dalam salah satu rekomendasi Gus Dur:

Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.

“Kejadian 30 September” pasca-Deklasifikasi 1965 hendaknya dimaknai sebagai proyek imperialis, (pinjam Suar Suroso) “politik pembendungan komunis” … atau yang diungkapkan dengan pas oleh Suar dalam menutup Sambutan di buku yang terbit dalam rangka 45 tahun parpol kiri pro-Bung Karno itu susunan Busjarie Latif dengan Editor Bilven (Ultimus, Bandung, 2014: xvi):

Rakyat Indonesia dengan bersenjatakan Marxisme, teori perjuangan yang ilmiah, yang dipadukan dengan situasi konkret Indonesia, akan bangun kembali, membangkit batang terendam*, membangun Indonesia baru.”

———

membangkit batang terendam: mengangkat kembali nama baik yang sudah lama hilang (ibid Y Sidik Marajo, dkk:30, nomor 264).

Ya, setidaknya bagi kami, di bawah pemerintahan Jokowi-JK, membangkit batang terendam, membangun Indonesia baru. NKRI tegak kembali di jalan sosialis!

Senyap, tanpa gaduh: B-SaIS!

Berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno Menuju Ekonomi-Pasar Sosialis ala Indonesia — Pengembangan Tenaga-tenaga Produktif dalam Rahim Kapitalisme 

Sehingga, berangkat dari tesis (sebagai pewarta warga) B-SaIS, maka tengarai kami berikutnya, Indonesia di bawah Jokowi-JK “dengan sendirinya” akan menuju ke Ekonomi-Pasar Sosialis (Socialist Market Economy — selanjutnya E-PS).

E-PS  “ala Indonesia” pula, karena — seperti sudah kami singgung di pengeposan lalu (simak/klik hlm 122a) — B-SaIS, sesungguhnya lahir dari rahim kapitalisme ala Indonesia.

Di mana E-PS sendiri kami mengacu pada tulisan lama John Ross (versi Bahasa di bawah ini oleh kami) bertajuk “Deng Xiaoping — Ekonom Terbesar Dunia” (“Deng Xiaoping — the world’s greatest economist”) yang dimuat di situsnya  Learning from China, 22 Agustus 2014:

Dihadapkan dengan masalah yang menentukan dalam kedua model ekonomi dominan tersebut, alih-alih tetap terperangkap di dalam salah satu satunya, Deng Xiaoping memulai kebijakan yang sebelumnya tidak pernah dilirik — menciptakan apa yang sekarang disebut di Tiongkok sebagai “ekonomi-pasar sosialis.”

[tanda sambung “-” untuk menghindari kesalahpahaman dalam Bahasa; untuk menegaskan “ekonomi pasar” dari sistem sosialis, kemana, pinjam Deng (lihat bawah), ke mana ia mengabdi – Red DK]

Di satu sisi, Deng Xiaoping berlalu dari model Uni Soviet pasca-1929 “kembali ke Marx.” Hal mendasar dari analisis Deng Xiaoping sejak 1978, seringkali dalam kata-kata harfiahnya, adalah “Critique of the Gotha Program” yang terkenal dari Marx – komentarnya [Marx] yang paling luas tentang pembangunan sebuah masyarakat sosialis.

Untuk melihat hubungan yang dekat ini di sini sebagai contohnya adalah analisis Marx [ibid]: “Apa yang kita hadapi … adalah masyarakat komunis, bukan karena ia telah berkembang di atas fondasinya sendiri, tetapi … semata-mata ia muncul [just as it emerges] dari masyarakat kapitalis.”

Tampak bahwa Ross mengutip tulisan Marx yang sama —  “Critique of the Gotha Program” — yang dikutip Vince Sherman, referensi di pengeposan lalu saat kami maksudkan “sosialisme lahir dari rahim kapitalisme”.

Malahan Ross melengkapinya, yang kami maksudkan “pengembangan tenaga-tenaga produktif dalam rahim kapitalisme”:

Bagi seseorang dalam masyarakat seperti itu: “Jumlah kerja yang sama yang telah ia berikan kepada masyarakat dalam satu bentuk, ia menerima kembali dalam lain [bentuk].”

