Menyambut   1 Oktober  2013

48 Tahun Perjuangan Kemerdekaan Jilid 2

 

 

Sebuah Bidasan atas 17 Poin Rekomendasi PDI-P 2013

(Bagian Ketiga/Habis)

 

Soekarno yang Dihampiri Minus Pendekatan Materialis
Greget Hapus Penjajahan pun Meredup
Alih-Alih Hapus UUD 2002 Hasil Intervensi Imperialis, Malah Muncul 4 Pilar
 
Perubahan Mentalitas Warga Kampung Deret Johar Baru
Perubahan Mentalitas Pengguna PT KAI Commuter Jabodetabek
Abai Dijadikan Petik Ajar
 
Bagaimana pun PDI-P Hari Ini adalah “Titik Tolak”:
Titik untuk Ditolak oleh Para Kader Muda Progresif-Revolusioner

..

Butir 2 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi bulan lalu hlm 36a)

Butir 2 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi bulan lalu hlm 36a)

Masih di butir 2 dari 17 Poin tersebut, di kalimat penutup, disebut bahwa “Pelaksanaan program tersebut (4 Pilar—Red) dapat dikoordinasikan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”.

Bagi kami kalimat penutup butir 2, menunjukkan dengan jelas sikap ideologis parpol ini yang menghampiri pemikiran Soekarno minus materialis. Ketika mereka bukan saja mengusung 4 Pilar itu, malah membawanya ke MPR untuk dikoordinasikan pelaksanaannya, kepraksisannya.

Padahal, pasca-UUD 2002, “MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi,” ucap Prof Sofian Effendi dalam sebuah orasinya pada 2006 (simak/klik hlm 2b.2).

Sehingga, dengan sikap parpol tua ini, justru mengamini sebuah perubahan sangat mendasar dari konstitusi awal kita yang dilahirkan putra putri terbaik negeri ini termasuk Soekarno di dalamnya.

Yang bagi Redaksi, sulit untuk tidak dilihat sebagai kegagalan memahami pikiran para founding father kita, lebih spesifik lagi, jalan berpikir Soekarno dalam hal ini.

Pasalnya, dengan pendekatan nirmaterialis, perubahan atas UUD 45 itu dianggap “biasa saja”, “hal yang lumrah sesuai perkembangan zaman”.

Padahal bagi kaum materialis atau setidaknya yang berpendekatan materialis seperti yang kami tangkap dari Soekarno dan para founding father—seperti ditunjukkan di Arsip AG-AK Pringgodigdo yang dibeberkan Prof Sofian Effendi dalam orasi dimaksud di atas—inilah basis sebuah negara baru bernama Republik Indonesia.

Basis yang khas, sesuai syarat-syarat material khas sebuah negeri bernama Indonesia, di atas mana berdiri superstruktur yang bersesuaian; pengejewantahan dari Pancasila-UUD 1945.

Sehingga seorang Soekarno, Redaksi yakin, akan menentang keras perubahan basis yang berdampak berdirinya superstruktur yang bukan khas kita itu lagi—ketika MPR bukan lagi locus of power, salah satunya.

Dan, kami yakin pula, Soekarno bakal tak habis pikir, membaca butir berikutnya, butir  3 dari Poin 17 tersebut.

Butir 3 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi dua bulan lalu di hlm 36a)

Butir 3 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi dua bulan lalu di hlm 36a)

Artinya, kami membayangkan beliau tidak dapat mengerti bagaimana MPR yang bukan lagi locus of power itu, bisa dikembalikan (salah satu) kewenangannya (terkait GBHN).

Bahkan bukan tidak mungkin, Soekarno akan meminta Bu Mega untuk tidak saja menyoal sepotong kewenangan MPR itu malahan menggagalkan seluruh amendemen atas UUD 45 itu. Apalagi ketika beliau tahu persis ini semua ulah imperialis saat kerusuhan Ambon sedang marak-maraknya. Lewat “penyelundupan hukum” pula.

Lantas, kami masih membayangkan reaksi Soekarno …

Beliau yang mendahului zamannya dalam memahami Marxisme untuk konteks Indonesia tanpa langsung memaksakan sebuah “model” kediktatoran proletariat bagi sebuah negeri yang baru saja berhasil dengan perjuangan pembebasan nasional dari penjajahan—hal yang kemudian ternyata, paralel dengan tesis Lenin terkait perjuangan pembebasan nasional negeri-negeri jajahan … (simak hlm 25a).

Beliau, Soekarno, kami bayangkan, tak bernafsu lagi mengomentari butir-butir selanjutnya dari 17 Poin itu. Khususnya yang menyangkut ideologi.

Seperti apa yang PDI-P cantumkan dalam butir 5.

