Kita Tidak Semua Mendukung

Trisakti—Jokowi-JK Dalam Ketulusan

 .

Kaum Revisionis & UU No 6/2014 Tentang Desa

Memusuhi Trisakti di dalam Trisakti itu Sendiri

Sebuah Ironi sebuah UU: 4 Pilar (alm) sebagai Dasar

.

Saran Dr Hanif Nurcholis atas Desa sebagai

“Unit Pemerintahan Palsu” UU No 6/2014:

Mahapenting Direspons!

Sebuah “Model” Atasi UUD 2002

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

 

“Kita tidak semua berkabung dalam ketulusan”  judul tulisan Profesor Toad yang Redaksi Dasar Kita bahasaindonesiakan dari “We are not all Mourning on the Inside”.

Sebuah tulisan pendek yang lebih dari sekadar obituari dilansir Toad bertepatan dengan meninggalnya  Presiden Venezuela Hugo Chaves pada 5 Maret 2013 di Ibukota Venezuela, Caracas.

Gelombang berkabung sedang menyapu seluruh Amerika Latin dan dunia atas kematian Hugo Chavez. Pemimpin Revolusi Bolivarian yang menghancurkan struktur politik kaku dan korup Venezuela, mengantarkan negeri itu ke era baru di mana ia menempatkan pertama-tama kebutuhan rakyatnya sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri dalam komunitas dunia.

Lebih dari itu, revolusi Chavez menginspirasikan gerakan-gerakan yang membawa perubahan mendalam di banyak negeri.

Meskipun kiri itu terkenal sektarian, sensasi luar biasa dari kaum kiri di seluruh dunia adalah duka cita saat berpulangnya seorang lelaki yang menggerakkan perjuangan begitu jauh ke depan.

Lamun, seperti kesehatan Chavez yang memburuk dalam beberapa bulan terakhir, menjadi jelas bahwa ada beberapa di antara kita yang akan, paling buruknya, mencampur adukkan perasaan atas kematiannya, melihat di dalamnya unsur-unsur yang pasti kesempatan bagi program politik mereka sendiri.

Pertanyaannya adalah seberapa cepat dalam periode berkabung yang mendalam ini, ular-ular  ini akan membiarkan perasaan mereka yang sebenarnya terlihat.

Ya, “ular-ular” yang dimaksud Toad adalah kaum Trotskyis Venezuela, khususnya dalam bidasan (respons) Toad atas risalah yang ditulis oleh Lopez Roberto bertajuk Skenario Kebijakan yang Mungkin (Possible Policy Scenarios). Artikel ini tampaknya berasal di situs Trotskyis Venezuela disebut laguarura.net, tetapi gaungnya dapat juga ditemukan di situs internationalviewpoint.org, yang ternyata situs resmi sekte Trotskyis kecil yang sok menyebut dirinya Internasional Keempat.” 

Memusuhi Trisakti di dalam Trisakti itu Sendiri

Kaum yang oleh Bung Karno disebut “revisionis tulen”, “pencoleng Marxisme”. Yang oleh Vince Sherman “fungsi mereka secara de facto adalah sebagai left-cover for imperialism. Kaum yang dengan tepat digambarkan Lenin “memusuhi Marxisme di dalam Marxisme itu sendiri”.

Frasa Lenin yang bagi kami diungkapkan Toad atas kaum Trotskyis Venezuela itu:

Meskipun artikel tersebut mengakui bahwa kematian Chavez akan membawa serangan oleh imperialisme, artikel itu membuat pernyataan luar  biasa bahwa hanya penajaman konflik internal PSUV [partai yang didirikan mendiang Chavez – Red DK] dapat melindungi Revolusi Venezuela. Alasannya sangat menarik dalam pengertian bahwa sebuah kecelakaan mobil yang buruk sangat menarik.

Pertama, artikel tersebut meyakinkan kita bahwa wakil presiden Venezuela dan juru bicara majelis nasional Venezuela tidaklah mampu sebagai pemimpin: “Kita bisa menyimpulkan bahwa kehadiran kepemimpinan proChavez dipimpin oleh Maduro [Presiden Venezuela sekarang, 2015 – Red DK] dan Cabello akan memburuk seiring berjalannya waktu. Penyebabnya: tidak satupun dari mereka memiliki kualitas kepemimpinan Chavez dan karena itu tidak satupun dari mereka mampu menghasilkan konsensus yang ada ketika Chavez masih berkantor.