Tapi: “Pada fase yang lebih tinggi dari masyarakat komunis … setelah tenaga-tenaga produktif [productive forces] juga meningkat … masyarakat menuliskan spanduknya: Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, kepada masing-masing sesuai dengan kebutuhannya!” [From each according to his abilities, to each according to his needs!”]

Oleh Suar Suroso (“Jalan Sutera Abad 21”, Ultimus, Bandung, 2016: 162) digarisbawahi:

“Yang paling penting bagi Marxisme adalah mengembangkan tenaga produktif. Kita mengatakan bahwa sosialisme adalah tingkat pertama dari komunisme dan pada tingkat yang sudah maju akan diberlakukan prinsip bekerja menurut kemampuan, menerima menurut kebutuhan. Ini menuntut tenaga produktif yang maju sekali dan kemakmuran materiil yang melimpah-ruah”.

Menjadi jelas sekali “posisi strategis”  pengembangan tenaga-tenaga produktif.

Dengan begitu jargon pada spanduk yang dimetaforkan Ross di atas itu —From each according to his abilities, to each according to his needs!” — hemat kami, sesungguhnya tak lain adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” yang “Bebas dari penindasan nasion atas nasion, manusia atas manusia”, bagian dari cita-cita Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) Soekarno — jadi sama sekali bukan atas prinsip “sama rata sama rasa”.

Pernyataan terakhir ini, penting setidaknya bagi kami sebagai “koreksi” atas cita-cita Ampera Soekarno tersebut.

Artinya, dalam pemahaman kami, “Masyarakat Adil dan Makmur tanpa penindasan nasion/manusia atas nasion/manusia” ketika masyarakat Indonesia yang nun jauh di sana itu berprinsip “bekerja menurut kemampuan, menerima menurut kebutuhan “.

Maka ultimate aim dari B-SaIS “dengan sendirinya” menuju E-PS — E-PS yang digagas Deng Xiaoping. Artinya pula, Indonesia di era Jokowi memiliki ultimate aim sebuah masyarakat yang juga ingin dicapai oleh Tiongkok, melalui, sekali lagi, “E-PS ala Indonesia”, Ekonomi-Pasar Sosialis ala Indonesia.

Sepintas, spekulatif.

“SDA & SDM Tak Terbatas” Avenger Jokowi Menjawab “Perang Tak Terbatas” Superhero Thanos

Tetapi ketika Presiden Jokowi tampil di World Economic Forum, Hanoi, Vietnam, 12 September 2018. Membawakan pidato pendek dengan angkat isu Thanos, tokoh superhero film layar lebar buatan Amerika Serikat, jujur kami kaget!

Apa yang sedang terjadi dalam perekonomian dunia hari ini adalah kita sedang menuju perang tanpa batas [Infinity War]. Kita belum pernah menghadapi perang dagang dengan ekskalasi seperti saat ini sejak Great Depression di tahun 1930-an.

Namun, yakinlah saya dan rekan Avengers saya siap menghalangi Thanos yang ingin menghapus sebagia populasi dunia.

Thanos ingin menghabisi separuh populasi sehingga sisanya yang bertahan dapat menikmati sumber daya per kapita sebesar dua kali lipatnya. Namun, ada kesalahan mendasar dari asumsi ini. 

Thanos yakin sumber daya di planet bumi terbatas. Faktanya adalah sumber daya alam yang tersedia bagi umat manusia bukannya terbatas, namun tidak terbatas.

Perkembangan teknologi telah menghasilkan peningkatan efisiensi, memberi kita kemampuan untuk memperbanyak sumber daya kita lebih banyak dari sebelumnya.

[…]

Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang berat telah tergantikan oleh panel surya dan kincir angin yang ringan.

[…]

Asian Games dan Asian Para Games yang diadakan di Jakarta dan Palembang, merupakan pertunjukan spektakuler dari bakat manusia di Asia. Lebih dari 14.000 atlet dan 7.000 officials dari 45 negara bertanding di 40 cabang olah raga.

[…]

… saat perekonomian kita terus berkembang, ekonomi tidak lagi didorong oleh sumber daya alam yang terbatas, melainkan oleh sumber daya manusia yang tidak terbatas.

[…]

Pada 4 April lalu kami telah meluncurkan program pemerintah Revolusi Industri 4.0 yang diberi nama “Making Indonesia 4.0”.