Butir 5 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi dua bulan lalu di )

Butir 5 dari 17 Poin (simak risalah Redaksi dua bulan lalu di hlm 36a)

Kami membayangkan, seorang Soekarno akan mengangkat bahunya seraya berujar, “Apa lagi yang harus saya katakan; ketika imperialisme berhasil merubah konstitusi 18 Agustus 1945 sesuai citra mereka?”

Kalimat pembuka butir 5 itu malah akan menjadi kalimat tanya bagi Soekarno.

“Untuk menjamin pembangunan nasional demi mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945?”

Pasalnya, bagaimana “menjamin” perkara besar dimaksud pada basis yang  berbeda sama sekali dari apa yang beliau dan para founding father sepakati sehari setelah kemerdekaan itu?

Sehingga dengan segala maaf, kami, Redaksi Dasar Kita, harus mengatakan bahwa sejak dari butir 5 ini dan seterusnya—khususnya, sekali lagi, menyangkut ideologi partai—hanyalah jargon-jargon yang berdaya guna rendah.

Lantaran menyangkal tesis kondang Lenin yang sudah terbukti di tangan pejuang revolusioner Mao Zedong dilanjutkan para penerusnya menghadirkan sebuah Republik Rakyat Tiongkok yang gagah perkasa hari ini, wujud pendekatan materialis itu sendiri:

Jika hendak berevolusi haruslah ada suatu partai revolusioner … yang dibangun dengan teori revolusioner … bergaya revolusioner …

(Simak hlm 2b)

Dan adalah Soekarno sendiri yang belakangan “membumikan” tesis tersebut melalui pencanangan konsep yang kami kuatir PDI-P sendiri masih “trauma” atau “alergi” atau apalah namanya: USDEK. UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.

Di titik inilah, hemat kami PDI-P, bila  berhasrat kuat melandaskan perjuangannya pada gagasan-gagasan Soekarno, pencanangan ulang konsep ini harus menjadi prioritas utama. Kecual, PDI-P membiarkan dirinya larut dalam gaya berpolitik kaum revisionis: “memusuhi Soekarno di dalam Soekarno itu sendiri”. (Simak hlm 35a)

Padahal, secara kebetulan, Redaksi menemukan “sinyal positif” atas konsep USDEK, justru dari seorang jauhari, cendekiawan Kristen Protestan Frank L. Cooley. Dalam sebuah penelitian beliau (lagi-lagi di Maluku, simak hlm 13a) yang dibukukan dengan tajuk Mimbar dan Tahta .

Perkembangan politik semenjak 1940, termasuk masa pendudukan Jepang, berdirinya negara Indonesia Timur, dan eksperimen berbagai lembaga pemrintahan sejak tahun 1950, khususnya setelah tahun 1958 (Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959—Red DK) telah memberikan pengaruh dan perubahan yang jauh lebih menonjol dari pada masa-masa semenjak VOC.

[…]

Di bawah pemerintahan kolonial kepentingan ekonomi senantiasa diprioritaskan dan kepentingan politik ditetapkan untuk melayani tujuan-tujuan ekonomi, sedangkan dalam pemerintahan sendiri (Republik Indonesia—Red DK), tampaknya tujuan politik yang diutamakan.

Kepentingan-kepentingan lain disusun dalam rangka kepentingan dan tujuan nasional yang menyeluruh. 

Ini menjadi lebih jelas dengan adanya perkembangan paling akhir (pada 1960-an—Red DK) yaitu usaha untuk membangun suatu  bangsa dan masyarakat baru yang didasarkan pada lima unsur, yang dikembangkan dari penafsiran atas Pancasila oleh bekas Presiden Soekarno. 

Lima unsur itu adalah: Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.

Akan memakan waktu yang lama sebelum pengaruh gagasan dan lembaga-lembaga yang berkembang nanti, mencapai desa-desa Maluku.

Namun jika itu terjadi, pengaruh itu akan masuk ke dalam suatu lingkungan yang telah terbuka bagi perubahan-perubahan.5     

5 Kalimat-kalimat ini ditulis dalam tahun 1961. Keadaan telah sangat berubah semenjak tahun 1965. Terserah pada pembaca untuk menilai, sampai seberapa jauh masing-masing unsur itu telah berkembang dalam masa sesudah tahun 1965 itu.

.

.(Mimbar dan Tahta, Pustaka Sinar Harapan, 1987: 385 dan 419; cetak tebal dari kami)

 Artinya pula, tidaklah perlu PDI-P petik ajar atau studi banding ke RRT untuk “menjustifikasi” USDEK-nya Soekarno itu.