Bagaimana evaluasi bisa demikian kita tidak diberitahu.

Analog tulisan Toad yang terwakilkan pada tajuknya itu dengan judul dan subjudul dari risalah kami ini seperti terpampang di atas, kami mencoba menelisik ala pewarta warga, salah satu kiprah kaum revisionis kita abad XXI.

Kaum revisionis kita yang berhasil menggolkan UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Januari 2014) sebelum pelantikan pemerintahan Jokowi-JK (Oktober 2014), masih di (ujung) era pemerintahan SBY-Boediono.

Pemerintahan Jokowi-JK  yang kita mafhumi bersama mengusung  jalan ideologis Trisakti-Masohi/Gotong Royong–Gotong Royong sebagai saripati/perasan terakhir Pancasila.

Dua dari unsur yang terdapat dalam konsep Soekarno Panca Azimat: [1] Naskom—[2] Pancasila—[3] Manipol/USDEK—[4] Trisakti—[5] Berdikari.

Dengan cita-cita sebuah RI yang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, Ampera: [1] NKRI—[2] Masyarakat  Adil Makmur—[3] Sebuah Dunia Baru: Hapusnya Penindasan Manusia/Nasion atas Manusia/Nasion. (Simak/klik hlm 57)

Jadinya, Jokowi-JK harus menghadapi  satu lagi “piring kotor” yang ditinggalkan SBY-Boediono, atau lebih tepatnya yang ditinggalkan oleh kaum revisionis.

Mereka yang tanpa sadar menunjukkan cirinya yang jauh-jauh hari sudah ditengarai Lenin itu dan dalam analogis kami: memusuhi Trisakti di dalam Trisakti itu sendiri.

Sebuah Ironi sebuah UU: 4 Pilar (alm) sebagai Dasar

Trisakti yang “digunakan/dipahami” kaum itu justru untuk selanjutnya “dijauhkan/dimusuhi”.

Konsep Soekarno yang kental dipengaruhi doktrin Marxian, menjadikannya sangat masuk akal mengapa ajaran-ajaran Bung Karno harus pula ikut digusur bersama Marxisme-Leninisme ketika doktrin Truman dicanangkan dan berhasil dengan Kudeta Merangkak itu.

Dan kaum revisionis ini dengan cerdik alih-alih membesarkan, menumbuh-kembangkan parpol “kiri” kondang di era Suharto, lebih strategis dan optimal dompleng di parpol tua yang dikenal sebagai pengusung pikiran-pikiran Soekarno dinahkodai anak biologis pula. Dan terbukti!

Parpol tua yang “kompatibel” bagi kaum revisionis ketika sang anak biologis justru ikut (entah sadar atau tidak) “menjauhkan” Soekarno dari  doktrin Marxian. Keukeuh – hingga saat tulisan ini disusun – mengusung 4 Pilar (almarhum oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada 3 Maret 2014) sebuah “turunan” konstitusi gadungan UUD 2002/niramendemen UUD 45. Tanpa risi “against the law”. Sebuah “sign” berandang ideologi parpol tua ini. Dan terbukti!

Frasa 4 pilar “Pancasila—UUD 1945—NKRI—Bhinneka Tunggal” tercantum  di Pasal 2 UU No 6/2014 sebagai dasar perundang-undangan tentang desa di era Jokowi-JK. Sebuah ironi sebuah Undang-Undang!

Maka bukan kejutan, setidaknya bagi kami, UU No 6/2014 “hadir pada waktu yang tepat”.  Dalam arti, apa jadinya bila UU tersebut baru akan digolkan di era pemerintahan Jokowi-JK, Jokowi sang “Soekarno abad  XXI”.  Setidaknya, kami bayangkan, “sentuhan” Jokowi – kental ikhtiar “hadirkan negara” berpola “kerja-kerja-kerja” – berpeluang buyarkan  “skenario” hasil rancangan matang nan apik left-cover for imperialism itu.

