Pemilihan Presiden AS dan Pengaruhnya

Terhadap

Hubungan AS dengan Tiongkok

.

Oleh John Ross

.

Sumber: situs John Ross, Learning from China, “The US presidential election and its effect on US relations with China”

.

Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita

.

.

.

Masih terlalu dini untuk mengetahui dampak dari hasil pemilihan Presiden AS atas Trump yang terjangkit virus corona. Jajak pendapat AS telah menunjukkan selama berbulan-bulan Biden jauh unggul di atas Trump dan ini sedikit meningkat  menyusul debat presiden yang kali pertama disiarkan televisi. Tetapi yang jelas adalah, bahwa meskipun hasil pemilihan presiden dapat membuat perbedaan yang signifikan pada taktik AS terhadap Tiongkok, siapa pun yang terpilih sebagai presiden akan melanjutkan kebijakan agresif melawan Tiongkok. Oleh karena itu, baik Tiongkok maupun komunitas internasional harus bersiap untuk ini.

.

.

Trump Tertinggal dalam Jajak Pendapat

Titik awal utama untuk menganalisis situasi setelah sakitnyaTrump adalah mengapa dia tertinggal dalam jajak pendapat dan apa hasil dari debat TV pertama antara para kandidat presiden AS itu – di mana Trump berusaha untuk mengimbangi ketertinggalan di belakang Biden dengan serangan pribadi yang keji [savage – Red DK] terhadap mantan Wakil Presiden?

Semua jajak pendapat nasional utama AS baru-baru ini menunjukkan Biden di depan Trump dengan memimpin berkisar antara 3% hingga 13%. Selain itu, semua jajak pendapat kunci menunjukkan bahwa setelah debat TV, ada pergeseran lebih lanjut yang mendukung Biden berkisar antara 6-13%. Singkatnya, Trump sudah ketinggalan dan debat TV [malah – Red DK] berjalan buruk bagi Trump.

Selanjutnya, umum diketahui bahwa pemilihan presiden AS diputuskan di beberapa negara bagian mengayun [swing state: negara bagian dapat dimenangkan baik oleh Demokrat aupun Republik bukan hanya salah satunya – Red DK]. Jajak pendapat di negara-negara bagian ini menunjukkan bahwa di negara bagian kunci Michigan, Biden memimpin meningkat dari 2% sebelum debat TV menjadi 6% setelahnya, dan di negara bagian mengayun New Hampshire Biden memimpin melebar dari 4% sebelum debat TV menjadi 8% setelah itu.

Jajak pendapat telah menunjukkan keunggulan Biden yang persisten [konstan/tetap – Red DK] sejak musim semi [antara Maret-Juni – Red DK]. Namun, karena karakter tidak demokratis dari sistem elektoral [electoral system – Red DK] AS, di mana terjadi pembiasan dalam mendukung Partai Republik dengan kolese elektoral [electoral college – Red DK] yang menentukan siapa presiden, Biden harus berada sekitar 3% di depan Trump dalam pemungutan suara populer (popular vote; pemungutan suara oleh rakyat seperti yang kita/Indonesia kenal – Red DK) untuk memastikan menang di kolese elektoral – Hillary Clinton mengalahkan Trump dengan 2,1% dalam pemungutan suara populer pada 2016 tetapi Trump tetap menjadi presiden. Namun, sebagian besar jajak pendapat menunjukkan Biden dengan setidaknya 3% memimpin dalam pemungutan suara popular, yang diperlukan untuk memenangkan kursi kepresidenan. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah sesuatu yang berhubungan dengan penyakit Trump dapat membalikkan tren dukungan untuk para kandidat? Mengapa, oleh karena itu, Trump tertinggal dalam pemungutan suara ketika virus corona menyerang dia? Jawabannya terpusat pada implikasi hubungan AS dengan Tiongkok.

