Warita/Risalah Terbarui Tenggang 14 Nov-14 Des 2012 Khusus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Gema Praksis Jati Diri-Dasar Kita ala Jokowi-Ahok

Blog Dasar Kita murni nirprofit, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta termasuk secara personal dengan pejabat/para pejabat terkait apalagi dengan Bang Jokowi maupun Bang Ahok; ini semata karena kepemimpinan  mereka menurut hemat kami sangat pancasilais juga sangat menginspirasikan bagi perjuangan kemerdekaan jilid 2

   .

Renungan Akhir Tahun:

 

10 Tahun  

Pra-Copernican UUD 2002/Niramendemen UUD 45 

dan

BlusukanMusyawarah Jokowi-Ahok:

Bumi (Jakarta) Mengorbit Matahari

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melantik Walikota dan Wakil Walikota Jakarta Timur, Kamis (20/12/2012) di lapangan bola Kampung Pulo Jahe, Kecamatan Jatinegara, Cakung, Jakarta Timur. (Data terbarui, sumber: Kompas.com, 20/12/2012; Penulis & foto/teks foto: Firly Anugrah Putri; Editor: Hertanto Soebijoto–Red Dasar Kita)

Menutup tahun 2012 ini, Redaksi turunkan sebuah Renungan Akhir Tahun.

Penempatannya pun Redaksi pilih di halaman relatif baru ini “… Khusus Pemerintah DKI Jakarta”.

Soalnya, Jokowi-Ahok, bagi Redaksi punya “tempat tersendiri” di blog ini, sebuah pewarta warga yang berkiparah ikut memerjuangkan kemerdekaan jilid 2, kembalinya republik tercinta ini pada jati dirinya: Pancasila-UUD 1945.

Sudah sejak masa kampanye, kedua tokoh ini menoreh gaya prorakyat yang tulus. Kapitalis-birokrat pancasilais, Redaksi menyebutnya. Terlebih, di hari-hari yang belum genap 100 hari pada 2012, mereka konsisten memimpin Jakarta dengan gaya yang khas … blusukan-musyawarah, sebutan lain lagi dari Redaksi.

Sekaligus renungan ini untuk memeringati 10 tahun diberlakukannya UUD 2002/niramendemen UUD 45 (mengacu dilansirnya “amendemen” keempat pada 10/8/2002). Konstitusi gadungan yang berada di luar kotak justru lantaran kelahirannya lewat “penyelundupan hukum” menjadikan konstitusi awal yang asli itu secara “de jure” (dengan tanda kutip) maupun de facto masuk kotak. (Simak hlm 21a/klik ini & hlm 22a/klik ini; serta hlm 23a/klik ini; hlm 24b/klik ini; hlm 25a/klik ini.)

Padahal, seperti pernah Redaksi singgung sebelumnya, jangan-jangan Pancasila-UUD 45, Hukum Newton, evolusi Darwin, sistem tata surya Copernicus, untuk menyebut beberapa saja, adalah “aksioma geometris” ala Lenin untuk Marxian (simak hlm 24a atau klik ini).

Jangan-jangan, konstitusi gadungan itu justru “berada di luar itu”. Masih di era para astronom sebelum Copernicus. PraCopernican matahari mengorbit bumi. Pra-Copernican UUD 2002/niramendemen UUD 45.

John Ross Catatan untuk Neoliberal: Bumi Mengorbit Matahari

“Ke-pede-an” (kepercayaan diri) Redaksi dalam sinyalemen pra-Copernican atas konstitusi gadungan ini, makin bertambah. Dengan terbitnya sebuah risalah oleh John Ross Note for Neoliberal: Earth orbit the sun jelang pertengahan bulan ini.  (Dibahasaindonesiakan Redaksi Dasar Kita dengan judul Catatan untuk Neoliberal: Bumi Mengorbit Matahari; simak hlm 27b atau klik ini)

John Ross, seorang Profesor Tamu pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Antai, Universitas Jiao Tong, Shanghai, Tiongkok. Menentang neoliberalisme yang dinilainya diametral ilmu pengetahuan, sejajar keyakinan era pra-Copernican, karenanya gagal sebagai sebuah kebijakan ekonomi. Khususnya dalam menyoal keperkasaan perekonomian Republik Rakyat Tiongkok yang termaju di dunia pada 1,5 dekade ke depan.

