Era Presiden Joko Widodo

Saatnya Bicara Lagi Sosialisme Indonesia? (2)

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

.

Menimbang Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984

(Bagian Pertama dari Dua Bagian)

.

Pengantar Redaksi Dasar Kita

Bahwa makalah Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984 tersebut begitu penting untuk perjalanan ke depan republik ini, ketika hari-hari ini perkembangan politik di tanah air tercinta sedang memasuki sebuah era baru yang belum ada presedennya sejak Kudeta Merangkak atas Soekarno nyaris setengah abad silam.

Ketika, tiga partai politik (parpol) membentuk sebuah Front Persatuan* kaum Nasionalis-Islamis: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)—Partai Nasional Demokrat (NasDem)—Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). (* Redaksi menghindar menggunakan istilah “koalisi” yang sarat “bagi-bagi kursi” ciri khas UUD 2002 cacat hukum itu; hal yang paralel gagasan Jokowi “koalisi tidak bagi-bagi kursi)

———
Data terbarui, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bergabung dengan FP ini. (Simak Kompas.com, 18/5/2014).

Data terbarui, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) bergabung pula dengan FP ini (Simak Kompas.com, 22/5/2014)

Front Nasionalis-Islamis yang berasas Nasionalisme-Islamisme, 2 dari 3 asas Soekarno yang dilansir pada 1926 Nasionalisme, Islamis, Marxisme (simak hlm 23c).

Lamun, ketiga (kelima–data terbarui, lihat atas) parpol tersebut, meski dalam berbagai kesempatan masing-masing menyatakan mengacu pada Pancasila-UUD 1945, tetapi—setidaknya bagi Redaksi—belum pernah mendengar dari salah satunya bahwa mereka berkomitmen untuk menghapus atau tepatnya membatalkan demi hukum UUD 2002/niramendemen UUD 1945 apalagi berlanjut dengan amendemen pada greget Tritunggal (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) UUD 1945–hal yang direkomendasikan Prof Dimyati Hartono (2009). (Simak hlm 42a).

Padahal, dengan hilangnya jati diri kita oleh konstitusi gadungan cacat hukum UUD 2002 ini (simak hlm 39a), hemat kami, sulit secara optimal mencapai cita-cita ideal yang diusung masing-masing parpol tersebut: RI hebat berjati diri Trisakti (PDI-P/PKPI, data terbarui, lihat atas) restorasi Indonesia (NasDem) populis (PKB/Hanura, data terbarui, lihat atas).

(Dikutip utuh dari hlm 43a, sekaligus silakan disimak lebih lanjut risalah Redaksi pada halaman 43a tersebut yang merupakan bagian pertama dari tiga tulisan bersambung ini).

Sehingga, bagian kedua dari dua tulisan bersambung ini di bawah beranda judul Era Presiden Joko Widodo, Saatnya Bicara Lagi Sosialisme? (2), Redaksi beri subjudul Menimbang Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984. Artinya, Kawan Pembaca Budiman kami ajak menimbang makalah Arief tiga dekade lalu, dalam konteks kekinian: era Presiden Joko Widodo dan sebuah tanya “saatnya bicara lagi sosialisme Indonesia?”

Bagaimana Arief Budiman mencoba menguraikan secara ilmiah (di forum cerdik pandai nasional pula) “duduk perkara” sosialisme.

Kaitannya dengan kapitalisme lalu sampai pada jati diri kita Pancasila-UUD 1945 serta “sosialisme khas Indonesia”. Dalam konteks salah satu aspek “kualitas manusia” yakni “keserakahan” lebih sempit lagi “keserakahan akan harta benda”–dalam penuturan yang runut dan relatif mudah dicerna.

Selamat menimbang Kawan Pembaca Budiman.

ooOoo

 

.

MENCIPTAKAN MASA DEPAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK

MASALAH ILMU SOSIAL DAN PROSES REGENERASI

.

Oleh Arief Budiman

.

Seminar Nasional Kualitas Manusia Dalam Pembangunan

Palembang, 19-22 Maret 1984

Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS)

.

.(Bagian Pertama, untuk Bagian Kedua/Habis simak hlm 45a*)

 

Berbicara tentang masalah regenerasi dalam seminar tentang Kualitas Manusia Dalam Pembangunan saya tafsirkan sebagai membicarakan masalah menciptakan manusia-manusia yang lebih baik bagi masa depan.

Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan di sini adalah: Apa yang dapat kita lakukan, sebagai ilmuwan di bidang sosial, untuk membantu proses regenerasi ini?

