Menyambut 95 Tahun (1920-2015) Peringatan Kongres VII ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging)

Semarang, 23 Mei 1920 — simak/gulirkan sampai bawah, pengantarnya di hlm 56

.

MASYARAKAT INDONESIA

DAN

REVOLUSI INDONESIA

[MIRI]

.

Sumber: http://www.marxists.org/indonesia

.

(Bersambung di hlm 56d.1. Bab II. Revolusi Indonesia [MIRI: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia)

.

.
Kongres Nasional V Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilangsung dalam bulan Maret 1954, sudah memberikan jawaban mengenai semua masalah penting dan pokok dari revolusi Indonesia. Tetapi sampai sekarang masih banyak anggota Partai yang belum mengetahui dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan “masalah-masalah penting dan pokok dari revolusi Indonesia”.

Soal-soal pokok revolusi kita, penting diketahui. Mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, berarti mengetahui sasaran-sasaran dan tugas-tugas pokok revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan yang mendorongnya, karakternya dan perspektifnya.

Untuk mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, pertama-tama kita harus mengetahui masyarakat Indonesia.

Bab I

INDONESIA DAN MASYARAKATNYA

.
Pasal 1

Kedudukan Geografis Indonesia

 

Indonesia adalah negeri kepulauan yang terdiri dari ribuan buah pulau kecil dan besar, dan meliputi daerah daratan seluas hampir 2 juta Km2 (luasnya Indoneisa kira-kira 57 x Nederland, 5 x Jepang, 3,5 x Prancis, 2 x Pakistan. Pulau-pulau yang pokok ada 5 buah, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan Irian Barat.

Jarak antara ujung Indonesia yang paling Timur sampai yang paling Barat kira-kira sama dengan jarak antara pantai Timur dan pantai Barat Amerika Srikat, atau kira-kira sama dengan jarak antara Kaukasus dan Inggris.

Indonesia dikelilingi oleh 3 lautan besar, yaitu Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. Ia merupakan jembatan antara benua Asia dan Australia.

Dari kenyataan-kenyataan ini, mudah dipahami mengapa Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang memegang peranan yang penting [5] dalam lalu lintas dunia, dalam ekonomi dan dalam politik dunia.

———

[5] : tambahan dari kami  (Redaksi Dasar Kita; selanjutnya: Red DK) untuk menunjukkan halaman 5 buku yang diacu; artinya, kalimat/tulisan sebelum angka 5 berada di halaman 5 dan kalimat/tulisan sesudah angka 5 termasuk halaman 6, begitu seterusnya.

“Soal-soal pokok revolusi kita, penting diketahui. Mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, berarti mengetahui sasaran-sasaran dan tugas-tugas pokok revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan yang mendorongnya, karakternya dan perspektifnya. Untuk mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, pertama-tama kita harus mengetahui masyarakat Indonesia.”

Demikan alinea penutup dari pembukaan tulisan DN Aidit “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957), yang Redaksi Dasar Kita yakini dokumen-sejarah fenomenal ini perlu diketahui banyak orang (muda) Indonesia — di abad XXI.  Abad yang ditandai dengan “Bangkitnya Asia jilid 2″ ketika Tiongkok  melansir “Satu Sabuk, Satu Jalan” (One Belt, One Road).

Dan adalah Indonesia di bawah pemerintahaan Jokowi-JK dengan Trisakti-Gotong Royong, salah satu dari Panca Azimat Soekarno (Nasakom, Pancasila, USDEK, Trisakti, Berdikari), telah me-link ide Jokowi-JK “Poros Maritim Dunia” dengan gagasan “Jalan Sutera Maritim Abad ke-21″ yang diumumkan Presiden RRT (Republik Rakyat Tiongkok) Xi Jinping di MPR, Jakarta, Oktober 2013. Menyusul “Sabuk Ekonomi Jalan Sutera Baru” yang dimumumkan di Astana, Ibukota Kazakhstan, September 2013. Kedua jalan sutera ini sebagai bagian dari “Satu Sabuk, Satu Jalan”.

Dalam konteks Indonesia di abad XXI (seperti) ini, pada pengeposan terbarui, MIRI kami hadirkan menyambut peringatan pada 2015 ini, 95 tahun Kongres VII ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) di Semarang, 23 Mei 1920, menandai berdirinya Partai Komunis Indonesia.

(Dikutip dari 56. Pengantar Redaksi (54) – 14 Mei 2015— Red DK).

Sebagai negeri katulistiwa (equator), iklim Indonesia adalah tropis. Temperatur (suhu) Indonesia rata-rata 26 derajat Celcius (Jakarta, rata-rata 26,4, Bandung 22,6, Semarang 26,9 Ambon 27,2 derajat Celscius). Sebagai negeri tropis, di Indonesia hanya ada 2 musim yaitu musim kemarau dari Maret sampai September, dan musim hujan dari September sampai Maret. Turunnya hujan tidak sama banyaknya, di satu daerah lebih banyak dari daerah lain.

Pulau-pulau Indonesia tanahnya sangat subur. Pulau Jawa termasuk yang paling subur di dunia. Oleh karena itu, sudah sejak zaman dahulukala perladangan dan persawahan banyak dilakukan. Gunung dan bukit, lembah dan ngarai, sungai dan air terjun banyak terdapat di Indonesia.

Di dalam lautan Indonesia terdapat banyak kekayaan.

Di tanah yang subur dan kaya ini, yang lalu lintasnya dipermudah oleh lautan-lautan dan sungai-sungai, nenek moyang bangsa Indonesia berkembang biak.

Indonesia termasuk salah satu negeri yang besar, dilihat dari sudut besarnya jumlah penduduk. Sebagai negeri yang kaya dan sebagai negeri kepulauan yang menghubungkan 2 benua serta dikelingkungi oleh 3 lautan besar, maka ada hal-hal yang menguntungkan dan merugikan Indonesia sekarang.

Indonesia diuntungkan oleh kedudukan geografisnya, karena [itu – Red DK] Indonesia tidak mungkin terisolasi dari dunia ramai. Indonesia mempunyai syarat-syarat sepanjang masa menjadi negeri yang ramai dikunjungi orang.

Indonesia mempunyai syarat-syarat yang tidak terbatas untuk mempunyai perhubungan laut yang luas di dalam negeri dan dengan luar negeri.

Tetapi di pihak lain, jika Indonesia sendiri bukan negeri yang kuat, adalah sangat sulit mencegah desakan-desakan dari kaum penyerang yang sangat berkepentingan untuk menguasai Indonesia yang kaya-raya.

Pantai-pantai Indonesia yang sangat panjang sukar dijaga dari serbuan-serbuan militer dan dari kaum penyelundup.

Pengalaman Revolusi Agustus 1945 mengajar kita, bahwa untuk memertahankan kedaulatan Indonesia [6] adalah sangat penting rol [peranan] dari peperangan gerilya.

Indonesia tidak memenuhi semua syarat yang sangat diperlukan untuk peperangan gerilya, misalnya tidak cukup untuk mempunyai daerah-daerah luas yang didiami manusia, tidak mempunyai daerah-daerah pegunungan serta hutan-hutan yang luas dan jauh letaknya dari kota-kota dan jalan-jalan perhubungan.

Keadaan menjadi lebih sukar lagi karena sekarang di sekitar Indonesia berderet benteng-benteng imperialis yang berupa tanah-tanah jajahan atau setengah jajahan.

Di sebelah utara berderet-deret Malaya, Singapura, Muangthai, Vietnam Selatan, Serawak, Kalimantan Utara dan Filipina. Di sebelah selatan ada Australia dan ada Pulau Christmas dan kepulauan Cocos yang dikuasai Inggris. Di sebelah timur ada Irian Timur yang dikuasai oleh Australia, sedangkan Irian Barat masih sepenuhnya dikuasai oleh kaum imperialis Belanda.

Indonesia sekarang tidak berbatasan dengan negeri yang sudah bebas sama sekali dari kekuasaan imperialis.

Semua kenyataan ini lebih mengharuskan kaum revolusioner Indonesia untuk menempuh jalannya sendiri dalam menyelesaikan revolusi Indonesia.

Pelajaran yang dapat kita tarik dari pengalaman-pengalaman Revolusi Agustus 1945 ialah, bahwa di Indonesia dapat dilakukan peperangan gerilya. Tetapi, karena negeri kita tidak memenuhi semua syarat untuk peperangan gerilya, maka revolusi kita pada waktu itu akan lebih berhasil jika seandainya dapat dikombinasi secara baik tiga bentuk perjuangan, yaitu perjuangan gerilya di desa-desa (terutama terdiri dari kaum tani), aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota dan pekerjaan yang intensif di kalangan tenaga bersenjata musuh.

Pasal 2

Bangsa Indonesia

Penduduk Indonesia pada 1955 berjumlah lebih dari 84 juta. Walaupun penduduk Indonesia terdiri banyak suku bangsa, mereka semua merupakan kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia termasuk bangsa besar ke-6 di dunia (1. Tiongkok, 2. India, 3. Uni Soviet, 4. Amerika Serikat, 5. Jepang). [7]

Penduduk Indonesia tersebarnya sangat tidak rata.

Pulau Jawa, yaitu pulau yang terkecil dari “Lima Besar” (Kalimantan, Irian Barat, Sumatera, Sulawesi dan Jawa), berpenduduk kira-kira 54 juta (sudah termasuk penduduk Madura).

Sumatera, yang hampir 3,5 x Jawa besarnya, berpenduduk kira-kira 12 juta. Sulawesi yang 1,5 x Jawa besarnya berpenduduk kira-kira 6 juta. Kalimantan (bagian Indonesia) yang 4 x Jawa besarnya, hanya berpenduduk kira-kira 3,5 juta. Selainnya, tersebar di pulau-pulau Nusatenggara (5,5 juta) dan di pulau-pulau Maluku (0,7 juta).

Pulau Jawa termasuk salah satu tempat di dunia yang paling padat penduduknya, yaitu kira-kira 393 orang per km² (1952), sedang di tempat yang terpadat sampai mencapai 460 orang per km² (di Jawa Tengah).

Di Indonesia terdapat lebih dari 100 suku bangsa, mulai yang berjumlah puluhan juta sampai yang hanya beberapa ribu.

