KULIAH UMUM

MAHASISWA PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRAIS PUBLIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

26 Februari 2016

 

RESTRUKTURISASI PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN UUD 1945  

Prof. Dr. H. Hanif Nurcholis, M. Si

.

Profesor/ Guru Besar Bidang Ilmu Adminstrasi Pemerintahan Daerah

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Terbuka

.

 .

Isu tentang pemerintahan daerah di negara kita terus menerus menjadi perdebatan teoritik, normatif, dan praktik sejak digulirkannya kebijakan ini pada zaman Hindia Belanda di bawah Decentralizatie Wet 1903 sampai sekarang. Pokok perdebatan adalah tentang desain pemerintahan daerah dalam negara kesatuan yang terdiri atas susunan-dalam dan susunan-luar, sentralisasi dan desentralisasi, luas-sempitnya otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, perimbangan keuangan, model kepegawaian, cara pengisian eksekutif dan dewan lokal, manajemen pemerintahan daerah, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sebelum amendemen UUD 1945 pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18. Menurut Pasal 18 daerah otonom terdiri atas daerah otonom besar dan daerah otonom kecil. Berdasarkan norma ini, UU No. 22/ 1948 mengatur susunan-luarnya terdiri atas Provinsi sebagai daerah otonom besar, Kabupaten (Kota Besar) sebagai daerah otonom sedang, dan Desa (Kota Kecil), Negeri, Marga, dan sebagainya sebagai daerah otonom kecil. Adapun susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah, Dewan Eksekutief Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di bawah UU No. 1/ 1957 susunan-luarnya terdiri atas daerah swatantra tingkat satu, daerah swatantra tingkat dua, daerah swatantra tingkat tiga sedangkan susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah, Dewan Eksekutief Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pengisian kepala daerah dan anggota DPRD melalui pemilihan. Di bawah UU No. 18/ 1965 susunan-luarnya terdiri atas daerah otonom tingkat satu, daerah otonom tingkat dua, dan daerah otonom tingkat tiga sedangkan susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pengisian kepala daerah dan anggota DPRD melalui pengangkatan.

Sampai dengan periode ini susunan-luar pemerintah daerah hanya terdiri atas pemerintahan berasas desentralisasi yaitu daerah otonom. Pemerintahan berasas dekonsentrasi warisan Hindia Belanda yang terdiri atas provinsi, karesidenan, wilayah jabatan controleur, dan district/ kawedanan dilikuidasi. Adapun onderdistrict/ kecamatan dipertahankan karena akan dipersiapkan menjadi daerah otonom tingkat tiga. “Pemerintahan” masyarakat desa model inlandsche gemeente di bawah IGO 1906 dan IGOB 1938 dikonversi menjadi daerah otonom tingkat tiga. Namun demikian, dalam hal corak pemerintahan dan pengisian kepala daerah dan anggota dewan lokalnya terdapat perbedaan mendasar antara pengaturan di bawah UU 22/ 1948 Juncto UU No. 1/ 1957 dengan pengaturan di bawah UU No. 18/ 1965. Perbedaan tersebut adalah, 1) eksekutif daerah yang semula kolegial menjadi tunggal, 2) pengisian kepala daerah dan dewan lokal yang semula dipilih menjadi diangkat oleh Presiden, dan 3) corak pemerintahannya yang semula desentralisitik menjadi sentralistik.

Di bawah UU No. 5/ 1974 susunan-luarnya terdiri atas dua bentuk pemerintahan. Bentuk pertama adalah pemerintahan berasas desentralisasi (daerah otonom) dan bentuk kedua pemerintahan berasas dekonsentrasi (wilayah administrasi). Dua bentuk pemerintahan ini wilayahnya sama, sebangun, dan berimpit. Pemerintahan berasas desentralisasi terdiri atas daerah otonom tingkat satu dan daerah otonom tingkat dua sedangkan pemerintahan berasas dekonsentrasi terdiri atas wilayah administrasi provinsi, wilayah administrasi kabupaten/ kotamadya, wilayah administrasi kota administratif, wilayah administrasi kecamatan, dan wilayah administrasi kelurahan. Di samping itu, di bawah kecamatan dibentuk unit pemerintahan semu yang bernama Pemerintah Desa berdasarkan UU No. 5/ 1979. Adapun susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

UU No. 5/ 1974 ini mempunyai perbedaan mendasar dengan tiga UU sebelumnya. Pertama, tiga UU sebelumnya hanya membentuk pemerintahan berasas desentralisasi yang terdiri atas tiga tingkatdan menghapus pemerintahan berasas dekonsentrasi. Akan tetapi, UU No. 5/ 1974 membentuk daerah otonom hanya dua tingkat dan membentuk kembali pemerintahan dekonsentrasi warisan Hindia Belanda bahkan menambah dua bentuk lagi yaitu kota administratif dan kelurahan. Kedua, pengisian anggota DPRD mirip dengan UU No. 18/ 1965 yaitu sebagian dipilih dan sebagian diangkat dari ABRI dan golongan fungsional. Ketiga, pengisian kepala daerah sama dengan UU No. 18/ 1965 yaitu diangkat oleh Presiden. Keempat, cara penyerahan urusan pemerintahan dari Pusat ke daerah otonom dengan cara dicicil dan bertingkat: dari Pusat ke Provinsi dan dari Provinsi ke Kabupaten/Kotamadya. Kelima, corak pemerintahannya lebih sentralistik daripada pemerintahan daerah di bawah UU No. 18/ 1965. Di samping itu, struktur birokrasi kabupaten/kotamadya disamakan yaitu terdiri atas bupati/walikotamadya, camat, dan lurah/ kepala desa, meniru model Korps Pemerintahan Pribumi (Nederlandse Binnenlandse Bestuur) zaman Belanda. Padahal pada zaman Belanda hanya pemerintahan kabupaten yang memiliki kawedanan, kecamatan, dan desa sedangkan pemerintahan kotapraja (stadsgemeente) tidak mengenalnya.

Di bawah UU No. 22/ 1999 susunan-luarnya terdiri atas provinsi dan kabupaten/ kota sebagai daerah otonom dan susunan-dalamnya terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping itu, sama dengan UU No. 5/ 1974,di bawah kabupaten dibentuk unit pemerintahan semu (Pemeritah Desa). UU No. 22/ 1999 mempunyai perbedaan prinsipiil dengan UU No. 18/ 1965 Juncto UU No. 5/ 1974. UU ini menghapus kembali semua bentuk pemerintahan berasas dekonsentrasi. Wilayah administrasi provinsi, kabupaten/ kotamadya, kota administratif, kecamatan, dan kelurahan dihapus. Pengisian anggota DPRD dilakukan dengan cara sebagian dipilih oleh rakyat dan sebagian diangkat dari ABRI. Pengisian kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD. Di samping itu, bobot otonomi daerah diletakkan di daerah kabupaten/ kota. Daerah otonom provinsi hanya mengatur dan mengurus urusan pemerintahan lintas kabupaten/ kota dan lintas provinsi. Cara penyerahan urusan pemerintahan dengan model general competence atau open end arrangement yaitu dengan membuat pernyataan umum yang sebelumnya dengan model ultra vires doctrine, dirinci satu per satu. Corak pemerintahannya sangat desentralistik, berkebalikan dengan pemerintahan di bawah UU No. 18/ 1965 Juncto UU No. 5/ 1974.

UU No. 32/ 2004 susunan-luarnya terdiri atas provinsi dan kabupaten/ kota dan susunan-dalamnya terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping itu, sama dengan UU No. 5/ 1974 Juncto UU No. 22/ 1999 di bawah kabupaten/ kota dibentuk unit pemerintahan semu (Pemeritah Desa). UU ini merubah secara mendasar konsepsi UU No. 22/ 1999. Pertama, pengisan kepala daerah dan anggota DPRD dilakukan dengan cara dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, Gubernur di samping sebagai kepala daerah otonom juga secara ex officio dijadikan wakil pemerintah pusat. Ketiga, cara penyerahan urusan pemerintahan tidak lagi dilakukan dengan model general competence atau open end arrangement tapi dengan model ultra vires doctrine yang digabung dengan model concurrent antarpemerintahan.

Di bawah UU terakhir yaitu UU No. 23/ 2014 susunan-luarnya terdiri atas dua bentuk yaitu pertama pemerintahan berasas desentralisasi dan kedua pemerintahan berasas dekonsentrasi. Pemerintahan berasas desentralisasi adalah daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota sedangkan pemerintahan berasas dekonsentrasi adalah wilayah administrasi povinsi dan wilayah administrasi kabupaten/kota. Jadi, pada satu daerah otonom sekaligus juga sebagai wilayah adminstrasi (dual model). Susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping itu, sebagaimana UU sebelumnya di bawah kabupaten/ kota dibentuk unit pemerintahan semu (Pemerintah Desa) dan pemerintahan Desa Adat berdasarkan UU No. 6/ 2014. Pengisian kepala daerah dan anggoa DPRD dipilih langsung. Cara penyerahan urusan pemerintahannya sama dengan UU No. 32/ 2004 yaitu menggunakan ultra vires yang digabung dengan model concurrent antarpemerintahan. UU ini menghadirkan kembali pemerintahan berasas dekonsentrasi pada provinsi dan kabupaten/ kota yang sudah dihapus pada UU sebelumnya.

