50 Tahun Kudeta Merangkak  (1 Oktober 2015)

 .

Jalan Ideologis Trisakti Jokowi-JK

Bagian Tak Terpisahkan dari “Panca Azimat” Menuju “Ampera”

.

Tahapan Sosialisme ala Indonesia

Revolusi Belum Selesai 

.  

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

“Kok pakai perkataan ‘Nasakom’? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’. Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai perkataan Nasakom?

.

Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng politik dan coro-coro politik ini ialah perkataan Marxisme saudara-saudara.

.

Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Sosialis Indonesia yang saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk dada: Kami Marxis, Kami Marxis, Kami Marxis! – Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng daripada Marxisme.

.

Karena itu aku tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut dalam Nasamarx itu saudara-saudara.

.

Padahal mereka adalah revisionis tulen, padahal mereka adalah pencoleng Marxisme!

.

.

Tahun ini bukan saja tepat 70 tahun Pancasila dan juga 70 tahun Republik Indonesia. Tetapi juga tepat setengah abad “Kudeta Merangkak”. Kudeta yang …

Redaksi merasa perlu menyambutnya – seperti halnya kami menyambut kedua peristiwa paling bersejarah itu lantaran dan khususnya dan terlebih saat ini Jokowi-JK bervisi Trisakti-Gotong Royong (Soekarno) – dengan sebuah tulisan yang kami awali jawaban sekilas atas pertanyaan …

Apa itu “Kudeta Merangkak”?

Pewarta senior sebuah koran tua cukup diperhitungkan Budiarto Shambazy dalam tulisan yang meskipun diberi judul 45 Tahun “Kudeta Merangkak” (Kompas, 25/10/2010), tidak memberikan penjelasan langsung ataupun sekadar kalimat ikhtisar memaknai “Kudeta Merangkak” .

Kecuali di penutup tulisannya Budiarto menyebutkan “mudarat”-nya bagi Indonesia. Sebuah kesimpulan signifikan sekaligus seakan menghindari definisi kudeta jenis yang mungkin satu-satunya di dunia dan berlangsung hanya beberapa bulan setelah harian umum Kompas lahir.

Kudeta merangkak” terhadap BK [Bung Karno — Red DK] melenyapkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan SDM dan SDA melimpah, dengan utang luar negeri cuma 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional) …”

(Simak hlm 2b.1).

Lamun peneliti senior LIPI Asvi W Adam di dalam Pengantar buku – seperti disebutkan di atas pada tajuk tulisan ini – Revolusi Belum Selesai (Penyunting Setyono & Bonnie Triyana, PT Serambi Ilmu Semesta, 2014; selanjut: RBS) secara ringkas menuturkan “Kudeta Merangkak”.

”Mulai tahun 1998 [lengsernya Soeharto – Red DK] di tanah air sudah dikenal umum beberapa versi sejarah yang berbeda dari versi resmi.

Selain menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti Central Intelligence Agency (CIA), juga muncul tudingan terhadap keterlibatan Soeharto dalam apa yang disebut “kudeta merangkak” yaitu rangkaian tindakan dari awal Oktober 1965 sampai keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dan ditetapkannya Soeharto sebagai pejabat presiden tahun 1967. “Kudeta merangkak” ini terdiri dari beberapa versi pula (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan Soebandrio) dan beberapa tahap.”

 (RBS: 18-19, cetak tebal dari kami – Red DK).

Malahan Asvi menunjuk kausa dari maslahat-mudarat “Kudeta Merangkak”, seperti yang pernah dikutip di blog ini sebelumnya, saat menjawab apa yang kami sebut sebagai “pertanyaan cerdas” Asvi sendiri “Siapa yang Diuntungkan?”:

Yang sangat dirugikan pula adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan karena enam jenderal, empat perwira seorang gadis cilik, dan sekitar setengah juta orang terbunuh setelah peristiwa tersebut.

Yang paling diuntungkan dari tragedi nasional tersebut tak lain dari Nekolim.

[…]

Tahun 1965 menjadi watershed, pembatas zaman.