Di antara suku-suku bangsa itu terdapat suku-suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Aceh, Minangkabau, Batak, Palembang, Lampung, Dayak, Banjar, Minahasa, Bugis, Toraja, Makassar, Bali, Sasak, Maluku, Timor, Sabu, suku-suku bangsa di Irian Barat dan banyak lagi.

Di antara suku-suku bangsa ini, suku bangsa Jawa adalah yang terbesar, menyusul Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, dan lain-lain.

Suku bangsa Melayu adalah suku bangsa yang sudah sejak lama paling luas daerah tersebarnya, yaitu di pesisir Timur Pulau Sumatera, di pulau-pulau antara Sumatera dan Kalimantan dan di seluruh pesisir Kalimantan.

Tiap-tiap suku bangsa mempunyai bahasanya sendiri-sendiri, di samping semuanya menerima Bahasa Indonesia, yang dasarnya adalah bahasa Melayu, sebagai bahasa persatuan.

Tingkat kebudayaan suku-suku bangsa tidak sama, tetapi semuanya mempunyai sejarah yang sudah tua.

Jadi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa, dan banyak tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa dan kebudayaan. Mereka terpecah-belah untuk sementara waktu, tetapi dalam proses perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan untuk Indonesia Baru mereka bersatu kembali.

Semua suku bangsa menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, me-[8]rasa berkebangsaan Indonesia, menganggap Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan menganggap adanya satu kebudayaan Indonesia di samping kebudayaan suku-suku bangsa.

Yang sangat menarik, ialah bahwa Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang berasal dari suku bangsa yang terbesar.

Dalam sejarah bahasa ini tidak pernah menjadi bahasa kolonisator, sebaliknya ia adalah bahasa yang memersatukan lebih dari 100 suku bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digembleng dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional, ia adalah bahasa liberator.

Di samping para warganegara yang berasal dari berbagai suku bangsa, di Indonesia terdapat juga beberapa juta warganegara dari keturunan asing seperti keturunan Tionghoa, Eropa dan Arab, masing-masing mempunyai bahasa dan kebudayaan tersendiri di samping mengakui bahasa dan kebudayaan Indonesia sebagai kepunyaan sendiri.

Perkembangan ekonomi di berbagai pulau dan daerah adalah tidak sama.

Hal ini tampak dalam soal industri, pertanian, apalagi dalam transpor, di mana di Pulau Jawa telah terdapat jaring-jaring jalan kereta api dan mobil yang luas, sedangkan di pulau-pulau lain masih sedikit atau sama sekali belum ada. Malahan di berbagai pulau dan daerah masih terdapat sisa-sisa sistem ekonomi yang lebih terbelakang.

Berdasarkan perbedaan keadaan ekonomi ini, di negeri kita terdapat tingkat-tingkat dan ciri-ciri perkembangan masyarakat yang tidak sama.

Dilihat dari sudut sejarah, ribuan tahuan yang lalu bangsa Indonesia yang sekarang bukanlah penduduk asli Indonesia.

Kira-kira 1.500 tahun Sebelum Masehi atau kira-kira 3.500 tahun yang lalu, bangsa Indonesia yang sekarang ini belum berada di Indonesia, mereka masih bertempat tinggal di India Belakang (sekarang Indocina, Muangthai, Birma) dan pada waktu itu namanya “bangsa Mon Khmer”, yang kini masih terdapat di Tongkin, Muangthai dan Kamboja.

“Bangsa Mon Khmer” adalah salah satu dari cabang “bangsa Austro-Asia” (Asia Selatan), cabang-cabang lainnya ialah “bangsa Kasi” (Asam), “bangsa Munda” (India) dan “bangsa Santali (India).

Bangsa Indonesia adalah salah satu dari 4 cabang “bangsa Mon Khmer” (cabang-cabang lainnya: Melanesia, Polinesia dan Mikronesia).

Keempat cabang dari “bangsa Mon Khmer” ini dinamakan “bangsa Austro-[9]nesia” (bangsa pulau-pulau Selatan).

“Bangsa Mon Khmer” bukanlah penghuni asli India Belakang, mereka adalah pendatang dari Yunan (Tiongkok Selatan) dan ketika masih berada di Yunan, mereka termasuk “bangsa Austria” (bangsa Selatan).

Jadi  bangsa Indonesia yang sekarang ini walaupun terbagi dalam banyak suku bangsa (termasuk juga di Irian Barat dan Halmahera Utara, yang etnologis tergolong “bangsa Melanesia” tetapi politis tergolong Indonesia) adalah bangsa yang berasal dari satu rumpun (rumpun “bangsa Austria”, kemudian rumpun “bangsa Austro-Asia” dan kemudian lagi “bangsa Mon Khmer”) yang mempunyai sejarah yang sangat panjang dan mengalami perjuangan yang berat dalam peperangan dan dalam melawan bencana alam.

Kira-kira 3.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa kita masih mengembara di India Belakang, mereka bercocok tanam di lembah-lembah Sungai Mekong (Indocina), Irawadi dan Salwin (Birma).

Desakan-desakan yang kuat dari bangsa-bangsa yang datang dari Utara dan Barat yang menduduki tanah-tanah mereka, yang merampas dan mengacau ketentraman hidup mereka, memaksa mereka harus memilih salah satu: diperlakukan sebagai budak atau mencari kediaman lain.

Mereka berpendirian lebih baik menyingkir dan hidup merdeka dari pada diperbudak.

Karena peperangan dan sebab-sebab yang lain, seperti kekurangan makanan, bencana alam, banjir besar dan penyakit menular, dengan perahu-perahu bersayap yang sederhana nenek moyang bangsa Indonesia meninggalkan daratan Asia, makin lama makin jauh.

Mereka mengerti tentang pelayaran, tegap-tegap tubuhnya dan pemberani-pemberani.

Mereka mengarungi samudera-samudera raya, ada yang sampai ke Madagaskar, Filipina, Kalimantan, Sumatera dan pulau-pulau Indonesia lainnya.

Dengan berangsur-angsur dan berbondong-bondong mereka berpindah ke pulau-pulau Selatan, akhirnya ke seluruh pantai Indonesia dari ujung Barat sampai ke ujung Timur mereka duduki.

Mereka seakan-akan bala tentara yang menang dan menduduki daerah baru.

Di tempat yang baru mereka bebas memilih tempat bercocok tanam, berburu dan meneruskan kebiasaan berlayar. Rumah-rumah mereka dirikan sepanjang pantai yang mereka duduki.

Tetapi pulau-pulau Indonesia tidaklah kosong ketika nenek moyang bangsa kita tiba. Mereka menjumpai penghuni “asli”.

Penghuni “asli” ini tergolong ras-ras Negrito dan [10] Wedda yang sudah ribuan tahun bertempat tinggal di kepulauan Indonesia. Penduduk “asli” ini tidak suka didesak oleh pendatang-pendatang dari Utara, mereka mula-mula mengadakan perlawanan-perlawanan.

Nenek moyang kita di samping harus mencari penyelesaian dengan penghuni “asli” untuk mendapat tempat tinggal dan nafkah, mereka juga harus berjuang melawan binatang-binatang buas, air bah dan lain-lain.

Dibanding dengan penghuni “asli” persenjataan nenek moyang bangsa kita sudah lebih sempurna, mereka sudah menggunakan senjata tajam terbuat dari besi (pisau, lembing, busur panah). Penghuni “asli” hanya bersenjatakan sumpit dengan panah kecil yang berbisa.

Nenek moyang bangsa kita sudah pandai bercocok tanam, sedangkan penghuni “asli” hidupya tergantung dari hasil hutan.

Setelah berabad-abad lamanya penghuni “asli” dan kaum pendatang dapat hidup bersama, sedangkan yang tetap tidak mau mencampurkan diri lari ke tempat-tempat terasing.

Pendeknya, nenek moyang bangsa kita mendapatkan tanah air Indonesia tidak begitu saja, mereka harus berjuang mati-matian, dengan gagah berani mereka harus mengarungi samudera raya, melawan binatang-binatang buas, air bah dan lain-lain.

Bangsa Indonesia yang berasal dari satu rumpun bangsa, satu rumpun bahasa dan kebudayaan ketika masih di daratan Asia, setelah sampai di Indonesia mereka terpisah-pisah menurut pulau-pulau, dan di pulau-pulau dipisah-pisahkan lagi oleh gunung-gunung, sungai-sungai dan rawa-rawa yang besar, mereka menjadi terisolasi satu dengan yang lainnya.

Isolasi alam yang berabad-abad menyebabkan mereka tumbuh menurut keadaan sendiri-sendiri, tumbuh menjadi suku-suku bangsa dengan bahasa dan kebudayaan sendiri.

Sesampainya di kepulauan Indonesia, nenek moyang bangsa kita meneruskan cara hidup seperti ketika mereka masih berada di daratan Asia, yaitu hidup berkelompok-kelompok, mendirikan rumah-rumah di atas tiang berjajar berhadap-hadapan, bercocok tanam, berlayar dan memburu.

Perkakas-perkakas produksi mereka yang sangat primitif mengharuskan adanya kerja yang kolektif. Alat-alat produksi adalah milik bersama, tidak ada penghisapan atas manusia oleh manusia dan semua penduduk berhak atas kekayaan alam.

Pada waktu itu belum ada kelas-kelas masyarakat.

Mereka memilih pemimpin-pemimpin desanya, mereka belum mengenal raja yang ditetapkan dari atas dan belum mengenal ke-[11]kuasaan negara. Negara tidak dibutuhkan waktu itu.

Ketertiban masyarakat ketika itu diatur berdasarkan kebiasaan, adat istiadat, kewibawaan, penghargaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh pengetua-pengetua [orang yang dipertua (pemimpin, kepala, dsb)].

Nenek moyang bangsa kita pada waktu itu hidup dalam masyarakat komune primitif.

Restan-restan [sisa-sisa] dari masyarakat komune primitif sampai sekarang masih bisa kita temukan di negeri kita, misalnya dalam bentuk milik bersama desa atas tanah, bentuk kebiasaan gotong royong, sisa-sisa gen matriarkal (seperti di Minangkabau dan Pulau Enggano), sisa-sisa gen patriarkat (seperti di Batak dan Maluku), dan lain-lain.

Dengan makin majunya perkakas produksi dan dengan makin meningkatnya tenaga produktif, maka hubungan produksi yang lama sudah menghalangi perkembangan lebih lanjut dari tenaga produktif.