Ross lalu menunjukkan bagaimana Tiongkok “menangkal” neoliberalisme pada situasi global saat ini.

…  tekanan negatif yang keras atas perekonomian Tiongkok terjadi karena penurunan dalam ekonomi global yang didorong oleh jatuhnya investasi swasta.

Namun, karena pengaruh pandangan neoliberal, bahwa Negara harus “keluar” dari perekonomian, stimulus yang diperlukan untuk melawan hal ini tidak cukup dilansir lebih awal.

Untungnya, setengah tahun pertama, pemerintah Tiongkok meluncurkan sebuah rangsangan investasi yang dipimpin Negara dalam skala menengah yang dibutuhkan, yang menstabilkan perekonomian selama kuartal ketiga dan sekarang akan menuju pada pertumbuhan terakselerasi.  

Ajar yang dipetik dari Tiongkok lewat John Ross ini, bagi kita di Indonesia, setidaknya bagi Redaksi, menjadi cermin, kritik diri, atau apalah sebutannya. Sekaligus sebuah greget untuk seperkasa mereka.

Pasalnya, jangankan pada perekonomian, kiranya tidak berlebihan bila dikatakan negara “keluar” bahkan negara nyaris tidak hadir di segala sendi kehidupan.

Kasus warga Syiah Sampang yang terpaksa menjadi pengungsi (kemudian) tak terurus. Bahkan terancam kelaparan karena terganjal anggaran pemerintah daerah (Kompas.com24/11/2012), adalah salah satu misal.

(Data terbarui satu ini, sungguh ironis. Ketidakhadiran negara malah membuat sebuah ibadah malam Natal aman! [Kompas.com, 24/12/2012].

“Belum cukup” rupanya. Masih ada lagi sebuah gereja terhenti misanya karena ricuh dengan warga [Kompas.com, 25/12/2012]; padahal lokasinya hanya “selemparan batu” dari Istana Presiden RI.

Kabar terbarui dari Kompas.com, [25/12/2012], menyebutkan kedua gereja dimaksud ini berencana menggelar kebaktian Natal di depan Istana Negara, Jakarta.

Termasuk data terbarui tepat di hari pertama tahun baru 2013, sebuah kecelakaan lalu lintas. Melibatkan putra seorang menteri. Polisi pun tiba-tiba tampil beda sekali ketimbang kasus serupa yang bukan anak pejabat—Kompas.com 4/1/2013.

Juga data terbarui perihal “cerita lama memprihatinkan” RI sebagai negeri bahari: Pencurian Ikan Dibiarkan Merajalela, Kompas.com [11/1/2013]; triliunan rupiah devisa perikanan pun terancam hilang.)

Sampai, urusan sejatinya murni nirpolitik macam sepak bola nasional, (tapi) yang oleh aturan induk organisasi di tingkat internasional negara dilarang campur tangan. Menjadi “kebetulan yang pas”. Maka sempurnalah karut-marut di sepotong bidang olah raga terpopuler itu. Seorang pemain asing yang baru dibayar gajinya setelah menjadi mayat (Kompas.com, 6/12/2012) adalah sebuah kejutan sangat memalukan—tapi tidak bagi sebuah negara Republik Indonesia, hari-hari ini.

Ekonomi Keropos, 3 Risiko Ekonomi Eksternal

Sehingga adalah “konsekuensi logis”, setidaknya bagi Redaksi. Bahwa sejatinya bukan lagi sebuah kalimat tanya pada tajuk sebuah warita Kompas.com (13/12/2012) Ekonomi Indonesia Keropos?