Menurut saya, paling sedikit kita dapat memberikan pengertian yang (kita anggap) benar supaya proses menciptakan generasi yang lebih baik ini tercapai. Kita pun bertanya: Mana kualitas yang kita anggap baik, mana yang tidak? Setelah jawaban atas pertanyaan ini kita peroleh, baru kita dapat memutuskan kualitas mana yang kita perbaiki, dan bagaimana caranya.

Kualitas manusia merupakan konsep yang luas, yang jelas tidak dapat kita bahas secara memuaskan dalam makalah kecil ini. Karena itu, saya ingin membatasi pembicaraan saya tentang satu aspek saja dari kualitas manusia, yakni: keserakahan. Bahkan lebih sempit lagi, yakni: keserakahan akan harta benda.

Masalah keserakahan (akan harta benda) ini saya ambil sebagai pokok utama pembicaraan saya, karena dia merupakan motor yang paling penting bagi pembangunanyang dijalankan dengan memakai sistem kapitalis. Tanpa keserakahan ini diperkuat, sistem kapitalisme barangkali akan kehilangan dinamikanya.

Karena Indonesia pada dasarnya mengikuti jalan kapitalis dalam pembangunannya,[1] maka pembicaraan sifat keserakahan manusia saya anggap sangat penting.

———
[1] Masalah apakah Indonesia mengikuti sistem kapitalisme atau sistem yang lain yang khas Indonesia, memang masih merupakan perdebatan di kalangan para ahli ilmu sosial. Masalah ini dibahas pada bagian akhir dari makalah ini.

Keserakahan: Latar Belakang Sejarah dan Akibat Buruk

Secara umum, keserakahan barangkali dapat dirumuskan sebagai tingkah laku manusia di mana kepentingan diri sendiri, diutamakan.

Dalam definsi umum ini, dapat dikatakan tidak ada tingkah laku manusia yang tidak diwarnai oleh keserakahan. Dalam memberikan sedekah kepada fakir miskin misalnya, bukankah ada aspek di mana kita mengalami kepuasan psikologis karena kita merasa diri kita seorang dermawan? [2]

———
[2] Erich Form (1967) membedakan antara self-love dan selfishness. Menurut dia, orang hanya dapat mencintai, kalau dia dapat memberi cinta, termasuk kepada dirinya. “Cinta kepada diri sendiri saya tidak dapat dipisahkan dari Cinta kepada semua mahlukhisup,” katanya (hlm 49).

Sebaliknya orang yang selfish. Orang ini “hanya tertarik kepada dirinya sendiri saja, mengingini segala sesuatu untuk dirinya, tidak merasa senang bila memberi, dan hanya senang dalam mengambil.” (hlm 50).

Orang selfish menurut Form, bukan saja tidak dapat mencintai orang lain, melainkan juga tidak dapat mencintai dirinya. Dia bahkan sebenarnya membenci dirinya, yang terus menerus meminta tanpa pernah bisa dipuaskan. Ini keserakahan, yang lebih merupakan gangguan psikologis dalam bentuk ketidak-sanggupannya dalam mencintai. Karena itu, self-love dan selfishness sangat berbeda. (Lihat Form, 1967: 48-53)

Ahli-ahli filsafat Abad Pertengahan membedakan macam-macam keserakahan. St. Augustine misalnya mengatakan bahwa ada tiga macam keserakahan yang buruk, yakni: keserakahan akan kekuasaan, keserakahan seksual dan keserakahan akan harta benda. (Dikutip dari Hirschman, 1978: 9).

Bagi St. Augustine, keserakahan untuk mendapat nama baik dalam masyarakat merupakan keserakahan yang relatif lebih baik, yang dapat mengendalikan keserakahan-keserakahan jenis lainnya. (Hirschman, 1978: 10).

Memang, sebelum munculnya kapitalisme, pada umumnya keserakahan akan harta benda dianggap sebagai sifat manusia yang buruk. Karena itulah, pada Abad Pertengahan, konsep pemilikan pribadi atas harta benda kurang begitu berkembang, Seperti yang dinyatakan oleh sejarawan terkemuka R.H. Tawney (dikutip dari Colletti, 1974: 201).

Milik pribadi bukanlah sekadar sumber pendapatan, tetapi memiliki fungsi sosial, dan pengunaannya selalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan sosial dan keperluan Negara.

Konsep milik pribadi seperti yang berkembang dalam sistem kapitalis seperti yang sekarang ini, di mana milik pribadi merupakan sumber utama untuk memerkaya diri, merupakan sebuah konsep yang berkembang dalam sejarah, sejalan dengan makin menguatnya sistem kapitalisme. Dia bukan konsep yang universal, yang ada pada segala jaman di segala tempat.