Kerja sama secara komune primitif sudah tidak cocok lagi dengan kemajuan perkakas-perkakas produksi, pembagian kerja kemasyarakatan timbul dan berkembang.

Dengan demikian, maka mau tak mau hak milik bersama atas alat-alat produksi perlu diganti dengan hak milik perseorangan. Ternak dan perkakas produksi lainnya menjadi milik perseorangan. Tetapi sawah dan tegalan, hutan-hutan dan padang-padang rumput serta pengairan masih milik bersama.

Hak milik perseorangan atas alat-alat produksi tertentu dan atas kekayaan perseorangan menimbulkan nafsu untuk mengumpulkan alat-alat produksi dan kekayaan sebanyak-banyaknya dari mereka yang mempunyai kesempatan untuk itu, yaitu mereka yang berkuasa (pengetua-pengetua yang dibantu oleh panglima-panglima perang dan pejabat-pejabat keagamaan).

Milik-milik umum dijadikan milik sendiri oleh yang berkuasa. Juga timbul nafsu mengadakan ekspansi, mengadakan perluasan daerah, menaklukkan desa-desa lain dan dengan demikian timbullah gabungan-gabungan desa yang dikepalai oleh satu pengetua.

Peperangan berlangsung dengan tiada henti-hentinya, karena tiap-tiap pengetua desa (daerah kecil) ingin meluaskan daerahnya agar dapat lebih banyak menguasai alat produksi dan kekayaan.

Mereka yang ditawan dalam peperangan tidak lagi dibunuh, tapi dijadikan budak dan dipaksa bekerja agar hasil pekerjaannya dapat dimiliki oleh golongan yang berkuasa untuk menambah kekayaannya.

Mereka yang tenggelam dalam hutang dan tidak dapat membayar [12] hutangnya juga dijadikan budak. Para tuan budak bebas berbuat segala sesuatu terhadap budak-budaknya, termasuk bebas memerjualbelikan dan membunuh budak-budaknya.

Nenek moyang bangsa kita dengan demikian memasuki masyarakat perbudakan.

Perpecahan dalam masyarakat perbudakan makin lama makin jelas antara dua kelas pokok dalam masyarakat, yaitu kelas tuan budak dan kelas budak, antara yang berkuasa dengan yang dikuasai.

Dengan demikian, mulailah perjuangan kelas dalam masyarakat nenek moyang bangsa kita.

Kekuasaan pengetua desa makin lama makin besar sampai ia berhak menunjuk penggantinya sendiri (tadinya pengetua dipilih). Daerah kekuasan pengetua-pengetua ini makin lama makin luas, desa yang dikuasai dan keluarga yang di bawah kekuasaannya makin bertambah banyak.

Pengetua-pengetua yang sudah kaya ini kemudian hidup memisahkan diri dari rakyat, mereka dengan keluarga dan pembantu-pembantunya hidup menyendiri dan bermewah dalam keraton (ke-ratu-an) atau kedaton (ke-datu-an). Di samping sebagai pemimpin, mereka juga dianggap sebagai wakil nenek moyang yang harus dihormati dan ditaati.

Karena adanya perlawanan-perlawanan dari pihak budak, kaum penguasa budak membutuhkan alat untuk menindas perlawanan budak dan untuk menguasai budak.

Dengan demikian lahirlah untuk pertama kalinya negara, suatu aparat yang memberikan kekuasaan kepada kaum pemilik budak dan memungkinkan mereka untuk memerintah para budak.

Restan-restan masyarakat perbudakan di negeri kita msih terdapat di berbagai pulau pada awal abad ke-20 ini, misalnya tuan budak boleh menyuruh bunuh budaknya tanpa hukuman, tuan budak (“meramba” seperti di Pulau Sumba) berhak atas seluruh hasil dari tanah yang dikerjakan oleh budak-budak (“atta”), anak yang lahir dari perkawinan budak menjadi kepunyaan tuan budak.

Tetapi adanya negara di tangan tuan budak untuk menindas para budak, tidaklah menghentikan perlawanan para budak, baik secara terang maupun tidak.

Kerja perbudakan yang pada mulanya mendorong kemajuan tenaga produktif jika dibanding dengan kerja secara komune primitif, lama kelamaan terbukti tidak produktif lagi karena orang yang diperbudak tidak mungkin mem-[13]punyai minat atas pekerjaannya dan oleh karena itu tidak mungkin kreatif.

Sebagian dari orang-orang merdeka yang hidup dalam masyarakat perbudakan, yaitu kaum tani dan kaum kerajinan tangan [ yang melakukan pekerjaan tangan bukan mesin – Red DK], karena tidak tahan memikul biaya untuk peperangan, menjadi bangkrut dan jatuh menjadi budak; sebagian melarikan diri ke tempat-tempat pesisir atau ke tempat-tempat lain yang tidak bisa dijangkau oleh kekuasaan tuan budak dan ikut ambil bagian dalam perlawanan terhadap negara budak.

Peperangan yang terus-menerus untuk memertahankan kekuasaan tuan budak ditambah lagi oleh makin merosotnya produksi serta makin mundurnya perdagangan, menyebabkan kekuasaan perbudakan makin menjadi lemah dan kebudayaan makin mundur.

Kemajuan tenaga produktif sudah tidak sesuai lagi dengan hubungan produksi yang berdasarkan perbudakan, masyarakat perbudakan sudah menjadi belenggu, oleh karena itu akhirnya diganti dengan masyarakat feodal.

Di Indonesia, terutama Jawa, nenek moyang bangsa kita memasuki masyarakat feodal kira-kira sejak awal tarikh Masehi.

Dalam masyarakat feodal bekas-bekas budak dapat mengerjakan tanah “untuk sendiri” dengan syarat harus menyetorkan sebagian yang penting dari hasil kepada tuan tanah feodal.

Di sini pembagian antara hasil kerja-perlu [kerja yang diperlukan*] bagi kaum tani dan hasil kerja-lebih [ibid * lihat bawah] yang dirampas oleh tuan tanah feodal menjadi jelas.

———
*

[“Dalam artikel terdahulu kita melihat bahwa setiap pekerja yang dipekerjakan oleh sang kapitalis (tuan tanah feodal dalam konteks MIRI – Red DK) melakukan suatu kerja rangkap: selama satu bagian dari waktu-kerjanya ia menggantikan upah-upah yang dipersekotkan pada dirinya oleh sang kapitalis, dan bagian kerjanya ini diistilahkan kerja yang diperlukan oleh Marx.

Tetapi setelah itu ia mesti terus bekerja dan selama waktu itu ia memproduksi nilai-lebih untuk sang kapitalis, suatu bagian penting yang merupakan laba. Bagian dari kerja ini disebut kerja-lebih,” dikutip dari “Frederick Engels Tentang Das Kapital Marx”, penerjemah Ira Iramanto, Hasta Mitra, 2002: 8; cetak tebal oleh kami Red DK].

Pertentangan yang pokok dalam masyarakat feodal ialah pertentangan antara para tuan tanah feodal (raja-raja, bangsawan-bangsawan pendeta-pendeta dan punggawa-punggawa) dengan kaum tani.

Kedudukan kaum tani sedikit “bebas” jika dibanding dengan kaum budak, oleh karena itu kaum tani lebih produktif jika dibanding dengan kaum budak. Pada umumnya kaum tani sudah tidak bisa dibunuh secara sewenang-wenang.

Kaum tani bukan budak, tetapi hamba dan bekerja untuk tuan-tuan feodal dalam bentuk bekerja cuma-cuma (rodi, corvee) [corvee = korve: kerja paksa], menyetor bagian yang sangat besar dari hasil panen.

Di samping, kaum tani juga [adalah] tukang-tukang kerajinan tangan dan para pedagang, termasuk kelas-kelas yang dikuasai dan dirintangi perkembangannya oleh feodalisme. [14]

Sejarah perdaban bangsa Indonesia menunjukkan, bahwa pertanian dan kerajinan tangan sudah berumur sangat tua, bahwa Indonesia mempunyai filosof-filosof sendiri, sarjana-sarjana, seniman-seniman besar dan ahli-ahli militer sendiri.

Lama sebelum Masehi, jadi jauh sebelum orang-orang Hindu datang, Indonesia sudah memproduksi secara besar-besaran perkakas kerja dan senjata terbikin dari batu dan besi ; kalender yang sangat dibutuhkan untuk mengatur pekerjaan di sawah juga sudah dikenal, sistem irigasi sudah dilaksanakan.

Dalam tahun 150 sesudah Masehi ahli ilmu bumi dan bintang-bintang bangsa Yunani dari abad ke-2 yang bernama Ptolomeus menulis, bahwa Pulau Jawa sangat subur dan banyak menghasilkan emas (maksudnya barang-barang dari emas).

Dari masa yang sama kita dapat membaca dalam kitab Hindu (Ramayana): “periksalah dengan teliti Jawadwipa (Jawa) yang mempunyai tujuh kerajaan, pulau emas dan pulau perak, di mana terdapat kemasan-kemasan.” [kemasan: orang yang pekerjaannya membuat perhiasan emas dan intan].

Tahun 132 dari Jawa dikirim dikirim utusan ke Tiongkok yang membawa tanda-kerajaan (segel) dari emas.

Kedudukan Indonesia yang berada di antara India dan Tiongkok membikin Indonesia sejak permulaan Masehi menjadi pusat perdagangan dunia.

Diterangkan bahwa pada tahun 414 sesudah masehi bertolaklah dari Jawa Barat seorang saudagar Tiongkok dengan 200 orang lain lagi, kebanyakan saudagar-saudagar Hindu, menuju Kanton.

Dari keadaan di atas, jelaslah bahwa sudah sejak sebelum orang asing datang bangsa Indonesia adalah bangsa yang sudah berkebudayaan, jadi adalah tidak benar pendapat orang bahwa bangsa Indonesia baru berkebudayaan sesudah bangsa asing datang untuk mengajar bangsa Indonesia.

Kemudian, sesudah orang-orang Hindu datang, timbullah candi-candi yang megah dan indah, seni tari dan seni wayang yang tersohor. Semuanya ini adalah ciptaan bangsa Indonesia sendiri, kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Kedudukan orang-orang Hindu hanya sebagai pembantu dan penasehat.