Yang oleh Beijing “ternyata” kini dipraksiskan di bawah konsep yang disebut “sosialisme pasar” dengan Partai Komunis Tiongkok di pucuk pimpinan untuk menjamin demokrasi dan ekonomi proletariat. (Simak hlm 10a)

“Sinyal positif” Colley, seorang jauhari asal Amerika, hemat Redaksi lebih dari cukup untuk “pembenaran” lima unsur tafsir jati diri itu.

Maksud kami, kalau saja PDI-P cukup jeli menelaah dengan saksama perubahan mentalitas rakyat, hasil dari dua kerja besar karya tiga sosok kapitalis-birokrat pancasilais sejati Menteri BUMN Dahlan Iskan, Gubernur DKI Joko Widodo, dan Wakil Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok), tidaklah perlu kami Redaksi Dasar Kita sampai pada subjudul berikut.

Perubahan Mentalitas Warga Kampung Deret Johar Baru, Perubahan Mentalitas Pengguna PT KAI Commuter Jabodetabek, Abai Dijadikan Petik Ajar

Adalah Kompas.com (20/8/2013) yang justru melansir kabar perubahan mentalitas, “mentalitas baru” sebutannya bagi para warga dipemukiman mereka yang baru Kampung Deret Johar Baru, Jakarta Pusat.

Para pejabat terdekat (Lurah, RW, RT) pun ikut mendorong keajekan perubahan mentalitas dimaksud seiring kebijakan blusukan-musyawarah (sebutan kami, simak hlm 27a) yang digariskan Jokowi-Ahok.

Lantas, di lembaga negara yang lain, tanpa gembar-gembor atawa didahului janji-janji “surga”, para pengguna jasa kereta api listrik PT KAI Commuter Jabodetabek langsung merasakan perubahan drastis sarana prasarana transportasi publik satu ini.

Stasiun-stasiun yang nyaman bebas dari para preman (dengan hadirnya para petugas keamanan negara berikut pasukan elitnya), bebas dari pedagang kecil yang terpaksa harus survive, gerbong berpintu otomatis, berpendingan udara, tiket elektronik relatif murah berkat manajemen modern (baca: bebas korupsi) plus subsidi negara,… untuk menyebut beberapa saja pencapaian radikal signifikan Dirut PT KAI Ignasius Jonan beserta jajarannya.

Berbarengan, mentalitas (baca: disiplin) para pengguna PT KAI CJ pun berubah drastis pula. Salah satunya yang menonjol, kesabaran dalam mengantri. Apalagi pemandangan absurd duduk di atap gerbong, hilang sama sekali.

Pertanyaan kami untuk PDI-P.

Apakah perubahan mentalitas para warga Johar Baru dan para pengguna PT KAI CJ adalah hasil dari kampanye besar-besaran dua lembaga pemerintah itu lewat seminar-seminar, penataran-penataran, sepanduk-sepanduk dan papan-papan reklame raksasa bermandikan cahaya, termasuk ceramah-ceramah religiositas di rumah-rumah ibadah maupun rumah-rumah pribadi, dst, dst?

Maaf, kami mendahului. Jawabannya berupa sebaris kritik untuk PDI-P lewat subjudul di atas.

Dan, kami tidak akan berpanjang lebar dengan kritik ini, langsung saja ke tawaran solusi.

Yang bernotabene jauh dari sikap arogansi atawa sok tahu lantaran siapakah kami, sekelompok kecil pewarta warga sebuah blog gratisan bukan siapa-siapa. Tapi mungkin masih tersisa sedikit hak sebagai warga negara republik ini dalam berpendapat.

Bagaimana pun PDI-P Hari Ini adalah “Titik Tolak”: Titik untuk Ditolak oleh Para Kader Muda Progresif-Revolusioner

Ya, bagaimana pun Ibu Megawati, seperti dikemukakan beliau sendiri, kami harus akui telah bekerja keras—sedikitnya dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Untuk menyiapkan para kadernya dalam keberpihakannya pada wong cilik. Seperti kenyataan objektif paling aktual, kehadiran Jokowi dan kesediaan PDI-P menerima Ahok sebagai pendamping kadernya di salah satu posisi sangat strategis republik ini: DKI 1 & 2.

Terlebih mereka terbukti konsisten, sewarna dengan kebijakan PDI-P dalam keberpihakan pada rakyat banyak tak berpunya (kecuali tenaga kerjanya).

Malahan mereka berdua, Jokowi-Ahok, yang kini menjalani  tahun kedua kepemerintahannya, dengan gaya blusukan-musyawarah itu, maaf, justru beyond  PDI-P dalam memaknai khususnya pikiran-pikiran Soekarno.

Jokowi dan Ahok, setidaknya bagi kami, jelas-jelas mempraksiskan materialis dengan basis konstitusi awal 18 Agusutus 1945 lantas/sembari mendirikan superstruktur yang bersesuaian. Kampung Deret Johar Baru, adalah sebuah bukti.