Sekali Lagi: Memusuhi Trisakti …

Tetapi sekaligus dengan frasa 4 pilar yang sudah dibatalkan oleh MK, untuk kami makin bayan (jelas) ketidaktulusan kaum revisonis dalam mendukung pemerintahan Jokowi-JK bervisi Trisakti.

Sikap kaum ini yang menonjol dalam hal “memusuhi Trisakti di dalam Trisakti itu sendiri”, “memusuhi Soekarno di dalam Soekarno itu sendiri”, makin bayan bila kita simak Pengantar buku “Ekonomi Berdikari Sukarno” (Amiruddin Al-Rahab , 2014)(selanjutnya EBS – Red DK). Terlebih karena di Pengantar EBS itu secara khusus disinggung tentang UU No 6/2014 tersebut.

Dan sebagaimana aroma yang merebak dari kaum Trostkyis Venezuela dalam memandang Maduro dan Hugo Chaves, aroma yang serupa pula setidaknya kami endus dari Pengantar EBS dalam memandang Soekarno.

Di satu pihak kita disadarkan pada suatu keprihatin:

“Kita akui saja, bahwa tidak sedikit di antara kita telah menjadi manusia yang ahistoris. Sebuah endapan anak-anak tanah air yang tak mengerti dan akhirnya tak menghargai proses. Di tengah-tengah bangsa kita, telah lahir koloni-koloni amensia sebagai sebuah wabah.

Kita memang sudah lepas dari the republic of fear (republik yang mencekam di era otoriterisme Orde Baru), namun hanya untuk terdampar ke daratan the republic of forgetting (republik yang melupakan banyak hal termasuk termasuk sejarah dirinya dan dunia).

Padahal Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, dan pendiri-pendiri bangsa lainnya telah meninggalkan kita dengan mewariskan Republik Indonesia tercinta. Mereka telah selesai menunaikan tugas dan tanggung jawabnya.

Hari ini, kita memiliki tugas untuk segera meloloskan diri dari the republic  of forgetting menuju the republic of promised motherland (republik dari ibu pertiwi yang kedatangannya telah dijanjikan oleh proklamasi dan deklarasi kemerdekaan, Pembukaan UUD 1945) yang terbangun di atas kebangkitan elemen-elemen peradaban di tanah air.

Indonesia kini sedang melacak Bung Karno-Bung Karno baru yang memiliki ideologi, visi, semangat, keberanian, pengorbanan diri, dan tanggung jawab meneruskan pekerjaan membangun elemen-elemen peradaban tanah air.

Saya memeluk teguh keyakinan bahwa nantinya kita akan menyapa mereka dengan percaya diri tanpa tersipu-sipudi alam sana, semata karena kita bisa membuktikan diri bahwa kita bukanlah pewaris yang kerdil warisan mereka yang besar.”    

Jakarta, 1 Maret 2014, Budiman Sudjatmiko

(EBS: xxv – xxvi)

Lamun di lain pihak, belum juga kaum revisonis satu ini berada di alam sana, kehadirannya sebagai “pewaris yang kerdil warisan mereka yang besar” tanpa disadari diakunya sendiri ketika merevisi Trisakti:

“Namun, bagi saya, sejatinya ketiga unsur trisakti ini sejatinya adalah unsur antara. Mereka bersumber dari satu unsur lain yang sama, yaitu berwawasan dalam pengetahuan.

Tanpa pengetahuan, mustahil ada kedaulatan politik. Tanpa pengetahuan tidak mungkin berdikari dalam ekonomi dapat terwujud. Tanpa pengetahuan, kita tidak akan pernah mencapai kepribadian dalam budaya.

Ketiga unsur antara tersebut sejatinya bertujuan untuk mencapai unsur terakhir yang sama. Tujuan dari kedaulatan, berdikari, dan kepribadian adalah untuk mencapai harmoni dengan lingkungan.

Manusia hidup berintegrasi dengan alam. Ia adalah alam yang sama bagi generasi-generasi kita selanjutnya. Kita harus hidup harmonis dengan alam demi anak cucu kita kelak.

Indonesia juga adalah negara yang berada di antara negara-negara lain. Tujuan kita berbangsa bukanlah, mendominasi atau didominasi, tetapi hidup harmonis satu sama lain.