Masalahnya, sajian data perekonomian Indonesia teranyar hasil kajian yang disampaikan Indef (Institute for Development and Finance) dalam warita di atas. Bagi Redaksi sangat signifikan sekaligus sangat memprihatinkan, terlebih untuk masa depan negeri ini.

Indikator ekonomi makro selama tahun 2012 mencatatkan kinerja positif, seperti pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Namun, bangunan yang membentuknya keropos karena basisnya kurang produktif. Pertumbuhan ekonomi dinikmati sektor bukan padat karya.

Sementara pada kesempatan lain sebelumnya, di Jakarta. Adalah Chairul Tanjung, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), dalam pemaparan Prospek Ekonomi Indonesia 2013, menyebutkan tiga risiko ekonomi yang berasal dari sisi eksternal.

Krisis di Eropa, kegagalan para politisi Amerika mengatasi jurang fiskal, dan meningkatnya risiko ekonomi (kenaikan harga minyak) sebagai dampak meningkatnya ketegangan di Timur Tengah (Kompas.com10/12/2012).

Menanggapi kedua data memprihatinkan—ekonomi keropos dan 3 risiko ekonomi sisi eksternal itu—Redaksi dalam kapasitas sebagai pewarta warga, mencoba membandingkan dengan Tiongkok, lewat telaah Ross di atas.

Bahwa, dengan membanjirnya produk “made in China” di seluruh pelosok dunia serta prospeknya yang bakal menjadi ekonomi termaju di dunia, sangatlah tidak mungkin perekonomian Tiongkok keropos seperti kita.

Bahwa sebagai bagian dari dunia ini, Tiongkok toh tidak luput dari pengaruh global berdampak negatif pada ekonomi mereka. Lamun, seperti cuplikan tulisan Ross di atas, negara turun tangan mengatasi pandangan neoliberal, dan perekonomiannya kini malah terakselerasi.

Sementara kita, dengan beban ekonomi keropos (sayang Indef tidak menyinggung akankah terulang krisis jelang/saat Soeharto lengser). Dan negara yang, seperti sinyalemen Redaksi di atas (yang perlu penelitian ilmiah untuk mendukungnya), nyaris tidak hadir di segala sendi kehidupan, sulit membayangkan ketiga risiko ekonomi sisi eksternal itu bisa diatasi.

Memang, Pak Chairul sudah wanti-wanti: “Ini merupakan peringatan dini agar Indonesia melakukan perbaikan efisiensi, pembangunan infrastruktur dan logistik, pengurangan hambatan birokrasi dan berbagai pungutan liar.” (Kompas.com,10/12/2012).

Pertanyaannya, siapakah Indonesia itu yang dimaksudkan Pak Chairul untuk mengeksekusi perbaikan dimaksud?

Apakah Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Menteri-Menteri, atau Presiden beserta kabinetnya sebagai eksekutif?

Pra-Copernican UUD 2002/niramendemen UUD 45

Pertanyaan yang, hemat Redaksi, terus menggelantung tanpa jawaban tuntas untuk perbaikan-perbaikan dimaksud Pak Chairul. Yang (kini nyaris menjadi) klise itu, ketika 10 tahun sudah sejak terbitnya UUD 2002/niramendemen UUD 45.

(Data terbarui [update] yang Redaksi pungut dari Kompas.com [23/12/2012] memuat catatan Fitra [Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran] bahwa ada 6 kementerian ‘pemalas’. Mereka yang hanya merealisasikan target penyerapan anggaran hingga pertengahan 2012 di bawah 20 persen. Kementerian-kementerian: Perumahan Rakyat; Pemuda dan Olah Raga; Energi dan Sumber Daya Mineral; Pembangunan Daerah Tertinggal; Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; serta Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Yang hemat Redaksi sejatinya cukup strategis setidaknya sebagai inspirasi/pemicu bagi apa yang diwanti-wanti Pak Chairul di atas.