Dilihat dari sisi normatif, tampak bahwa struktur pemerintah daerah baik susunan-luar maupun susunan-dalamnya terus mengalami perubahan sejak kemerdekaan sampai sekarang. Begitu juga corak pemerintahannya. Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein (1995) dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya menjelaskan bahwa terjadi lima putaran dari sentralisasi demi efisiensi administrasi ke desentralisasi demi demokratisasi masyarakat lokal dan sebaliknya. Pilihan atas susunan-luar dan susunan-dalam serta sentralisasi-desentralisasi berdampak pada luas-sempitnya otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, perimbangan keuangan, model kepegawaian, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Susunan-luar yang terlalu panjang menciptakan hierarki birokrasi yang bertele-tele sedangkan sentralisasi dan penghalusannya dekonsentrasi menciptakan otonomi yang sempit yang membuat sesak masyarakat daerah, hilangnya kemandirian daerah, minimnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Model penyerahan urusan pemerintahan juga berganti-ganti: dari ultra vires secara cicilan, ke general competence, ke ultra vires digabung dengan concurrent. Penyerahan urusan pemerintahan secara cicilan pada masa Orde Baru berakibat tiadanya urusan pemerintahan yang signifikan pada kabupaten/kotamadya, penyerahan secara umum membuat Pusat dan Provinsi tergagap-gagap, dan penyerahan dengan ultra vires digabung dengan concurrent menciptakan tumpang tindih kewenangan antarpemerintahan.

Menurut UUD 1945 Pasal 18 sebelum amandemen, wilayah NKRI dibagi habis dalam daerah-daerah otonom besar dan daerah-daerah otonom kecil. Bagir Manan (1994) menjelaskan bahwa susunan-luar pemerintahan daerah menurut UUD 1945 terdiri atas daerah besar dan daerah kecil sedangkan susunan-dalamnya terdiri atas kepala daerah dan dewan perwakilan lokal. Semua daerah adalah daerah otonom yang berasas desentralisasi/ otonomi dan tugas pembantuan (medebewind), bukan wilayah administrasi yang berasas dekonsentrasi. Berdasarkan norma dan teori ini maka pada 1963 pemerintahan wilayah administrasi warisan Hindia Belanda berasaskan dekonsentrasi dihapus yaitu karesidenan dan kawedanan. Pemerintahan wilayah administrasi kecamatan tidak dihapus karena dipersiapkan sebagai daerah otonom tingkat tiga. Di samping itu, “pemerintahan”masyarakat desa di Jawa dan Madura warisan Kerajaan Mataram Islam yang diatur dalam IGO 1906 dan “pemerintahan”masyarakat desa berdasarkan hukum adat di luar Jawa-Madura yang diatur dalam IGOB 1938 dikonversi menjadi daerah otonom berbasis adat (Penjelasan angka II Pasal 18 UUD 1945). Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya pemerintahan berasas dekonsentrasi ini timbul-tenggelam seiring dengan pergantian rezim. Begitu juga “pemerintahan” masyarakat desa. Pada awal kemerdekaan sampai dengan rezim Orde Lama pemerintahan berasas dekonsentrasi dan “Pemerintahan” masyarakat desa dihapus tapi di bawah rezim Orde Baru dibentuk lagi. Pada awal Reformasi pemerintahan berasas dekonsentrasi dihapus lagi tapi lima belas tahun kemudian dihidupkan lagi (UU No. 23/ 2014). Adapun “pemerintahan” masyarakat desa yang merupakan revitalisasi ku zaman penjajahan Jepang makin dimantapkan dengan UU No. 6/2014.

Pembentukan pemerintahan berasas dekonsentrasi (wilayah administrasi/ local state-government) yang berimpit dengan pemerintahan berasas desentralisasi (daerah otonom/local self-government) pada semua satuan pemerintahan akan menciptakan tumpang tindih antara kewenangan otonomi dengan kewenangan sentralisasi dan persaingan antarkeduanya. Praktik tata kelola pemerintahan pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa pemerintahan berasas dekonsentrasi lebih dominan sehingga mematikan pemerintahan berasas desentralisasi. Otonomi daerah pada masa ini mati. Hal ini terjadi karena dekonsentrasi adalah penghalusan sentralisasi. Pemerintahan berasas dekonsentrasi mempunyai jalur langsung ke Pusat secara hierarki. Karena mempunyai jalur langsung ke pusat kekuasaan maka ia mempunyai kewenangan, dana, dan sumber daya lain yang lebih besar ketimbang pemerintahan berasas desentralisasi. Sebaliknya, pemerintahan berasas desentralisasi jalurnya bukan ke Pusat tapi ke rakyat di bawah pengawasan Pusat menurut UU. Eksekutif dan dewan lokal tidak langsung di bawah hierarki pejabat pusat. Hubungan kerja antara eksekutif dan dewan lokal dengan pemerintah pusat adalah hubungan antarbadan hukum berdasarkan UU, bukan hubungan antara pejabat atasan dan bawahan. Bentuk pemerintahan ini pasti kalah dengan bentuk pemerintahan berasas dekonsentrasi karena sumber kewenangan, dana, dan sumber daya lain sangat tergantung kebijakan Pusat dalam hal desentralisasi urusan pemerintahan dan desentralisasi keuangan.

Revitalisasi “pemerintahan”masyarakat desa zaman Jepang (ku) menjadi pemerintah desa memelihara “pemerintahan”masyarakat desa model pemerintahan pribumi (Nederlandse binnenlandse bestuur)  zaman Belanda (Surianingrat,1981). Model pemerintahan ini puncaknya di Bupati lalu turun ke wedana kemudian turun lagi ke camat, dan berakhir di kepala desa. Wedana dan camat adalah pejabat pemerintah tapi kepala desa hanya kepala komunitas petani yang dikooptasi Negara. Kepala komunitas petani dan  wilayah kerjanya dijadikan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap atau jural community). Pemerintah desa yang diatur berdasarkan UU No. 5/ 1979 Juncto UU No. 22/ 1999 Juncto UU No. 32/ 2004 Juncto UU No. 6/ 2014 berasal dari model pemerintahan zaman Belanda dan Jepang ini.

Para sosiolog, antropolog, dan ahli pemerintahan konservatif berteori bahwa pemerintahan desa sebagai rechtsgemeenschap adalah ciptaan orang desa sendiri. Akan tetapi, menurut Jan Breman (1982) dan Heesterman (1986:192) pemerintahan desa adalah ciptaan pemerintah kolonial. Rechtsgemeenschap dibuat oleh pemerintah kolonial dengan cara menegarakan komunitas petani dan wilayah tinggalnya. Ketua-ketua komunitas petani dijadikan kaki tangan pemerintah untuk menyukseskan kebijakan land rente pada zaman Raffles tahun 1814 dan kebijakan cultuurstelsel, tanam paksa tahun 1830-1870. Ketua-ketua komunitas tidak dijadikan pejabat pemerintah, government official, dan wilayah tinggalnya tidak  dijadikan wilayah pemerintahan. Dengan cara ini Pemerintah bisa menguasai masyarakat desa dan tanahnya tanpa harus mengeluarkan biaya. Kepala-kepala komunitas petani tidak dibayar. Mereka hanya diberi imbalan berupa hak garap atas tanah bekas tanah lungguh, apanage, warisan Kerajaan Mataram Islam dan diberi hak memerintah penduduk melakukan kerja rodi (herrendients) dan menarik upeti untuk kepentingan dirinya dan pejabat lebih atas (Suroyo, 2000; Kartohadikoesoemo, 1984).

Ketika Jepang masuk model pemerintahan ini diteruskan tapi struktur organisasinya dirubah dan ditambah dengan korporasi-korporasi mikro yaitu azachokai, tonarigumi, bujingkai, seinendan, heiho, dan keibodan (Aziz, 1955; Kurasawa, 1993).Pemerintahan” masyarakat desa hasil perubahan penjajah Jepang inilah yang dijiplak oleh UU No. 5/ 1979 dan peraturan pelaksanaanya dengan merubah nomenklaturnya: ku menjadi pemerintah desa, kuchoo menjadi kepala desa, juru tulis menjadi sekretaris desa, dan mandor menjadi kepala urusan. Begitu juga korporasi-korporasi mikronya: azachokai menjadi RW, tonarigumi menjadi RT, bujingkai menjadi PKK, seinendan menjadi Karang Taruna, heiho menjadi Linmas, dan keibodan menjadi Hanra. Model pemerintahan ini makin dimantapkan di bawah UU No. 6/ 2014 dengan menambah korporasi mikro baru yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Kader Pembangunan Desa (KPD).

Sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang model pemerintahan ini tata kelolanya mengandalkan mobilisasi dan kontrol (Kurasawa, 1993) karena struktur organisasinya tidak dilengkapi dengan dinas-dinas pelayanan publik. Camat atas nama Bupati/ Wali Kota memobilisasi dan mengontrol kepala desa kemudian kepala desa memobilisasi dan mengontrol pembantunya dan korporasi-korporasi tingkat desa: BPD, RW, RT, PKK,Karang Taruna, Linmas, Hanra, LPM, P3A, Posyandu, dan KPD. Akibatnya sejak zaman Belanda sampai sekarang terjadi kevakuman pelayanan negara pada kelompok paling miskin (masyarakat desa) di negara kita. Rakyat desa yang miskin ini tidak mendapat pelayanan negara. Mereka tidak dilayani oleh pejabat pemerintah (official government) dan aparatur sipil negara (public servant). Mereka hanya dilayani oleh kepala komunitas petani dan para pembantunya dan korporasi-korporasi tingkat desa yang tidak kompeten dan profesional. Kepala komunitas petani dan para pembantunya tersebut tidak mempunyai kapasitas memberikan pelayanan publik karena tidak mempunyai kualifikasi dan kompetensi bidang pemerintahan yang teknokratis dan birokratis. Korporasi-korporasi mikro dengan struktur organisasi bersahaja dan pengurusnya dari relawan desa dengan pendidikan rendah juga tidak mempunyai kompetensi memberikan pelayanan publik karena korporasi-korporasi ini bukan dinas pelayanan publik yang dibentuk untuk tujuan ini.