Taktik Trump ke Tiongkok

Penting untuk dipahami bahwa kebijakan Trump terhadap Tiongkok mewakili perubahan nyata dalam taktik AS, dibandingkan dengan kebijakan AS sebelumnya, tetapi memiliki implikasi yang menyebar ke setiap bidang kebijakan luar negeri, dan banyak area domestik AS. Perubahan tajam dalam taktik AS inilah yang menyebabkan Trump menjadi presiden yang melepaskan [unleashed – Red DK] pertarungan politik yang begitu tajam di dalam kelas berkuasa AS dan polarisasi yang begitu tajam dalam masyarakat AS.

Kepresidenan Obama telah melihat bahwa pembentukan pandangan kelas berkuasa AS menghadapi Tiongkok adalah tugas kebijakan luar negerinya yang paling penting – diringkas dalam ‘poros ke Asia’ [pivot to Asia – Red DK] yang terkenal itu. Tetapi perhitungan Obama/Clinton/Biden adalah bahwa dalam bentrokan antara AS sendiri dan Tiongkok mereka tidak begitu yakin bahwa AS akan menang. Oleh karena itu, AS harus mencoba menciptakan sebuah aliansi ‘anti-Tiongkok yang luas’. Karena itu:

  • Di Pasifik, Kemitraan Trans Pasifik (KTP [TPP/Trans Pacific Partenership] – Red DK) harus dibuat yang melibatkan AS, Jepang, Vietnam, Chili, dan negara-negara lain.
  • Sekutu terbesar yang mungkin bagi Obama berada di Eropa dan oleh karena itu kebijakan luar negerinya secara khusus difokuskan pada menjaga hubungan baik dengan para pemimpin di sana. Secara khusus, kemitraan terdekat yang mungkin harus dibuat dengan Jerman – sekutu politik internasional terpenting Obama adalah Kanselir Jerman Merkel. Karena UE sangat penting bagi Jerman, Obama mengejar [pursued –Red DK] kebijakan mendukung UE. Karena Jerman dan Prancis menginginkan kebijakan anti-Rusia, berhubung Rusia adalah negara non-UE terkuat di Eropa, Obama/Clinton mengejar kebijakan yang tidak bersahabat dengan Rusia.
  • Hubungan dengan Eropa tumpang tindih dengan hubungan di Timur Tengah – karena hubungan ekonomi UE dengan Iran penting. Oleh karena itu, ini adalah faktor kunci di balik perjanjian nuklir AS-Iran – Rencana Aksi Komprehensif Bersama (RAKB [JCPOA/Joint Comprehensive Plan of Action – Red DK]). Ini dinegosiasikan melawan oposisi Israel.
  • Negara-negara Eropa juga perhati dengan perubahan iklim, dan ada pemahaman tentang pentingnya perubahan iklim dalam pemerintahan Obama, dan oleh karena itu AS merundingkan kesepakatan perubahan iklim Paris. Ini juga merupakan salah satu area di mana AS siap untuk bekerja sama di Tiongkok.
  • Secara domestik, di dalam negeri AS, sebuah kebijakan ekonomi/sosial ‘reformis’, yang bertujuan untuk memberikan setidaknya beberapa manfaat bagi bagian termiskin dari populasi AS dikejar – dilambangkan dengan perluasan asuransi kesehatan ke bagian yang jauh lebih besar dari populasi AS dalam ‘Obamacare’. Seperti orang-orang Afrika-Amerika, kaum Kulit Hitam [the Black – Red DK] itu, populasi dari AS, adalah yang termiskin [di mana – Red DK] kebijakan reformis ini membantu mereka.

Kebijakan internasional dan domestik ini, yang melibatkan ‘aliansi anti-Tiongkok yang luas’, dua kali mengamankan terpilihnya Obama. Hillary Clinton adalah calon presiden yang dimaksudkan untuk melanjutkan kebijakan Obama ini – dan memang dia memeroleh persentase tertinggi dari pemungutan suara populer pada 2016 tetapi ditolak sebagai presiden karena sifat tidak demokratis dari sistem elektoral AS.