Dari hasil-hasil kebudayaan ini, jelaslah bahwa sudah sejak zaman dahulu kala bangsa Indonesia tidak segan untuk menerima yang baik dari luar, yang berupa pikiran maupun bantuan para ahli tetapi dengan sama sekali tidak melepaskan kepribadiannya.

Dalam perdagangan dan politik luar negeri bangsa Indonesia mempunyai peranan yang aktif dan pandai meng-[15]gunakan kedudukan geografis Indonesia yang sangat baik. Politik ini membikin Indonesia di masa lampau menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.

Tetapi bangsa Indonesia tidak hanya terkenal sebagai bangsa yang rajin dan ulet, yang beradab dan berkebudayaan, tetapi juga terkenal sebagai bangsa pejuang dan revolusioner. Sudah sejak masih di daratan Asia bangsa Indonesia sudah biasa berjuang. Ketika akan mendapatkan tanah air Indonesia mereka juga harus berjuang, demikian juga untk memertahankan tanah airnya dari serangan-serangan asing.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta merdeka dan bertradisi revolusioner. Hal ini terbukti sampai abad-abad belakangan ini, sampai abad ke-20, sampai hari ini.

Sejarah Indonesia sejak zaman dahulu kala adalah sejarah pemberontakan tani, sejarah pahlawan-pahlawan, sejarah revolusi-revolusi, sejarah rakyat pekerja.

Abad ke-20 adalah abad di mana perjuangan bangsa Indonesia mendapat bentuk-bentuk yang modern, yang pada hakikatnya tidak lain dari pada melanjutkan tradisi revolusioner yang sudah belasan abad lamanya.

Pasal 3

Masyarakat Feodal

Walaupun Indonesia adalah negeri yang besar, mempunyai kedudukan geografis yang sangat baik, tanahnya sangat subur, penduduknya banyak, mempunyai sejarah kebudayaan yang sudah tua, kaya dengan tradisi revolusioner, tetapi karena berlakunya sistem feodalisme yang sudah lebih dari 1.500 tahun lamanya, sampai sekarang Indonesia masih terbelakang di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan.

Sistem ekonomi dan politik di dalam masayarakat feodal Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Dalam masyarakat feodal ekonominya adalah ekonomi alamiah, yaitu ekonomi di mana produksi dipakai untuk keperluan sendiri, bukan produksi untuk dijual atau untuk pasar.

Sistem irigasi sudah maju sejak permulaan zaman feodalisme di negeri kita; ini dibuktikan oleh perintah raja Purnawarman dari Kerajaan Taruma Negara (di Jawa Barat, meliputi kira-kira Jakarta, Bogor dan Krawang) dalam abad ke-4 Masehi [16] untuk membikin kanal sepanjang 15 km.

Tukang-tukang kerajinan tangan pasti sudah ada sejak permulaan zaman ini, karena sudah sejak sebelum orang Hindu datang orang-orang Indonesia sudah pandai membikin barang dari besi, tembaga, kulit penyu, tanduk dan emas.

Tetapi barang-barang ini bukan dibikin terutama untuk pasar. Pertukaran memang sudah ada, yaitu pertukaran di antara penduduk maupun dengan orang luar, misalnya antara raja dan pembesar-pembesar Indonesia lainnya dengan saudagar-saudagar dari Tiongkok, India dan lain-lain, tetapi ini tidak bersifat menentukan.

2. Dalam masyarakat feodal yang berkuasa ialah kelas feodal yang terdiri dari raja-raja yang bertempat tinggal di keraton-keraton, pedeta-pendeta dan punggawa-punggawa (pegawai-pegawai, amtenar-amtenar).

Dasar kekuasaan kaum feodal ialah hak milik mereka atas tanah dan hak milik mereka yang terbatas atas kaum tani.

Raja adalah kekuasaan tertinggi, ia berhak mengangkat para pembesar untuk pemerintahan pusat dan para pembesar lokal untuk mengurus angkatan perang, pengadilan, perbedaharaan negara dan gudang-gudang makanan.

Raja-raja hanya menguasai sebagian kecil dari kekuasaan secara langsung, sedangkan selebihnya dikuasakan kepada para bangsawan lainnya dan punggawa-punggawa sebagai wakil raja.

Wakil-wakil raja inilah yang berkewajiban mengumpulkan setoran hasil panen kaum tani untuk keperluannya sendiri dan untuk raja (Pemerintah Pusat).

Di samping harus menyetorkan hasil panennya, kaum tani juga diwajibkan bekerja dengan cuma-cuma (rodi, korve) untuk para bangsawan dan punggawa, diwajibkan bekerja untuk membangun keraton-keraton dan candi-candi, untuk membikin saluran-saluran dan bendungan-bendungan, dan dalam keadaan perang harus mengerahkan segala yang ada padanya, juga sampai menjadi prajurit untuk memenangkan peperangan.

Sesudah ada tentara tetap, dan ini terutama terjadi sesudah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, kaum tani juga diwajibkan mengongkosi tentara, yang digunakan terutama untuk menindas kaum tani dan jarang-jarang untuk melawan serangan musuh dari luar.

Untuk memerdalam “kebaktian” Raja kepada raja, rasa keagamaan dipertebal (misal-[17]nya raja Darmawangsa dari abad ke-10 dan ke-11, memerintahkan kepada para punggawa keraton untuk menerjemahkan cerita-cerita wayang dari Mahabrata yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno).

Jadi jelaslah, bahwa masyarakat feodal berdasarkan hak milik tanah oleh tuan tanah, sedangkan kaum tani bekerja sebagai hamba (kaum tani “hanggaduh” tanah atau “meminjam” tanah untuk dikerjakan). Tanah yang merupakan alat produksi pokok dalam masyarakat feodal dimiliki oleh para tuan tanah feodal.

Kaum tani pada umumnya tidak dapat dibunuh seperti dalam zaman perbudakan, tetapi mereka bisa diperjualbelikan.

Negara feodal adalah kepunyaan para tuan tanah untuk memertahankan eksploitasi feodal mereka.

Di samping menderita eksploitasi feodal yang berat, kaum tani juga menderita penindasan-penindasan politik. Kaum tani tidak mempunyai hak politik dan tidak mempunyai kemerdekaan perseorangan, tuan tanah berhak memukul dan menyiksa mereka, malahan juga membunuh mereka, walaupun yang belakangan ini tidak lagi umum berlaku.

Kemelaratan dan keterbelakangan dari kaum tani sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi dan penindasan-penindasan politik feodal yang luar biasa, adalah alasan pokok yang menjadi sebab ekonomi dan kehidupan sosial negeri kita terbelakang berabad-abad jika dibanding dengan negeri-negeri yang maju sekarang.

Dalam masyarakat feodal kelas-kelas pokok yang menciptakan kekayaan dan kebudayaan ialah kaum tani dan tukang-tukang kerajinan tangan, sedangkan tuan dan kliknya (para raja, bangsawan, pendeta dan para punggawa) adalah sama sekali tidak produktif, sebaliknya mereka menghisap dan menindas golongan yang sangat terbesar dari rakyat.

Eksplotasi ekonomi dan penindasan politik yang luar biasa telah membikin kaum tani Indonesia memberontak melawan kekuasaan tuan tanah, seperti misalnya pemberontakan terhadap kerajaan Mataram I (abad ke-8 dan abad ke-9), pemberontakan terhadap kerajaan Kediri (awal abad ke-13) di bawah pimpinan anak petani Ken Arok, pemberontakan terhadap kerajaan Singasari (akhir abad ke-13), pemberontakan-pemberontakan dalam kerajaan [18] Majapahit (abad ke-14 dan abad ke-15), dan lain-lain pemberontakan tani.

Pemberontakan-pemberontakan ini memang hanya berhasil dengan menjatuhkan raja yang satu dan menaikkan raja yang lain, dengan tidak berakibat perbaikan nasib kaum tani.

Tetapi kenyataan ini tidak memungkiri bahwa pemberontakan-pemberontakan itu adalah pemberontakan-pemberontakan kaum tani. Perlawanan kaum tani terhadap eksploitasi ekonomi dan penindasan-penindasan politik feodal menyebabkan adanya pemberontakan-pemberontakan.

Pemberontakan-pemberontakan kaum tani gagal, tidak berakhir dengan kemenangan kaum tani dan hanya berakibat penggantian raja-raja belaka, adalah karena kaum tani sebagai pemilik-pemilik perseorangan kecil tidak mewakili hubungan produksi yang baru.

Pemberontakan-pemberontakan meletus secara spontan karena kebencian mereka terhadap tuan tanah, tetapi mereka tidak mampu menyusun program agraria yang revolusioner.

Juga belum ada kelas dan partai politik yang maju, yang mampu memimpin kaum tani menuju kemenangan.

Jadi, pemberontakan dan peperangan taniketika itu dengan sendirinya berakhir dengan kegagalan, sehingga tidak mengubah hubungan ekonomi dan sistem politik feodal.

Tetapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa pemberontakan-pemberontakan tani yang gagal itusama sekali tidak membawa sekadar kemajuan sosial.

Yang sudah terang, kaum tani menjadi lebih terlatih dalam berperang dan ada juga raja-raja baru yang mereka naikkan ke atas tahta terpaksa meringankan atau menghapuskan beberapa bentuk penghisapan yang paling kejam.

Pemberontakan-pemberontakan itu bersifat menentukan dalam melemahkan dan akhirnya akan meruntuhkan sama sekali feodalisme.

Pasal 4

Masyarakat Kolonial

Dengan bertambah luasnya perdagangan luar negeri Indonesia dalam abad ke-14, terutama perdagangan rempah-rempah dengan Eropa, maka kedudukan kota-kota pesisir Indonesia menjadi sangat penting dan perdagangan dengan Eropa menjadi lebih penting daripada perdagangan dengan India dan Tiongkok.

Rempah-rempah sangat dibutuhkan oleh apotek-apotek dan dapur-dapur orang Eropa. Dalam [19] perdagangan yang ramai ini Malaka dan Banten memainkan rol yang sangat penting.

Di Malaka dan Banten banyak bertempat tinggal pedagang asing, terutama pedagang-pedagang Islam yang datang dari India dan Persia, yang mempunyai pengaruh besar atas raja-raja lokal.