Dampak dari semua ini adalah pelayanan negara di Desa sangat memprihatinkan. Warga desa tidak mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan final di Kantor Desa karena Kantor Desa hanya kantor perantara surat saja. Mereka yang tinggal di pelosok-pelosok negeri jauh bahkan sangat jauh dari ibu kota kecamatan dan kabupaten harus mendatangi Kantor Kecamatan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota. Mereka juga tidak mendapatkan pelayanan irigasi pertanian modern, air minum, air kebutuhan sehari-hari yang bersih, perizinan, transportasi publik perdesaan, kesehatan, pendidikan, sarana produksi pertanian, modal usaha pertanian, administrasi pertanahan, pasar hasil pertanian modern, dan jaminan ketenteraman-ketertiban-keamanan dari Pemerintah Desa karena Pemerintah Desa tidak mempunyai dinas-dinas pelayanan publik bidang ini. Sementara Pemerintah Kabupaten/ Kota tidak menjangkau Desa karena rentang kendalinya terlalu jauh dan menganggap Desa sebagai pemerintahan otonom asli yang mengatur dan mengurus urusan rumah tangga aslinya sendiri.

UUD 1945 pascaamendemen, Pasal 18, 18A, 18B mengatur pemerintahan daerah sebagai berikut. Pertama, pemerintahan daerah terdiri atas dua jenis: 1) pemerintahan daerah otonom reguler dan 2) pemerintahan daerah otonom asimetris. Pemerintahan daerah otonom reguler terdiri atas daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/ kota sedangkan pemerintahan daerah asimetris terdiri atas pemerintahan daerah otonom khusus dan pemerintahan daerah otonom istimewa. Kedua, pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Asas otonomi merujuk kepada konsep politik yang berarti kebebasan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus urusaan pemerintahannya secara otonom, tanpa campur tangan langsung dari Pemerintah Pusat. Konsep ini dalam ilmu administrasi publik sama dengan desentralisasi teritorial, bukan desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) atau desentralisasi fungsional (Koesoemahatmadja, 1979:14-15; Surianingrat, 1981a: 8). Ketiga, daerah otonom provinsi dan kabupaten/ kota mempunyai DPRD yang dipilih melalui Pemilu dan kepala daerah yang dipilih secara demokratis. Keempat, hubungan antara Daerah dan Pusat dan antara provinsi dan kabupaten/ kota diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kelima, hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras. Keenam, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup, perkembangannya sesuai dengan masyarakat beradab dan penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI.

Butir pertama menegaskan bahwa pemerintahan daerah terdiri atas dua jenis: 1) reguler dan 2) asimetris. Pemerintahan daerah reguler dijelaskan nomenklaturnya yaitu provinsi dan kabupaten/ kota sedangkan pemerintahan daerah asimetris tidak dijelaskan. Saat ini daerah otonom asimetris adalah tingkat provinsi: DKI Jakarta, Daerah Aceh, Daerah Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keempat daerah otonom asimetris ini susunan-dalamnya berbeda-beda.Pada tingkat provinsi susunan-dalam DKI adalah Gubernur dan DPRD sedangkan pada tingkat kabupaten/ kota, DKI tidak mempunyai daerah otonom. Pada tingkat provinsi, susunan-dalam Daerah Aceh adalah Gubernur dan DPRD ditambah lembaga penasihat Wali Nanggroe dan Majelis Permusyawaratan Ulama sedangkan pada tingkat kabupaten/ kota susunan-dalamnya mengikuti tingkat provinsi. Di samping itu, juga dibentuk lembaga judikatif syariah yaitu Mahkamah Syariah baik di Provinsi maupun di Kabupaten/ Kota. Pada tingkat provinsi, susunan-dalam Daerah Papua adalah Gubernur dan DPRD ditambah lembaga penasihat yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) sedangkan pada tingkat kabupaten/ kota susunan-dalamnya adalah Bupati/ Wali Kota dan DPRD. Pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta susunan-dalamnya adalah Gubernur yang secara otomatis adalah Sultan Yogyakarta dan DPRD sedangkan pada tingkat kabupaten/ kota susunan-dalamnya sama dengan susunan-dalam kabupaten/kota reguler. Tampak bahwa susunan-dalam antara satu daerah otonom asimetris dengan daerah otonom asimetris lainnya tidak sama. DKI tidak memiliki daerah otonom di bawah provinsi. Daerah Aceh memiliki susunan-dalam yang lengkap yang mencerminkan kekhususannya. Susunan-dalamnya baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota sama. Papua memiliki susunan-dalam yang berbeda antara tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten/ kota. Adapun Daerah Istimewa Yogyakarta susunan-dalamnya sama baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/ kota reguler hanya dibedakan pada pengisian gubernur. Gubernur harus berasal dari Sultan Yogyakarta sedangkan bupati/ wali kota dipilih rakyat. Saya mengusulkan semua daerah otonom asimetris baik mulai provinsi dan kabupaten/ kota segaris sesuai dengan kekhususan dan keistimewaan daerah tersebut. Dengan demikian, sistem pemerintahan daerah otonom asimetris tersebut utuh.

Butir pertama dan kedua menegaskan bahwa susunan-luar pemerintahan daerah terdiri atas provinsi dan kabupaten/ kota dan masing-masing berbentuk pemerintahan berasas desentralisasi. Berdasarkan norma ini maka susunan pemerintahan daerah hanya dua lapis (tiers) yaitu daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/ kota, masing-masing daerah otonom, bukan wilayah adminstrasi. Secara empirik daerah otonom provinsi adalah daerah otonom besar sebagai daerah otonom penyambung antara Pusat dan unit dasar dan daerah otonom kabupaten/ kota adalah daerah otonom kecil sebagai unit dasar. Dengan demikian, satuan pemerintahan paling bawah adalah kabupaten/ kota sebagai daerah otonom. Berdasarkan ketentuan ini maka penetapan provinsi dan kabupaten/ kota sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 23/ 2014 perlu diluruskan. Menetapkan provinsi dan kabupaten/ kota sebagai wilayah administrasi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2). Pasal ini dengan tegas menetapkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota berasas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan teori politik dan local government asas otonomi menunjuk kepada pemerintahan lokal berasas desentralisasi yang melahirkan daerah otonom (local self-government), bukan pemerintahan berasas dekonsentrasi yang melahirkan pemerintahan wilayah administrasi (local state-government).

Mungkin pembuat UU No. 23/ 2014 gundah atas fenomena beberapa kepala daerah tidak mau tunduk kepada gubernur karena ada pendapat di antara mereka bahwa gubernur adalah sesama kepala daerah otonom yang sama-sama dipilih rakyat. Bahkan Bupati/ Wali Kota langsung mengakses ke Pusat, tanpa melalui Gubernur. Untuk mengatasi masalah ini pembuat UU menjadikan gubernur sebagai kepala wilayah administrasi merangkap kepala daerah otonom. Dengan menjadikan provinsi sebagai wilayah administrasi maka secara ex officio gubernur adalah pejabat pusat di wilayah administrasi tersebut. Cara berpikir praktis dan jalan pintas ini secara teoritik tidak benar.

Hume IV (1991) menjelaskan bahwa pengawasan Pusat kepada Daerah dapat dilakukan dengan dua cara: 1) hierarki dan 2) fungsional. Pengawasan hierarki adalah pola pengawasan yang spektrumnya mulai dari antarorganisasi sampai dengan interorganisasi. Pengawasan fungsional adalah pola pengawasan yang spektrumnya mulai apakah pengawasan dilakukan oleh kementerian fungsional/ sektoral atau dilakukan oleh kementerian umum/ kementerian dalam negeri. Mengingat pemerintahan daerah di negara kita menganut asas otonomi dan tugas pembantuan maka model pengawasan yang tepat adalah model fungsional sebagaimana diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan India (Smith, 1985). Dengan model pengawasan fungsional ini maka daerah otonom tidak perlu pada saat yang sama dijadikan wilayah adminsitrasi sebagaimana di Perancis.

Dalam model tersebut Pusat melakukan pengawasan kepada Daerah melalui kementerian dalam negeri dan kementerian fungsional/ sektoral. Di bawah koordinasi kementerian dalam negeri di Pusat, kementerian sektoral mengangkat pejabat-pejabatnya yang ditempatkan pada wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. Demi efisiensi wilayah jabatan kepala instansi vertikal tersebut lintas provinsi dan lintas kabupaten/ kota. Artinya satu pejabat instansi vertikal bisa menjangkau lebih satu provinsi dan/ atau kabupaten/ kota. Kosekuensinya instansi vertikal yang sudah dilikuidasi berdasarkan UU No. 22/ 1999 Juncto UU No. 32/ 2004 dibentuk lagi. Akan tetapi, fungsinya bukan sebagai pelaksana urusan sektoral kementerian yang bersangkutan tapi sebagai pengawas dan pembina pemerintahan daerah dan fasilitasi kepada dinas-dinas pelayanan publik daerah baik di provinsi maupun di kabupaten/ kota.