Artinya, Bu Mega dan PDI-P yang telah bekerja keras selama ini dengan hasil nyata itu, lamun “tanggung”, menurut hemat kami.

Soalnya, seperti sudah kami telaah di atas, PDI-P minus pendekatan materialis. Pendekatan yang menonjol dari cara berpikir Soekarno. Salah seorang proklamator yang jelang di ujung kekuasaannya telah melansir konsep USDEK tersebut.

Inilah yang kami maksud dengan “titik tolak” pada subjudul di atas.

Ibu Megawati telah berbuat banyak dan signifikan bagi partai pada ruang dan waktu tertentu—terlebih di era sejak sang begundal imperialis, Koruptor Terkaya di Dunia itu, melibas almarhum Ayahanda lewat Kudeta Merangkak.

Kini, partai telah sampai pada sebuah “titik tolak”. Titik yang juga sekaligus untuk ditolak oleh generasi pengganti, yang kami bayangkan dan harapkan, para kader muda progresif-revolusioner.

Para kader muda ini, akan dihadapkan pada tuntutan sejarah negeri akbar berlimpah kekayaan alamnya ini, untuk melanjutkan dan menggenapi perjuangan “Indonesia Merdeka”. Perjuangan panjang yang dicanangkan Soekarno sejak muda tanpa jeda hingga ajal menjemputnya—secara tragis di rumah sakit tentara milik negara yang diproklamasikannya, dizalimi salah satunya lewat resep obat sengaja tak ditebus.

Para kader  muda ini, suka tidak suka, bukan saja harus menjawab tuntutan itu. Sekaligus, menurut hemat kami, memiliki tanggung jawab penuh. Melengkapi, “menutup celah” yang belum dikerjakan Soekarno dalam “kesendirian”-nya: partai pelopor, sebuah partai revolusioner. Ketika kaum muda ini menghampiri pikiran-pikiran Soekarno secara materialis.

Partai revolusioner dengan teori revolusioner bergaya revolusioner yang sudah Soekarno “bumikan” saat itu: USDEK.

“Kesendirian” Soekarno kini menjadi titik tolak, menjadi tanggung jawab penuh itu. “Kesendirian” yang pernah ditulis jauhari, sejarawan kondang Ongkoham era junta militer Suharto dalam Penutup sebuah risalahnya:

Yang demikian menyolok mengenai Sukarno adalah bahwa dia berdiri sendirian dan tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding.

Sukarno tidak memiliki tangan-kanan dan tangan-kiri yang terpercaya, kecuali (mungkin) pada akhir-akhir kekuasaannya. Subandrio juga bukan alter-ego yang sebenarnya. Untuk itu Sukarno sudah terlanjur terlalu lanjut usianya.

Pada akhirnya Sukarno hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut serta para pengagum dan bukan patner.

Rencana partai pelopor pada masa kekuasaannya sudah terlambat untuk direalisir.

Seperti pada awal karier politiknya, maka dalam detik-detik terakhir kekuasan dan hidupnya, Sukarno berdiri lagi. Sendirian.

Ada semacam keagungan melihat tokoh revolusi ini mencoba memberikan arah kepada jalannya revolusi. Tetapi di sana dia berdiri. Sekali lagi sendirian.

Sedangkan segala arus umum menentangnya

Di mana tempat Sukarno dalam Sejarah? Kita ikhlaskan saja kepada sejarah untuk membicarakan itu. Untuk sementara orang hanya dapat menilai perannya.

(Sukarno: Mitos dan Realitas, oleh Ongkoham, Prisma No.8, Agustus 1977, Tahun VI, hlm 14; alinea-alinea baru tidak sesuai risalah asli demi memanjakan Pembaca Budiman di layar monitor dan cetak tebal, adalah dari kami)

Sehingga dengan segala kerendahan hati dan kepercayaan diri ala pewarta warga, kami serukan:

Ayo bangkit kader muda progresif-revolusioner PDI-P!

Perjuangkan kemerdekaan jilid 2!

Awali dengan hapusnya UUD 2002/niramendemen UUD 45.

Bukan semata untuk menjamin serta memastikan Soekarno berada pada tempat sangat terhormat dan penting dalam rentang historis negeri ini.

Tetapi lebih dari itu, untuk sebuah Indonesia perkasa, berjati diri, 3-sakti, ajek menghapus penjajahan/imperialisme di muka bumi.

Seperti yang Soekarno persembahkan dan abadikan lewat pikiran-pikirannya yang melampaui zamannya itu, terangkum dalam ideologi sejatinya khas kita: USDEK UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia.

Semoga.

ooOoo

 

 

Tinggalkan komentar