Pedagang-pedagang ini menyediakan barang-barang mewah untuk para raja. Mereka juga mengislamkan raja-raja lokal yang beragama Hindu dan mendorong kerajaan-kerajaan lokal menjadi kerajaan Islam yang berdiri sendiri, terpisah dari kekuasaan Maharaja Majapahit yang berpusat di pedalaman.

Untuk mendapat pengaruh, saudagar-saudagar Islam itu juga mengawinkan anak-anaknya dengan raja-raja lokal . Dengan bertambahnya pengaruh mereka atas raja-raja lokal bertambah pula keuntungan mereka dalam perdagangan.

Gerakan Islam ini kemudian dipimpin oleh guru-guru yang terkenal dengan nama Wali Songo (Wali Sembilan).

Dengan makin majunya perdagangan dunia maka bertambah besarlah nafsu raja-raja lokal di pesisir untuk menguasai daerah pedalaman yang berada di bawah kekuasaan Maharaja Majapahit.

Persatuan raja-raja Islam di bawah pimpinan kerajaan Demak merebut Majapahit dalam tahun 1521. Perebutan ini adalah akibat dari pertentangan kerajaan feodal Islam yang sudah berjalin dengan kepentingan kapital dagang (saudagar-saudagar) melawan kerajaan feodal Hindu yang masih sepenuhnya agraris.

Dalam keadaan terpecah belah di dalam negeri, dalam keadaan meruncingnya pertentangan antara kerajaan-kerajaan pesisir yang sudah ambil bagian di dalam perdagangan dunia dengan kerajaan pedalaman yang berdasarkan upeti hasil bumi dan pologoro (kebaktian-kebaktian feodal), datanglah orang Eropa dengan kapal-kapal dan persenjataan yang lebih sempurna daripada yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Indonesia.

Mula-mula datanglah orang-orang Portugis (1496), yang datang di samping untuk mencari untung dengan berdagang juga untuk menyebarkan agama Kristen yang sedang berkembang di Eropa.

Untuk mencapai tujuannya orang Portugis menggunakan pertentangan-pertentangan antara “kerajaan-kerajaan Islam” dengan “kerajaan-kerajaan Hindu”.

Untuk melawan serangan orang-orang Portugis dan untuk menindas pemberontakan kaum tani serta melawan kerajaan-kerajaan [20] Hindu, kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak membangun tentara tetap, sesuatu yang tidak dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Hindu.

Dalam tahun 1512 orang-orang Spanyol datang di Tidore dengan dua buah kapal dari mengelilingi dunia.

Di Tidore orang-orang Spanyol berusaha memerkuat kedudukannya dengan mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang pada waktu itu sedang berjuang melawan orang-orang Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate.

Latar belakang pertentangan Spanyol-Portugis ialah soal monopoli cengkeh. Pertempuran-pertempuran terjadi antara orang-orang Spanyol dan kerajaan Tidore di satu pihak dengan orang-orang Portugis dan kerajaan Ternate di pihak lain, dengan akhirnya kekalahan pihak Spanyol.

Dalam tahun 1529 orang-orang Spanyol meninggalkan Indonesia sesudah menerima ganti kerugian uang 350.000 “crusado”.

Tentara tetap kerajaan-kerajaan Islam lebih baik perlengkapan dan persenjataannya jika dibanding dengan tentara kerajaan-kerajaan Hindu yang berdasarkan wajib bela umum kaum petani.

Tetapi keunggulan teknik kapal-kapal perang dan persenjataan Eropa adalah melebihi keunggulan teknik kapal dan persenjataan kerajaan-kerajaan Islam.

Inilah sebab-sebab pokok yang membikin Angkatan Laut Kerajaan Demak di bawah pimpinan Adipati Unus harus mundur dalam peperangan melawan orang-orang Portugis (1513). Bukan karena kurang keberanian, bukan karena kurang semangat dan kecakapan yang menyebabkan orang-orang Indonesia harus kalah, tetapi karena keunggulan teknik Eropa, dan terutama sekali karena kelemahan-kelemahan kerajaan-kerajaan Indonesia yang disebabkan oleh perpecahan.

Tanggal 22 Juni 1596 berlabuhlah armada Belanda terdiri dari 4 buah kapal di bawah pimpinan Cornelis de Houtman di pelabuhan Banten.

Maksud Belanda datang ke Indonesia mula-mula hanya untuk berdagang. Untuk mengatur perdagangan Belanda di Indonesia dibentuklah di negeri Belanda dalam tahun 1602 sebuah perkumpulan dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie – Persatuan Perkongsian Dagang Hindia Timur).

Untuk menguatkan dan mengoordinasi segala usaha Belanda di Indonesia diangkat Gubernur Jenderal (yang pertama tahun 1610) dengan sebuah Dewan Hindia terdiri dari lima [21] orang.

Pada mulanya Belanda sangat sukar bergerak karena harus berhadapan dengan bangsa Portugis yang masih berkuasa di Asia Tenggara dan dengan bangsa Indonesia yang masih menguasai laut-laut Indonesia.

Untuk memertahankan monopoli dagangnya atas rempah-rempah, VOC dengan kejam melangsungkan “hongitochten” (pelayaran hongi) ke Indonesia bagian Timur (hongi adalah sejenis kapal yang sangat laju dan digunakan di daerah Maluku. Mengadakan pelayaran “hongi” berarti merampok, merompak, dan membinasakan musuh).

Dengan mengadakan pelayaran “hongi” ini VOC menyerang, menyiksa, menawan, bahkan membinasakan penduduk di pulau-pulau Indonesia bagian Timur, apabila mereka melanggar ketentuan-ketentuan monopoli VOC. Penduduk pulau Banda hampir binasa sama sekali.

Tetapi rakyat Maluku tidak pernah diam menerima nasib terus di-“hongi”. Pada tahun 1635 di Ambon terjadi pemberontakan umum yang dipimpin oleh Kakiali melawan kekejaman kompeni.

Dalam meletakkan dasar-dasar kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sangat besar peranan J. P. Coen, Gubernur Jenderal yang memulai meluaskan kekuasaannya dengan merebut Jakarta (tanggal 4 Maret 1621 oleh Belanda dengan resmi dinamakan Batavia) dan menjadikan Jakarta pusat perniagaan di Asia Tenggara.

Dengan demikian perdagangan berpindah dari tangan kerajaan-kerajaan Indonesia dan orang-orang Portugis ke tangan Belanda.

Dari Jakarta Belanda meluaskan kekuasaan ke seluruh Indonesia: tahun 1641 Belanda menguasai Malaka, benteng Portugis di Asia Tenggara, tahun 1667 Belanda menguasai Makasar, tahun 1677 menguasai pantai utara Jawa sampai ke Jawa Timur, tahun 1692 menguasai Banten.

Dengan menguasai Banten dapatlah Belanda mengontrol pintu Barat Indonesia, dengan menguasai Malaka mengontrol Selat Malaka, dengan menguasai Makasar mengontrol Indonesia Timur dan dengan menguasai pantai Jawa dapatlah Belanda menutup kerajaan Mataram (ke-2) dari laut.

Dengan terkurungnya kerajaan Mataram, dengan menggunakan pertentangan-pertentangan yang ada di antara kerajaan-kerajaan Islam dengan kerajaan-kerajaan Hindu dan pertentangan-pertentangan di dalam kerajaan Hindu sendiri, kaum penjajah Be-[22]landa dengan persenjataan lebih unggul telah memaksa Mataram menyerah dalam tahun 1749.

Dasar pengisapan kolonial VOC, jadi pengisapan dalam periode kapital dagang berkuasa di negeri Belanda, ialah sistem pajak tanah yang sangat tinggi (contingenten) dan kewajiban menyerahkan sebagian hasil dengan harga yang sangat rendah (dwangleveringen). Politik dalam negeri VOC berdasarkan eksploitasi organisasi-organisasi feodal yang sudah ada. Dengan sistem ekonomi dan politik ini kaum tani menderita dua macam tindasan, dari raja-raja dan dari VOC.

Di daerah kekuasaan VOC hubungan kelas yang lama tidak berubah, bedanya hanya pergantian nama raja dengan nama bupati yang diangkat oleh VOC. Bupati-bupati angkatan VOC ini jika meninggal dunia umumnya dapat digantikan oleh anaknya yang laki-laki yang dianggap tercakap.

Penderitaan kaum tani sangat berat, karena di samping VOC menuntut pembagian maksimal dari hasil pengisapan, juga bupati-bupati memeras rakyat untuk kepentingan sendiri.

Sistem paksaan dan monopoli VOC menyebabkan rontoknya VOC, karena sistem ini tidak memungkinkan berkembangnya tenaga produktif, memerosotkan ekonomi penduduk, yang berarti mengancam keuntungan VOC sendiri. Korupsi merajalela di kalangan aparat pemerintah, baik oleh orang-orang Belanda maupun oleh orang-orang Indonesia.

Pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan kaum tani yang sangat menderita karena dua macam tindasan terjadi di mana-mana dalam abad ke-17 dan ke-18. Karena sudah tidak menguntungkan lagi, dalam tahun 1800 VOC dibubarkan dan selanjutnya negara Belanda memerintah Indonesia secara langsung.

Masa VOC merupakan periode penting dalam penimbunan primitif kapital. Kekayaan-kekayaan yang luar biasa didapat oleh saudagar-saudagar Belanda dengan jalan kekejaman, seperti yang dikatakan oleh Karl Marx:

“Sejarah ekonomi kolonial Belanda – dan negeri Belanda adalah nasion kapitalis yang terkemuka pada abad ke-17 – memperlihatkan pengkhianatan, penyuapan, penyembelihan, dan kekejian-kekejian yang tiada taranya”.

Kekuasaan langsung pemerintah Belanda tidak membawa perbaikan dalam masyarakat Indonesia. Sebaliknya, ketika negeri Belanda diduduki oleh Prancis [23] dikirimlah ke Indonesia seorang Gubernur Jenderal yang sangat kejam, yaitu Daendels (tahun 1808-1811).

Di bawah Gubernur Jenderal Daendels tentara Belanda diperluas dari 4.000 menjadi 18.000. Untuk kepentingan strategi militernya Belanda mendirikan benteng-benteng yang memakan banyak korban jiwa orang Indonesia.

Juga dibangun jalan panjang kira-kira 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung Barat dengan ujung Timur dari pulau Jawa, dalam waktu satu tahun lebih sedikit, dengan pengeluaran uang yang sangat sedikit dan dengan korban manusia Indonesia yang sangat banyak.