Dengan demikian, maka provinsi dan kabupaten/ kota tidak perlu dijadikan daerah otonom sekaligus wilayah administrasi. Sesuai Konstitusi 1945 provinsi dan kabupaten/ kota hanya suatu daerah otonom. Gubernur dan bupati/ wali kota hanya mempunyai fungsi tunggal yaitu sebagai kepala daerah otonom. Menteri Dalam Negeri menjadi koordinator kementerian sektoral yang melakukan pengawasan fungsional kepada daerah otonom provinsi maupun kabupaten/ kota. Praktiknya, kepala-kepala instansi vertikal yang melakukan pengawasan fungsional kepada Daerah atas nama pemerintah pusat. Dewan Menteri di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan preventif dan represif kepada daerah otonom. Bentuknya mulai dari teguran sampai dengan mengambil alih penyelenggaraan pemerintahan daerah jika Pemerintah Daerah dinilai melanggar hukum.

Butir pertama dan kedua juga mengatur bahwa susunan-luar daerah otonom terdiri atas dua lapis (tiers): provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan ketetapan ini, maka organ-organ negara di bawah kabupaten/ kota yang mempunyai wilayah pemerintahan seperti kecamatan dan kelurahan/ desa, bahkan RW dan RT tidak perlu dibentuk. Praktik pemerintahan daerah di semua negara, di bawah eksekutif lokal tidak terdapat satuan organisasi yang memiliki wilayah pemerintahan seperti ini. Yang ada hanyalah dinas-dinas pelayanan publik. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar organ-organ negara di bawah bupati/wali kota yang memiliki wilayah pemerintahan seperti kecamatan dan kelurahan/ desa dihapus karena bertentangan dengan norma Konstitusi dan teori local governement. Begitu juga RT dan RW yang secara juridis hanyalah organisasi kemasyarakatan tapi diberi tugas pemerintahan sehingga wilayahnya menjadi semacam wilayah pemerintahan. Bahkan di DKI, RT dan RW dimasukkan ke dalam struktur  pemerintahan. Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa kecamatan adalah bekas pemerintahan berasas dekonsentrasi zaman Hindia Belanda yang sudah dihapus tapi dihidupkan kembali oleh Orde Baru sedangkan Kelurahan adalah bekas pemerintahan berasas dekonsentrasi bentukan rezim Orde Baru. Adapun RT dan RW adalah korporasi mikro di desa bentukan penjajah Jepang yang dipelihara sampai sekarang dan diberi tugas mengurus urusan pemerintahan bidang administrasi kependudukan, perizinan, dan kontrol ketertiban dan keamanan masyarakat.

Sebagai gantinya di bawah kabupaten/ kota dibentuk dinas-dinas pelayanan publik yang langsung memberikan pelayanan kepada rakyat. Kantor dinas pelayanan publik ini memberikan pelayanan publik final di tempat. Kantor pemerintah yang hanya sebagai kantor perantara keperluan rakyat seperti kantor kelurahan/ desa dan kecamatan sekarang tidak perlu ada lagi. Kantor kecamatan bisa dirubah menjadi kantor dinas pelayanan umum yang mengurus layanan kependudukan, perizinan, dan administrasi pertanahan. Di luarnya adalah dinas-dinas pelayanan publik sektoral: pendidikan, kesehatan, infrastruktur perdesaan/ perkotaan, dan lain-lain.

Kantor dinas pelayanan publik yang dibentuk berbeda antara di kabupaten dan di kota. Kabupaten adalah daerah otonom perdesaan sedangkan kota adalah daerah otonom perkotaan. Perdesaan cirinya adalah sebagian besarnya penduduknya bermata pencaharian petani; penduduknya tinggal di desa-desa yang saling berjauhan; wilayahnya berupa sawah, kebun, pantai, hutan; letaknya sebagian besar jauh dari kota; dan umumnya penduduknya sulit mengakses layanan pendidikan, kesehatan, pasar, dan modal. Perkotaan cirinya adalah sebagian besar penduduknya bermata pencaharian karyawan/ pegawai, pedagang, pejabat pemerintah/ perusahaan swasta, wartawan, lawyer, perantara, dan penjual jasa; penduduknya tinggal dalam satu kawasan perkotaan dengan permukiman padat; wilayahnya berupa kawasan permukiman, industri, pertokoan, pendidikan, kesehatan, kantor pemerintah, kantor perusahaan swasta, pasar, taman kota, jalan-jalan perkotaan, dan pedagang kecil dan menengah; dan penduduknya mudah mengakses layanan pendidikan, kesehatan, pasar, dan modal. Seharusnya UU memberikan pengertian yang jelas tentang kabupaten dan kota ini. Akan tetapi, semua UU tentang pemerintahan daerah tidak membuat definisi kabupaten dan kota. Akibatnya, SOTK kabupaten/ kota sama padahal bidang dan sektor-sektor yang diurus berbeda.

Perlu diketahui bahwa daerah otonom kota yang kita kenal sekarang awalnya adalah gemeente (1905) lalu berubah menjadi stadsgemeente (1922) yaitu wilayah pemerintahan berciri perkotaan gaya Eropa. Ia dipimpin oleh burgemeester (wali kota) dengan mitra stadsgemeenteraad (dewan kota). Di bawah burgemeester tidak ada district-hoofd/ wedana dan ondersistrict-hoofd/ camat apalagi RW dan RT. Memang ada mesteerwijk/ kepala kampung tapi fungsi dan tugasnya tidak sama dengan RT. Di bawah burgemeester (wali kota) adalah dinas-dinas pelayanan publik yang mengurus  jalan raya, penerangan jalan, lalu lintas, perumahan, bangunan, taman kota, pemeliharaan drainase dan gorong-gorong, persampahan, penyediaan air minum, kehewanan, rumah potong hewan, pasar, pemeliharaan kesehatan, lapangan olah raga, kolam renang, sekolah dan perpustakaan, pemadam kebakaran, dan pemeliharaan orang miskin (Surianingrat, 1981b).

Adapun kabupaten awalnya adalah kadipaten, daerah vazal Kerajaan Mataram Islam yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memerintah bangsa Indonesia. Kabupaten (regentschap) adalah model pemerintahan pribumi (binnenlandse bestuur) yang berbeda dengan stadsgemeenteyang model Eropa. Kabupaten dipimpin oleh bupati (regent) didampingi oleh dewan kabupaten (regentschapsraad). Di bawah kabupaten dibentuk pemerintah wilayah district/ kawedanan dan di bawah kawedanan dibentuk pemerintah wilayah onderdistrict/ kecamatan (Day, 1904). Pemerintah kabupaten berhenti di kecamatan. Di luar pemerintah kabupaten terdapat “pemerintahan” masyarakat desa (inlandsche gemeente) di bawah kontrol bupati dan dewan kabupaten. “Pemerintahan” masyarakat desa (inlandsche gemeente) ini bukan bagian dari struktur pemerintah kabupaten. Ia berada di luarnya tapi wilayahnya dijadikan “wilayah pemerintahan” di bawah kabupaten. Ia disuruh mengurus “rumah tangganya sendiri” yang faktanya stelsel materiilnya tidak ada. Meskipun demikian, kabupaten memberikan pelayanan publik kepada rakyat desa dengan membentuk kantor dinas  pelayanan publik di kawedanan dan/ atau kecamatan yaitu kantor pendidikan rakyat, kantor kesehatan rakyat, kantor pengairan, dan kantor kadaster (adminstrasi pertahanan).

Jadi, historisnya daerah yang mempunyai kawedanan dan kecamatan sebagai wilayah pemerintahan adalah kabupaten sebagai alat untuk mengontrol “pemerintahan” masyarakat desa (inlandsche gemeente) dan memberikan pelayanan kepada rakyat desa. Kota (stadsgemeente) tidak mempunyai satuan pemerintahan demikian. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk pemerintahan daerah modern, maka pada daerah otonom kabupaten/ kota tidak perlu dibentuk organ yang mempunyai wilayah pemerintahan seperti kecamatan dan kelurahan/ desa. Di bawah kabupaten/ kota langsung dibentuk kantor-kantor dinas pelayanan publik baik umum maupun sektoral. Akan tetapi, dinas pelayanan yang dibentuk tersebut harus berbeda antara kabupaten/ kota. Di kabupaten dinas yang dibentuk adalah dinas pelayanan bidang pendidikan rakyat, kesehatan rakyat, kependudukan, perizinan, irigasi pertanian, kehewanan, adminstrasi pertahanan, permodalan pertanian, pasar hasil bumi dan hewan, air minum perdesaan, tansportasi publik perdesaan, pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar, dan infrastruktur perdesaan. Adapun di kota dinas yang dibentuk adalah dinas pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, kependudukan, perizinan, jalan raya, penerangan jalan, lalu lintas, transportasi publik perkotaan, perumahan, bangunan, taman kota, pemeliharaan drainase dan gorong-gorong, persampahan, penyediaan air minum dan jaringanya, penyediaan gas dan jaringannya, rumah potong hewan, pasar, pemeliharaan kesehatan, lapangan olah raga, kolam renang, perpustakaan, pemadam kebakaran, dan pemeliharaan orang miskin dan anak-anak terlantar.