Maka sangatlah tepat bila Hirscham(1978: 9) membuka bukunya dengan pertanyaan: “Bagaimanakah kegiatan-kegiatan perdagangan, perbankan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat mencari keuntungan uang dapat menjadi kegiatan yang dihormati pada suatu titik di jaman modern, padahal sebelumnya kegiatan-kegiatan seperti ini dikutuk sebagai kerakusan, cinta kepada keuntungan material, dan keserakahan yang berlebihan?”

Munculnya keserakahan akan harta benda menjadi sebuah nilai yang dihormati tidak lepas dari perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Ketika Abad Pertengahan itu sendiri, sudah terjadi kegiatan-kegiatan perdagangan yang bersifat mencari keuntungan, meskipun kegiatan-kegiatan ini bukan merupakan kegiatan ekonomi yang dominan.

Kegiatan ekonomi yang dominan adalah kegiatan pertanian feodal, di mana para petani memiliki tanah dan alat-alat produksi lain, dan mereka berproduksi untuk dikonsumsikan sendiri serta untuk para bangsawan (yang mempunyi kewajiban melindungi abdi-abdi petaninya ini).

Sistem upah, di mana orang menukar tenaga kerjanya dengan sejumlah uang, belum dikenal. Perdagangan hanya berperanserta di pinggiran sistem feodal ini.

Tapi, kaum pedagang semakin lama semakin bertambah kaya, dan kuat. Mereka menjadi apa yang dikenal sekarang sebagai kaum borjuis, yang mulai mendesak posisi kaum bangsawan.

Untuk meluaskan usaha mereka, mereka membutuhkan tindakan-tindakan politis yang dapat mengubah sistem masyarakat dari sistem feodal menjadi sistem kapitalis.

Tapi mereka mengalami kesulitan karena dalam suatu sistem feodal, kegiatan mereka mengejar keuntungan uang bukanlah merupakan kegiatan yang dapat diterima oleh masyarakat ketika itu. [3]

———
[3] Di Indonesia, terutama di desa-desa di mana sistem feodal masih agak kuat, ketidak-sukaan terhadap usaha mengumpulkan uang masih terasa. Usaha berdagang, apalagi kalau terlalu getol, membuat orang ini dinilai sebagai terlalu serakah, padahal “harta tidak dapat dibawa ke kubur,” kata orang-orang di sekitarnya.

Di kota-kota besar pun, masih ada keseganan untuk membicarakan soal uang, meskipun keseganan ini makin berkurang.

Ideologi feodal ini harus mereka rombak dulu, sebelum mereka dapat merebut posisi politik dari tangan kaum bangsawan.

Maka mulai muncul pemikir-pemikir filsafat yang akan menjadi peletak dasar bagi ideologi sistem kapitalis yang akan meratakan jalan bagi terbentuknya sistem kapitalis.

Dalam sejarah Eropa, ada dua kejadian penting yang merupakan terobosan sejarah yang meratakan jalan bagi kapitalisme:

1. Munculnya buku Adam Smith, The Wealth of Nation, pada tahun 1776.

Buku ini merupakan proklamasi yang paling berhasil yang menyatakan bahwa keserakahan individual tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Keserakahan akan harta benda bukan merupakan sesuatu yang aib, melainkan berguna bagi masyarakat secara keseluruhan.

Keserakahan membuat manusia bekerja keras untuk mencari keuntungan. Akibatnya dia akan memproduksi lebih banyak barang, atau menjual lebih banyak jasa.

Tapi, apakah orang yang serakah ini tidak akan menindas orang lain? Jangan kuatir, kata Smith. Keserakahan satu orang akan diimbangi keserakahan orang lainnya. Maka terjadi kompetisi bebas yang sehat.

Dengan adanya kompetisi yang sehat ini, maka seorang buruh yang ditindas oleh seorang majikan, akan dengan mudah pindah ke majikan lainnya yang kurang menindas. Akibatnya, karena kekurangan buruh, maka majikan yang pertama akan mengurangi tingkat eksploitasinya.

Terjadi kenaikan upah, atau penurunan jam kerja. Dengan demikian, penindasan akan dicegah, oleh apa yang dinamakan Tangan Yang Tidak Kelihatan. [4]

———
[4] Untuk uraian singkat (tapi jelas) mengenai pemikiran Adam Smith, lihat Heilbroner, 1972: 40-72

Dengan terbitnya buku Smith ini, maka kaum borjuis mendapat ideologi yang ampuh untuk mengembangkan sayapnya.