… saya percaya bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menciptakan bukannya menghilangkan banyak lapangan kerja tidak hanya dalam jangka panjang melainkan juga dalam jangka pendek.

[…]

Anda mungkin bertanya-tanya siapa Thanos? Hadirin sekalian, Thanos bukanlah seorang individu. Maaf sudah membuat Anda kecewa. Thanos ada di dalam diri kita semua. Thanos adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya.

Sehingga, Infinity War bukan hanya tentang perang dagang kita tetapi tentang setiap dari diri kita mempelajari ulang sejarah bahwa dengan kreativitas, energi, kolaborasi, dan kerja sama umat manusia akan menikmati sumber daya yang melimpah dan tidak terbatas, bukannya perang tak berkesudahan.

(Cuplikan versi Bahasa oleh cnbcindonesia.com, 12/9/2018, Jokowi Sebut Dunia Hadapi Thanos, Ini Pidato Lengkapnya — cetak tebal dari kami, Red DK)

Kami kaget, betapa tidak. Seorang Jokowi di Hanoi itu — notabene salah satu negara dari lima negara yang berorientasi sosialisme; simak/klik hlm 28b — hemat kami dalam satu dan lain cara, “senada” dengan Deng Xiaoping yang berbicara tentang “Ilmu dan teknologi adalah tenaga produktif yang utama”:

“Dunia sedang berubah dan kita harus mengubah pikiran kita dan tindakan-tindakan kita sesuai dengan itu.

Di masa lampau kita menempuh politik pintu tertutup dan mengisolasi diri sendiri. Bagaimana itu bisa berguna bagi sosialisme? Roda sejarah berputar  terus, tapi kita berhenti dan jadi terbelakang dibanding dengan orang lain.

Marx mengatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bagian dari tenaga-tenaga produktif. Kenyataan menunjukkan bahwa ia benar. 

Menurut pendapat saya ilmu dan teknologi adalah tenaga produktif yang utama.

Bagi kita, tugas dasar adalah mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsip sosialis, mengembangkan tenaga-tenaga produktif dan meningkat taraf hidup rakyat.

Untuk memenuhi tugas itu, kita harus membuka negeri kita pada dunia luar. jika tidak, kita tak akan mampu mempertahankan sosialisme”.

 (Ibid Suar Suroso hlm 168-169)

Dan omongan Jokowi dalam pidato pendek di Hanoi tersebut, bukan omdo, omong doang.

Mengingat dalam waktu relatif singkat seolah melanjutkan “tradisi” para pemimpin berorientasi sosialis dalam “percepatan pembangunan” — seperti Stalin (menggenjot kekuatan militer yang berujung Nazi ditaklukkan) atau Deng dan para penerusnya (800-an juta penduduk yang keluar dari kemiskinan definisi Bank Dunia dalam 38 tahun) — Jokowi pun demikian.

Dalam 3,5 tahun terakhir ini di samping menyakinkan 3 lembaga pemeringkat internasional untuk memberikan peringkat layak investasi kepada Indonesia (simak/klik hlm 102a).

Setidaknya bagi kami, ada dua pencapaian yang merupakan “ikon” represen dari visi Trisakti-Gotong Royong/Pancasila itu, unsur-unsur di dalam konsep Soekarno, kami ulangi lagi, Panca Azimat, konsep tentang Sosialisme ala Indonesia, yaitu:

  • 51% divestasi PT Freeport Indonesia: ikon berdaulat politik dan berdikari ekonomi.
  • Asian Games 2018: ikon kepribadian dalam kebudayaan.

(Trisakti: (I) Berdaulat  dalam bidang politik (II) Berdikari dalam bidang ekonomi (III) Berkepribadian dalam kebudayaan; simak/klik hlm 44b. Keduanya, prestasi akbar di atas itu, mustahil tanpa greget Persatuan-Gotong Royong)

Di mana kedua pencapaian ini,  setidaknya menyangkut SDA (Sumber Daya Alam), SDM (Sumber Daya Manusia), serta teknologi — isu-isu sentral Jokowi di Hanoi itu …

“SDA & SDM Tak Terbatas” Avenger Jokowi Menjawab “Perang Tak Terbatas” Superhero Thanos.