Butir kelima mengatur bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras. Akan tetapi, rumus adil dan serlaras ini belum dijabarkan dalam tataran normatif maupun praktik. Pendapatan daerah dari pajak dan retribusi daerah sangat kecil karena hanya bersumber dari pajak dan retribusi kecil. Adapun pajak besar diambil oleh Provinsi dan Pusat. Dana transfer dari Pusat habis untuk membayar pegawai. Akibatnya kabupaten/ kota tidak bisa membiayai investasi dan pelayanan publik. Akhirnya pemerintah kabupaten/ kota tidak bisa menyediakan pelayanan publik yang memuaskan rakyat dan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi rakyat.

Butir keenam mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup, perkembangannya sesuai dengan masyarakat beradab dan penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI. Berdasarkan norma ini dibuatlah UU No. 6/ 2014 tentang Desa. Dilihat dari ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan teori local government, UU ini keliru karena tidak mengatur kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana amanat Pasal 18 B ayat (2). Yang diatur UU ini adalah pemerintah desa bentukan rezim Orde Baru dan Desa Adat. Kesatuan masyarakat hukum adat bukan Pemerintah Desa buatan Orde Baru dan bukan Desa Adat.

Pembuat UU confuse memahami desa sebagai wilayah dan masyarakat desa sebagai komunitas dengan aspek sosial-budayanya. Di desa terdapat konsep-konsep yang terkait dengan masyarakat desa dan sosial-budayanya: upacara/ ritual adat desa, tradisi/ kebiasasan desa, komunitas adat, masyarakat adat, dan kesatuan masyarakat hukum adat. Masyarakat Desa Tengger Jawa Timur yang mengadakan upacara pada tengah bulan Kasada adalah contoh upacara/ ritual adat.  Masyarakat Dayak yang memanjangkan telinganya adalah contoh tradisi/ kebiasaan masyarakat suku Dayak. Masyarakat Samin di Kabupaten Blora Jawa Tengah yang berperilaku berdasarkan nilai-nilai tertentu yang diambil dari ajaran nenek moyangnya dan membentuk komunitas tersendiri adalah contoh komunitas adat. Masyarakat Kenekes atau Baduy di Kabupaten Lebak, Banten yang sangat menaati hukum adat dan perangkatnya adalah contoh masyarakat adat.

Masyarakat adat telah didefinisikan oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, Jimly Asshiddiqie Mahkamah Konstitusi, Konvensi ILO No. 169/ 1989, dan Deklarasi PBB Tahun 2007 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yaitu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri berikut: 1) memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling); 2) tinggal dalam satu wilayah dengan batas-batas yang jelas; 3) memiliki budaya dan gaya hidup yang khas; 4) memiliki pranata pemerintahan adat sebagai instrumen melaksanakan hukum adatnya; 5) memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 6) menjadikan hukum adat sebagai acuan perilaku dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budayanya. Lalu kesatuan masyarakat hukum adat itu yang mana? Kesatuan masyarakat hukum adat adalah masyarakat adat yang diakui oleh Negara melalui peraturan perundang-undangan. UU No. 6/ 2014 bukan mengatur obyek material kesatuan masyarakat hukum adat ini tapi mengatur dua obyek material: 1) bekas Pemerintah Desa bentukan rezim Soeharto dan 2) masyarakat desa yang melaksanakan ritual adat, tradisi/ kebiasaan, dan komunitas adat.

Kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) bukan Pemerintah Desa bentukan rezim Soeharto, bukan masyarakat desa yang melaksanakan ritual adat atau melaksanakan tradisi/ kebiasaan desa, bukan komunitas adat, dan bukan masyarakat adat tapi masyarakat adat yang diakui oleh Negara sebagai masyarakat hukum (rechtgemeenschap/ jural community).Contoh konkretnya adalah masyarakat Kanekes atau Baduy. Masyarakat Kanekes atau Baduy adalah kesatuan masyarakat hukum adat karena ia adalah masyarakat yang memenuhi syarat sebagai masyarakat adat dan diakui oleh Negara sebagai kesatuan masyarakat hukum (rechtgemeenschap) melalui Peraturan Daerah Jawa Barat. Contoh kesatuan masyarakat hukum adat di Amerika Serikat adalah masyarakat Cherooke yang diakui dan dihormati oleh pemerintah federal/ pusat (Asshiddiqie, 2015).

Dengan demikian, obyek material yang diatur oleh UU No. 6/ 2014 misleading, melenceng. Kemelencengan ini terjadi karena dua hal. Pertama, Pembuat UU tidak memahami secara tepat konsep kesatuan masyarakat hukum adat. Pembuat UU No. 6/ 2014 mencampuradukkan konsep ritual adat, tradisi atau kebiasaan desa, komunitas adat, masyarakat adat, dan kesatuan masyarakat hukum adat sehingga semua masyarakat desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Kedua, Pembuat UUsesat pikir, fallacy dalam menyimpulkan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 karena membangun dasar pemikiran sebagai berikut:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Penjelasan UU No. 6/ 2014)

Kesimpulan yang berbunyi  “Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” atas keberadaan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya” adalah sesat pikir (fallacy) karena terlepas dari konteks juridis dan historis Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Pertama, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 bukan norma konstitusi sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum pembuatan UU organik. Yang bisa dijadikan landasan hukum pembuatan UU organik adalah diktumnya: Pasal 18. Kedua, Penjelasan Pasal 18 adalah upaya menguraikan lebih operasional atas diktum Pasal 18 yang bersumber dari materi pembahasan Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI Mei-Agustus 1945 tentang pemerintahan daerah, bukan tentang “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen” (Sekretariat Negara, 1995; Kusuma, 2009). Ketiga, Penjelasan tersebut berisi arahan (bukan pengaturan) yaitu dalam rangka membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil (diktum Pasal 18) UU yang dibuat harus memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Dua daerah yang memiliki susunan asli ini dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa/ asimetris. Keempat, jika kesimpulan tersebut benar maka “Zelfbesturende landschappen” seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Deli, Kesultanan Goa, Kesultanan Banjarmasin, dan semua “Zelfbesturende landschappen” lainnya zaman Belanda keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya tanpa dikonversi menjadi daerah otonom.

Kesimpulan yang benar atas Pasal 18 dan Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Premis mayor : Pembagian daerah (otonom) di Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 18 UUD 1945 sebelum amendemen).

Premis minor : Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturendelandschappen” dan “volksgemeenschappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli (Penjelasan Pasal 18 angka II).

Kesimpulan: Oleh sebab itu, “zelfbesturendelandschappen” dan “volksgemeenschappen” dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli yang ditetapkan dengan undang-undang.

 

Menurut Gerald S. Maryanov (1958: 120-130) kebijakan terhadap volksgemeenschappen atau inlandsche gemeentee buatan kolonial Belanda dan ku buatan Jepang sudah selesai di bawah UUD 1945 Pasal 18 beserta Penjelasannya dan UU No. 22/ 1948. Dalam norma ini desa, negeri, marga, dan sebagainya zaman kolonial dikonversi menjadi daerah otonom asimetris modern.  Secara normatif volksgemeenschappen atau inlandsche gemeentee dan ku dihapus oleh UU No. 19/ 1965. Orde Baru melalui UU No. 5/ 1979 menghapus praktik “pemerintahan” masyarakat desa ala volksgemeenschappen atau inlandsche gemeenteebaik di Jawa-Maduradi Luar Jawa-Madura (Kato, 1989).

Hanya saja, Orde Baru tidak menjadikan bekas volksgemeenschappen atau inlandsche gemeenteesebagai daerah otonom asimetris sebagaimana amanat Pasal 18 dan Penjelasannya tapi menjadikannya sebagai korporasi dengan menjiplak pemerintahan ku zaman Jepang. Kebijakan Orde Baru ini terkait dengan kebijakan dan politik dan ekonomi yang digencarkan. Lembaga Desa lama dinilai tidak bisa menjadi instrumen program pembangunan dari Pusat. Sementara jika merubah Desa menjadi daerah otonom asimetris sebagaimana amanat Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya tata kelolanya bertele-tele (Sujamto,1991) tidak sesuai dengan gaya pemerintahan militer.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilihlah model korporasi negara. Desa dijadikan korporasi berdasarkan paham korporasi negara, state corporatism (Schmitter, 1974).Dalam model state corporatisme, Negara membuat organisasi tunggal untuk mewadahi kepentingan masyarakat lalu memobilisasi dan mengontrolnya demi menyukseskan kebijakan politik dan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Andrew McIntyre (1994) Indonesia menerapkan model state corporatism dalam politik dan ekonominya dengan membentuk Golongan Karya (Golkar) untuk pengendalian politik, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk pengendalian buruh, Korps Pegawai Negeri RI (Korpri) untuk pengendalian PNS, dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk pengendalian pengusaha. Dengan analog ini, Negara juga membentuk Pemerintahan Desa untuk pengendalian masyarakat desa dan sumber alam di dalamnya. Hal ini sesuai dengan gaya militeristik pemerintahan Soeharto. Model state corporatism sebagian besar dipakai oleh negara-negara totaliter dan militer.