Data terbarui dari warita bertajuk Penerimaan Pajak 2012 Meleset dari Target,  Kompas.com [8/1/2013]. Kemelesetan 3,6 persen [lebih rendah] yang dikontribusikan antara lain oleh realisasi penerimaan Pph, industri pengolahan, rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hal-hal yang sulit disangkal sebagian besar berasal dari kinerja eksekutif.)

Dan hanya selang dua tahun sejak lahirnya konstitusi gadungan (tepatnya sejak ‘amendemen’ terakhir/ke-4 pada 2002) itu. Pada 2004 itu. Berbarengan terbentuknya bikameral DPR-DPD yang diametral UUD 1945. Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI (bukan lagi mandataris MPR, yang lagi-lagi bertentangan UUD 45)  selama dua periode hingga hari ini.

Sehingga sampai di sini. Dalam konteks renungan akhir tahun ini serta risalah John Ross yang menambah kepercayaan diri Redaksi dimaksud di awal tulisan ini. Sulit bagi kami untuk tidak menegaskan, menggarisbawahi. Bahwa konstitusi gadungan itu sedang menggagahi alam, menyangkal jati dirinya sendiri, meyakini matahari mengorbit bumi (Indonesia): pra-Copernican UUD 2002/niramendemen UUD 45.

Pemahaman perbedaan fundamental antara neoliberalisme dan liberalisme, menunjukkan, setidaknya bagi Redaksi, kita memang berada di kubu neoliberalisme. Yang tak lain adalah “omongan gaya baru mengenai akumulasi modal”. Di mana (salah satu parameternya) peran negara ‘minimal’. Ketimbang pada liberalisme yang peran negara ‘sangat penting untuk menjamin keadilan’ (Simak Hamdani dalam  Reformasi di Indonesia Sebagai Proyek Neoliberal; hlm 18b blog ini atau klik ini).

Atau mengacu Arief Budiman (HIPIS Palembang, 1984; simak hlm 2a atau klik ini) kita sedang berformasi sosial kapitalistis/neoliberalistis khas Indonesia yang harus digantikan dengan formasi sosial sosialistis khas Indonesia sesuai cita-cita yang tercantum dengan sangat kuat pada dasar negara Pancasila-UUD 45. “Artinya, perubahan yang Arief tawarkan itu pada basis (dari formasi sosial kapitalistis ke formasi sosial sosialistis) sehingga superstruktur (kualitas manusia pada proses regenerasi) akan mengikuti.” (Simak hlm 23a atau klik ini.)

Maka dengan demikian, dengan segala maaf, ini bukan lantaran duet SBY-Kalla atau SBY-Boediono tidak seperti, misalnya, gaya Jokowi-Ahok. Tetapi ini pertama-tama perintah konstitusi.

Konstitusi yang gadungan itu memang menghendaki peran  negara yang minim bahkan nihil. Atau kalau boleh pinjam istilah sedang populer sekarang, eksekutif “tersandera” pra-Copernican UUD 2002/niramendemen UUD 45.

Sehingga, janganlah terlalu berharap  banyak pada eksekutif kita untuk mengeksekusi peringatan dini seperti yang dilansir Pak Chairul itu. Atau menyantolkan harapan pada urusan yang lebih pelik lagi dan sangat sensitif terkait “keyakinan/keimanan personal”. Yang sudah melebar menjadi persoalan sosial akut, sejatinya mengancam eksistensi negara.

Blusukan-Musyawarah Jokowi-Ahok: Bumi (Jakarta) Mengorbit Matahari

Justru lebih bijak bila kita berharap banyak pada Jokowi-Ahok. Yang dengan gaya blusukan-musyawarah sedang mempraksiskan, melakoni layanan pada masyarakat. Mematuhi hukum alam: bumi (Jakarta) mengorbit matahari.