Terjadi perubahan drastis secara serempak dalam segala bidang. Politik luar negeri Indonesia menjadi lembek dan pro-Barat.

Ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri—Red) berubah jadi ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing dan utang.

Polemik dalam bidang politik dan kebudayaan berganti dengan asas tunggal yang tidak membiarkan kritik.

[Aidit dalam Bingkai Nawaksara dalam Seri Buku Tempo, Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara, 2010: 135-136; cetak tebal dari kami – Red DK].

Sehingga bila menyimak kutipan MR Siregar tentang “Kudeta Merangkak” — yang pernah kami muat di Catatan Kaki 2 hlm 2b blog ini — mestinya semakin bayan dan semakin melengkapi pemahaman kita atas “Kudeta Merangkak”:

“Kudeta Suharto dengan sangat kena dilukiskan orang di Barat sebagai “Creeping Coup d’etat (Kudeta Merangkak). Kudeta ini sekaligus adalah juga “Kudeta Berselubung”. “Merangkak” apabila dilihat dari perjalanan waktu, dan “berselubung” apabila dilihat dalam kombinasinya antara tindak kekerasan dan manuver-manuver licik penyamaran konstitusional.

Diukur dari sudut efektivitas sesuatu pemerintahan, Suharto sebenarnya sudah berkuasa sejak 1 Oktober 1965, tapi dilihat dari sudut formalitas dia berkuasa baru pada Juli [12 Maret] 1967 ketika MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mengangkatnya sebagai Pejabat Presiden. [Data terbarui simak/klik hlm 84]

Sejak 1 Oktober 1965 sampai menjelang terbentuknya kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) di bulan Juli 1966 di bawah pimpinan Suharto, Presiden Soekarno dan anggota-anggota Kabinetnya masih dibiarkan bicara.

Tetapi segala kebijaksanaan dalam dan luar negeri yang dapat dilaksanakan tidak lagi dibuat di Pejambon atau Istana Negara, melainkan di Markas Besar KOSTRAD; bukan lagi oleh Presiden Soekarno dan anggota-anggota Kabinetnya, melainkan oleh Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Suharto.

Bentuk-bentuk merangkak sebenarnya bukanlah pilihan ideal Suharto, tapi sebagai pilihan terpaksa yang bersebab dari syarat-syarat militer dan politik yang ada yang tidak dapat dilangkahi begitu saja, khususnya faktor Nasution di satu pihak pihak lainnya.

(Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia, Sebuah Holokaus Yang Diterima Sesudah Perang Dunia Kedua, MR Siregar,Tapol, 1995: 188-189).

“Kudeta Merangkak” & RBS: RI-Jokowi — Rusia-Putin — “Soekarno abad ke-21”

Dengan “bermodal” pemahaman sekilas atas  “Kudeta Merangkak” bersumber tiga narasumber mumpuni di atas, kami mencoba mengajak Kawan Pembaca Budiman “membaca sepak terjang” pemerintahan Jokowi-JK . Khususnya “secara ideologis” – yang sudah diletakkan para founding father.

Dan lebih mengerujut lagi dengan merujuk buku RBS. Buku yang setidaknya bagi kami, terbit pada waktu yang tepat. Bertepatan naiknya Jokowi-JK yang mengusung visi jalan ideologis Trisakti-Gotong Royong. Yang dalam pandangan kami Trisakti-Gotong Royong Jokowi-JK: Kegagalan Doktrin Truman di Indonesia Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah (hlm 56a).

Buku RBS yang menjadikan kita mafhum — lebih tepatnya diingatkan kembali. Seperti Kawan Pembaca Budiman bisa simak pada serangkaian cuplikan-cuplikan dari pidato-pidato  Soekarno yang kami kutip dari RBS selama pengeposan periode 1 Juni – 17 Agustus 2015 – menyambut 70 tahun Pancasila dan 70 tahun RI.