Dalam menjadikan Desa sebagai korporasi ini, Orde Baru menjiplak korporasi zaman kolonial Jepang yaitu ku. Orde Baru hanya merubah nomenklaturnya: ku menjadi pemerintahan desa, kuchoo menjadi kepala desa, juru tulis menjadi sekretatis desa, dan mandor menjadi kepala urusan. Begitu juga korporasi-korporasi mikro tingkat desa yang dibentuk: azachokai menjadi RW, tonarigumi menjadi RT, seindendan menjadi Karang Taruna, heiho menjadi Hanra/ Linmas, keibodan menjadi Kamra, dan bujingkai  menjadi PKK (Kurasawa, 1993; Nurcholis, 2015). Hal ini tak terlepas dari Presiden Soeharto. Sebagai bekas komandan PETA, organisasi semi militer zaman penjajahan Jepang, ia sedikit banyak mewarisi nilai facisme pemerintahan militer Jepang (Jenkins, 2010).

Menjadikan Desa sebagai korporasi berdasarkan state corporatisme tersebut mendapat kritik tajam dari dua arah. Pertama, dari pembela konsepsi Pasal 18 dan Penjelasannya. Kedua, dari antropolog, sosiolog, ahi hukum tata negara, ahli pemerintahan, dan ahli administrasi publik konservatif. Pembela konsepsi Pasal 18 dan Penjelasannya menolak pemerintahan desa model state corporatism tersebut karena tiga alasan: 1) bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya; 2) hanya meneruskan “pemerintahan” masyarakat desa model binnenlandse bestuur zaman Belanda tapi dengan STOK model Jepang yang sudah sangat ketinggalan zaman; dan 3) menciptakan pemerintahan semu/ palsu pada tingkat terbawah sehingga tidak kompeten memberikan pelayanan publik kepada masyarakat desa. Kelompok ini mengusulkan agar Desa dijadikan pemerintahan formal apakah sebagai daerah otonom asimetris atau sebagai agen daerah otonom.

Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua menolak desa model korporasi negara tersebut karena pemerintahan model ini menyingkirkan komunitas adat dan mematikan pemerintahan adat. Dalam imajinasi kelompok kedua ini, desa yang ideal dan harmonis adalah desa zaman Belanda di bawah IGO 1906 dan IGOB 1938 yang dilukiskan sebagai loh jinawi karta tenterem karta raharjo (desa yang makmur, penduduknya hidup tenteram dan sejahtera). Konservatisme dan romantisme masa lalu menjadi rujukan utama. Oleh karena itu, mereka mendesak agar Desa dikembalikan sebagaimana volksgemeenschappen atau inlandsche gemeenteezaman Belanda. Kelompok ini membangun teori otonomi asli, self governing community, dan subsidiarity atas Desa (Eko, dkk., 2014). Anehnya kelompok ini dalam membangun teorinya menurunkan dari Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Padahal sebagaimana dijelaskan di depan Penjelasan Pasal 18 tersebut berisi arahan agar volksgemeenschappen atau inlandsche gemeenteezaman Belanda dikonversi menjadi daerah otonom asimetris.

Kelompok kedua tersebut sangat gencar membangun opini publik. Mereka bertemu dengan lembaga donor luar negeri yang berkolaborasi dengan NGO lokal dalam melakukan advokasi kepada komunitas adat yang termarjinalkan oleh kebijakan Negara yang memberi konsesi jutaan hektar hutan kepada perusahaan-perusahaan swasta di Sumatera, Kalimatan, dan Papua. David Henley dan Jamie Davidson (2010) mengemukakan bahwa mereka menyampaikan tuntutan, Negara harus mengakui hak-hak “masyarakat adat”. Bahkan pascakejatuhan Soeharto tahun 1998 tuntutannya menjadi bola liar karena tidak hanya menyasar kepada Negara dan perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengambil alih tanah ulayat tapi juga kepada pendatang dari Madura. Pengusiran dan pembantaian masyarakat Madura oleh suku Dayak digerakkan oleh mereka atas nama pengambilan kembali hak-hak tradisional atas tanah ulayat “masyarakat adat”yang “diambil” oleh masyarakat pendatang dari Madura. Isu perjuangan pengembalian hak-hak adat hanya sekedar tunggangan demi mengejar atau mempertahankan kekuasaan dan kemakmuran pribadi (Henley dan Davidson, 2010:6).

Kelompok ini mendesak Pemerintah membuat undang-undang yang mengakui hak asal usul “masyarakat adat” dengan memelintir Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Volksgemeenschappen yang menurut Pasal 18 dan Penjelasannya harus dikonversi menjadi daerah otonom asimetris dipelintir menjadi wajib dipertahankan keberadaanya dan kelangsungan hidupnya. Anehnya Pemerintah dan DPR mengaminiya (Penjelasan UU No. 6/ 2014). UU No. 6/ 2014 diklaim sebagai produk dan prestasi kelompok ini. Saya menilai Pemerintah dan DPR terjebak oleh wacana, retorika, dan konsepsi yang dikembangkan kelompok ini. Padahal semuanya tidak memiliki dasar teori dan norma yang benar. Konsepsi yang dikemukkakan lebih politis dan ekonomis daripada akademis dan normatif.

Oleh karena itu, saya mengusulkan untuk menata ulang pemerintahan desa dan kesatuan masyarakat hukum adat. Sekali lagi, UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amendemen tidak mengatur Desa. UUD 1945 sesudah amendemen hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan norma Konstitusi ini maka yang wajib diatur dengan UU adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Obyek material kesatuan masyarakat hukum adat bukan bekas Volksgemeenschappen atau Inlandsche Gemeenteezaman penjajahan Belanda, bekas Ku zaman penjajahan Jepang, dan bekas Pemerintah Desa zaman rezim Orde Baru tapi kelompok masyarakat desa yang indikatornya dikemukakan oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, Jimly Asshiddiqie Mahkamah Konstitusi, Konvensi ILO No. 169/ 1989, dan  PBB Tahun 2007. Masyarakat ini diakui dan dihormati oleh Negara dengan catatan, 1) masih hidup; 2) perkembangannya sesuai dengan perkembangan masyarakat beradab; dan 3) cara menyelenggarakan sistem kemasyarakatannya sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI. Diakui dan dihormati bukan diatur sebagiamana Desa Adat yang diatur dalam UU No. 6/ 2014 Pasal 95-111 tapi Negara membuat peraturan perundang-undangan yang menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat adat x diakui sebagai badan hukum dan ia berhak mengurus sistem kemasyarakatanya berdasarkan hukum adat yang mencakup sistem pemerintahan adat, sistem sosial-ekonomi-budaya, sistem kepemilikan tanah, hukum keluarga, sistem perkawinan, bahasa, kepercayaan, dan gaya hidup. Negara tidak mengatur lembaganya, struktur organisasi pemerintahannya, cara pengisian kepala adat dan pembantunya, dan cara menyelenggarakan pemerintahan adatnya. Negara hanya melakukan pembinaan dan fasilitasi. Cara inilah yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Australia, Filipina, Spanyol, dan lain-lain.

Lalu bagaimana nasib Pemerintah Desa bentukan regim Orde Baru? Perlu diketahui bahwa masyarakat desa setelah diatur dengan UU No. 5/ 1979 selama 20 tahun lalu diteruskan dengan UU No. 22/1999 Juncto UU No. 32/ 2004 selama 15 tahun telah berkembang menjadi masyarakat urban dan semi urban. Menurut data BPS 2014 masyarakat yang tinggal di Desa tinggal 48%. Berdasarkan trennya, diperkirakan pada 2045 masyarakat yang tinggal di desa tinggal 10%. Di pulau Jawa sudah tidak ditemukan lagi masyarakat adat kecuali masyarakat Baduy di Lebak, Banten. Komunitas adat hanya ditemukan di Blora Jawa Tengah (Samin) dan di Banyuwangi Jawa Timur (Osing). Perkembangan masyarakat desa di luar Jawa juga tak jauh berbeda dengan di Jawa. Semuanya sudah berubah menjadi masyarakat urban dan semi urban. Oleh karena itu, yang diperlukan masyarakat desa adalah pemerintahan desa modern tapi tetap berakar pada sosial-budayanya, bukan revitalisasi pemerintahan tradisional masa lalumodel volksgemeenschapen atau inlandsche gemeente zaman Belanda dengan teori otonomi aslinya.

Dalam rangka membentuk pemerintahan desa modern yang menyejahterakan rakyat maka pemerintahan desa perlu ditata ulang. Pertama, Desa yang sudah urban di sekitar daerah otonom kota dan daerah otonom kabupaten dimasukkan ke dalamnya. Akan tetapi, Desa-Desa ini tidak dijadikan kelurahan model sekarang karena kelurahan dan kecamatan juga saya usulkan untuk dilikuidasi lalu dijadikan kantor-kantor pelayanan publik. Kedua, Desa yang semi urban dan masyarakatnya masih melakukan ritual adat, adat/ kebiasaan, dan sebagian masyarakatnya adalah komunitas adat dijadikan daerah otonom asimetris sebagaimana gagasan Yamin dan Soepomo (Kusumo, 2009) yang menjadi diktum Pasal 18 dan Penjelasannya UUD 1945. Bisakah Pasal 18 yang sudah diamandemen dijadikan payung hukumnya? Menurut saya bisa karena Pasal 18 dan Penjelasannya diwadahi dalam Pasal 18 B ayat (1) yaitu daerah istimewa. Dengan demikian, pemerintahan daerah asimetris menjadi tiga bentuk: 1) daerah otonom pvovinsi khusus; 2) daerah otonom provinsi istimewa; dan 3) daerah otonom desa istimewa. Keistimewaan desa bukan seperti bekas kesultanan dan kerajaan pribumi (zelfbestuurende landschappen) yang sultan/ rajanya dijadikan kepala daerah tapi semata-mata karena memiliki susunan asli saja.

