BAB II. REVOLUSI INDONESIA

Pasal 1. Gerakan Revolusioner di Indonesia dalam Abad ke-20

.

Sumber: http://www.marxists.org.indonesia

.

(Sebelumnya simak/klik: hlm 56d. Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia [MIRI – Bab I Indonesia dan Masyarakatnya])

.

Pemerintah Belanda secara langsung dan resmi berkuasa di Indonesia mulai tahun 1800, yaitu sesudah pembubaran perkumpulan dagang Belanda “VOC”. Sejak tahun 1800, dengan interupsi kekuasaan Inggris tahun 1811-1814, sampai diusirnya kekuasaan Belanda oleh bala tentara Jepang pada 9 Maret 1942, pemerintah Belanda secara langsung dan resmi berkuasa dengan sewenang-wenang di Indonesia.

Proses transformasi Indonesia menjadi sepenuhnya di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda adalah sekaligus proses perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda dan kaki tangannya.

Dengan bersusah payah pemerintah Belanda memadamkan pemberontakan-pemberontakan bersenjata rakyat di Ambon, Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan banyak lagi.

Di antara perlawanan-perlawanan yang sengit itu termasuk perang di Maluku dalam tahun 1817 yang dipimpin oleh Pattimura, perang di Jawa tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Diponegoro, perang di Minangkabau tahun 1830-1839 yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Perang di Aceh baru berakhir setelah berlangsung terus-menerus selama kira-kira 40 tahun, yaitu dari tahun 1873-1913.

Pada permulaan abad ke-20, karena dorongan kelas-kelas baru yaitu kelas proletar dan borjuasi nasional, timbullah bentuk-bentuk baru dalam gerakan revolusioner rakyat Indonesia.

Revolusi Rusia tahun 1905 yang dipimpin oleh kaum Komunis Rusia dengan Lenin sebagai pemimpin utamanya sangat berpengaruh pada tumbuhnya bentuk-bentuk baru dari gerakan kemerdekaan nasional rakyat Indonesia.

Revolusi Rusia tersebut memberi pukulan pada kekuasaan Tsar Rusia, sehingga sangat melemahkan kedudukannya. Khawatir melihat perkembangan revolusioner dalam negeri, Tsar Rusia buru-buru meng-[37]adakan persetujuan damai dengan Jepang, agar dengan demikian dapat memperkuat kedudukannya untuk menghadapi revolusi dalam negeri.

———

[37] : tambahan dari kami  (Redaksi Dasar Kita; selanjutnya: Red DK) untuk menunjukkan halaman 37 buku yang diacu; artinya, kalimat/tulisan sebelum angka 37 berada di halaman 37 dan kalimat/tulisan sesudah angka 37 termasuk halaman 38, begitu seterusnya.

“Soal-soal pokok revolusi kita, penting diketahui. Mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, berarti mengetahui sasaran-sasaran dan tugas-tugas pokok revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan yang mendorongnya, karakternya dan perspektifnya. Untuk mengetahui soal-soal pokok revolusi Indonesia, pertama-tama kita harus mengetahui masyarakat Indonesia.”

Demikan alinea penutup dari pembukaan tulisan DN Aidit “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957) (simak/klik hlm 56d), yang Redaksi Dasar Kita yakini dokumen-sejarah fenomenal ini perlu diketahui banyak orang (muda) Indonesia — di abad XXI.  Abad yang ditandai dengan “Bangkitnya Asia jilid 2″ ketika Tiongkok  melansir “Satu Sabuk, Satu Jalan”(One Belt, One Road).

Dan adalah Indonesia di bawah pemerintahaan Jokowi-JK dengan Trisakti-Gotong Royong, salah satu dari Panca Azimat Soekarno (Nasakom, Pancasila, USDEK, Trisakti, Berdikari), telah me-link ide Jokowi-JK “Poros Maritim Dunia” dengan gagasan “Jalan Sutera Maritim Abad ke-21″ yang diumumkan Presiden RRT (Republik Rakyat Tiongkok) Xi Jinping di MPR, Jakarta, Oktober 2013. Menyusul “Sabuk Ekonomi Jalan Sutera Baru” yang dimumumkan di Astana, Ibukota Kazakhstan, September 2013. Kedua jalan sutera ini sebagai bagian dari “Satu Sabuk, Satu Jalan”.

Dalam konteks Indonesia di abad XXI (seperti) ini, pada pengeposan terbarui, MIRI kami hadirkan menyambut peringatan pada 2015 ini, 95 tahun Kongres VII ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) di Semarang, 23 Mei 1920, menandai berdirinya Partai Komunis Indonesia.

(Dikutip dari 56. Pengantar Redaksi (54) – 14 Mei 2015— Red DK).

Revolusi Rusia tahun 1905 telah mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangunkan bangsa-bangsa Asia. Juga bangsa Indonesia bangun dan kelas-kelas yang tertindas mengorganisasi diri.

Dalam tahun 1905 berdirilah serikat buruh pertama di kalangan buruh kereta api dengan nama SS-BOND (Staatsspoor-Bond). Dalam tahun 1908 berdiri VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel), sebuah serikat buruh kereta api yang militan. Dalam tahun itu juga sejumlah orang-orang intelektual di Jawa mendirikan organisasi “Budi Utomo”. Organisasi-organisasi pemuda dan pelajar yang bersifat kedaerahan timbul di mana-mana.

Pelajar-pelajar Indonesia di negeri Belanda dalam tahun 1908 mendirikan “Indonesische Vereniging”, dan dalam tahun 1925 berganti nama lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia”. “Perhimpunan Indonesia” adalah organisasi yang mempunyai karakter politik yang tegas dan menuntut kemerdekaan bagi Indonesia.

Dalam tahun 1911 kaum borjuis dagang Indonesia mendirikan “Serikat Dagang Islam”, yang dalam tahun 1912 berganti nama dengan “Serikat Islam”. Dalam bulan Mei 1914 di Surabaya didirikan “Indische Sociaal-Demokratische Vereniging” (ISDV, Perhimpunan Sosial-Demokratis di Hindia), organisasi politik yang pertama dari kaum Marxis Indonesia.

Revolusi Oktober Besar Rusia tahun 1917 sangat berpengaruh pada proletariat Indonesia terutama pada ISDV. Pada pertengahan bulan November 1918 didirikan sebuah organisasi front persatuan nasional dengan nama “Radicale Concentratie” yang anggota-anggotanya terdiri dari Serikat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan, dan ISDV. “Radicale Concentratie” ini segera menuntut adanya Undang-Undang Dasar dan Parlemen.

Pada tanggal 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam waktu yang singkat pengaruh PKI menjadi meluas di kalangan rakyat yang sedang menderita kemelaratan akibat eksploitasi ekonomi dan penindasan politik imperialisme Belanda. Krisis makin memuncak di Indonesia, penghidupan rakyat makin lama makin merosot [38] dan perlawanan-perlawanan rakyat yang tidak terorganisasi terhadap alat-alat pemerintah makin banyak.