Pajak tanah yang tinggi dan penyerahan hasil panen dengan paksaan masih berjalan terus, malahan ditambah lagi dengan monopoli beras oleh pemerintah dan penjualan “tanah-tanah partikelir” kepada hartawan-hartawan Eropa dan Tionghoa.

Pengisapan luar biasa ini menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan baru, terutama di Banten dan Cirebon.

Ketika dalam tahun 1811 tentara Inggris menyerang kedudukan Belanda di Jawa, maka mudah dimengerti mengapa Belanda tidak mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia; juga raja-raja dan bupati-bupati yang kecewa karena kesewenang-wenangan Daendels menolak untuk melawan Inggris.

Selama kekuasaan Inggris antara tahun 1811-1814, Letnan Jenderal Thomas Stamfort Raffles mencoba melaksanakan prinsip politik kolonial Inggris di Jawa atas dasar kepentingan kapital industri Inggris yang sedang maju cepat, politik seperti yang dikenalnya di Benggala (India), yaitu politik persaingan bebas yang dilakukan oleh Inggris terhadap perkembangan kapital industrinya di India.

Inggris berusaha untuk mengubah sistem ekonomi dan politik Belanda yang bersifat lintah darat dan perampokan, yaitu ciri-ciri sistem kapital dagang Belanda, dengan yang lebih cocok dengan politik Inggris yang industrinya sudah maju. Tetapi usaha Inggris ini tidak banyak hasilnya, karena mereka hanya berkuasa 3½ tahun.

Kekuasaan Inggris telah meletakkan beban-beban baru di atas pundak rakyat Indonesia dengan mengadakan monopoli negara atas garam dan dengan menjual “tanah-tanah partikelir” bersama-sama dengan hak feodal di atas tanah itu demi keuntungan pembeli dan demi penderitaan kaum tani. [24]

Negara Inggris mengumumkan bahwa semua tanah adalah kepunyaan negara (staatsdomein) dan atas dasar ini menarik pajak tanah tidak kurang dari dua per lima hasil panen yang baik dan ¼ sampai 1/3 hasil panen tanah yang kurang baik.

Politik tanah dari Inggris juga telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan kaum tani, seperti misalnya di Banten, Cirebon, Yogya, dan lain-lain. Keadaan ini memaksa Raffles membeli kembali atas nama negara sejumlah “tanah-tanah partikelir” yang sudah dijualnya.

Setelah dalam tahun 1814 Napoleon kalah, maka tahun itu juga oleh Inggris ditandatangani perjanjian pengembalian koloni-koloni Belanda, termasuk Indonesia. Dengan demikian Belanda mendapatkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pelaksanaan pengembalian ini baru terjadi dalam tahun 1816.

Perang Diponegoro tahun 1825-1830 telah menumpaskan kas negara Belanda dengan F. 20.000.000,-. Juga perlawanan Belgia terhadap Belanda tahun 1830-1838 mengharuskan negara Belanda mengeluarkan banyak ongkos. Keadaan ekonomi negara Belanda sangat jelek dan mendekati kebangkrutan. Untuk mengatasi kebangkrutan ini diadakan apa yang dinamakan “cultuurstelsel” (sistem tanam paksa, 1830-1870).

“Cultuurstelsel” adalah kombinasi dari sistem kolonial model VOC, model Daendels, dan Raffles. Semua yang paling jahat dijadikan satu dan diberi nama “cultuurstelsel”.

Menurut sistem ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau), dan diwajibkan menyerahkannya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah kolonial.

Dalam praktiknya “cultuurstelsel” telah mewajibkan kaum tani menanami 1/3 sampai 2/3 dan ada kalanya seluruh tanah sawah dengan tanaman untuk pasar Eropa.

Tenaga kerja yang dipergunakan untuk tanaman buat pasar Eropa jauh lebih banyak daripada untuk padi. Pajak tanah, termasuk juga tanah yang harus ditanami dengan tanaman buat pasar Eropa, dinaikkan.

Jika harga hasil tanaman untuk pasar Eropa melebihi jumlah pajak yang harus dibayar petani, maka kelebihannya tidak dikembalikan kepada kaum tani, tetapi [25] sebaliknya kaum tani sering harus menjual padinya yang sudah tidak cukup itu buat membayar kekurangan pajak tanah. Kegagalan panen adalah menjadi tanggungan petani, juga jika gagal karena bencana alam. Petani harus mengantarkan hasil yang wajib diserahkannya sampai ke gudang-gudang dengan tidak dibayar. Kaum tani harus bekerja tanpa dibayar untuk pekerjaan umum dan pembangunan benteng-benteng.

Dalam 40 tahun “cultuurstelsel” Belanda dapat mengeduk kira-kira 800 juta florin (rupiah Belanda), yaitu hampir sama banyaknya dengan yang dapat dikeduk kapital dagang Belanda selama dua abad di bawah VOC. Tetapi, jumlah yang sama besarnya dalam zaman imperialisme abad ke-20 sebelum krisis tahun 1929 dapat diperoleh kaum imperialis Belanda hanya dalam waktu satu tahun.

Dalam menjalankan sistem perampokan “cultuurstelsel” kaum feodal berkedudukan sebagai orang perantara, yang juga menarik upeti-upeti dan menikmati pologoro untuk dirinya sendiri. Amtenar-amtenar dari yang rendah sampai yang tinggi mempunyai tugas-tugas pribadi yang tidak ada batasnya, sampai-sampai menyediakan rombongan-rombongan orkes dan gadis-gadis penari untuk menghibur residen-residen selama dalam turnenya. Amtenar-amtenar ini gajinya sangat kecil, tetapi dengan menggunakan kedudukannya mereka dapat memperkaya diri dengan hasil kerja kaum tani yang tidak dibayar.

Penderitaan yang berat menyebabkan meratanya perlawanan dan pemberontakan kaum tani, menyebabkan banyaknya kaum tani yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, walaupun oleh pihak yang berkuasa diadakan peraturan bahwa kaum tani tidak boleh meninggalkan desanya tanpa ijin (sistem surat pas). Perlawanan-perlawanan, pemberontakan-pemberontakan dan perpindahan-perpindahan kaum tani ini merupakan faktor yang penting dalam mengobrak-abrik “cultuurstelsel”.

Seorang Belanda, Douwes Dekker yang dalam tahun 1856 menjadi asisten residen di Lebak (Banten) telah mengeluarkan dalam tahun 1860 bukunya yang terkenal “Max Havelaar”, yang ditulis dengan nama samaran “Multatuli”.

Dalam bukunya “Multatuli” mendakwa kolonialisme dan orang-orang Belanda sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penindasan politik dan pengisapan ekonomi yang tidak kenal perikemanusiaan di [26] bawah “cultuurstelsel”. Tulisan-tulisan “Multatuli” banyak dibaca oleh kaum intelektual generasi muda dan pemimpin-pemimpin gerakan kelas buruh yang mulai berkembang di negeri Belanda; ia juga telah memberi canang kepada borjuasi Belanda bahwa zaman perampokan model “cultuurstelsel” harus diakhiri, sudah tidak perlu dan merugikan.

Zaman “cultuurstelsel” adalah zaman yang paling jelek bagi kaum tani Indonesia. Semangat memberontak kaum tani tetap tidak bisa dipadamkan, pemberontakan-pemberontakan terus-menerus terjadi di mana-mana.

Tetapi sesudah mengalami kekalahan dalam perang Diponegoro (1825-1830), kaum feodal yang biasanya “memimpin” pemberontakan kaum tani sudah sepenuhnya menyerah kepada kaum pengisap kolonial dan sudah tidak mempunyai kemauan melawan lagi.

Di luar Jawa perlawanan-perlawanan masih dilakukan, tetapi bagi kaum kolonialis Belanda kedudukan di luar Jawa bukan kedudukan yang paling penting.

Pada waktu itu pimpinan dari borjuasi nasional atau dari proletariat Indonesia pada pemberontakan-pemberontakan tani belum mungkin diharapkan, karena belum ada syarat-syarat sejarahnya.

Perkembangan industri modern di negeri Belanda adalah terlambat, karena Belanda memiliki Indonesia yang sangat kaya. Dengan memiliki Indonesia mudahlah keuntungan berjuta-juta mengalir ke kantong kaum kapitalis Belanda.

Baru dalam tahun 1870 oleh pemerintah kolonial diadakan apa yang dinamakan Undang-Undang Agraria, undang-undang yang menjamin didapatnya tanah di Indonesia untuk kepentingan kapital partikelir Belanda.

Dengan undang-undang ini terbukalah secara definitif bagi kapital partikelir Belanda untuk ambil bagian di dalam pengisapan kolonial. Ini berarti perpindahan dari politik kolonial yang bersifat monopoli dari kapital dagang ke politik kolonial “baru” dari kapital industri, perpindahan dari sistem monopoli ke sistem persaingan bebas. Masa persaingan bebas yang berlangsung dari tahun 1870 sampai 1895, ditandai oleh bertambah besarnya rol dari bank-bank kolonial.

Dalam krisis hebat tahun 1895 sebagian besar dari kapitalis-kapitalis partikelir di negeri Belanda mengalami kehancuran, sehingga mengakibatkan kapital finansial berkuasa penuh.

Jadi, zaman kapital industri yang berdasarkan persaingan bebas tidak lama di Indonesia, hanya kira-kira 25 tahun (1870-1895).

Kapital industri yang berdasar-[27]kan persaingan bebas segera disusul oleh zaman imperialisme yang dimulai tahun 1895, yaitu zaman dimana kapital finansial, yaitu perpaduan antara kapital bank dengan kapital industri, memegang monopoli atas kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.

Untuk menyelamatkan dan menjamin hari depan kapital yang diekspor dari Eropa, maka kaum imperialis Belanda melakukan dua tindakan penting: menundukkan seluruh daerah Indonesia, secara politik dan militer, dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai kemungkinan perkembangan kapital yang tidak terbatas.

Tindakan kaum imperialis Belanda ini sesuai dengan perpindahan kapitalisme pra-monopoli ke tingkat kapitalisme monopoli, yaitu zaman kekuasaan kapital finansial.