Trump Mengubah Kebijakan AS

Trump, dan bagian dari kelas berkuasa AS yang dia wakili, bagaimanapun tidak setuju dengan strategi Obama/Clinton/Biden ini. Pendukung kunci Trump adalah penyokong kebijakan anti-Tiongkok tetapi untuk itu diperlukan menganalisis taktik yang berbeda.

Bagian ibu kota AS yang mendukung Trump ini percaya bahwa terlalu banyak konsesi ekonomi yang diberikan kepada negara-negara seperti Jepang dan Vietnam untuk menarik mereka ke dalam aliansi anti-Tiongkok yang luas – oleh karena itu, bagian ibu kota AS ini menentang KTP [TPP – Red DK]. Selain itu, mereka percaya Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain harus mentransfer sumber daya ke AS melalui peningkatan pembayaran untuk perlindungan militer AS, dan seterusnya.

Bagian ibu kota AS yang mendukung Trump juga percaya bahwa UE adalah saingan ekonomi yang kuat bagi AS dan oleh karena itu, alih-alih mendukungnya, AS harus berusaha untuk melemahkan Uni Eropa. Jerman khususnya harus diperlakukan sebagai saingan, dibuat untuk membayar lebih untuk perlindungan militer AS, dan seterusnya. Inggris karena itu juga harus didorong untuk meninggalkan UE.

Dukungan AS terhadap kebijakan anti-Rusia dari UE mendorong Rusia lebih dekat ke Tiongkok, dan oleh karena itu sebagai gantinya diusulkan bahwa kebijakan pro-Rusia harus dikejar untuk membuat perseturuan  [to drive a wedge – Red DK] Rusia dan Tiongkok.

Di Timur Tengah, kekuatan yang sama ini lebih dekat ke Israel, dan bermusuhan dengan UE, dan karena itu ingin memutuskan kesepakatan nuklir AS-Iran, untuk mendukung pengakuan resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan seterusnya.

Kepentingan minyak adalah komponen inti dari bagian kelas berkuasa AS ini dan hal ini melawan regulasi lingkungan, Kesepakatan Perubahan Iklim Paris [Paris Climate Change Accords – Red DK], dan seterusnya.

Singkatnya, kekuatan pendukung Trump percaya bahwa alih-alih AS membuat konsesi kepada negara lain untuk menciptakan aliansi anti-Tiongkok yang luas, negara-negara lain ini harus mentransfer sumber daya ke AS sehingga AS dapat berada dalam posisi yang lebih kuat untuk secara langsung menyerang Tiongkok – melalui sarana seperti tarif, tindakan terhadap Huawei, TikTok, dan lain-lain.

Untuk memerkuat kapital AS dalam konfrontasi dengan Tiongkok ini, harus ada pemotongan pajak yang besar untuk perusahaan-perusahaan AS dan orang kaya, yang harus dibayar dengan menarik asuransi kesehatan dari puluhan juta orang Amerika (dorongan untuk mencabut Obamacare), mengakhiri kebijakan mendukung bagian termiskin dari masyarakat AS yang adalah kaum kulit hitam Amerika dan seterusnya.

Singkatnya, kebijakan Trump adalah serangan agresif terhadap banyak negara di luar negeri, terutama Tiongkok, dan serangan terhadap bagian termiskin dari populasi AS.

Kebijakan ini tentu saja menimbulkan banyak musuh bagi Trump baik internasional maupun domestik. Tetapi Trump menghitung bahwa dia dan kebijakan ini akan dapat memertahankan kekuatannya di AS dengan memanfaatkan rasisme kulit putih yang secara historis diciptakan oleh imperialisme AS. Konsekuensinya, kelompok nonkulit putih baik dari populasi di AS maupun di dunia internasional harus diserang dan dihujat secara drastis – awalnya kaum kulit hitam Amerika dan kaum Muslim yang kemudian ditambahkan kaum Tionghoa ketika kebijakan anti-Tiongkok ditingkatkan. Upaya Trump untuk menyalahkan bencana kegagalan AS dalam mengendalikan virus korona [yang merebak – Red DK] di Tiongkok, dengan klaim tentang ‘virus Tiongkok’, hanyalah kulminasi logis dari seluruh orientasi rasis Trump.