Dalam keadaan demikian inilah provokasi-provokasi dari pemerintah kolonial Belanda datang bertubi-tubi dalam bentuk pemecatan terhadap kaum pemogok, penangkapan terhadap kaum tani, pembubaran sekolah-sekolah yang didirikan oleh PKI dan Serikat Rakyat, pelarangan terhadap surat kabar-surat kabar kaum buruh, penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin kaum buruh, dan lain-lain.

Dalam menghadapi kaum tani, Belanda membikin gerombolan-gerombolan teroris seperti misalnya “Sarekat Hejo”. Semuanya ini menyebabkan timbulnya pemberontakan rakyat pada akhir tahun 1926 di Jawa dan awal tahun 1927 di Sumatera terhadap kekuasaan imperialisme Belanda.

PKI berusaha dengan sekuat tenaga untuk memberikan pimpinan pada pemberontakan ini. Karena tidak cukupnya persiapan, karena kurangnya pengalaman dan belum tepatnya politik proletariat Indonesia dan Partai politiknya, pemberontakan mengalami kekalahan, PKI diilegalkan dan teror putih merajalela.

Setelah PKI dilarang oleh pemerintah Belanda, borjuasi nasional Indonesia yang dipelopori oleh kaum intelektual yang revolusioner mendirikan bermacam-macam organisasi dan partai politik, meneruskan perjuangan revolusioner yang sudah dimulai oleh PKI.

Dengan mendapat inspirasi dari perjuangan rakyat Indonesia yang revolusioner, dalam tahun 1928 lahirlah Sumpah Pemuda, yaitu kebulatan tekad pemuda Indonesia dari berbagai suku bangsa dan berbagai aliran politik, yang menyatakan bahwa mereka adalah berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu, yaitu Indonesia. Peristiwa ini sangat penting bagi pembentukan nasion Indonesia.

Ini adalah jawab yang tepat pada politik pecah-belah kaum imperialis Belanda.

Laksana halilintar di panas terik dalam tahun 1933 meletuslah pemberontakan di dalam kapal perang Belanda “De Zeven Provincien”, yang selama pemberontakan dipimpin dan dikemudikan bersama-sama oleh kelasi-kelasi Indonesia dan Belanda. Bom yang dijatuhkan oleh pemerintah kolonial pada kapal yang memberontak ini tidak berhasil mematahkan semangat dan solidaritas kelasi-kelasi Indonesia dan Belanda.

Pemberontakan ini, walaupun kemudian dapat dipadamkan, telah menyalakan harapan dan kepercayaan pada kekuatan diri sendiri di [39] hati berpuluh-puluh juta rakyat Indonesia yang tertindas.

Dalam bulan Maret 1942 kekuasaan Belanda terpaksa angkat kaki dari Indonesia, karena diserbu oleh imperialisme Jepang.

Selama pendudukan tentara Jepang rakyat Indonesia meneruskan perjuangan revolusionernya dengan mengadakan sabotase-sabotase di perusahaan-perusahaan (antara lain menggulingkan kereta api-kereta api yang mengangkut tentara Jepang, meledakkan bangunan-bangunan penting), mengadakan pemberontakan-pemberontakan tani (antara lain di Blitar) dan perlawanan-perlawanan di kalangan inteligensia, mahasiswa, pemuda, dan pelajar.

Segera sesudah diumumkan bahwa Jepang menyerah kalah kepada negeri-negeri sekutu dalam perang dunia ke-2, rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mendirikan sebuah republik.

Republik Indonesia yang masih muda ini harus menghadapi musuh-musuh yang kuat dan sedang naik prestisenya karena baru kembali sebagai pemenang dari medan perang dunia ke-2, yaitu tentara-tentara Inggris dan Belanda yang dibantu oleh imperialisme Amerika.

Di samping menggunakan senjata militer yang jauh lebih baik perlengkapannya daripada angkatan perang Republik Indonesia, kaum imperialis juga menggunakan senjata politik dan diplomasi. Mereka mendirikan negara-negara boneka untuk mengepung revolusi Indonesia dan berusaha memecah kekuatan revolusi dari dalam dengan menggunakan orang-orang reaksioner yang berkedudukan penting di dalam Republik.

Dengan intrik-intrik dan intimidasi-intimidasi berhasillah kaum imperialis dengan bantuan klik Hatta dalam bulan Januari 1948 menggulingkan pemerintah Republik yang revolusioner dan membentuk sebuah pemerintah reaksioner yang dikepalai oleh Hatta, ketika itu Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pemerintah Hatta inilah yang kemudian menjalankan politik pengejaran dan pembunuhan terhadap kaum Komunis dan orang-orang progresif lainnya. Sesudah kekuatan revolusioner dapat dipatahkan dalam peristiwa berdarah yang terkenal dengan nama “Peristiwa Madiun”, maka leluasalah pemerintah Hatta mengadakan kompromi dengan pemerintah Belanda di bawah pengawasan wakil Amerika Serikat.

Pada tanggal 2 November 1949 ditandatanganilah oleh [40] pemerintah Hatta dengan pemerintah Belanda persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang pada hakikatnya tidak lain daripada menetapkan kedudukan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan.

Perjuangan nasional revolusioner rakyat Indonesia yang sudah hampir 50 tahun sejak tahun 1908, yang sudah lebih dari 30 tahun sejak pemberontakan tahun 1926, yang sudah hampir 30 tahun sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, dan sudah lebih dari 11 tahun sejak Revolusi Agustus 1945 belum melakukan tugas-tugas sepenuhnya, yaitu kemerdekaan nasional yang penuh, perubahan-perubahan demokratis dan perbaikan penghidupan rakyat. Revolusi Agustus belum selesai sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, adalah kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia, dan terutama sekali bagi proletariat Indonesia dan PKI, untuk menggenggam dalam tangannya seluruh pertanggunganjawab guna menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya.

Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan-kesalahan dalam melakukan pekerjaan guna penyelesaian tugas-tugas Revolusi Agustus sampai rampung sama sekali, maka wajiblah kita mengenal benar-benar apakah yang menjadi sasaran-sasaran revolusi ini? Apakah tugas-tugasnya? Apakah kekuatan-kekuatan yang mendorongnya? Apakah watak atau karakternya? Apakah perspektif-perspektifnya? Inilah soal-soal pokok revolusi Indonesia dan tentang inilah yang akan dibicarakan di bawah ini.

Pasal 2. Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia

Berdasarkan analisis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal, maka PKI dalam Kongres Nasionalnya yang ke-5 (Maret 1954) telah menetapkan apa yang menjadi sasaran-sasaran revolusi Indonesia pada tingkat sekarang, apa yang menjadi tugas-tugasnya, kekuatan-kekuatan pendorongnya, karakter dan perspektif-perspektifnya. Pengertian yang jelas tentang masyarakat Indonesia adalah syarat mutlak untuk mengerti semua soal pokok dan penting dari revolusi Indonesia.