Perpindahan ini tak terpisahkan dengan makin intensifnya perjuangan kaum imperialis untuk membagi-bagi dunia. Kapital finansial berusaha pada umumnya untuk merebut tanah sebanyak-banyaknya dari macam apa saja, di mana saja, dan dengan semua jalan, karena memerhitungkan sumber-sumber potensial akan bahan-bahan mentah dan takut ketinggalan dalam perjuangan sengit untuk mendapat jengkal-jengkal terakhir dari wilayah yang belum dibagikan atau untuk membagi kembali tanah-tanah yang sudah dibagi.

Untuk menundukkan seluruh Indonesia di bawah kekuasaan Belanda maka dilakukanlah peperangan kolonial besar-besaran pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 sehingga dapatlah Belanda meluaskan kekuasaannya ke Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores, Bone, Banjarmasin, Jambi, Riau, Tapanuli, Aceh, dan lain-lain.

Untuk menjamin keuntungan yang luar biasa, pemerintah Belanda mengadakan pemeriksaan di lapangan ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, dan sebagainya. Juga adat istiadat, bahasa, agama, kesenian, dan sejarah suku-suku bangsa dipelajari oleh orang-orang Belanda.

Jadi, imperialisme telah menghancurkan monopoli negara yang berbentuk “cultuurstelsel”, tetapi bersamaan dengan itu telah mendatangkan monopoli yang baru, yaitu monopoli kapital finansial.

Karena kaum imperialis Belanda lemah kedudukannya dalam militer dan tidak mampu sendirian membela Indonesia dengan senjata, maka sejak tahun 1905 kaum imperialis Belanda terpaksa menjalankan politik pintu terbuka (opendeur politiek), artinya Indonesia dibuka menjadi lapangan eksploitasi kaum [28] kapitalis dari segala negara kapitalis, terutama negara-negara Inggris dan Amerika.

Dengan menjalankan politik pintu terbuka kaum imperialis Belanda memperhitungkan dua keuntungan: 1) berupa kenaikan hasil pajak yang didapat dari perusahaan-perusahaan imperialis; 2) berupa pertahanan bersama antara negara-negara imperialis untuk melindungi kepentingan-kepentingannya di Indonesia, dan bersamaan dengan itu kaum imperialis Belanda juga dapat menjalankan politik keseimbangan antara negara-negara imperialis agar Indonesia tidak dicaplok oleh negara imperialis yang lain.

Imperialisme telah mengganti perbudakan model “cultuurstelsel” dengan perbudakan model “baru” yang antara lain berbentuk “poenale sanctie”, yaitu peraturan yang berisi ketentuan hukuman bagi mereka yang menyalahi kontrak sebagai alat penjamin tenaga kerja murah bagi onderneming-onderneming asing.

Karena dalam zaman sebelum imperialisme, Indonesia sudah dikuras dan dirusak habis-habisan, maka imperialisme harus memulai dengan menciptakan dasar-dasar elementer untuk suatu sistem pengisapan modern, pengisapan yang lebih intensif dan sistematis terhadap rakyat dan kekayaan Indonesia.

Sudah sejak permulaan zaman imperialisme pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang dinamakan “politik ethic” (“politik susila”), yaitu politik yang antara lain mengurangi rodi, mereorganisasi dinas-dinas kesehatan, sedikit meluaskan irigasi, dan mendirikan sekolah-sekolah rendah, sekolah-sekolah guru normal, sekolah-sekolah teknik, sekolah-sekolah menengah umum, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan imperialisme akan kaum buruh dan pegawai bumi putera yang murah tetapi berpendidikan.

Dalam zaman imperialis ini, Indonesia merupakan sumber bahan mentah yang murah buat negeri-negeri imperialis, sumber tenaga kerja yang sangat murah, pasar untuk menjual hasil produksi negeri-negeri imperialis dan tempat penanaman kapital asing (Belanda, Inggris, Amerika, Jepang, Prancis, Italia, dan lain-lain).

Politik kolonial kaum imperialis sama sekali bukan untuk memajukan industri Indonesia, tetapi untuk memajukan industri negeri imperialis sendiri. Kaum imperialis menentang sekeras-kerasnya perkembangan industri yang luas di Indonesia, dan inilah sebabnya kerajinan [29] tangan dari rakyat tidak berkembang menjadi industri modern seperti yang terjadi di Eropa.

Perusahaan-perusahaan bangsa Indonesia sangat terbatas perkembangannya, misalnya hanya meliputi perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, batik, dan rokok kretek. Yang agak maju ialah perusahaan-perusahaan batik, di antaranya ada yang mempunyai puluhan sampai ratusan kaum buruh. Perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada importir-importir asing yang mendatangkan keperluan perusahaan batik. Perusahaan-perusahaan rokok kretek juga sangat tergantung pada importir-importir asing dan mendapat saingan berat dari industri-industri rokok Eropa yang modern. Perusahaan batik atau rokok kretek yang agak besar umumnya dimiliki oleh orang-orang Arab, Tionghoa, dan Eropa.

Industri nasional di zaman imperialis sangat dihalangi oleh politik imperialis untuk berkenalan dengan mesin-mesin modern. Hal inilah yang terutama menetapkan Indonesia dalam kedudukan yang sangat sukar dalam memenuhi kebutuhannya akan barang-barang hasil industri selama perang dunia ke-2 dan selama revolusi 1945-1948.

Indonesia mempunyai syarat yang cukup untuk menjadi negeri industri yang modern dan kuat, karena Indonesia adalah negeri yang kaya dengan pelikan seperti batu bara, besi, minyak tanah, timah, bauksit, mangan, tembakau, krom, air rasa, iodium, aspal, emas, perak, seng, uranium, dan lain-lain.

Tetapi kaum imperialis tidak menjadikan Indonesia negeri industri. Kaum imperialis mendirikan perusahaan-perusahaan pengangkutan seperti kereta api, mobil, dan kapal serta mendirikan pelabuhan-pelabuhan untuk mengangkut barang-barang dagangan yang berupa hasil-hasil bumi tropis, atau untuk memudahkan gerak-gerik militer guna mengontrol dan guna keamanan penjajahan mereka.

Mereka mendirikan industri-industri pembantu untuk keperluan-keperluan reparasi dan untuk mengerjakan bahan-bahan mentah buat ekspor. Industri yang termasuk agak maju yang didirikan oleh kaum imperialis ialah industri pertambangan (minyak, timah, bauksit, batubara, dan sebagainya), pabrik gula, pabrik remeling, pabrik teh, pabrik kopi, pabrik minyak kelapa, penggilingan beras, pabrik tembakau, dan sebagainya.

Dengan berkuasanya imperialisme di Indonesia seperti diterangkan di atas maka masyarakat kolonial Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: [30]

Dasar dari ekonomi alamiah untuk sendiri (self sufficing natural economy) sudah rusak, artinya produksi sudah ditujukan untuk pasar, tetapi eksploitasi atas kaum tani oleh kelas tuan tanah – basis sosial dari eksploitasi feodal – masih tetap berlaku. Eksploitasi ini malahan sudah berjalin dengan eksploitasi kapital asing, kapital komprador dan lintah darat yang berkedudukan menentukan dalam kehidupan sosial-ekonomi Indonesia. Indonesia yang feodal sudah menjadi Indonesia yang semi-feodal.

Kemungkinan berkembang bagi kapitalisme nasional sangat dibatasi sehingga tidak mempunyai rol [peran] yang penting di dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia. Dalam masa pendudukan Jepang borjuasi nasional dapat sedikit memerkuat diri, karena orang-orang Jepang terpaksa banyak menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu. Tetapi walaupun demikian, kelas borjuis nasional Indonesia tetap sangat lemah di dalam hal politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Dalam Indonesia modern kekuasaan raja-raja yang otokratis sudah digulingkan, tetapi ini tidak berarti bahwa kaum feodal tidak memegang rol dalam kekuasaan kolonial.

Kaum feodal, yaitu kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah, merupakan alat yang penting di tangan kaum imperialis untuk melangsungkan pengisapan ekonomi dan penindasan politik terhadap rakyat. Kekuasaan kolonial ialah diktator borjuasi besar asing dan kaum feodal dalam negeri.

Dengan diktator ini kaum borjuis asing tidak hanya menguasai sektor-sektor keuangan dan ekonomi Indonesia, tetapi mereka juga menguasai keadaan politik dan militer Indonesia.

Kaum imperialis asing juga menggunakan alat kebudayaan untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat Indonesia. Dengan alat kebudayaan ini mereka menanam rasa rendah diri di kalangan rakyat dan mendewa-dewakan orang asing dan kaki tangannya. Mereka menanamkan rasa tidak mampu pada rakyat Indonesia, dan mencekokkan bahwa segala yang baik dan pandai ada pada orang asing. Mereka tanamkan bahwa belajar ke Eropa, terutama ke negeri Belanda, berarti pangkat, prestise, dan harta benda bagi yang dapat kesempatan.

Penindasan oleh imperialisme dan feodalisme di zaman kekuasaan Belanda, dan lebih-lebih lagi di zaman kekuasaan [31] Jepang, telah membikin rakyat Indonesia, terutama kaum tani, menjadi makin lama makin melarat dan kebanyakannya menjadi bangkrut, hidup dalam keadaan lapar, asing dari perumahan yang pantas dan pakaian yang cukup.

Pasal 5 

Masyarakat Indonesia Sekarang adalah

Setengah Jajahan dan Setengah Feodal

Sebagai salah satu puncak dari pertentangan yang pokok dalam masyarakat Indonesia di zaman modern, yaitu pertentangan antara imperialisme dan nasion Indonesia, maka pecahlah dalam bulan Agustus 1945 revolusi nasional di Indonesia.

Dengan ini bangsa Indonesia mengambil kemerdekaan di dalam tangannya sendiri. Dalam revolusi ini dengan gagah rakyat Indonesia berjuang melawan musuhnya yang terpokok, yaitu imperialisme.

Tetapi musuh pokok yang lain, yaitu kelas tuan tanah feodal, yang merupakan basis sosial yang terpenting bagi kekuasaan imperialisme, tidak digulingkan. Ini berarti bahwa tenaga pokok revolusi Indonesia, yaitu kaum tani, tidak cukup dibangunkan dan ditarik ke dalam revolusi. Terpisahnya pelaksanaan dua tugas pokok, yaitu tugas revolusi nasional anti-imperialisme dan tugas revolusi demokratis anti-feodalisme adalah merupakan sebab pokok dari kegagalan revolusi Agustus.