Bahwasanya Trisakti itu sesungguhnya tak terpisahkan, menjadi bagian dari “Panca Azimat” (Nasakom, Pancasila, USDEK, Trisakti, Berdikari). Menuju Indonesia yang  “Ampera” (NKRI, Masyarakat Adil Makmur, Hapusnya Penindasan Manusia atas Manusia Nasion atas Nasion) sebagai “cita-cita ideal” tahapan sosialisme ala Indonesia. Ujung dari Revolusi Indonesia. Revolusi yang belum selesai sejak era Soekarno bahkan hingga hari ini pun.

Dan lebih dari itu, dari RBS pulalah setidaknya bagi kami, bukan hanya

“Semenjak muda remaja Bung Karno telah jadi pengagum Marxisme. Dalam usia dua puluh lima tahun, dengan tujuan mempersatukan kekuatan bangsa melawan kolonialisme, Bung Karno sudah mengajukan arti penting Marxisme, menilai penting kekuatan para penganut Marxisme di Indonesia. Dalam karya beliau Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, yang disiarkan tahun 1926 … [simak hlm 23c – Red DK]”

(Bab 5 Bung Karno tentang Marxisme di dalam Marxisme sebuah Kajian oleh Suar Suroso, Hasta Mitra, 2009: 68).

Namun Soekarno sendiri ternyata seorang Marxis. Seorang “kiri-tulen Indonesia”. Dalam artian mempraksiskan antikapitalisme, antiimperialisme beralaskan doktrin Marxian ala Indonesia (setidaknya bagi kami ber-‘Orientasi Sosialis’ khususnya di negeri-negeri yang merdeka dari penjajahan, simak hlm 25a) pada syarat-syarat material khas Indonesia berbukti dalam Panca Azimat-Ampera.

Dan BK bukan dari jenis “Marxisme yang memusuhi Marxisme di dalam Marxisme itu sendiri yang diusung kaum revisionisme-Trotskyit.” Kaum yang di Indonesia dikritik pedas oleh Bung Karno:

“Kok pakai perkataan ‘Nasakom’? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’. Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai perkataan Nasakom?

Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng politik dan coro-coro politik ini ialah perkataan Marxisme saudara-saudara.

Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Sosialis Indonesia yang saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk dada: Kami Marxis, Kami Marxis, Kami Marxis! – Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng daripada Marxisme.

Karena itu aku tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut dalam Nasamarx itu saudara-saudara.

Padahal mereka adalah revisionis tulen, padahal mereka adalah pencoleng Marxisme! (Soekarno 1965a: 11-12)

(Ibid Suar Suroso: 88-89)   

Jadinya bukan kejutan bagi kami, bahwa di antara para “wakil” rakyat yang berkunjung ke New York dan “sempatkan diri” (dengan dalih “bentuk diplomasi ekonomi”) menemui salah satu bakal calon Presiden AS, tercatat berasal dari parpol yang dipimpin anak dari ayah yang merupakan tokoh utama partai revisionis yang Soekarno sebut di atas.

Memang anak biologis tidak mesti anak ideologis. Lamun, parpol satu ini, setidaknya bagi kami, “memusuhi jati diri kita di dalam jati diri kita itu sendiri“:  KMP koalisi memusuhi Pancasila di dalam Pancasila itu sendiri ketika menyoal sila ke-4 Pancasila minus UUD 2002.

Hal yang kami sangat, sangat sayangkan dari anak biologis BK yang justru malah nyaris sama sebangun kaum revisionis-Trotskyit. Seperti sensivitasnya PDI-P atas konstitusi gadungan UUD 2002 yang tumpul, nihil sama sekali.

Malahan keukeuh sinergi bersama MPR sosialisasi 4 Pilar almarhum padahal sudah diingatkan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Terkesan kuat bagi kami 4 Pilar (NKRI-Pancasila-UUD 1945-Bhinneka Tunggal Ika) seakan dipaksakan sebagai gantinya gagasan sang ayah sendiri: Panca Azimat dan Ampera.

Malahan sulit bagi kami untuk tidak sampai pada tengarai, bahwa entah sengaja atau tidak Jalan Ideologis Trisakti yang diusulkan PDI-P kemudian menjadi visi pemerintahan Jokowi-JK, paralel kaum revisionis dalam hal “memusuhi Panca Azimat-Ampera di dalam Panca Azimat-Ampera itu sendiri”.