Kedudukan Desa asimetris tidak sejajar dengan provinsi asimetris tapi sejajar dengan kabupaten/ kota reguler. Besarnya pemerintahan desa istimewa tidak sama dengan pemerintahan desa sekarang tapi beberapa desa sekarang digabung menjadi satu (kira-kira satu kecamatan) sehingga menjadi satu wilayah pemerintahan yang memenuhi syarat. Dengan demikian, jumlahnya tidak lagi fantastis seperti sekarang yaitu 73.000-an dan akan terus membengkak menjadi ratusan ribu karena mengharapkan Dana Desa. Desa model baru ini sama dengan Bangay di Filipina dan Panchayat di India. Bangay dan Panchayat adalah daerah otonom asimetris modern yang berbasis sosial-budaya setempat.

Dengan terbentuknya daerah otonom desa istimewa ini maka susunan pemerintahan menjadi datar, hanya dua lapis yaitu Provinsi dan Kabupaten/ Kota/ Desa. Jumlah Desa model baru ini tak lebih dari 8.000-an. Jika digabung dengan Kabupaten/ Kota paling banyak 9.000-an. Tidak seperti tingkatan pemerintahan sekarang yang sangat panjang yaitu Provinsi – Kabupaten/Kota – Kecamatan – Desa/Kelurahan dengan jumlah desa/kelurahan lebih dari 73.000. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan menjadi sederhana kerena hierarkinya pendek. Di samping itu, dengan struktur pemerintahan yang sesuai dengan teori local government dan norma Konstitusi ini maka tidak terjadi rebutan kewenangan antara Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Desa dan PDT dan tidak ada lagi Kementerian Pusat mengurus langsung 73.000-an Desa seperti sekarang. Menteri tidak perlu mengurus daerah otonom desa. Tugasnya hanya membuat norma, standar, prosedur, kriteria, dan melalukan pengawasan dan pembinaan.

Negara kita adalah negara bangsa yang diatur dalam Konstitusi negara modern. Desain pemerintahan daerah menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan daerah modern bergaya perkotaan dengan tetap mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat (indigenous and tribal peoples) sebagaimana termuat dalam The United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples, 2007. Berdasarkan uraian yang telah saya kemukakan di depan maka melalui mimbar akademik atau ex chatedra yang terhormat ini saya menyampaikan ringkasan pemikiran saya tentang penataan ulang pemerintahan daerah dan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan UUD 1945.

Pertama, pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Oleh karena itu, satuan pemerintahan yang dibentuk adalah daerah otonom, bukan wilayah adminstrasi atau campuran antara daerah otonom dan wilayah adminstrasi. Susunan-luar pemerintahan daerah terdiri atas daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota/desa. Provinsi adalah daerah otonom besar sedangan kabupaten/ kota/ desa adalah daerah otonom kecil. Kabupaten adalah daerah otonom perdesaan, kota adalah daerah otonom perkotaan, dan desa adalah daerah otonom yang mengadopsi struktur pemerintahan desa asli berdasarkan adat dan sosial-budaya setempat baik di Jawa-Madura maupun luar Jawa-Madura.

Hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota/ desa adalah tiers (pelapisan) yaitu pelapisan antara daerah otonom besar dengan daerah otonom kecil, bukan hubungan hierarki. Satuan pemerintahan yang mempunyai hubungan hierarki adalah satuan pemerintahan berasas dekonsentrasi. Dalam teori local government setiap badan publik yang dibentuk dengan UU sebagai daerah otonom, tidak menjadi subordinat daerah otonom lainnya. Hubungan antara daerah otonom besar dengan daerah otonom kecil adalah hubungan sesama badan publik otonom berdasarkan UU.

Kedua, susunan-dalam daerah otonom terdiri atas kepala daerah (KDH) dan dewan lokal  (council atau raad). Saat ini nomenklatur dewan lokal adalah DPRD. Saya mengusulkan untuk diganti menjadi Dewan Provinsi untuk dewan lokal provinsi, Dewan Kabupaten untuk dewan lokal kabupaten, Dewan Kota untuk dewan lokal kabupaten, dan Dewan Desa untuk dewan lokal desa. Penggunaan DPRD untuk dewan lokal tidak tepat karena bisa dipahami secara salah. Dalam negara kesatuan tidak terdapat lembaga legislatif atau parlemen di daerah otonom. Hanya negara federal yang mempunyainya yaitu di negara bagiannya. Nomenklatur DPRD menciptakan konotasi bahwa di daerah otonom terdapat lembaga legislatif/ parlemen (DPR) lokal. Padahal DPRD bukan DPR (badan legislatif/ parlemen) lokal. Dalam teori local government dewan lokal (council atau raad) adalah organ daerah otonom, bukan badan legislatif/ parlemen lokal. Dewan lokal bersama KDH menyelenggarakan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan. Dewan lokal tidak melaksanakan urusan legislasi dari DPR (badan legislatif/ parlemen). Konsekuensinya, pengisian dewan lokal tidak mengikuti rezim DPR (lembaga legislatif). Pengisian dewan lokal seharusnya mengikuti rezim eksekutif lokal (KDH).

Untuk daerah otonom khusus dan istimewa tingkat provinsi susunan-dalamnya dibentuk sesuai dengan kekhususan atau keistimewaanya. Lebih lanjut struktur organisasinya dibentuk dalam satu sistem yang utuh mulai provinsi, kabupaten/ kota/ desa sebagai instrumen melaksanakan kekhususan atau keistimewaannya.

Ketiga, model penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom menggunakan model ultra vires saja, tidak perlu dibarengi dengan model concurrent agar tidak menciptakan tumpang tindih kewenangan antarpemerintahan. Urusan pemerintahan yang locus dan catchment area-nya lintas kabupaten/ kota/ desa diserahkan kepada provinsi sedangkan urusan pemerintahan yang locus dan catchment area-nya di kabupaten/ kota/desa diserahkan kepada kabupaten/ kota/ desa. Pemerintah pusat dan provinsi menggunakan instrumen tugas pembantuan (medebewind) kepada provinsi dan kabupaten/ kota/ desa untuk melengkapi pelaksanaan otonomi daerah.

Keempat, satuan pemerintahan kaki atau dasar adalah kabupaten/ kota/ desa sebagai daerah otonom. Desa tidak lagi ditempatkan di luar sistem pemerintahan daerah otonom sebagai rechtsgemeenschap (masyarakat hukum) sebagaimana zaman Belanda sampai sekarang tapi dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan daerah otonom modern, sejajar dengan daerah otonom kabupaten/ kota.

Kelima, di dalam daerah otonom kabupaten/ kota/ desa tidak perlu dibentuk satuan-satuan organisasi yang memiliki wilayah pemerintahan yaitu kecamatan, kelurahan/ desa, RW, dan RT yang meniru model binnenlandse bestuur zaman Belanda yang diperpanjang. Pakailah model pemerintahan daerah modern sebagaimana dilaksanakan oleh negara-negara lain di luar Indonesia.  Dalam kabupaten/ kota/ desa hanya dibentuk dinas-dinas pelayanan publik baik umum maupun sektoral. Kantor-kantor dinas pelayanan publik ini memberikan pelayanan final di tempat kepada rakyat yang membutuhkan pelayanan. Kantor-kantor pemerintah yang hanya berfungsi penampung dan perantara pelayanan yaitu RT, RW, Kantor Kelurahan/ Kantor Desa, dan Kantor Kecamatan dihapus. Dengan demikian, rakyat tidak perlu mendatangi banyak kantor-kantor perantara untuk mendapatkan pelayanan sipil dan publik dari Negara.

Keenam, untuk mengatur dan melaksanakan hubungan keuanganantara Pusat dan Daerah secara adil dan selaras perlu diatur kembali ketentuan tentang pajak dan retribusi daerah dan dan dana perimbangan. Kabupaten/ kota diberi hak untuk menarik pajak-pajak besar. Dana alokasi umum (DAU) yang senyatanya adalah gaji pegawai tidak perlu dimasukkan ke dalam pendapatan daerah karena pegawai daerah memang dibayar dari APBN. DAU hanya berupa dana alokasi dari ABPN untuk modal/investasi dan pelayanan publik di daerah.

Ketujuh, masyarakat adat (indigenous and tribal peoples) sebagaimana didefinisikan oleh ILO dan PBB yang masih hidup, perkembangannya sesuai dengan perkembangan masyarkat beradab, dan tata kelolanya sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI diakui oleh Negara. Negara melalui peraturan perundang-undangan mengakuinya sebagai reschtsgemeenschap atau jural community (masyarakat hukum). Negara tidak perlu mengatur struktur organisasisnya, cara pengisian kepala adatnya, dan tata kelola pemerintahannya tapi hanya mengakui keberadaannya, melakukan pembinaan dan pengawasan, dan fasilitasi agar masyarakat tersebut berkembang menjadi masyarakat maju.