Salah satu arti yang terpenting dari Kongres Nasional ke-5 PKI ialah, bahwa kongres ini, berdasar-[41]kan pengertian yang tepat tentang masyarakat Indonesia telah dapat memecahkan masalah-masalah pokok dan penting dari revolusi Indonesia, yaitu sebagai berikut:

A. Tentang Sasaran-Sasaran Pokok atau musuh pokok revolusi Indonesia pada tingkat sekarang dinyatakan dalam program PKI adalah imperialisme dan feodalisme.

Tentang sasaran-sasaran pokok revolusi Indonesia Program PKI antara lain mengatakan:

“Selama keadaan di Indonesia masih tetap tidak berubah, artinya, selama kekuasaan imperialisme belum digulingkan dan sisa-sisa feodalisme belum dihapuskan, rakyat Indonesia takkan mungkin membebaskan diri dari keadaan melarat, terbelakang, pincang, dan tak berdaya dalam menghadapi imperialisme.

Kekuasaan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme tidak akan hapus di Indonesia selama kekuasaan negara di negeri kita dipegang oleh tuan-tuan tanah dan komprador-komprador yang berhubungan erat dengan kapital asing karena mereka mau mempertahankan penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di negeri kita, karena mereka paling takut kepada rakyat Indonesia”.

Dengan menyatakan bahwa sasaran-sasaran pokok revolusi Indonesia adalah imperialisme dan feodalisme, maka berartilah bahwa musuh-musuh pokok rakyat Indonesia dalam tingkat revolusi sekarang adalah borjuasi besar negeri-negeri imperialis dan kelas tuan tanah di dalam negeri.

Kelas-kelas inilah yang berkomplot menindas rakyat Indonesia. Karena penindasan oleh imperialisme atas rakyat Indonesia adalah yang paling kejam, maka imperialisme adalah musuh yang paling penting dan paling sengit dari rakyat Indonesia.

Revolusi Indonesia tidak hanya harus melawan borjuasi besar negeri-negeri imperialis dan kelas tuan tanah di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kaum komprador atau agen-agen imperialisme asing yang terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri.

Melawan imperialisme asing dengan tidak melawan kaum komprador yang menjadi kaki tangannya adalah pekerjaan sia-sia, karena kaum imperialis asing tidak akan mungkin berkuasa di Indonesia sekarang jika tidak mempunyai jaring-jaring kaki tangan-kaki tangan yang diselundupkan di mana-mana, seperti di dalam pemerintahan pusat dan daerah, di dalam jawatan-jawatan, di dalam badan-badan ekonomi dan keuangan, di dalam partai-partai politik, di dalam organisasi-organisasi massa, di [42] dalam pers, di dalam badan-badan kebudayaan, universitas-universitas, angkatan perang dan kepolisian, di dalam macam-macam panitia resmi dan tidak resmi, di dalam badan-badan penyelidik, di kalangan keagamaan, dan di kalangan gerombolan-gerombolan bandit.

Di antara agen-agen imperialisme asing ini ada yang mempunyai persekutuan kapital dengan kaum kapital besar asing, tetapi ada juga yang tidak, dan yang demikian ini mendapat bayaran dari dana-dana istimewa atau bentuk-bentuk suapan lainnya dari kaum imperialis.

Jadi teranglah, bahwa revolusi Indonesia mempunyai musuh-musuh yang masih kuat, yang masih sangat berbahaya, yaitu kombinasi dari kaum imperialis, kaum komprador, dan kaum tuan tanah feodal yang memandang rakyat Indonesia sebagai musuhnya.

Keadaan musuh-musuh revolusi Indonesia yang masih kuat ini tidaklah berarti bahwa mereka dalam keadaan berkembang, tetapi sebaliknya, mereka dalam keadaan runtuh dan sekarat. Meskipun demikian, adalah keliru jika kita mengecilkan kekuatan musuh-musuh revolusi Indonesia ini.

Karena musuh-musuh revolusi Indonesia masih kuat, maka perjuangan untuk mengalahkan musuh-musuh ini adalah perjuangan yang sengit, berat, dan makan waktu panjang. Menganggap enteng perjuangan revolusioner rakyat Indonesia adalah keliru, demikian juga adalah keliru menganggap bahwa perjuangan ini bisa dilakukan dalam waktu singkat dan dalam suasana yang terburu-buru.

Dalam memimpin perjuangan rakyat yang sengit, berat, dan makan waktu panjang ini, kita harus menjalankan taktik membawa maju perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dengan perlahan dan berhati-hati, tetapi pasti. Dalam melakukan perjuangan yang makan waktu panjang ini, kita harus tidak henti-hentinya melawan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan-kecenderungan menyerahisme dan avonturisme yang bersumber pada ketidakuletan borjuis kecil.

Karena musuh-musuh rakyat menggunakan semua bentuk perjuangan, maka kita juga harus pandai menggunakan semua bentuk perjuangan. Kita harus pandai menggunakan semua bentuk kegiatan yang terbuka dan legal, yang diperbolehkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan, oleh kebiasaan-kebiasaan, dan adat-istiadat di dalam masyarakat.

Sidang Pleno ke-4 CC PKI antara lain memperingatkan bahwa kita [:]

“harus waspada dan harus senantiasa [43] memersiapkan diri dan memersiapkan rakyat di segala lapangan agar kaum reaksioner tidak bisa menghalangi keinginan rakyat untuk mencapai perubahan-perubahan sosial yang fundamental secara damai, secara parlementer”.

Dengan sendirinya pekerjaan PKI bukan hanya pekerjaan parlementer saja, tetapi juga dan terutama pekerjaan-pekerjaan di kalangan massa, yaitu massa kaum buruh, kaum tani inteligensia, dan massa pekerja serta massa demokratis lainnya.

Semua pekerjaan ini, yang di dalam maupun di luar Parlemen, ditujukan untuk mengubah imbangan kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan tanah dan borjuasi komprador di satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak lain. Dalam menggunakan bentuk-bentuk perjuangan ini, agar tujuan-tujuan Partai dapat dicapai, kita harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan, menguntungkan dan tahu batas. Yang terpenting bukannya besarnya hasil, tetapi bahwa perjuangan itu berhasil, dan bahwa hasil itu merupakan basis untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dan lebih banyak.

Pendeknya, dalam pekerjaan menumpuk kekuatan yang makan waktu panjang untuk mengalahkan musuh-musuh yang masih kuat, jeritan-jeritan yang keras-keras dan aksi-aksi yang keburu nafsu tidak akan membawa revolusi Indonesia kepada penghancuran sasaran-sasarannya. Keuletan dan ketekunan bekerja yang terus-menerus, inilah yang dituntut oleh Partai kita dari tiap-tiap anggotanya, terutama dari kader-kadernya.

B. Tentang Tugas-Tugas Revolusi Indonesia dikatakan dalam program PKI bahwa tugas revolusi Indonesia ialah menciptakan pemerintah rakyat yang [:]

“bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis.

Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga anti-feodal dan anti-imperialis, yang mampu memberi tanah dengan cuma-cuma kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi rakyat; suatu pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap persaingan asing, yang mampu meninggikan tingkat hidup materiil kaum buruh dan menghapuskan pengangguran.