Ledakan Musim Semi di AS Menggagalkan Trump

Untuk suatu periode yang panjang, tampaknya orientasi internasional Trump, yang berfokus pada serangan terhadap orientasi Tiongkok, dan berkelanjutan oleh rasisme di AS, akan cukup untuk memertahankan Trump di kantor [kepresidenan—Red DK]. Hingga awal tahun 2020 sebagian besar para analis berasumsi bahwa Trump akan memenangkan pemilihan Presiden mendatang. Tetapi situasi ini berubah oleh dua faktor yang saling terkait erat – bencana AS, respons AS yang menghancurkan terhadap virus corona, yang secara logis mengikuti strategi Trump, dan ledakan besar komunitas kaum Kulit Hitam AS, yang didukung oleh bagian-bagian lain dari masyarakat AS, pada Mei 2020.

Reaksi Trump terhadap virus corona hanyalah kelanjutan dari kebijakan sebelumnya. Bagi Trump, setiap masalah lainnya harus disubordinasikan untuk mencoba memerkuat kapital AS. Konsekuensinya, dengan segala cara, ekonomi AS harus tetap terbuka, dan menghasilkan keuntungan, berapa pun kerugian manusia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan yang diberikan kepada penduduk melalui penguncian [lockdown – Red DK] atau tindakan lain untuk mengendalikan virus. Setiap pemimpin negara-bagian atau kota AS yang mengejar tindakan tersebut segera diserang oleh Trump. Mereka yang menganjurkan penggunaan masker atau tindakan perlindungan lainnya, yang juga melambangkan betapa seriusnya ancaman virus tersebut, akan diolok-olok. Kebijakan-kebijakan ini tak terelakkan menimpa orang Amerika yang paling miskin, terutama orang Amerika kulit hitam. Tetapi karena kelompok sosial seperti itu sudah tidak dilindungi oleh kebijakan Trump, tidak ada perhatian yang diberikan bagi penderitaan mereka. Bersamaan dengan itu, jumlah kematian yang sangat besar akibat kebijakan ini harus disalahkan atas Tiongkok – dengan demikian menambahkan rasisme anti-Tiongkok menjadi anti-Hitam dan rasisme anti-Muslim serta xenofobia [xenofobia – Red DK].

Secara internasional, tidak diragukan lagi Trump meraih kesuksesan yang signifikan dengan kebijakannya secara keseluruhan sejak pemilihannya. Meksiko dan Kanada berhasil dipaksa masuk ke dalam perjanjian anti-Tiongkok,  Amerika Serikat-Meksiko-Kanada [anti-China United States-Mexico-Canada agreement – Red DK] untuk menggantikan perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara [North America Free Trade agreement – Red DK] yang lama. Huawei dipaksa keluar dari jaringan 5G Inggris dan Australia. AS melumpuhkan sebagian besar organisasi Perdagangan Dunia [WTO – Red DK], dan seterusnya.

Tapi apa yang Trump salah-hitung secara radikal adalah situasi domestik di AS. Penduduk kaum kulit hitam di AS tidak bersikap pasrah [lie down – Red DK] dan menerima serangan masif lebih lanjut terhadap mereka seputar virus corona. Sebaliknya, pembunuhan rasis George Floyd di Minneapolis pada 25 Mei [2020 – Red DK] adalah percikan yang menyulut demonstrasi politik terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat – mencapai 25 juta orang Amerika berpartisipasi di dalamnya.

Sangat penting bahwa situasi dengan komunitas kaum Kulit Hitam di AS, dipahami secara akurat. Ada 40 juta orang kulit hitam Amerika – keturunan Afrika-Amerika. Itu sekitar 13% dari populasi. Tapi bobot populasi kaum kulit hitam [the weight of the Black population – Red DK] dalam politik AS jauh lebih besar dari ini.