Menuju E-PS ala Indonesia bukan Kapitalisme Negara di Tangan Kaum Kapitalis

Kami tidak mengatakan bahwa “spekulatif” telah tiada dengan menunjukkan “indikatif” pemerintahan Jokowi-JK sedang menuju ke E-PS ala Indonesia. Karena kajian ilmiah dari kaum historis kiri-nonrevisionis yang paling kompeten menjawabnya.

Tapi dominasi para BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam perekonomian kita hari-hari ini (ref analisis Faisal Basri faisalbasri.com, 11/9/2018) adalah “indikatif” yang lain lagi untuk menjamin sebuah E-PS ala Indonesia. Kenapa?

Karena, ketika Faisal Basri menutup tulisannya itu dengan sebuah kalimat: “Indonesia lambat laun mengarah ke  kapitalisme negara.” Kami setuju tapi tidak sepenuhnya.

Kalimat penutup Faisal itu bagi kami, di satu pihak tak lain sebuah “afirmasi”  kita sedang melakoni jalan kapitalisme (ala Indonesia, tentu saja, ref Arief Budiman — lihat pengeposan bulan lalu simak/klik hlm 122a) yang “lambat laun mengarah ke kapitalisme negara”.

Tetapi di lain pihak, setidaknya kami, belum menangkap apakah kalimat penutup dimaksud dari Faisal itu suatu hal yang “positif” atau sebaliknya?

Meski benang merah tulisan tersebut hemat kami adalah “klarifikasi” untuk tidak mengatakan “pembelaan” terhadap perekonomian era Jokowi-JK yang kerap dituduh dikuasai asing.

Karenanya, dalam konteks tulisan ini, ingin kami tegaskan bahwa: ya, kami setuju Indonesia lambat laun mengarah ke kapitalisme negara, tetapi menuju E-PS ala Indonesia bukan kapitalisme negara di tangan kaum kapitalis. 

Argumentasi kami diawali dengan mengacu pada Lenin (ibid Suar Suroso hlm 128) di  “Bab 7 Kapitalisme Negara di Bawah Diktatur Proletariat” — disebut Suar sebagai “salah satu faktor menyebabkan perekonomian Tiongkok maju pesat menakjubkan” menutup babnya itu:

Kapitalisme negara, dalam semua literatur ekonomi — itu adalah kapitalisme, yang terdapat dalam masyarakat kapitalis, ketika kekuasaan secara langsung tunduk kepada persahaan kapitalis tertentu. Sedangkan pada kita, negara adalah negara proletariat, memberlakukan hukum proletariat.

Lalu Deng (ibid Suar Suroso hlm 166) menegaskan:

“Kenapa sementara orang selalu mengatakan bahwa pasar adalah kapitalis dan hanya ekonomi berencana [ Ekonomi Terencana, istilah kami mengacu Bahalan — simak/klik hlm 104a] adalah sosialis?

Sesungguhnya, kedua-duanya adalah alat untuk pengembangan tenaga-tenaga produktif. Selama ia mengabdi pada kepentingan ini, kita harus mempergunakannya.

Jika ia mengabdi sosialisme, ia adalah sosialis; jika ia mengabdi kapitalisme mereka adalah kapitalis.

Adalah tidak tepat jika mengatakan bahwa hanyalah ekonomi berencana adalah sosialis, karena ada departemen perencnaan di Jepang, dan juga ada departemen perencanaan di Amerika. 

Tentu saja Indonesia bahkan di era Jokowi-JK bukan di bawah diktatur proletariat. Tetapi sejak Pilpres 2014, Jokowi telah berhasil menyatukan parpol-parpol Nasionalis-Islamis yang kami sebut Front Persatuan — juga untuk hadapi Pilpres 2019, di mana Front Persauan tersebut malah meluas (simak/klik hlm 122a).

Dengan demikian, pemerintahan Jokowi-JK dukungan Front Persatuan Nasionalis-Islamis sesungguhnya, Berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno (B-SaIS) dengan Ekonomi-Pasar Sosialis (E-PS) ala Indonesia bukan Kapitalisme Negara di Tangan Kaum Kapitalis.