(Data terbarui dari warita Kompas.com [29/12/2012] bertajuk Jokowi: Jangan Kaget kalau Saya Angkut Sampah Sendiri, adalah sebuah bukti lagi.)

Peran pemerintah sedang diperkuat. Karena pejabat negara tak lain  adalah mandataris dari rakyat yang dipimpin dan yang memilihnya dengan suka cita tanpa duka atau paksa.

Rakyat yang (terpaksa) bertemu pemimpinnya untuk persoalan yang sudah akut, bentuknya  tak bakal jauh dari demo, protes. Lalu kekerasan pun menguntit rapat. Penyelesaian menjadi sulit, malah yang mengemuka ketegangan (fisik) antarpejabat dan rakyat yang dipimpinnya.

‘Blusukan’ (dari bahasa Jawa) berarti “masuk” dan dimaknai lebih luas. Salah satunya, sebagai “ungkapan orang berkelana ke tempat-tempat berkandungan masalah yang belum terungkap” (Mgr Julianus Sunarka, SJ; klik ini).

Dan ‘musyawarah’ yang dimaknai sebagai “pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah”. ‘Bermusyawarah’ sendiri berarti “berunding, berembuk” (KBBI, 1999).

Blusukan oleh DKI-1&2 yang relatif baru menjabat ini hampir pasti diikuti musyawarah atau setidaknya bermusyawarah.

Jadinya, bagi Redaksi … blusukan-musyawarah ala Jokowi-Ahok, blusukan-musyawarah Jokowi-Ahok. Dan ini, setidaknya menurut Redaksi, yang namanya (salah satu) ‘definisi’ perilaku pancasilais.

Blusukan yang menyapa langsung rakyat di tempat mereka dengan persoalan mereka. Lalu bermusyawarah, bergotong royong mencari penyelesaian “sama-sama menang” untuk di bawa ke belakang meja gubernur. Yang telah “dirapikan” wakilnya … Lantas dieksekusi dengan kekuasaan yang dimiliki dan dana yang teranggarkan secara transparan.

Atau blusukan-musyawarah-dunia maya. Ketika rakyatlah yang menjelajah ke dalam ruang-ruang rapat para pejabat/wakil rakyat. Memanfaatkan rekaman audio-video yang diunggah lewat jejaring sosial/fasilitas terkait teknologi dunia maya.

Tiba-tiba kita disadari, ini yang namanya “demokrasi model kita”. Kaya, penuh gemerincing tawa campur haru. Tapi juga serius dan cerdas dari  rakyat akar rumput yang lama sekali merasa tak engah punya pemimpin.

Ternyata, Pancasila itu bukan sebatas teori. Bukan pula teori yang ditemukan, tapi digali oleh Soekarno. Jadinya, sebuah jati diri tulen. Jadinya, di mana pun bumi (Indonesia) dipijak Pancasila (suka tidak suka) kudu dijunjung.

Belum lagi bicara “behind the scene” prorakyat: merogoh kantong pribadi untuk sumbangan mendesak warga yang berkesusahan. Hal yang bisa jadi membuat seorang Hillary Clinton bahkan Barack Obama pun tak habis pikir—bisa jadi karena seumur-umur mereka tak pernah mengirim besek panganan ke tetangga miskin. Maka ketika sebagai orang Indonesia, kita masih bingung apa sih maksudnya perilaku pancasilais itu? Ya, yang begini ini, blusukan-musyawarah ala Jokowi-Ahok!

Lamun, di samping itu, harapan tinggi pada Jokowi-Ahok juga bukan dengan pamrih pertama-tama kelak menjadi Presiden-Wakil Presiden. Meski tak ada salahnya berharap begitu.