Pada hakikatnya, Trisakti dapat diperluas menjadi Pancasakti: [1] berwawasan dalam pengetahuan, [2] berdaulat dalam politik, [3] berdikari dalam ekonomi, [4] berkepribadian dalam kebudayaan, dan [5] berharmoni dalam lingkungan.”

(Ibid: xxiv-xxv, cetak tebal dari kami–Red DK)

Sempurna dan genaplah sudah, kaum revisionis satu ini memusuhi Trisakti di dalam Trisakti itu sendiri.

Artinya, bagi kami sulit untuk tidak mengatakan bahwa Pancasakti versi kaum revisionis ini tidak lain adalah upaya untuk mengganti Panca Azimat—Ampera Soekarno.

Tidak ada urusannya, tak ada tautannya dengan argumentasi yang ia sendiri berikan: “Indonesia kini sedang melacak Bung Karno-Bung Karno baru yang memiliki ideologi, […] membangun elemen-elemen peradaban tanah air”.

Tapi sekadar mendaur ulang sikap jadul kaum revisionis yang bergantung kuat pada sumber-sumber  jauhari (cendekiawan) borjuis serta mengabaikan atau setidaknya merelatifkan (baca: hidup harmonis satu sama lain bersama) imperialisme – tahap tertinggi kapitalisme, kapitalisme yang monopolistis (Lenin).

Tetapi, sebuah NKRI dengan masyarakat yang adil makmur pada sebuah dunia baru di mana tidak ada lagi penindasan manusia atas manusia, penindasan nasion atas nasion  yang  dicanangkan Soekarno dalam konsep Ampera tersebut.  Tak lain adalah wujud: “from each according to his ability, to each according to his needs” – beyond apa yang disebut “harmoni” dan “lingkungan”.

Pencapaian Ampera yang harus dilakoni lewat jalan ideologis  Panca Azimat yang juga beyond  dalam hal ini pengandaian apa yang disebut “wawasan pengetahuan”. Lantaran doktrin Marxian yang kuat memengaruhi Bung Karno  sudah pula kita mafhumi bersama adalah “sosialisme ilmiah” (scientific socialism) itu sendiri.

Sejatinya

” ‘Imperialisme, Tahap Terakhir Kapitalisme’ adalah sebuah kontribusi kreatif sangat penting pada teori ilmu ekonomi Marxisme, senjata militan yang tajam dalam perjuangan melawan “teori-teori” terakhir dari kaum borjuis maupun reformis-sosial tentang ‘kapitalisme rakyat’, ‘masyarakat kesejahteraan’, ‘masyarakat industrial’, ‘konvergensi’, ‘masyarakat terpadu’, ‘masyarakat pascaindustrial’, ‘era teknotronik’, dst, dst.

Semua mitos ini dikhotbahkan oleh para ideolog borjuis yang didasarkan pada gagasan keliru bahwa pengembangan industri dalam revolusi teknologi dan ilmu pengetahuan adalah penting untuk secara bertahap menghilangkan distingsi radikal antara sosialisme dan kapitalisme”

(Catatan kaki 3 Amouz di dalam “Jurnal Bersatu” Edisi Mei 2008: 64).

Dan bagi kami bukan tanpa sengaja, Ampera yang – tak terpisahkan dari Panca Azimat – tak muncul di Pengantar EBS. Lantaran kaum revisionis satu ini tahu persis bakal “konflik”, “tidak kompatibel” dengan frasa 4 pilar yang diusungnya. Frasa yang sepengetahuan kami belum pernah diformulasikan Soekarno — karena untuk apa, kecuali untuk para musuh bebuyutannya …

Sehingga perlu-perlunya diciptakan sebuah cita-cita “lain” sebagai penggantinya. Dilengkapi “dasar pemikiran” dalam “Indonesia kini sedang melacak Bung Karno-Bung Karno baru yang […]” itu, maka Trisakti pun “diperluas” … Pancasakti.

Sehingga belum juga ia melangkah, sesungguhnya revisionis kita ini telah gagal lolos dari the republic of forgetting.

Padahal menyoal titik-titik kala yang sudah berlalu bertaut sebuah masyarakat ideal nun di sana, Marx dan Engels nyaris 1,7 abad lalu telah memberikan  tip di manifesto mereka yang monumental itu: “masa kini menguasai masa lalu”.