Dengan singkat, ia akan merupakan suatu pemerintah rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan”. [44]

Jelaslah, bahwa tugas-tugas terpenting ialah berjuang terhadap dua musuh yaitu menjalankan revolusi nasional untuk menggulingkan kekuasaan imperialisme, musuh dari luar, dan menjalankan revolusi demokratis untuk menggulingkan kekuasaan tuan-tuan tanah feodal di dalam negeri. Yang primer dari dua tugas terpenting ini ialah revolusi nasional untuk menggulingkan imperialisme.

Dengan mengatakan bahwa tugas primer ialah menggulingkan imperialisme, tidaklah berarti bahwa dua tugas penting dari revolusi Indonesia dapat berjalan sendiri-sendiri.

Tidak! Dua tugas penting ini saling berhubungan. Tanpa menggulingkan kekuasaan imperialisme, kekuasaan kelas tuan tanah tidak mungkin diakhiri, karena imperialisme adalah penyokong yang terpenting dari kelas tuan tanah.

Di pihak lain, karena kaum tuan tanah feodal adalah basis sosial yang terpenting dari kekuasaan imperialisme atas Indonesia, maka kekuasaan imperialisme tidak mungkin digulingkan tanpa menggulingkan kekuasaan kaum tuan tanah feodal. Yang terakhir ini hanya dapat digulingkan jika proletariat mampu membangunkan kekuatan pokok dari revolusi, yaitu massa kaum tani, dengan jalan membantu mereka menggulingkan tuan tanah-tuan tanah feodal.

Dengan demikian, jelaslah bahwa front buruh dan tani anti-feodalisme adalah basis dari front persatuan nasional anti-imperialisme. Jadi, dua tugas pokok revolusi Indonesia adalah berbeda, tetapi bersamaan dengan itu ia juga saling berhubungan satu dengan lainnya.

Pikiran ingin “menyelesaikan revolusi nasional lebih dulu” dan kemudian “sesudah revolusi nasional selesai”, baru melaksanakan “revolusi demokratis anti-feodalisme” adalah pikiran yang keliru dan berbahaya.

Pikiran ini keliru dan berbahaya karena “ingin menyelesaikan revolusi nasional” tanpa memperjuangkan pembebasan kaum tani dari penindasan sisa-sisa feodalisme, berarti tanpa menarik kaum tani ke pihak revolusi.

Pikiran yang keliru ini pada hakikatnya didorong oleh maksud supaya kedudukan tuan tanah-tuan tanah feodal tidak diganggu-gugat. Mereka berdalih, bahwa kalau diganggu-gugat kaum tuan tanah akan meninggalkan front nasional anti-imperialisme dan akan menentang revolusi. Tetapi apakah benar demikian? Sama sekali tidak benar!

Jika pikiran [45] ini diterima maka hasilnya tidak lain ialah, bahwa pihak tuan tanah tetap tidak akan memperkuat front nasional secara sungguh-sungguh; sedangkan kaum tani, kekuatan pokok revolusi kita, tidak akan dapat dibangkitkan dan dimobilisasi untuk melawan imperialisme, karena musuh pokok dan langsung dari kaum tani, yaitu kaum tuan tanah feodal, tidak diapa-apakan dan tetap bebas melanjutkan pengisapan ekonomi dan penindasan politik terhadap kaum tani. Tanpa membangunkan dan menarik kaum tani di dalam revolusi, tidak mungkin revolusi nasional diselesaikan sampai ke akar-akarnya!

Untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya Partai telah mempunyai Program Umum, yaitu dasar kerja sama antara PKI dengan semua partai, dengan semua golongan dan perseorangan yang demokratis dan patriotik dalam menyelesaikan seluruh tuntutan Revolusi Agustus.

Di samping mempropagandakan program umumnya, PKI memersatukan rakyat berdasarkan tuntutan-tuntutan politik dan ekonomi yang konkret sekarang dan menjadikan tuntutan konkret sekarang sebagai alas untuk bekerja sama waktu sekarang dengan semua partai, semua golongan dan perseorangan yang demokratis dan patriotik.

Tuntutan politik yang urgen untuk sebanyak mungkin memersatukan rakyat pada tingkat sekarang ialah tuntutan pelaksanaan Konsepsi Presiden Sukarno seratus persen, sebagai langkah yang penting dalam mencapai tujuan strategis dari revolusi Indonesia, yaitu pelaksanaan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya.

C. Tentang Tenaga-Tenaga Penggerak atau Kekuatan-Kekuatan Pendorong Revolusi Indonesia di dalam Program Umum Konstitusi Partai Komunis Indonesia (PKI) dikatakan bahwa [:]

“tenaga penggerak revolusi Indonesia adalah kelas buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil dan elemen-elemen demokratis lainnya yang dirugikan oleh imperialisme”.

Semuanya ini merupakan kekuatan progresif dalam masyarakat Indonesia. Persoalan kekuatan-kekuatan pendorong atau tenaga-tenaga penggerak dari revolusi ialah persoalan kelas-kelas dan lapisan-lapisan manakah di dalam masyarakat Indonesia yang merupakan kekuatan-kekuatan yang konsekuen berjuang melawan imperialisme dan feodalisme. Problem taktik-taktik pokok revolusi Indonesia hanya bisa secara tepat di-[46]pecahkan jika ada pengertian yang jelas tentang soal itu.

Program PKI menyatakan bahwa “kelas buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional harus bersatu dalam satu front nasional”.

Front nasional adalah gabungan antara kekuatan progresif dan kekuatan tengah. Kekuatan tengah pada pokoknya ialah kekuatan borjuasi nasional.

Dalam program PKI juga dikatakan bahwa jalan keluar dari keadaan setengah jajahan dan setengah feodal terletak [:]

“dalam mengubah imbangan kekuatan antara kaum imperialis, kelas tuan tanah, dan borjuasi komprador di satu pihak, dan kekuatan rakyat di pihak yang lain. Jalan keluar terletak dalam membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa, terutama kaum buruh dan kaum tani”.

Dalam Sidang Pleno ke-4 Comite Central (akhir Juli 1956) antara lain dinyatakan, bahwa di dalam masyarakat Indonesia sekarang ada tiga kekuatan, yaitu kekuatan kepala batu, kekuatan tengah, dan kekuatan progresif.

Selanjutnya dikatakan, bahwa pada waktu sekarang kekuatan rakyat, yaitu gabungan antara kekuatan progresif dan kekuatan tengah berusaha untuk membentuk negara Indonesia yang merdeka di lapangan politik dan ekonomi.

Tetapi usaha ini ditentang keras oleh kelas-kelas komprador dan feodal yang bersekongkol dengan kaum imperialis yang dengan ngotot berusaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara embel-embel, yaitu negara yang hanya dalam bentuknya merdeka, tetapi pada hakikatnya menyerah kepada imperialisme.