Dengan begitu alih-alih parpol pendukung Jokowi-JK yang seyogianya menurut pandangan BK sebagai Partai Pelopor yang memimpin Revolusi Belum Selesai itu, malah menjadi partai kontrarevolusi.

Tetapi kami percaya bahwa Jokowi, “Soekarno abad ke-21”, pada akhirnya dapat mengatasi konstitusi gadungan UUD 2002 demi konsistensi Jalan Ideologis Trisakti, melanjutkan kembali Revolusi Belum Selesai melalui Panca Azimat untuk sebuah RI yang Ampera.

Lantaran kami percaya pada “segudang” gaya politik yang dimiliki Jokowi — setidaknya yang kami coba tangkap dari sepak terjang Jokowi di tahun pertama kiprahnya ini.

Sebut saja yang sejak awal sudah beken: gaya khas blusukan-musyawarah (simak hlm 27a). Gaya awal yang berbukti kekuatan muslim signifikan (NU maupun Muhmmadyah), kekuatan pemukul (tentara-polisi-intelijen), tampak “merapat”  ke Jokowi. Dan belakangan  gaya “meng-KA-Cepat-kan” (preseden “positif” untuk) proyek-proyek asing (lainnya) yang “dimanjakan” era Suharto-SBY. Atau yang paling anyar gaya “blusukan level elite via pola Rizal Ramli”; menguakkan laporan-laporan level kementerian yang “asal bapak senang” khas era “demokrasi kriminal”.

Setidaknya Jokowi kami harapkan seperti “Putin-nya Indonesia” — hadirnya sebuah RI semartabat era Soekarno seperti halnya sebuah Federasi Rusia yang kini nyaris seperkasa Uni Soviet.

Malahan bisa jadi RI-Jokowi “melebihi” Rusia-Putin lantaran Jokowi “melanjutkan” Revolusi Belum Selesai Soekarno. Sementara Putin masih harus “mencari” sebuah pijakan ideologis ketika pasca-Uni Soviet bubar kediktatoran-proletariat pun ikut sirna. Atau lebih tepatnya seperti ditulis Suar Suroso (2009:139): “Rontoknya URSS disusul oleh kehancuran negara-negara sosialis Eropa Timur dan Tengah. Dicampakkannya ajaran tentang diktatur proletariat adalah salah satu sebab utama berantakannya negara-negara sosialis tersebut.” 

Tidak heran kelima negara di mana “sosialisme sesungguhnya ada” (setidaknya dari versi Vince Sherman): RRT, Kuba, Vietnam, RDRKorea dan Laos bisa tetap eksis dan berjaya justru oleh konsistensinya memertahankan syarat tegarnya kediktatoran proletariat pada tahapan sosialisme dengan “tools” kapitalisme maju/advanced (sesuai roadmap-nya tahapan masyarakat yang secara kasar dibayangkan Marx).

Trisakti yang oleh kaum revisionis-Trotskyit ditawarkan untuk “memusuhi Panca Azimat-Ampera di dalam Panca Azimat-Amper itu sendiri”, oleh Jokowi yang bagaikan pesilat ulung, jurus kaum revisionis-Trotskyit itu justru “dimanfaatkan energi positif”-nya. Dikembalikan ke pihak lawan (lewat “segudang” gaya politik itu) dalam bentuk yang kami pahami sebagai: Jalan Ideologis Trisakti-Gotong Royong Solusi Cerdas & Cantik Jokowi-JK Atasi Konstitusi Gadungan UUD 2002 Sebuah “Karpet Merah” untuk Amendemen pada Greget Tritunggal (Pembukaan—Batang Tubuh—Penjelasan) UUD 1945. (hlm 51a).

Ya, “Soekarno abad ke-21”, dengan politik cantik dan cerdas melebihi apa yang kami (dan kami yakin banyak orang) bayangkan, pasti telah mengambil hikmah dari Kudeta Merangkak yang menghentikan Revolusi Belum Selesai itu …

ooOoo

Tinggalkan komentar