Di dalam Program PKI antara lain dikatakan bahwa: “Tugas pembebasan nasional dan perubahan-perubahan demokratis di Indonesia belum lagi terlaksana. Hasrat rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan nasional yang penuh, untuk kebebasan-kebebasan demokratis dan untuk memperbaiki penghidupannya masih belum terpenuhi”.

Selanjutnya Program PKI mengatakan, bahwa “Persetujuan KMB yang ditandatangani oleh pemerintah Hatta dan pemerintah Belanda pada tanggal 2 November 1949 menetapkan kedudukan Indonesia sebagai setengah jajahan. Apa yang dinamakan penyerahan kedaulatan yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949, sesuai dengan persetujuan tersebut di atas, adalah bertujuan untuk menimbulkan lamunan di kalangan rakyat Indonesia bahwa Indonesia telah diberi kemerdekaan [32] yang penuh dan bahwa ‘penyerahan kedaulatan’ itu adalah ‘nyata, penuh, dan tak bersyarat’”. Keadaan yang sebenarnya ialah, bahwa dengan penandatanganan persetujuan KMB pemerintah Hatta merestorasi kekuasaan kaum imperialis Belanda atas ekonomi Indonesia.

Dengan persetujuan KMB kaum reaksioner Indonesia, yang sepenuhnya berkapitulasi kepada kaum imperialis, berusaha untuk mengekang dan menindas gerakan pembebasan nasional dan gerakan demokratis rakyat Indonesia. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya!

Atas desakan massa rakyat yang kuat dan luas, maka dalam bulan April 1956 secara sepihak (unilateral) persetujuan KMB dibatalkan dan kemudian juga “hutang” kepada negara Belanda dihapuskan secara unilateral oleh pemerintah Indonesia.

Walaupun tindakan-tindakan ini adalah tindakan-tindakan politik yang penting dan sesuai dengan semangat anti-imperialisme dari rakyat yang sedang naik, tetapi ia tidak membawa perubahan yang penting dalam masyarakat Indonesia.

Dengan dibatalkannya persetujuan KMB, rakyat Indonesia pada pokoknya sudah mendapatkan kemerdekaan politik di 80% dari wilayah negerinya, sedangkan di Irian Barat yang merupakan 20% dari wilayah Indonesia belum ada sama sekali kemerdekaan politik bagi rakyat. Irian Barat masih sepenuhnya dikuasai oleh kolonialisme Belanda.

Kemerdekaan politik yang sekarang sudah dimiliki rakyat Indonesia belumlah kemerdekaan politik yang penuh dan stabil, tetapi masih setengah-setengah dan masih terus terancam oleh kekuatan-kekuatan reaksioner. Kaum reaksioner di dalam negeri yang bekerja sama dengan kaum imperialis Belanda, Amerika, dan lain-lain berusaha keras untuk membatasi dan menghapuskan kemerdekaan politik bagi kelas buruh dan rakyat progresif lainnya.

Bukti yang sangat jelas dari masyarakat Indonesia yang setengah jajahan ialah masih belum merdekanya Indonesia di lapangan ekonomi. Kaum imperialis (kapitalis-kapitalis besar asing) masih berkuasa di Indonesia di lapangan ekonomi.

Dengan kekuasaannya di lapangan ekonomi dan dengan melewati orang-orang bayarannya kaum imperialis juga ikut menentukan jalannya politik Indonesia.

Maskapai-maskapai imperialis seperti BPM, Caltex, dan Stanvac [33] menguasai minyak tanah di negeri kita. Perusahaan-perusahaan perkebunan asing masih menguasai tanah-tanah onderneming dan sebagian yang penting dari pengangkutan di atas laut masih dikuasai oleh KPM.

Perdagangan impor, ekspor, dan perdagangan dalam negeri masih dikuasai oleh apa yang biasa disebut “Big Five” (“Lima Besar”), yaitu N.V. Internatio, Borsumy, Jacobson van den Berg, Lindeteves-Stokvis, dan Geo Wehry. Alat-alat penting dalam perdagangan seperti transpor sebagian atau seluruhnya masih dikuasai oleh kapitalis-kapitalis besar asing. Bank-bank yang besar masih menguasai ekonomi Indonesia seperti Factory, Handelsbank, Escompto, Chartered Bank, Great Eastern Bank, dan lain-lain, adalah kepunyaan kaum kolonialis Belanda dan kaum imperialis lainnya.

Politik kaum imperialis di lapangan perekonomian pada prinsipnya tidak berubah dari waktu Indonesia masih sepenuhnya jajahan. Mereka meneruskan perusahaan-perusahaan mereka yang lama dan mendirikan beberapa yang baru. Dengan demikian mereka dapat secara langsung menggunakan bahan-bahan mentah Indonesia, menggali kekayaan pelican Indonesia dan menggunakan tenaga buruh Indonesia yang murah. Secara ekonomi mereka langsung menekan industri nasional, baik kepunyaan negara maupun kepunyaan borjuasi nasional. Dengan demikian kaum kapitalis besar asing menghadapi perkembangan tenaga produktif di negeri kita. Bank dan keuangan serta barang-barang dagangan yang ada di dalam kekuasaan kaum imperialis inilah yang mempunyai kedudukan menentukan di dalam kehidupan ekonomi negeri kita dewasa ini.

Untuk menjamin keselamatan kapitalnya dan memudahkan eksploitasinya terhadap massa luas petani dan golongan-golongan rakyat lainnya, kaum imperialis menggunakan komprador-komprador dan lintah-lintah darat untuk membikin jaring-jaring eksploitasi yang menyebar dari pelabuhan-pelabuhan dagang di pantai-pantai yang ramai, dari kota-kota sampai ke desa-desa yang terbelakang jauh di pedalaman. Kelas komprador adalah kreasi kaum imperialis, pembantu-pembantu mereka dalam mengeksploitasi massa luas rakyat. Kaum komprador tidak hanya mengabdi kepentingan satu imperialis, tetapi mereka masing-masing melayani kepentingan imperialis-imperialis yang tertentu. Untuk mendapatkan kekuatan politik kaum imperialis menempatkan komprador-kompradornya di dalam partai-partai bor-[34]juis, dan partai-partai ini mereka jadikan alat pengabdi mereka yang setia. Dengan menggunakan partai-partai borjuis dan dengan berkedok untuk kepentingan “agama” dan “ideologi” mereka menggunakan badan-badan eksekutif dan legislatif serta alat-alat birokrasi pemerintahan untuk melayani kepentingan-kepentingan kaum imperialis yang mereka pertuan, untuk memecah-belah persatuan rakyat dan untuk menghalangi perkembangan kekuatan progresif yang dipimpin oleh Partai Komunis.

Di samping kekuasaan ekonomi kaum imperialis asing, di Indonesia sekarang masih berkuasa sisa-sisa feodalisme yang penting dan berat, yaitu:

(1) Hak tuan tanah besar untuk memonopoli milik tanah yang dikerjakan oleh kaum tani yang bagian terbesar tidak mungkin memiliki tanah dan karena itu terpaksa menyewa tanah dari pemilik-pemilik tanah menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh tuan tanah;

(2) Pembayaran sewa tanah dalam wujud barang kepada tuan-tuan tanah yang merupakan bagian penting dari hasil panen kaum tani dan yang mengakibatkan kemelaratan bagian terbesar kaum tani;

(3) Sistem sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan-tuan tanah, yang menempatkan kaum tani dalam kedudukan hamba;

(4) Yang terakhir ialah tumpukan hutang-hutang yang menjerat batang leher bagian terbesar kaum tani dan yang menempatkan mereka dalam kedudukan budak terhadap pemilik-pemilik tanah.

Masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme telah menyebabkan terbelakangnya teknik pertanian, melaratnya bagian terbesar dari kaum tani, susutnya pasar dalam negeri, dan tidak mungkinnya mengindustrialisasi negeri.

Penindasan dobel dari imperialisme dan feodalisme telah menyebabkan massa luas rakyat, terutama kaum tani, menjadi bangkrut, hidup dalam keadaan lapar dan setengah telanjang. Penindasan dobel, yaitu penindasan imperialisme dan feodalisme, juga telah menyebabkan sangat tertekannya perkembangan industri nasional dan kebudayaan nasional.

Dalam masyarakat Indonesia modern sekarang, pertentangan antara imperialisme dengan nasion Indonesia [35] dan pertentangan antara feodalisme dengan massa rakyat yang terbesar, terutama kaum tani, adalah pertentangan-pertentangan pokok. Sudah tentu ada pertentangan-pertentangan lain seperti pertentangan antara borjuasi dengan proletariat, pertentangan antara kelas-kelas reaksioner sendiri dan pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis yang lain. Tetapi, walau bagaimana pun, pertentangan antara imperialisme dengan nasion Indonesia adalah pertentangan yang terpokok dari semua pertentangan. Perjuangan yang meningkat dari pertentangan-pertentangan dan makin dalamnya pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal sekarang tidak bisa tidak pasti membawa perkembangan dari gerakan revolusioner. Revolusi Indonesia timbul dan mengembangkan diri atas dasar pertentangan-pertentangan yang ada dan yang makin tajam di dalam masyarakat Indonesia sekarang.

Demikianlah kesimpulan-kesimpulan yang dapat kita tarik dari karakteristik-karakteristik masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Karakteristik-karakteristik dan kesimpulan ini tidak mempunyai perbedaan hakikat daripada karakteristik-karakteristik dan kesimpulan-kesimpulan mengenai masyarakat Indonesia sebelum Revolusi Agustus 1945. Ini disebabkan karena Revolusi Agustus tidak diselesaikan dengan melaksanakan dua tugas pokok revolusi sekaligus, yaitu tugas revolusi nasional anti-imperialisme dan tugas revolusi demokratis anti-feodalisme.

Dengan belum diselesaikannya dua tugas pokok Revolusi Indonesia, maka berartilah bahwa Revolusi Agustus 1945 belum diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Sampai sekarang imperialisme masih bercokol di Indonesia, sedangkan basis sosial yang terpenting dari kekuasaan imperialisme, yaitu kelas tuan tanah, belum digulingkan. [36]

[Bersambung di hlm 56d.1. Bab II. Revolusi Indonesia [MIRI: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia]

Tinggalkan komentar