Garis politik PKI dalam menghadapi tiga kekuatan ini ialah:

dengan sekuat tenaga dan dengan tidak jemu-jemunya mengembangkan kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah dan memencilkan kekuatan kepala batu.

Pelaksanaan garis politik ini adalah sangat penting dalam mengubah imbangan kekuatan di dalam masyarakat.

Di dalam masyarakat Indonesia sekarang ada kelas tuan tanah dan kelas borjuis; kelas tuan tanah lapisan atas adalah kelas-kelas yang memerintah. Yang diperintah ialah kelas proletar, kaum tani, dan semua tipe borjuasi kecil di luar kaum tani; semuanya ini merupakan golongan yang sangat terbesar di dalam masyarakat Indonesia.

Jadi dapat juga dikatakan [47] bahwa jalan keluar dari keadaan setengah jajahan dan setengah feodal di Indonesia ialah mengubah imbangan kekuatan kelas-kelas yang memerintah di satu pihak, dan kekuatan kelas-kelas yang diperintah di pihak lain.

Sikap dan posisi dari semua kelas, baik yang memerintah maupun yang diperintah adalah seluruhnya ditentukan oleh kedudukan sosial dan kedudukan ekonominya.

Jadi, karakter dari masyarakat Indonesia tidak hanya menentukan sasaran-sasaran dan tugas-tugas revolusi tetapi juga menentukan tenaga-tenaga pendorong revolusi. Kelas-kelas apakah yang dapat dimasukkan ke dalam tenaga-tenaga pendorong revolusi Indonesia?

Untuk mengetahui ini kita perlu menganalisis kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat Indonesia.

Kelas tuan tanah yang mengisap dan menindas kaum tani dan yang lebih banyak menentang perkembangan politik, ekonomi, dan kebudayaan dari masyarakat Indonesia daripada memainkan rol [peran] yang progresif, bukanlah tenaga pendorong revolusi, tetapi sasaran revolusi.

Kelas borjuis ada yang berwatak komprador dan ada yang berwatak nasional. Borjuasi besar yang berwatak komprador langsung mengabdi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis besar asing dan oleh karena itu dibikin gendut olehnya.

Dalam revolusi Indonesia borjuasi komprador bukannya tenaga pendorong revolusi, tetapi penghalang revolusi, oleh karena itu ia adalah sasaran revolusi.

Sedangkan borjuasi nasional mempunyai dua watak. Sebagai kelas yang juga ditindas oleh imperialisme dan dikekang perkembangannya oleh feodalisme kelas ini adalah anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan dalam hal ini kelas ini merupakan satu dari kekuatan-kekuatan revolusioner.

Tetapi di pihak lain, kelas ini tidak mempunyai keberanian dalam menentang imperialisme dan feodalisme secara mendalam karena di lapangan ekonomi dan politik kelas ini lemah dan juga mempunyai tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme.

Karakter dobel dari borjuasi nasional ini menyebabkan kita mempunyai dua pengalaman dengan mereka, yaitu pada periode yang tertentu dan sampai pada batas-batas yang tertentu kelas ini bisa mengambil bagian dalam revolusi melawan imperialisme, melawan kaum komprador dan tuan tanah (misalnya dalam Revolusi Agustus), tetapi dalam periode lain mereka bisa mengekor borjuasi komprador [48] dan menjadi sekutunya di dalam kubu kontra-revolusi (misalnya dalam “Peristiwa Madiun” 1948 dan dalam Razzia Agustus 1951).

Mengenai borjuasi Indonesia ini di dalam Kongres ke-5 PKI, berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam beberapa periode perjuangan Rakyat Indonesia (periode 1920-1926, 1935-1945, periode 1945-1948, periode 1948-1951, dan periode 1951-…) antara lain disimpulkan bahwa:

“Borjuasi nasional Indonesia, karena juga tertekan oleh imperialisme asing, dalam keadaan tertentu dan sampai batas-batas tertentu, dapat turut serta dalam perjuangan melawan imperialisme.

Dalam keadaan tertentu demikian, proletariat Indonesia harus menggalang persatuan dengan borjuasi nasional dan mempertahankan persatuan itu dengan sekuat tenaga.

Dalam keadaan yang lebih tertentu lagi, jika politik Partai pada suatu waktu hanya ditujukan kepada sesuatu imperialisme, maka sebagian dari borjuasi komprador bisa juga merupakan tambahan kekuatan dalam melawan imperialisme yang tertentu itu.

Tetapi walaupun demikian, borjuasi komprador masih tetap sangat reaksioner dan masih tetap bertujuan untuk menghancurkan Partai Komunis, menghancurkan gerakan proletariat dan gerakan demokratis lainnya.

“Karena lemahnya borjuasi nasional Indonesia di lapangan ekonomi dan politik, maka dalam keadaan sejarah yang tertentu borjuasi nasional yang wataknya bimbang itu bisa goyang dan mengkhianat.

Oleh karena itu proletariat Indonesia dan Partai Komunis Indonesia harus berjaga-jaga akan kemungkinan bahwa dalam keadaan yang tertentu borjuasi nasional tidak ikut dalam front persatuan, tetapi dalam keadaan lain lagi mungkin ikut kembali”.

Dalam menghadapi sifat goyang borjuasi nasional Indonesia, perlu diperhatikan, bahwa justru karena lemah di lapangan ekonomi dan politik, kelas ini tidak begitu sukar ditarik ke kiri dan bisa dibikin mantap berdiri di pihak revolusi, asal saja kekuatan progresif besar dan politik serta taktik Partai Komunis tepat.

Dengan demikian kegoyangan kelas ini adalah tidak fatal, adalah bukan tak terhindarkan. Tetapi sebaliknya, jika kekuatan progresif tidak besar dan politik serta taktik Partai Komunis tidak tepat, borjuasi nasional yang le-[49]mah di lapangan ekonomi dan politik ini mudah lari ke kanan dan memusuhi revolusi.

Borjuasi kecil di luar kaum tani, yaitu kaum miskin kota, kaum intelektual, pedagang-pedagang kecil, tukang-tukang kerajinan tangan, nelayan-nelayan, pekerja-pekerja merdeka, dan sebagainya mempunyai status hampir seperti kaum tani sedang.

Mereka juga menderita tindasan imperialisme, feodalisme, dan borjuasi besar dan saban hari terus didesak ke arah kebangkrutan dan kehancuran. Oleh karena itu mereka merupakan satu dari kekuatan-kekuatan pendorong revolusi dan merupakan sekutu proletariat yang bisa dipercaya. Mereka hanya bisa mencapai kebebasannya di bawah pimpinan proletariat.

Kaum intelektual dan pemuda-pemuda mahasiswa tidak merupakan kelas di dalam masyarakat, tetapi ditentukan oleh asal-usul kefamiliannya, oleh syarat-syarat hidupnya, dan oleh pandangan politiknya.

Pedagang-pedagang kecil umumnya mempunyai warung atau toko kecil dan menyewa beberapa atau sama sekali tidak mempunyai pembantu, mereka terus-terusan diancam kebangkrutan karena pengisapan imperialisme, borjuasi besar dan lintah darat-lintah darat.