Secara taktis pertama-tama, sejak 2008 pemungutan suara atau kurangnya suara dari populasi  kaum Kulit Hitam Amerika yang menentukan hasil pemilihan presiden AS. Pada 2008 dan 2012, jumlah pemilih kaum kulit hitam yang masif memberikan kemenangan kepada Obama, dan pada 2016 kegagalan dalam jumlah pemilih yang besar untuk mendukung Hillary Clinton menyebabkan kekalahannya. Apakah populasi kaum kulit hitam Amerika dalam jumlah pemilih yang besar untuk memilih Biden pada 2020 hampir pasti akan menentukan hasil pemilihan presiden tahun ini.

Kedua, karena mereka adalah bagian dari populasi yang sangat tidak diistimewakan, gerakan politik kaum Kulit Hitam Amerika selalu menjadi yang paling radikal di AS dan juga yang paling mendukung tren progresif secara internasional. Gerakan Hak-hak Sipil [Civil Rights movement – Red DK] di AS terkait erat dengan negara-negara lain secara internasional, ada dukungan yang signifikan untuk Tiongkok di antara para pemimpin populasi kaum Kulit Hitam selama periode Mao Zedong, para pemimpin populasi kaum Kulit Hitam AS sangat menentang Perang Vietnam, dan seterusnya.

Kadang radikalisme dari populasi kaum Kulit Hitam AS yang lebih besar ini, kewalahan oleh rasisme kulit putih dalam masyarakat AS – apakah kasus ini terjadi dalam situasi apa pun yang ditentukan oleh hubungan kekuatan internasional dan domestik secara keseluruhan. Tetapi karena virus corona melibatkan serangan besar pada lapisan masyarakat AS yang begitu luas tahun ini, populasi kaum kulit hitam AS tidak menghadapi front persatuan dari kelas berkuasa AS serta mayoritas untuk rasis kulit putih – Trump tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan kepada sebagian besar populasi kaum kulit putih yang menderita baik kematian masif akibat virus corona (lebih dari 200.000 pada saat penulisan ini) maupun pengangguran besar-besaran. Konsekuensinya, 74% orang Amerika mengatakan mereka mendukung protes yang dilakukan di seluruh negeri menyusul pembunuhan George Floyd.

Beberapa komentator media Tiongkok mengatakan bahwa protes besar AS ini tidak membentuk sebuah partai politik yang bukan sosialis, dan seterusnya. Ini benar, tetapi meleset dari poinnya bahwa demonstrasi besar-besaran menyusul pembunuhan George Floyd sangat mengguncang masyarakat dan politik AS. Dalam ukuran, mereka bahkan lebih besar dari protes terhadap perang AS di Vietnam – meskipun krisis politik pada saat perang Vietnam bahkan lebih dalam karena pada saat itu pasukan militer AS tidak terorganisasi oleh kekalahan mereka. Namun demikian, peristiwa pada Musim Semi 2020 adalah krisis terdalam di AS sejak perang Vietnam. Hasil dari inilah yang mengubah situasi dari terpilihnya kembali Trump nyaris dijamin menjadi situasi di mana dia benar-benar tertinggal dalam jajak pendapat.

Singkatnya, serangan rasis Trump secara radikal salah menghitung situasi domestik di AS, menyebabkan ledakan sosial yang besar, dan mungkin merugikannya dalam pemilihan presiden. Bagian tambahan dari kelas berkuasa AS menganggap bahwa Trump adalah seorang ‘petualang’ yang telah menciptakan terlalu banyak musuh secara internasional dan domestik dan oleh karena itu ia harus dicopot dari jabatannya.

Apa kesimpulan bagi Tiongkok?