“… di dalam masyarakat borjuis masa lalu menguasai masa kini … di dalam masyarakat borjuis, kapital adalah bebas merdeka dan punya kepribadian, sedang manusia yang bekerja tidak bebas dan tidak punya kepribadian.

Dan penghapusan keadaan yang begini, oleh kaum borjuis disebut sebagai penghapusan kepribadian dan kemerdekaan!

Dan memang begitu. Memang tujuannya adalah penghapusan kepribadian borjuis, penghapusan kemerdekaan borjuis dan penghapusan kebebasan borjuis”.

(MPK, Surakarta, 17 Agustus 1995: 41)

Hal yang dalam pandangan jauh ke depan seorang Nasionalis-Marxis-nonrevisionis bernama Soekarno  the republic of promised motherland  itu telah “diindonesiakan” menjadi sebuah RI yang Ampera.

Pada dasarnya, Pancasakti (meski kami bersopan-satun: “Kita lihat saja nanti”; simak bawah) seperti halnya  frasa 4 pilar, hanyalah kesia-siaan yang lain lagi. Dalam upaya selama 50 tahun ini untuk “mencabut” doktrin Marxian dari tacit knowledge (pengetahuan tak terucap yang ada di kepala) Soekarno yang explicit knowledge (pengetahuan yang terucap berujud: dokumen, buku, dst) dari Bung Karno kini telah tersebar luas.

Bahkan buku “Revolusi Belum Selesai” Penyunting Boedi Setiyono & Bonnie Triyana (2014) menurut hemat kami adalah explicit knowledge Soekarno yang patut  dibaca setiap orang Indonesia yang peduli untuk sebuah RI yang lebih baik. Tanpa harus kepalan menjulang heroik dada membusung seraya tabaos (berteriak kencang, Melayu Ambon), seperti sudah dikutip di atas dari Pengantar EBS: “membuktikan diri bahwa kita bukanlah pewaris yang kerdil warisan mereka yang besar”.

Lantaran buku RBS ini sangat berandang bagaimana sosok seorang Nasionalis-Marxis-nonrevisionis yang menggagas Panca Azimat—Ampera, terlebih sikapnya yang sangat jelas terhadap Partai Komunis Indonesia ketika dalam periode Kudeta Merangkak itu Soekarno terus “dikentuti” – bahkan sampai hari ini, dan kaum revisionis satu ini adalah salah seorang di antaranya, maaf.  

Kaum Revisionis & UU No 6/2014 Tentang Desa: “Unit Pemerintahan Palsu”

Sehingga didahului bukti “kepahlawan perjuangan”-nya:

“Saya sendiri bersama teman-teman saat ini sedang berjuang mewujudkan berdikari melalui Komisi II DPR, yang meliputi pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara, agraria, dan Komisi Pemilihan Umum. Juga perjuangan lintas komisi untuk meloloskan Undang-Undang Desa.

Pada awalnya proposal kami diabaikan oleh pemerintah. Namun, setelah melalui serangkaian demonstrasi selama bertahun-tahun, bersama aparat dan masyarakat akhirnya perjuangan ini dapat dituntaskan.

Pemerintah mengeluarkan rancangan UU tersebut dan setelah lebih dari satu tahun melalui perdebatan panjang, akhirnya terwujudlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang ‘Desa’.“

(Ibid EBS: xxiii; cetak tebal dari kami – Red DK)

Dilanjutkan :

“Ada 3 poin penting UU Desa bagi pengembangan berdikari di Indonesia.       

Pertama, UU memungkinkan masyarakat desa untuk berpartisipasi menyusun anggaran sendiri (participatory budgeting).

Dalam musyawarah desa, masyarakat dapat membuat rencana anggaran yang sesuai dengan kebutuhannya secara demokratis dan mandiri.

Kedua, UU memberikan kuasa dan jumlah anggaran yang cukup besar kepada rakyat desa untuk melaksanakan rencana anggaran yang telah mereka buat dalam musyawarah desa, yang jumlahnya kurang lebih 3% dari APBN per tahun dan juga 10% dari dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah, setelah dikurangi DAK (Dana Alokasi Khusus).

Ketiga, UU ini memungkinkan didirikannya BUMNDes (Badan Usaha Milik Desa) untuk mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk kesejahteraan masyarakat desa.”