Tukang-tukang kerajinan tangan dan kaum nelayan mempunyai alat produksinya sendiri, mereka tidak menyewa atau hanya menyewa satu atau dua orang pembantu.

Kaum pekerja merdeka adalah orang-orang dari berbagai lapangan pekerjaan, seperti dokter dan advokat partikelir, mereka bekerja sendiri, tidak mengisap orang lain. Semua borjuasi kecil di luar kaum tani ini umumnya bisa menyokong revolusi dan adalah sekutu yang baik dari proletariat. Kekurangan mereka ialah, bahwa sebagian dari mereka mudah kena pengaruh borjuasi, oleh karena itu harus ada perhatian khusus dalam hal mengadakan propaganda dan pekerjaan-pekerjaan organisasi revolusioner di kalangan mereka.

Kaum tani merupakan 60%-70% dari penduduk Indonesia, merupakan golongan terbesar yang bersama keluarganya berjumlah berpuluh-puluh juta orang. Kaum tani pada pokoknya terbagi dalam tani kaya, tani sedang, dan tani miskin.

Kaum tani kaya memang ada yang menyewakan sebagian dari tanahnya, menjalankan praktek lintah darat, dengan kejam mengisap kaum buruh tani dan wataknya adalah semi feodal, tetapi di samping itu mereka pada umumnya mengambil bagian sendiri di dalam kerja, dan dalam artian ini mereka merupakan se-[50]bagian dari kaum tani.

Aktivitas produktif mereka akan tetap berguna untuk beberapa waktu yang akan datang dan mereka juga bisa membantu perjuangan anti-imperialisme. Mereka bisa bersikap netral terhadap perjuangan revolusioner melawan tuan tanah. Oleh karena itu kita tidak menganggap mereka sebagai tuan tanah.

Kaum tani sedang secara ekonomi berdiri sendiri, umumnya tidak mengisap orang lain dan tidak membungakan uang, sebaliknya mereka menderita pengisapan dari kaum imperialis, kaum tuan tanah, dan borjuasi.

Sebagian dari mereka tidak mempunyai tanah yang cukup untuk dikerjakan sendiri. Kaum tani sedang tidak hanya bisa memasuki revolusi anti-imperialisme dan revolusi agraria, tetapi juga bisa menerima Sosialisme.

Oleh karena itu mereka adalah tenaga pendorong yang penting dari revolusi dan merupakan sekutu proletariat yang dapat dipercaya. Sikap mereka terhadap revolusi adalah faktor yang menentukan menang atau kalahnya revolusi, karena kaum tani sedang merupakan mayoritas di desa-desa sesudah revolusi agraria.

Kaum tani miskin bersama-sama dengan buruh tani sebelum revolusi agraria merupakan mayoritas di desa-desa negeri kita. Kaum tani miskin tidak mempunyai atau tidak cukup mempunyai tanah untuk dikerjakan sendiri, mereka adalah kaum semi-proletar di desa, mereka adalah tenaga pendorong revolusi yang terbesar, dan sudah sewajarnya mereka merupakan sekutu proletariat yang terpercaya dan merupakan bagian pokok dari kekuatan revolusi Indonesia.

Kaum tani miskin dan tani sedang hanya mungkin mencapai kebebasannya dengan pimpinan proletariat, dan proletariat hanya mungkin memberikan pimpinan pada revolusi jika sudah mengadakan persekutuan yang teguh dengan kaum tani miskin dan kaum tani sedang. Yang kita maksudkan dengan “kaum tani” terutama ialah kaum tani miskin dan tani sedang, yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk desa.

Dalam memimpin perjuangan rakyat di desa Partai harus selalu berusaha untuk bisa menarik dan mengerahkan 90% dari penduduk desa, dan dengan sungguh-sungguh bersandar pada kaum tani miskin dan buruh tani serta berserikat dengan kaum tani sedang.

Proletariat Indonesia terdiri dari kira-kira 500.000 buruh industri modern (buruh transpor, pabrik, bengkel, tam-[51]bang, dan lain-lain). Buruh industri kecil dan kerajinan tangan di kota-kota berjumlah lebih dari 2.000.000. Proletariat agrikultur dan kehutanan serta golongan-golongan buruh lainnya merupakan jumlah yang terbesar. Semuanya berjumlah lebih dari 6.000.000 atau bersama dengan keluarganya kira-kira 20.000.000 atau hampir 25% dari seluruh penduduk Indonesia.

Di samping proletariat kota dan desa ini, di desa-desa Indonesia terdapat berjuta-juta buruh tani, yaitu penduduk desa yang pada umumnya tidak mempunyai tanah dan alat-alat pertanian serta hidup dari menjual tenaga kerjanya di desa. Kaum buruh tani merupakan golongan yang paling menderita di desa, dan dalam gerakan tani kedudukannya sama pentingnya dengan kaum tani miskin.

Sebagaimana juga proletariat di negeri-negeri lain, proletariat Indonesia mempunyai kualitas yang sangat baik. Pekerjaannya membikin mereka bersatu dengan bentuk ekonomi yang termaju, membikin mereka mempunyai pengertian tentang organisasi dan disiplin yang kuat, dan karena mereka tidak mempunyai alat produksi sendiri mereka tidak berwatak individualis, selain daripada itu, karena proletariat Indonesia ditindas oleh tiga macam penindasan, yaitu imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang sangat kejam, maka mereka menjadi lebih tegas dan lebih mendalam di dalam perjuangan revolusioner daripada kelas-kelas lain.

Karena Indonesia bukanlah tanah subur untuk sosial-reformisme seperti Eropa, maka sebagai keseluruhannya proletariat Indonesia adalah sangat revolusioner, tentu dengan pengecualian sebagian kecil yang sudah menjadi sampah. Karena sudah sejak munculnya di panggung perjuangan revolusioner proletariat Indonesia sudah dipimpin oleh partai politiknya yang revolusioner, yaitu Partai Komunis Indonesia, maka proletariat Indonesia secara politik adalah kelas yang paling sadar di dalam masyarakat Indonesia. Karena proletariat Indonesia sebagian besar adalah terdiri dari kaum tani yang bangkrut, maka ia mempunyai hubungan-hubungan yang wajar dengan kaum tani yang luas, yang memudahkan persekutuannya.

Walaupun proletariat Indonesia mengandung beberapa kelemahan yang tidak bisa dihindari, seperti misalnya jumlahnya yang kecil jika dibanding dengan kaum tani, umurnya yang masih muda jika dibanding dengan [52] proletariat di negeri-negeri kapitalis dan tingkat kebudayaannya yang masih rendah jika dibanding dengan borjuasi, proletariat Indonesia mau tidak mau telah menjadi tenaga pendorong yang pokok dari revolusi Indonesia.