Apa kesimpulan yang bisa dicatat tentang hal ini bagi Tiongkok? Beberapa orang mungkin memerkirakan bahwa fakta bahwa Trump yang sakit dapat menarik suara ‘simpati’ yang akan memungkinkannya untuk mengatasi ketertinggalannya dalam jajak pendapat dan mengamankan pemilihan kembali. Pandangan lain adalah bahwa ketidakmampuan Trump yang jelas dalam membiarkan virus corona menyebar secara masif di AS, bahkan hingga memengaruhi lingkaran tertinggi politik AS, akan mendiskreditkannya. Ini masih harus dilihat. Namun dalam kenyataannya, pemilu ditentukan oleh proses sosial yang lebih mendalam daripada ini. Trump akan dipilih kembali atau dikalahkan sesuai dengan perjuangan antara dua blok sosial yang berbeda di AS yang telah dianalisis di atas.

Tiongkok, bagaimanapun, tidak mencampuri urusan dalam negeri AS atau, bahkan jika melanggar kebijakan itu, apakah memiliki kemampuan praktis untuk menentukan hasil dari proses sosial yang mendalam seperti pemilihan presiden AS (mereka yang berpikir ‘campur tangan Rusia’ menentukan hasil pemilihan presiden 2016 hidup di dunia fantasi!). Pertanyaan penting bagi Tiongkok adalah bagaimana seharusnya menanggapi proses di AS yang tidak dapat dikontrolnya.

Tiongkok telah menanggapi serangan Trump terhadap Tiongkok dengan menarik kesimpulan strategis yang mendalam yang disatukan dalam konsep ‘sirkulasi ganda’ ekonomi [economic ‘dual circulation’ – Red DK] – di mana penekanan diberikan pada sirkulasi domestik yang dilengkapi dengan sirkulasi eksternal. Jelas kebijakan seperti itu benar jika Trump memenangkan pemilihan karena kebijakannya saat ini akan berlanjut. Tapi apakah konsep strategis ini perlu diubah karena Biden kini bisa memenangkan pemilu?

Jawabannya adalah Tidak. Kepresidenan Biden, tidak diragukan lagi, akan menyebabkan perubahan signifikan dalam taktik AS dalam beberapa aspek kebijakan luar negerinya. Beberapa [kebijakan – Red DK] Biden ini sudah diumumkan sebelumnya.

Tetapi area di mana tidak akan ada perubahan dalam kebijakan strategis, meskipun mungkin ada perubahan taktik, adalah mengarah Tiongkok. Biden berhati-hati untuk tidak menjabarkan posisinya pada sebagian besar tindakan ekonomi anti-Tiongkok yang diperkenalkan oleh Trump – tarif, serangan terhadap Huawei dan TikTok, dan lain-lain. Tetapi ini mencerminkan kenyataan bahwa masalah-masalah ini berada periferal [di luar pokok – Red DK] perhatian para pemilih AS – upaya Trump untuk membuat para pemilih AS terobsesi dengan hubungan terhadap Tiongkok telah gagal karena mereka terutama menganggap masalah mereka ada di AS. Tetapi keselarasan fundamental dari kekuatan-kekuatan sosial di belakang Biden, seperti telah dianalisis, mewakili kebijakan anti-Tiongkok yang sama seperti Trump dan hanya mendukung taktik-taktik berbeda untuk mencapainya.

Tentu saja, setiap perubahan taktik Biden terhadap Tiongkok harus dianalisis secara objektif. Biden hampir pasti menganggap perubahan iklim berbahaya bagi AS serta negara-negara lainnya, dan mungkin ada ruang di sini untuk kolaborasi dengan Tiongkok – satu-satunya bagian dari kebijakan yang diumumkan Biden yang sungguh-sungguh progresif adalah tentang perubahan iklim. Mungkin ada efek samping dari kebijakan Biden lainnya, seperti kembali ke perjanjian nuklir AS-Iran, atau hubungan yang lebih baik dengan UE, yang dapat dimanfaatkan oleh Tiongkok. Tapi secara keseluruhan Biden bermaksud untuk memertahankan orientasi anti-Tiongkok dari kebijakan AS. Dalam situasi itu, ‘sirkulasi ganda’ Tiongkok – dengan penekanan yang diberikan pada sirkulasi domestik dilengkapi dengan sirkulasi eksternal tetap menjadi formula strategis yang tepat. Untungnya, skala ekonomi Tiongkok yang sangat besar memungkinkannya memertahankan kebijakan semacam itu.