(Ibid: xxiii)

Maka, bagi kami, makin terang benderang sikap kaum revisionis satu ini yang paralel kaum ideolog borjuis dalam konteks frasa dikutip Amouz di atas tentang  “mitos yang dikhotbahkan oleh para ideolog borjuis yang didasarkan pada gagasan keliru bahwa pengembangan industri dalam revolusi teknologi dan ilmu pengetahuan adalah penting untuk secara bertahap menghilangkan distingsi radikal antara sosialisme dan kapitalisme”.

“Tiga poin ini memberikan kesempatan yang besar yang besar bagi rakyat desa untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kekuatan ekonomi.

Desa dapat merencanakan anggaran untuk membuat BUMDes bidang perikanan, misalnya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dapat diimplementasikan mengembangkan BUMDes tersebut.

Pada akhirnya kekuatan ekonomi desa dapat tumbuh lebih pesat dan berdikari yang selama ini kita impikan dapat terwujud”.

(Ibid: xxiv)  

Kalimat terakhir yang bagi kami menimbulkan tanda tanya besar: impian menjadi kenyataan?

Kita lihat saja nanti. Apakah UU Desa yang dalam kaca mata kaum materialis-Marxis-nonrevisionis berangkat dari ciri utama kaum revisionis “Memusuhi Marxisme di dalam Marisme itu sendiri”, “Memusuhi Trisakti/Berdikari di dalam Trisakti/Berdikari itu sendiri”, mengabaikan sosialisme ala Indonesia yang diintroduksi Soekarno lewat Panca Azimat—Ampera lantas diganti dengan mitos para ideolog borjuis tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, akankah membuat nyata mimpi lama itu?

Apakah dengan UU Desa tersebut mampu mengentaskan kemiskinan ala Republik Rakyat Tiongkok, misalnya?

RRT yang — sejak dicanangkan reformasi pasar oleh Deng Xiaoping (1978) yang secara konsep hemat kami “beda-beda tipis” atau setidaknya paralel Panca Azimat–Ampera Soekarno — hingga 2014, berarti dalam tempo “hanya” 36 tahun, telah mencapai angka spektakuler 700 juta penduduk perdesaan terangkat dari kemiskinan.

Lamun, yang pasti,  seorang akademisi kita dalam sebuah makalah penelitiannya di sebuah desa menyebutkan antara lain bahwa  pemerintahan desa yang diatur dalam UU No 6/2014 Tentang Desa ini termasuk dalam “Unit Pemerintahan Palsu”.

Jauhari yang kami maksud adalah Dr Hanif Nurcholis dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka dalam sebuah makalah hasil penelitiannya (silakan simak/klik dalam format PDF) bertajuk “Pemerintahan Desa: ‘Unit Pemerintahan Palsu’ dalam Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Kasus Desa Jabon Mekar, Parung, Kabupaten Bogor)”.

Di mana “Kesimpulan” dan “Saran” Hanif yang kami kutip utuh di bawah ini, sangat menarik, setidaknya bagi kami. Bahwa dari sudut “sistem administrasi negara” UU No 6/2014 tersebut ternyata bermasalah. Sehingga saran penyelesaiannya antara lain — ini bagian menarik lainnya dari penelitian Hanif — Desa perlu direstrukturisasi (pertama-tama) sesuai konstitusi 18 Agustus 1945 bukan konstitusi gadungan UUD 2002.

Kesimpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan, pemerintah desa yang diatur oleh UU No. 32/ 2004 Juncto UU No. 6/ 2014 adalah “pseudo government unit” di bawah administrasi pemerintah kabupaten/kota.

Ia bukan instansi vertikal karena kementerian pusat tidak menempatkan pejabat dan infra strukturnya di sini. Ia bukan local self government atau local state government karena bukan unit pemerintahan di daerah yang dibentuk pemerintah pusat berdasarkan asas desentralisasi dan/atau dekonsentrasi.

Ia juga bukan nongovernment organizations karena statusnya adalah organisasi subordinat pemerintah. 

Ia bukan community karena kewenangan, struktur organisasi, fungsi dan tugas, dan mekanisme kerjanya diatur Negara melalui peraturan perundang-undangan formal.