Revolusi Indonesia tidak akan berhasil tanpa pimpinan proletariat Indonesia. Sebagai contoh yang belum lama kejadian, Revolusi Agustus telah mencapai sukses pada awalnya sebab proletariat sedikit atau banyak sudah secara sadar mengambil bagian yang penting di dalamnya, tetapi kemudian revolusi menderita kekalahan karena rol proletariat didesak ke belakang dan lapisan atas daripada borjuasi mengkhianati persekutuan dengan proletariat (“Peristiwa Madiun”), di samping karena proletariat Indonesia dan partai politiknya belum cukup mempunyai pengalaman revolusioner. Tanpa proletariat mengambil bagian penting tidak ada yang bisa berjalan beres di dalam masyarakat Indonesia. Ini sudah dan terus akan dibuktikan oleh sejarah dan pengalaman.

Harus menjadi pengertian bahwa proletariat Indonesia, walaupun ia merupakan kelas yang mempunyai kesadaran politik dan pengertian organisasi yang paling tinggi, tetapi kemenangan revolusi tidak mungkin tercapai jika tanpa persatuan revolusioner di dalam macam-macam keadaan dengan kelas-kelas serta golongan-golongan revolusioner apa saja.

Proletariat harus menggalang front persatuan yang revolusioner. Di antara kelas-kelas di dalam masyarakat, kaum tani adalah sekutu yang teguh dan terpercaya dari kelas buruh, borjuasi kecil kota adalah sekutu yang bisa dipercaya, dan borjuasi nasional adalah sekutu di dalam periode-periode tertentu dan sampai batas-batas tertentu; demikianlah hukum fundamental yang sudah dan sedang dibuktikan oleh sejarah modern Indonesia.

Kaum gelandangan adalah salah satu hasil dari masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal, berhubung masyarakat inilah yang telah menimbulkan orang-orang penganggur di desa-desa dan di kota-kota, dan kaum penganggur inilah yang kemudian hidup bergelandangan, tak tahu apa yang harus diperbuat dan akhirnya tersesat menempuh jalan yang tidak sah, menjadi pencuri-pencuri, perampok-perampok, gangster, pengemis-pengemis, pelacur-pelacur, dan semua cara hidup atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak normal.

Golongan ini goyang wataknya dan sebagian dari mereka bisa dibeli oleh kaum reaksioner, sedangkan se-[53]bagian lagi bisa memasuki revolusi. Dalam keadaan memasuki barisan revolusi mereka bisa menjadi sumber ideologi dari barisan pengacau yang berkeliaran dan dari anarkisme di dalam barisan revolusi.

Mereka mudah dibikin goyang, baik dengan suapan-suapan materiil maupun dengan hasutan-hasutan untuk membenci dan merusak sesuatu yang konstruktif. Mereka mudah dihancurkan oleh ajakan-ajakan dengan kata-kata yang keras-keras dan galak-galak. Oleh kaum kontra-revolusi mereka mudah disuruh mengucapkan istilah-istilah revolusioner untuk melawan dan merusak Partai kelas buruh, gerakan buruh, dan gerakan revolusioner pada umumnya. Oleh karena itu kita harus pandai mengubah sifat-sifat mereka, terutama sifat-sifat destruktifnya.

Berdasarkan analisa kelas dalam masyarakat Indonesia seperti di atas, maka menjadi jelaslah kelas-kelas dan golongan-golongan mana yang merupakan sandaran imperialisme dan feodalisme, yaitu kelas tuan tanah dan kaum komprador.

Mereka adalah penghalang-penghalang revolusi dan oleh karena itu mereka adalah musuh-musuh rakyat Indonesia. Dengan analisa di atas juga menjadi jelas kelas-kelas dan golongan-golongan mana yang merupakan tenaga-tenaga pokok penggerak revolusi, yaitu kelas buruh, kaum tani, dan borjuasi kecil.

Demikian juga mengenai kelas mana yang bisa ikut serta dalam revolusi, yaitu kelas borjuis nasional. Oleh karena itu, kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional adalah rakyat, dan merupakan kekuatan revolusioner, kekuatan front persatuan nasional.

D. Tentang Watak Revolusi Indonesia dikatakan dalam Program PKI antara lain sebagai berikut:

“Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI berpendapat bahwa pemerintah ini (pemerintah Demokrasi Rakyat) tidak merupakan pemerintah diktator proletariat melainkan pemerintah diktator rakyat. Pemerintah ini bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis”.

Dengan perkataan lain, watak (karakter) revolusi Indonesia pada tingkat sekarang bukanlah revolusi proletar-sosialis, tetapi revolusi borjuis-demokratis.

Kita dapat menentukan watak revolusi kita setelah kita mengerti keadaan khusus masyarakat Indonesia yang masih setengah jajahan dan setengah feodal, setelah [54] kita mengetahui bahwa musuh-musuh revolusi Indonesia pada waktu sekarang adalah imperialisme dan kekuatan-kekuatan feodal, bahwa tugas-tugas revolusi Indonesia ialah menyelesaikan revolusi nasional dan revolusi demokratis untuk menggulingkan dua musuh pokok (imperialisme dan feodalisme), bahwa borjuasi nasional juga bisa mengambil bagian di dalam revolusi ini dan bahwa apabila borjuasi besar mengkhianati revolusi dan menjadi musuh revolusi, pukulan revolusi yang langsung harus tetap ditujukan lebih kepada imperialisme dan feodalisme daripada kepada kapitalisme dan milik perseorangan kaum kapitalis nasional pada umumnya.

Tetapi, revolusi borjuis-demokratis Indonesia sekarang tidak lagi termasuk yang bersifat umum, bukan lagi termasuk tipe lama yang usang itu, tetapi sudah sesuatu yang spesial, sudah tipe baru. Revolusi borjuis-demokratis tipe baru ini disebut juga revolusi demokrasi baru atau revolusi demokrasi rakyat. Ia adalah bagian dari revolusi proletar-sosialis dunia yang teguh menentang imperialisme, yaitu kapitalisme internasional.

Dalam zaman sekarang tidak mungkin lagi ada revolusi borjuis demokratis yang tidak merugikan kaum kapitalis internasional dan yang tidak menguntungkan revolusi proletar dunia yang sudah dimulai dengan Revolusi Sosialis Oktober Besar Rusia tahun 1917.

Revolusi demokrasi rakyat secara politik berarti diktator bersama dari kelas-kelas revolusioner atas kaum imperialisme, kaum komprador, kaum tuan tanah, dan kaum reaksioner lainnya, dan menentang transformasi masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat di bawah diktator borjuis seperti yang terjadi dengan revolusi borjuis Prancis 1789.

Secara ekonomi revolusi demokrasi rakyat berarti menasionalisasi semua kapital dan perusahaan kepunyaan kaum imperialis, kaum komprador, dan kaum reaksioner lainnya, membagi tanah kaum tuan tanah dengan cuma-cuma kepada kaum tani, dan bersamaan dengan itu melindungi pada umumnya perusahaan-perusahaan perseorangan kapitalis-kapitalis nasional dan tidak mengganggu kaum tani kaya.