Ketika metafor kucing hitam dan kucing putih Deng digunakan John Ross:

“… tentu saja, di AS dan Eropa, terjadi bahwa masalah warna kucing itu sangat banyak. Hanya kucing berwarna sektor swasta yang baik, kucing berwarna sektor negara yang buruk. Oleh karena itu bahkan jika kucing sektor swasta menangkap tikus tak cukup memadai [insufficient], yaitu perekonomian berada dalam resesi parah, kucing sektor negara tidak boleh digunakan untuk menangkap tikus-tikus itu. Di Tiongkok kedua kucing dilepaskan — dan karena itu jauh lebih banyak tikus yang tertangkap.

(“Deng Xioping and John Maynard Keynes”, 5/2/2012)

Sementara risalahnya di China.org.cn, 22 Agustus 2014 yang sudah kami kutip di atas, Ross yang membandingkan Deng dengan Keynes, menjelaskan:

Keynes mencatat bahwa “sosialisasi investasi yang agak komprehensif” tidak berarti menghilangkan sektor swasta, tetapi mensosialisasikan investasi negara yang beroperasi bersama dengan sektor swasta: “Kebutuhan ini tidak mengecualikan segala macam kompromi dan perangkat di mana otoritas publik akan bekerja sama dengan inisiatif swasta …

Tentu saja kontrol pusat diperlukan untuk memastikan pekerjaan penuh [full employment] akan melibatkan perluasan yang luas dari fungsi-fungsi tradisional pemerintah.” Konsekuensinya, Keynes membayangkan ekonomi di mana sektor swasta hadir tetapi di mana sektor negara cukup dominan untuk menetapkan tingkat investasi secara keseluruhan.

Menyangkut investasi di Tiongkok sejak Deng, Ross (dalam risalahnya yang lain lagi “No Secret in China’s Success” di theguardian.com, 18/8/2009) memasukkannya sebagai salah satu dari 3 faktor yang secara ringkas menjelaskan “mengapa Tiongkok telah berhasil dalam menghadapi krisis ekonomi dan mengapa kebijakannya benar tidak hanya secara praktis tetapi dari sudut pandang teori ekonomi”.

Ketiga faktor versi Ross itu adalah:

Yang pertama adalah proporsi ekspor ekonomi yang tinggi — sangat penting untuk proses “pembukaan”. Setiap ekonom sejak Adam Smith telah mengetahui bahwa pembagian kerja [division of labour] adalah tuas yang menentukan dalam menaikkan tingkat produktivitas, dan pembagian kerja dalam ekonomi modern adalah selalu internasional. Tingkat ekspor dan impor yang tinggi adalah cara berpartisipasi dalam pembagian kerja semacam itu — serta mendapatkan keuntungan dari advantage skala ekonomi seperti itu.

[…]

Kedua, tingkat investasi Tiongkok yang tinggi. Penelitian ekonometrik modern menunjukkan secara konklusif bahwa, setelah pembagian kerja, elemen terbesar dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan investasi tetap [growth of fixed investment]. Ini berlaku tidak hanya untuk ekonomi yang sedang berkembang seperti Tiongkok tetapi juga untuk ekonomi maju.

Dale Jorgenson, ahli terkemuka di dunia dalam [bidang] pertumbuhan produktivitas, mencatat bahwa “investasi dalam aset berwujud [tangible assets] adalah sumber pertumbuhan ekonomi terpenting di negara-negara G7. Kontribusi dari input modal melebihi total faktor produktivitas dari seluruh negara [yang bergabung] pada seluruh periode.”

[…]

Ketiga, sebuah titik penentu [a decesive point] yang menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki “ekonomi-pasar sosialis” dan bukan “kapitalisme pasar” [market capitalism], adalah metode pengaturan makro-ekonominya.

Karena itu bagi kaum historis kiri-nonrevisionis Indonesia,  seyogianya tidak ikut-ikutan “Penemuan Kembali Marxisme Kita” tapi tanpa keraguan sedikit pun “kembali ke Marx” lewat Soekarno”: B-SaIS Berlanjutnya Sosialisme ala Indonesia Soekarno menuju E-PS Ekonomi-Pasar Sosialis ala Indonesia dengan ultimate aim Masyarakat Adil dan Makmur tanpa penindasan nasion/manusia atas nasion/manusia dengan “prinsip bekerja sesuai kemampuan, menerima sesuai kebutuhan”.

oOOo