Ia tidak menyelenggarakan urusan community tapi menyelenggarkan urusan pemerintah atasan.

Akan tetapi, ia adalah lembaga negara karena dibentuk Negara melalui Undang-Undang dan melaksanakan urusan pemerintahan dari pemerintah atasan. Dampak dari status Desa yang hanya sebagai “unit pemerintahan palsu” adalah,

(1) lembaganya tidak mempunyai kapasitas menyelenggarakan pemerintahan dan memberikan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan minimal,

(2) rakyat desa tidak mendapatkan hak konstitusionalnya dalam pelayanan publik karena dilayani oleh “unit pemerintahan palsu”,

(3) rakyat desa cenderung diperas oleh pemerintah desa dengan dalih kewajiban adat: pembayaran uang administrasi, pembayaran uang pologoro atas penjualan tanah, pembayaran uang saksi (panyeksen), dan kerja rodi (herendiensten) yang diperhalus menjadi gotong royong mengerjakan pekerjaan umum desa; dan

(4) pada gilirannya rakyat desa tidak bisa keluar dari kemiskinannya. Lembaga desa tidak mempunyai kapastias menyelenggarakan pemerintahan dan memberikan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan minimal karena struktur organisasinya sederhana, pegawainya tidak mempunyai kualifikasi dan kompetensi karena bukan aparatur sipil negara dan tidak mempunyai infrastruktur yang mendukung. Sebagai warga negara, rakyat desa tidak mendapatkan hak konstitusional dalam pelayanan sipil dan publik dari Negara karena lembaga yang melayani adalah “unit pemerintahan palsu”.

Rakyat desa diperas oleh pemerintah desa karena untuk mendapatkan pelayanan publik harus membayar. Rakyat desa tetap miskin karena lembaga pemerintahannya tidak mampu memberdayakan rakyat. Peningkatan kesejahteraan rakyat adalah fungsi pelayanan publik oleh pemerintah formal yang terdiri atas civil and public service, development for economic growth, dan protective service.

Saran

Untuk itu, Desa perlu direstrukturisasi sesuai dengan amanat UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/2000. Untuk keperluan ini perlu dilakukan penelitian mendalam atas semua desa di Indonesia.

Setelah diteliti, Desa kemudian diklasifikasi menjadi tiga kelompok:

1) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup;

2) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah tidak hidup dalam praktik tapi belum benar-benar mati sehingga masih dapat dihidupkan kembali;

3) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati sebagaimana dikemukakan Jimly Asshiddiqqi.

Kepada Desa yang masuk kelompok pertama Pemerintah mengakui, rekognisi (Pasal 18 B ayat 2UUD 1945).

Kepada Desa yang masuk kelompok kedua Pemerintah melakukan revitalisasi sehingga adat istiadat yang sudah mati bisa dihidupkan kembali dan akhirnya mengakui, rekognisi (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945).

Adapun kepada desa yang masuk kelompok ketiga Pemerintah membuat dua kebijakan:

1) desa yang sudah urban dimasukkan ke dalam sistem administrasi pemerintah kabupaten/kota dan

2) desa yang masih berciri rural digabung lalu dijadikan daerah otonom kecil berbasiskan adat sebagai daerah otonom asimetris (Pasal 18 dan Penjelasannya UUD 1945 asli, Pasal 18 B ayat 1 UUD 1945, dan TAP MPR No. IV/2000 IV/2000). Menjadikan Desa sebagai daerah otonom asimetris sebagaimana rekomendasi MPR tersebut merupakan langkah yang benar dan strategis dalam penataan pemerintahan daerah modern ke depan karena memberikan kepastian hukum atas status Desa dan merupakan realiasasi gagasan founding fathers yang visioner tersebut.

Konsekuensinya, Pasal 1-95 UU No. 6/ 2014 yang mengatur Desa Orde Baru bentukan regim Soeharto dicabut karena bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

Adapun Pasal 96-118 UU No. 6/ 2014 yang mengatur Desa Adat tetap dipertahankan karena merupakan ketentuan organik dari Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

Kemudian, Desa bentukan regim Soeharto dijadikan daerah otonom kecil asimetris berbasis adat sebagaimana dimanatkan oleh Pasal 18 dan Penjelasannya (UUD 1945 asli), Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 (Pasca Amandemen), dan TAP MPR No. IV/ 2000.