Bersamaan dengan pada umumnya melindungi perusahaan-perusahaan kapitalis-kapitalis perseorangan, revolusi demokrasi rakyat menciptakan syarat-syarat persiapan untuk Sosialisme. Masa kekuasaan demokrasi rakyat adalah masa peralihan ke Sosialisme, dan bukan [55] bentuk masyarakat tersendiri yang terlepas dari Sosialisme.

Tingkat revolusi Indonesia sekarang adalah tingkat transisi (perpindahan) antara pengakhiran masyarakat setengah jajahan (Irian Barat masih sepenuhnya jajahan [yang berhasil dibebaskan Soekarno pada 1963]) dan setengah feodal dan mendirikan masyarakat sosialis. Proses transisi ini sudah dimulai dengan adanya gerakan-gerakan untuk kemerdekaan nasional pada awal abad ke-20.

Salah satu puncak dari proses transisi ini ialah Revolusi Agustus 1945.

Tetapi Revolusi Agustus tidak dapat menunaikan tugas-tugasnya yaitu menggulingkan kekuasaan imperialisme, musuh dari luar, dan menggulingkan kekuasaan tuan tanah-tuan tanah feodal di dalam negeri, karena dikhianati oleh lapisan atas dari borjuasi dan karena kekurangan pengalaman revolusioner dari proletariat Indonesia.

Dalam tahun 1948 lapisan atas dari borjuasi Indonesia telah melemparkan panji-panji Revolusi Agustus, mereka mengkhianati persekutuan dengan proletariat dan berkapitulasi kepada imperialisme.

Adalah satu kehormatan dan kebanggaan bagi proletariat, untuk dalam keadaan demikian kelas ini tetap setia kepada Revolusi Agustus, memungut kembali panji-panji revolusi yang telah dilemparkan itu, mengibarkannya tinggi-tinggi dan menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia supaya tidak berhenti di jalan, supaya bersatu kembali dan berjuang terus untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus  sampai ke akar-akarnya, untuk merampungkan sama sekali revolusi ini, yaitu mengakhiri sama sekali kekuasaan kaum imperialis dan kaum tuan tanah di bumi Indonesia.

Pengalaman dengan Revolusi Agustus dan pengalaman dengan perjuangan Rakyat Indonesia dalam melawan kolonialisme dan untuk demokrasi di tahun-tahun belakangan ini menunjukkan bahwa siapa saja atau kelas mana saja akan gagal dalam menentukan nasib Indonesia jika meremehkan dan meninggalkan proletariat, meninggalkan kaum tani dan bagian-bagian lain dari borjuasi kecil.

Republik demokratis yang diperjuangkan oleh revolusi Indonesia pada tingkat sekarang hanya mungkin terwujud jika kaum buruh, kaum tani, dan bagian-bagian lain dari borjuasi kecil menempati tempat yang menentukan dan memainkan rol yang menentukan. Republik demokratis yang tidak mau gagal haruslah bersandar [56] pada persekutuan revolusioner dari kaum buruh, kaum tani, borjuasi kecil kota dan rakyat anti-imperialisme dan anti-feodalisme lainnya.

Pengalaman Rakyat Indonesia menunjukkan bahwa Republik Indonesia di bawah pimpinan borjuasi tidak mampu mengakhiri kekuasaan kaum imperialis dan kaum tuan tanah. Hanya di bawah pimpinan proletariat Republik Indonesia bisa menjadi Republik yang benar-benar demokratis, yang dapat mengakhiri kekuasaan kaum imperialis dan kaum tuan tanah feodal.

E. Tentang Perspektif Revolusi Indonesia menjadi terang sesudah jelas sasaran-sasaran, tugas-tugas, kekuatan-kekuatan pendorong dan watak revolusi Indonesia pada tingkat sekarang.

Dengan mengetahui semuanya ini maka menjadi teranglah problem perspektif revolusi Indonesia, problem hubungan antara revolusi borjuis-demokratis dan revolusi proletar-sosialis Indonesia atau antara tingkat sekarang dan hari depan revolusi Indonesia.

Karena revolusi Indonesia pada tingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan Sosialisme dunia dan kehancuran kapitalisme dunia, maka tidak bisa diragukan lagi, bahwa hari depan revolusi Indonesia bukanlah kapitalisme, tetapi Sosialisme dan Komunisme. Mau tidak mau, disetujui atau tidak disetujui, ditentang atau tidak ditentang, inilah perspektif revolusi Indonesia.

Tetapi apakah perspektif “Sosialisme” dan “Komunisme” tidak bertentangan dengan tujuan revolusi tingkat sekarang yang “bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis”? Sama sekali tidak bertentangan.

Memang, jika hanya dilihat dari satu segi, sesudah kemenangan revolusi demokrasi rakyat ekonomi kapitalis akan berkembang sampai batas-batas yang tertentu berhubung perintang-perintang bagi perkembangan kapitalisme akan disingkirkan.

Tetapi hal ini tidak perlu mengagetkan, dan sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Perkembangan kapitalisme nasional sampai batas-batas yang tertentu hanyalah satu segi dari kemenangan revolusi Indonesia.

Segi yang lain ialah, bahwa dengan kemenangan revolusi demokratis berarti juga ada perkembangan faktor-faktor sosialis seperti [:]

pengaruh politik proletariat yang terus bertambah; pimpinan proletariat yang makin lama makin diakui oleh kaum tani, inteligensia dan elemen-elemen borjuis kecil lainnya; [57] perusahaan-perusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan, nelayan, dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya. 

Semua ini adalah faktor-faktor sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan bukan kapitalisme.

Jika kita sudah tahu bahwa perspektif revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan Komunisme, maka jelas apa yang menjadi tugas Partai kita pada tingkat revolusi sekarang dan di kemudian hari.

Partai kita mempunyai tugas dobel dalam memimpin revolusi Indonesia.

Pertama, di bawah semboyan “Menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya” kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak borjuis-demokratis; kedua, yaitu sesudah selesai yang pertama, kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak proletar-sosialis.

Inilah keseluruhan tugas revolusi Indonesia.

Tiap-tiap anggota PKI harus siap sedia untuk menunaikan keseluruhan tugas revolusi ini, dan harus bertekad pantang berhenti di tengah jalan.

Gerakan revolusioner Indonesia yang dipimpin oleh PKI adalah gerakan revolusioner yang tidak setengah-setengah, tetapi gerakan revolusioner yang komplit, oleh karena itu ia merangkul dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis, dua proses revolusioner yang berbeda watak, tetapi yang satu dengan lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat pertama selesai.

Untuk melakukan tugas-tugas yang besar dan berat tetapi mulia ini, kita harus terus berjuang untuk menjadikan Partai kita partai yang meliputi seluruh nasion, yang mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik dan organisasi.

Semua anggota PKI harus mengambil bagian aktif dalam membangunkan Partai demikian ini. Bagi Partai yang demikian ini tidak ada benteng yang tidak bisa direbut, baik benteng Republik Demokratis maupun benteng Republik Sosialis. [58]

ooOoo

.

.