Kedelapan, model pengawasan dan pembinaan kepada daerah otonom menggunakan model fungsional, bukan hierarki karena provinsi dan kabupaten/kota/ desa adalah daerah otonom saja, bukan campuran antara daerah otonom dan wilayah adminsitrasi. Pengawasan fungsional dilakukan oleh kementerian dalam negeri dan kementerian sektoral. Menteri Dalam Negeri dan Menteri sektoral  merupakan Dewan Menteri yang mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah baik di provinsi maupun di kabupaten/ kota/ desa. Dewan Menteri dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Dewan Menteri melakukan pengawasan preventif dan represif. Teknis operasionalnya dilakukan oleh kepala-kepala instansi vertikal dari kementerian sektoral yang ditempatkan di provinsi dan kabupaten/ kota/ desa.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Asshiddiqqi, Jimly. (2006). Hukum Acara Pengujian Undang -Undang. Jakarta: Konstitusi Press

_______________. (2015). Gagasan Konstitusi Sosial, Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani.  Jakarta: LP3ES

Aziz, M.A.(1955). Japan’s Colonialism and Indonesia, Holland: Martinus Nijhoft, The Hague

Breman, Jan. (1982). The Village on Java and the Early-Colonial State, The Journal of Peasant Studies, page 189-240, London: Taylor & Francis.

Davidson, Jamie S., dkk., (editor). (2010). Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Day, Clive. (1904). The Policy and Administration of The Dutch in Java, London: Macmillan

Eko, Sutoro, dkk. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: ACCESS.

Heesterman, J.C. (1986). ‘State and Adat’, dalam CA Bayly dan D.H.A. Kolff (eds), Two Colonial Empires:Comparative Essays on the History of India and Indonesia in the Nineteenth Century, Dordrecht: Nijhoft

Hoessein, Bhenyamin. (1995). Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi.Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok: Tidak Diterbitkan.

ILO. (2003). ILO Convention on Indigenous and Tribal Peoples, 1989 (No. 169) A Manual. Geneva: International Labor Office.

Jenkins, David. (2010). Soeharto di Bawah Militerisme Jepang. Depok: Komunitas Bambu

Kato, T. (1989). ‘Different Fields, Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in Indonesia’, Indonesia, 47: 89-114

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka

Koesoemahatmadja, RDH. (1979). Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bandung: Binacipta

Kurasawa, Aiko. (1993). Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 -1945. Jakarta: Grasindo.

Kusuma, RM. A.B. (2009). Lahirnya Undang -Undang Dasar 1945. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Fakulas Hukum Universitas Indonesia.

MacIntyre, Andrew. (1994). Organising Interests:Corporatism in Indonesian Politics.Working Paper No.43 August 1994. Perth Western Australia: Asia Research Centre, Murdoch University

Manan, Bagir. (1994). Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Maryanov, Gerald S. (1955). Decentralization in Indonesia as A Political Problem. New York: Equinox

Nurcholis, Hanif. (2015). Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bee Media

Sekretariat Negara RI. (1995). Risalah Sidang -Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara.

Schmitter, Philippe C. (1974) The New Corporatism: Social and PoliticalStructures in the Iberian World, The Review of Politics, Vol. 36, No. 1, Jan., 1974, Cambridge University Press for the University of Notre Dame du lac on behalf of Review ofPolitics, p. 85-131

Smith, Brian C.(1985). Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London: George Allen &UNWIN

Suroyo, A.M. Djuliati. (2000). Eksploitasi Kolonial Abad XIX. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia

Surianingrat, Bayu. (1981a). Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia, Suatu Analisa. Jakarta: Dewa Ruci

_______________. (1981b). Sejarah Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Dewa Ruci

Sujamto, dkk. (1991). Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Proses Pembuatan Undang-Undang No. 5, Th. 1974. Jakarta: Rineka Cipta.

Ter Haar, B. et al. (2011). Asas- Asas dan Tatanan Hukum Adat. Bandung: Mandar Maju

United Nations, (2013). The United Nations Declaration on The Rights of IndigenousPeoples, A Manual for National Human Rights Instiitutions.  Sydney: Asia Pacific Forum.

 

Peraturan PerundangUndangan

Undang-Undang Dasar 1945 (Sebelum Amandemen)
Undang-Undang Dasar 1945 (Sesudah Amandemen)

Inlandsche Gemeente Ordonnantie 1906

Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten 1938

Osamu Seirei Nomor 27 Tahun 1942

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

ILO Convention No. 169 Tahun 1989 on Indigenous and Tribal Peoples

Revenue Instruction 1814

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007

 

 

BIOGRAFI

 

DK-72a-Apr 2016-Kuliah Umum Prof Hanif-pasfotoProf. Dr. H. Hanif Nurcholis, M.Si adalah anak pasangan Haji Nurcholis-Hajjah Rochmah kelahiran 2 Februari 1959 di Demak, Jawa Tengah. Pengalaman pendidikan dasar dan menengahnya adalah: 1) SDN di Demak (1966-1971); 2) Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Futuhiyyah di Mranggen Demak (1971-1975); 3) SMP Islam Badan Wakaf Sultan Agung I-II di Semarang (1976); dan SPGN Demak (1977-1980).

Adapun pendidikan sarjana dan pascasarjananya adalah sebagai berikut. Pada 1990 ia menyelesaikan S1 Program Studi Administrasi Negara  FISIP Universitas Terbuka; tahun 1990-1991 mengikuti program Akta IV di IKIP Negeri Semarang; tahun 2000 menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Administrasi; dan pada 2010 ia menyelesaikan program doktoral Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran.

Pengalaman kerjanya adalah sebagai berikut. Pada 1980 menjadi guru di SD Jetaksari dan SD Purwosari II Sayung, Demak. Di samping itu, ia juga menjadi guru di SMP Islam Siti Sulaichah Sayung, Demak;di SMA Muhammadiyah Sayung, Demak; dan di Madrasah Aliyah Nahdlotusyubban, Genuk, Semarang. Pada 1992 almamaternya mengangkatnya sebagai dosen tetap pada Jurusan Ilmu Administrasi FISIP. Pada September 2015 Menristekdikti mengangkatnya sebagai Profesor/ Guru Besar tetap pada FISIP UT bidang ilmu administrasi pemerintahan daerah. Pengalaman di luar jabatan fungsionalnya adalah sebagai Ketua Program Studi Administrasi Negara (dua periode: 1994-1996 dan 2001-2003) dan Ketua Persiapan Program Magister Administrasi Publik (S2) FISIP-UT (2003-2004).Di FISIP dan Program Pascasarjana ia mengampu mata kuliah Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Desa, Filsafat Pemerintahan, dan Pembangunan Masyarakat Desa dan Kota.

Dalam hal profesi akademik untuk kepemimpinan publik, ia anggota tim pengembang Sistem Monitoring dan Evaluasi Otonomi Daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, anggota tim penyusun RPP Kewenangan Gubernur, nara sumber penyusunan RPP Desa Kementerian Dalam Negeri, dan nara sumber Panitia Khusus DPR RUU Desa. Ia pernah menjadi Staf Khusus Bupati Cilacap Jawa Tengah (2000-2002) dan Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (2004-2007). Di samping itu, ia menjabat Sekretaris Jenderal organisasi profesi “Asosiasi Ilmuwan Adminsitrasi Negara” (2013-2016).

Ia menulis buku “Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah” diterbitkan oleh Gramedia Widiasarana Indonesia (2005; 2007), buku “Perencanaan Pembangunan Partisipatif Pemerintah Daerah” diterbitkan oleh Gramedia Widiasarana Indonesia (2009), buku “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” diterbitkan oleh Penerbit Erlangga (2011), buku “Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI” diterbitkan oleh Bee Media (2015), dan buku “Pembangunan Masyarakat Desa dan Kota” diterbitkan oleh Penerbit Universitas Terbuka (2016). Ia juga menulis makalah ilmiah di jurnal nasional dan internasional dan makalah lepas di berbagai media. Di samping itu, ia juga menulis buku pelajaran bahasa Indonesia SD “Saya Senang Berbahasa Indonesia” oleh Penerbit Erlangga dan buku pelajaran Agama Islam untuk SMP oleh Penerbit Erlangga.

Ia menjadi pemakalah pada seminar nasional dan internasional. Di Korea Selatan mempresentasikan makalah “The Implementation of Educational Decentralization Policy In Indonesia“ (2012). Di Thailand mempresentasikan makalah “Community-Sponsored Institutions Performing The State’sTasks: a Case Study of Indonesian Villages“ (2012).Di Jepang mempresentikan makalah “Theoretical  and Practical Dilemma of Distance Learning, The Case of Universitas Terbuka Indonesia“ (2012). Di Filipina mempresentasikan makalah “The LowestLevel of Unconstitutional Administration in Indonesia“ (2013). Di Korea Selatan mempresentasikan makalah “Village Adminsitration In Indonesia: A Pseudo Government Unit “ (2014). Di Malaysia mempresentasikan makalah “The Learning Models Adopted By The Students of Programe of Study in Government Study da at Universitas Terbuka, Indonesia“ (2015).

Alamat email:

  1. hanif@ecampus.ut.ac.id
  2. nurcholishanif23@gmail.com

.

ooOoo

Catatan Redaksi Dasar Kita

Pemuatan selengkapnya Kuliah Umum ini adalah atas ijin tertulis Prof. Dr. H. Hanif Nurcholis, M.Si melalui surat elektronik kepada Redaksi pada 26 Maret 2016. Sebagai jawaban atas permohonan ijin terkait dari kami melalui surat elektronik pada hari yang sama. Pada kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih atas kesediaan Profesor memberi ijin dimaksud. 

Tinggalkan komentar