(Jurnal Politica Vol. 5, No. 1, Juni 2014, P3DI Setjen DPR RI: 16-17)

Saran Dr Hanif Nurcholis atas Desa sebagai Unit “Pemerintahan Palsu” UU No 6/2014: Mahapenting Direspons! Sebuah “Model” Atasi UUD 2002

.

Saran Dr Hanif Nurcholis atas UU No 6/2014: Mahapenting Direspons Demi Menjamin Desa Sejahtera Sesuai Jalan Ideologis Trisakti-Gotong Royong/Konstitusi 18 Agustus 1945 Bukan Mengacu Konstitusi Gadungan UUD 2002.

.

Saran Dr Hanif Nurcholis atas UU No 6/2014: Sebuah “Model” Atasi UUD 2002!

.

Saran Dr Hanif Nurcholis sekaligus bukti bahwa UU No 6/2014 bukan saja secara ideologis diametral ideologi yang diusung pemerintahan Jokowi-JK, ideologi seturut konstitusi awal yang ditetapkan para founding father kita pada 18 Agustus 1945. Tetapi juga dari segi “teknis” Sistem Adminstrasi Negara RI, Pemerintahan Desa versi UU Desa ini adalah “Unit Pemerintahan Palsu” yang menjiplak struktur organisasi Ku era penjajahan Jepang.

Struktur organisasi Ku yang — kami pahami masih dari Hanif — dilanjutkan rezim Suharto-SBY (UU No 5/1979-UU No 32/2004) dengan menghapus UU No 19/1965 Tentang Desapraja yang belum sempat diimplementasikan keburu Soekarno di-Kudeta-Merangkak.

Kenyataan struktur organisasi Ku yang dimunculkan Hanif lewat penelitian di Desa Jabon Mekar ini, bagi kami sekaligus juga memermalukan kaum revisionis kita ini yang kondang sebagai aktivis “kiri” antirezim Suharto.

Karena begitu ia berkesempatan “mempraksiskan sepotong kekuasaan” dalam menata Desa, justru melanjutkan kebijakan Suharto notabene lanjutan kebijakan penjajahan Jepang atas Desa. Sekaligus antipemerintahan Soekarno yang — memang diemohi kaum left-cover for imperialism lantaran santer ingin tegakkan “demokrasi terpimpin” atawa “struktur demokrasi vertikal” versi John & Doris Naisbitt (“China’s Megatrends”, 2010) — dalam proses relatif panjang berhasil menerbitkan UU tentang Desapraja persis di ujung kekuasaan Bung Karno. UU Desapraja yang menghapus regulasi Desa era penjajahan Belanda IGO (Inlandsche Gemeente Ordonanntie) 1906 dan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitingewesten) 1938.

Bukti “memberatkan” satu lagi bagi revisionis kita ini dalam ciri menonjol lainnya kaum ini: ketumpulan “sense” mereka terhadap penjajahan (baca: esensi perjuangan kelas). Lalu berdalih “harmonisasi” atau setidaknya “kritis” (baca: konstruktif) terhadap imperialisme. Sebuah “jaminan” bagi para pejuang “prodemokrasi” untuk mengukuhkan diri sebagai “ahli Marxisme” (tak ada urusan dengan “Tesis XI-Feurbach”)  dari perguruan-perguruan tinggi bergengsi negeri-negeri borjuis maju. Siap, begitu kembali ke tanah air, menyelinap di pusat-pusat kekuasaan, melapangkan jalan agar ibu pertiwi sesuai citra kaum agresor dan pembohong di Irak-Libia dan kini Suriah.

Dan di lain pihak, saran Dr Hanif Nurcholis hemat kami juga pada hakikatnya sebagai sebuah “model” atasi konstitusi gadungan UUD 2002. Regulasi, perundang-undangan sebagai produk UUD 2002 yang pasal-pasalnya tidak sesuai greget Tritunggal (Pembukaan–Batang Tubuh–Penjelasan) UUD 1945 dihapus, tapi yang sesuai tetap dipertahankan.

.

ooOoo

.

Terkait (terbarui):

.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (PP No 47 Tahun 2015)

Tinggalkan komentar