Oleh karena itu, analisis yang diberikan oleh Tiongkok tetap benar adanya, apa pun hasil pemilihan presiden AS – dan terlepas dari sensasi langsung yang diciptakan oleh Trump yang tertular virus corona. Media AS, dengan cara terobsesi pada diri sendiri yang khas, telah berusaha untuk mendramatisasi situasi dengan menampilkan seantero dunia yang terobsesi oleh hasil dari penyakit Trump. The New York Times menyatakan: ‘Berita tentang seorang presiden Amerika yang tertular virus yang berpotensi mematikan membuat dunia terguncang.’ Namun pada kenyataannya, mengenai Tiongkok tidak ada hal mendasar yang berubah. Tiongkok telah melatih [workout – Red DK] respons strategisnya terhadap agresi AS – apakah AS menggunakan taktik Trump atau taktik Biden. Tentu saja, apakah Trump atau Biden yang menjadi presiden akan memengaruhi beberapa taktik, dan kebijakan luar negeri Tiongkok telah menunjukkan hal itu akan memaksimalkan peluang untuk meningkatkan hubungan.

Namun keseluruhan sikap agresif AS terhadap Tiongkok, baik menggunakan taktik Trump atau taktik Biden/Obama/Clinton, secara strategis akan mendominasi periode berikutnya. Karena bahkan lingkaran neo-con AS yang paling gila sekalipun tidak mendukung perang yang sebenarnya dengan Tiongkok, persaingan ini akan dimainkan terutama di bidang ekonomi. Dalam kerangka itu, ‘sirkulasi ganda’ memberikan kerangka kerja yang benar – apa pun hasil dari penyakit Trump dan pemilihan presiden AS.

* * *

Artikel ini pertama kali tayang dalam bahasa Mandarin di Guancha.cn.

.

.

Catatan Redaksi Dasar Kita

dk-83a-john-ross-bio

 

 

John Ross saat ini adalah Peneliti Senior di Institut Studi Finansial Chongyang, Universitas Renmin Tiongkok [Senior Fellow at Chongyang Institute for Financial Studies, Renmin University of China].

Selengkapnya dalam Bahasa Inggris klik John Ross Biography atau data terbarui About John Ross di situs beliau yang kami acu ini Learning from China Blog.

.

.

.

Versi Bahasa oleh Redaksi ini adalah sepengetahuan dan seijin John Ross melalui surat elektronik-Twitter beberapa waktu yang lalu, di mana ini adalah tulisan John Ross yang ke-10 versi Bahasa oleh kami, Redaksi Dasar Kita. Meski tentu saja, kesalahan baik grafis maupun konten/isi dari versi Bahasa ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Redaksi,  di mana secara khusus beliau berharap para pembaca blog Redaksi Dasar Kita akan menyukai tulisan (tulisan-tulisannya) ini. Terima kasih banyak.

Dan adalah sebuah kehormatan bagi kami, bahwa pada 15 Juli 2017 John Ross — atas persetujuan yang kami sampaikan melalui twitter — menyebutkan versi Bahasa artikel ini “KTT G20 Menyoroti Tahap Baru ‘Kepemimpinan Pemikiran’ Internasional Tiongkok” (artikel butir 9 di hlm HK-2; lihat bawah) di situ beliau ‘Learning from China Blog’.

 Kami, sekali lagi mengucapkan terima kasih atas kerja sama dan ijin yang diberikan juga kesediaan John Ross untuk menyebutkan versi Bahasa artikel dimaksud (butir 9) di situsnya dimaksud.

.

Simak/klik hlm HK-2. Artikel-artikel John Ross dalam Versi Bahasa di Blog Dasar Kita (termasuk artikel ini butir 10):