2. Terobosan yang kedua adalah Revolusi Prancis yang meledak pada tahun 1789.

Sebelum revolusi ini, pemimpin (politik) masyarakat selalu harus datang dari kalangan bangsawan. Ini menyulitkan bagi kaum borjuis untuk menggeser posisi kaum bangsawan. Maka muncul suara-suara yang membela persamaan di kalangan manusia, tanpa melihat asal-usul keturunan. Yang penting adalah prestasi, bukan warna darah manusia.

Semua ini mencapai puncaknya dalam Revolusi Prancis yang bersemboyankan: Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan.

Revolusi ini merupakan Revolusi Borjuis yang sangat gemilang, yang menjadi lambang runtuhnya sistem feodal di Eropa.

Sejak itu, sistem kapitalisme mulai bergerak melakukan tinggal landas. Orang tidak segan-segan lagi untuk bekerja bagi keuntungannya sendiri. Hasilnya memang menakjubkan.

Kekayaan yang terdapat di Amerika Srikat, Eropa Barat dan Jepang, beserta kemajuan teknologinya, tidak dapat kita sangkal merupakan hasil dari sistem kapitalisme ini.

Begitu optimisnya orang pada saat itu, sampai Presiden AS Herbert Hoover secara jujur dan sederhana pernah berkata: “Dengan pertolongan Tuhan kita akan segera melihat datangnya hari di mana kemiskinan sudah musnah dari muka bumi ini.”

Tapi, pada bulan Oktober 1929, ekonomi dunia ambruk dan mulailah apa yang dikenal sebagai Jaman Malaise. Banyak pengusaha dunia bunuh diri ketika itu (Heilbroner, 1972: 241, 242).

Jadi, yang diberikan oleh kapitalisme bukan hanya kemakmuran dan kemajuan teknologi di Dunia Barat. Kapitalisme juga menghasilkan penjajahan, perang, kemiskinan dan sebagainya. [5]

———
[5] Memang, sebelum sistem kapitalisme menguasai masyarakat pun, penjajahan, perang, kemiskinan sudah ada. Tapi gejala-gejala ini bukan dilatarbelakangi oleh keinginan menambah harta kekayaan.

Misalnya perang, atau penjajahan yang didasarkan oleh usaha menyebarkan agama lain dampaknya dari perang atau penjajahan yang didasarkan pada keserakahan manusia untuk mencari harta. Golongan yang kedua ini lebih buruk akibatnya, dan lebih majemuk persoalannya, karena dicampuri pula oleh pihak-pihak yang menjual senjata sehingga berkepentingan supaya perang terus berkecamuk.

Dalam hubungan dengan keserakahan, yang akan kita bahas di sini terutama adalah masalah kemiskinan sebagai akibat ekspansi sistem kapitalisme.

Menurut Adam Smith, keserakahan tidak akan melahirkan penindasan, karena terjadi persaingan bebas sehingga keserakahan yang satu akan menetralisasikan keserakahan yang lain.

Yang lupa dibahas oleh Smith adalah bagaimana kalau terjadi kerja sama antara pemilik modal/majikan, sehingga timbul sistem monopoli?

Dan memang inilah yang yang terjadi. Persaingan bebas tidak terjadi lagi, dan sistem kapitalis seperti yang diidamkan oleh Smith menjadi gagal dalam kenyataannya.

Yang menarik adalah bahwa dorongan untuk mengadakan monopoli ini timbul dari dorongan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, yang merupakan motor sistem kapitalis itu sendiri.

Dengan perkataan lain, benih kematian dari sistem kapitalis ada di dalam dirinya sendiri. [6]

———
[6] Untuk menghindari proses yang menghancurkan sistem kapitalisme ini sendiri, maka dibutuhkan campur tangan negara untuk mencegah terjadinya sistem monopoli.

Misalnya Undang-Undang Anti-Trust di Amerika Serikat.

Undang-Undang ini sebenarnya bertentangan dengan fllsafat dasar sistem kapitalisme, yakni persaingan bebas di mana yang kuat akan menang. Undang-Undang ini mencegah terjadinya pelaku yang menjadi terlalu kuat, dan ini sedikit banyak mengurangi kegairahan untuk maju.

Kemudian, harus juga diingat, meskipun sudah ada Undang-Undang Anti-Trust , ini tidak berarti monopoli, dalam bentuk yang tersamar, tidak terjadi. Para pengusaha/kapitalis cukup pandai untuk mencari lubang-lubang dalam Undang-Undang ini.