Bagi Redaksi, harapan pada Jokowi-Ahok adalah pertama-tama sebagai pemicu terbentuknya bola salju. Yang makin meraksasa siap untuk memporakporandakan konstitusi gadungan yang menggagahi alam itu: pra-Copernican UUD 2002/niramendemen UUD 45. Siap menghapus UUD 2002/niramendemen UUD 45! Sehingga kita kembali mematuhi alam: bumi (Indonesia) mengorbit matahari!

Redaksi termasuk yang percaya, bahwa berubahnya basis, bangunan bawah yang berkonstitusi Pancasila-UUD 45 berlanjut formasi sosial sosialistis, maka superstruktur, bangunan atas yang bersesuaian dalam watak manusia-manusia Indonesia yang pancasilais pun dengan sendirinya berpeluang besar untuk hadir.

Justru, harapan lain lagi hemat Redaksi, munculnya “billions of entrepreneurs”  (pinjam judul buku Tarun Khanna, 2010, PT Elex Media Komputindo). Tampilnya beribu-ribu laksa (1 laksa 10.000—Red/KBBI, 1999) pebisnis sekualitas Jokowi-Ahok (baca: gaya blusukan-musyawarah), yang sebagian dari mereka akan mengisi jabatan-jabatan negara strategis: gubernur, wakil gubernur, walikota, dst.

Para kapitalis-birokrat pancasilais ini akan “membanjiri” negara. Tak ketinggalan, kaum politisi muda kiri yang diametral “Revolusi Permanen”. Mereka yang meyakini perjuangan pembebasan nasional dari cengkraman imperialias sebagai langkah awal, ikut pula–dalam sebuah front persatuan kaum progresif revolusioner seluruh elemen-elemen negeri ini–“mengepung” secara ideologis dan praksis dengan mendukung Pancasila-UUD 45 tanpa reserve.

Negara pun “kewalahan” dan “letih” untuk bertahan dalam ketakberdayaannya yang melawan alam itu. Lalu akan berubah secara radikal.

Konstitusi awal sehari  setelah proklamasi yang kini masuk kotak, menyembul keluar. Hadir dengan perkasa pada sebuah negara Indonesia baru yang (bakal) kuat, jaya, kaya menandai terbebaskannya dari penjajahan jliid 2.

Apalagi sudah ada sebuah bukti signifikan di 2012, ketangguhan UUD 45: bubarnya BP Migas (simak hlm 26a atau klik ini).

(Juga data terbarui warita bertajuk RSBI Dihapus, Dunia Pendidikan Jangan Jadi Kelinci Percobaan LagiKompas.com [9/1/2013]. Berisi kabar hapusnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional-Sekolah Bertaraf Internasional [RSBI-SBI] oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi [MK]. Mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur soal RSBI;

Keputusan MK yang didasarkan antara lain pada pertimbangan rasional. Bahwa biaya mahal berakibat diskriminasi pendidikan, pembedaan SBI-nonSBI menimbulkan kastanisasi pendidikan, dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.

Singkat cerita, alasan legalitas MK seperti diwaritakan sebelum oleh Kompas.com [8/1/2013], “Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.”)

Juga bukti terbaru dari mancanegara di penghujung 2012, ketegaran Suriah dan Korea Demokratis.

Suriah yang dibawah tekanan berat politik-militer selama 21 bulan lewat dukungan asing bagi para pemberontak yang melawan Presiden Assad. Hari-hari ini membuat sang pembeking, AS dan negara-negara Eropa Barat, frustrasi: kekalahan para begundalnya (simak hlm 27c atau klik ini).

Begitu pula Korea Demokratis yang tak habis-habisnya diembargo, dintimidasi, diejek. Tapi tak berani diserang lantaran memiliki senjata nuklir. Kini telah menempatkan satelitnya di ruang angkasa (simak hlm 27d atau klik ini).

Jadi, tetap optimis, pinjaman salah satu celetukan Jokowi.

Selamat Tahun Baru 2013.

ooOoo

Tinggalkan komentar