Suatu akibat lain dari merajalelanya proses monopoli adalah bahwa para kapitalis ini saling bersaing dan saling “membunuh ”rekannya sendiri. Kapitalis yang lebih besar ini akan “dimakan” lagi oleh kapitalis yang lebih besar lagi, dan seterusnya.

Pada akhirnya, akan tinggal seorang/sekelompok kecil kapitalis yang sangat besar, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak memiliki alat produksi dan hidup dengan menjual tenaga kerjanya.

Pada suatu titik, orang-orang ini akan melakukan pemberontakan sosial, dan hancurlah sistem kapitalis ini. [7]

———
[7] Pandangan ini merupakan pandangan klasik dari Marx yang meramalkan keruntuhan sistem kapitalisme di negeri kapitalis yang paling maju. Tetapi hal ini tidak terjadi.

Yang dilupakan adalah kesanggupan sistem kapitalisme untuk mengoreksi dirinya, memerbaiki dirinya, sehingga kontradiksi yang ada tidak meledak dan menghancurkan dirinya.

Koreksi ini dilakukan dengan campur tangan negara untuk mencegah munculnya pengusaha-pengusaha yang terlalu kuat dan menjadi raksasa yang menelan rekan-rekannya, serta mengadakan jaminan-jaminan sosial bagi orang miskin sehingga jurang antara kaya-miskin dapat diperkecil (meski tidak dapat dihilangkan).

Kesenjangan ini terjadi baik di dalam negeri yang menjalankan pembangunan dengan memakai sistem ini, maupun pada tingkat internasional antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.

Persoalan kesenjangan inilah yang membuat kita memertanyakan kembali kebenaran sistem kapitalisme sebagai pilihan pembangunan kita, yang mengutamakan keserakahan manusia sebagai motornya.

Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Di dalam negeri yang melaksanakan pembangunan dengan sistem kapitalis, memang terjadi pertumbuhan ekonomi, tapi kesenjangan kaya-miskin juga menjadi semakin besar.

Maka persoalan utamanya menjadi seperti yang ditanyakan oleh Currey (1973: 7): … untuk siapa pembangunan ini, siapa yang diuntungkan dan siapa yang harus membayar ongkos pembangunan ini?

Hal ini disebabkan karena pemerataan kekayaan yang sudah lama dijanjikan tidak kunjung terjadi, sementara golongan miskin terus membayar ongkos pembangunan.

2. Pada tingkat internasional, sistem perekonomian kapitalis global juga dipertanyakan kembali.

Ini pun disebabkan karena kemiskinan yang melanda Dunia Ketiga tidak kunjung terhapuskan, meskipun segala daya dan upaya sudah dicoba dalam kerangka pembangunan yang kapitalistis.

Akhir-akhir ini semakin timbul kesadaran bahwa bahwa masalahnya tidak terletak di dalam diri masing-masing negara Dunia Ketiga itu sendiri, tapi dalam tata atau struktur ekonomi dunia yang dikuasai Dunia Pertama yang tidak memungkinkan negara Dunia Ketiga untuk berkembang maju.

Karena itu, dibentuklah Tata Internasional Ekonomi Baru.

Usaha membentuk TIEB ini pada dasarnya merupakan usaha untuk merombak sistem ekonomi kapitalis global yang hanya menguntungkan kelompok negara-negara kaya yang sudah kuat itu.

Tidak mengherankan bila kelompok negara-negara kayalah, dipelopori oleh Amerika Serikat, Jerman Barat (masih terpisah dengan Jerman Timur pada waktu itu—Red) dan Ingris yang paling gigih menentang usaha ini.

Kita sekarang menghadapi dua masalah yang sebenarnya merupakan dua wajah dari mata uang yang sama keserakahan individual dan sistem kapitalisme.

Dalam usaha menciptakan generasi yang lebih baik bagi masa depan Indonesia, apa yang lebih baik kita usahakan:

Mendidik generasi muda secara individual supaya paling sedikit tidak terlalu serakah?

Atau mengganti sistem kapitalis dengan sistem lain yang kurang (atau tidak) merangsang tumbuhnya keserakahan?

Perubahan melalui Pendidikan

.

(* Bersambung ke Bagian Kedua dan habis/selesai di pengeposan bulan depan, simak hlm 45a. Redaksi sengaja membagi dua makalah Arief Budiman ini dalam dua pengeposan, dengan alasan yang kerap kami kemukakan, semata untuk memanjakan Kawan Pembaca Budiman di layar komputer, dalam arti ada “jeda” baik pada fisik/mata maupun pentahapan pemahaman–Red DK)

ooOoo

Tinggalkan komentar