Menyambut 67 tahun Republik Indonesia 17 Agustus 2012.

Mengapa Pancasila Perlu-Perlunya

Masuk Kotak?

.

Menyimak (Ulang) Sebuah Tulisan Soekarno pada  1926

(Bagian Ketiga dari Tiga Tulisan / Habis)

.

Bagian Pertama hlm 23a; Bagian Kedua hlm 24a; Bagian Ketiga hlm 25a 

.

Sekali Lagi: Orientasi Sosialis

Dan Redaksi merasa sudah waktunya mengajak Pembaca Budiman mengulas sedikit menukik ke dalam “orientasi sosialis” yang sudah beberapa kali disebut sebelumnya.

Kemudian kita akan kembali lagi pada TPDK Arief Budiman untuk menyimak sepintas Andre Gunder Frank, sekaligus mengakhiri risalah bersambung ini.

Berharap. Pertanyaan yang menjadi tajuk risalah bersambung ini—dengan menyimak tulisan Soekarno di koran Suluh Indonesia Muda (1926) berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme­—meski mungkin belum terjawab secara memadai. Mudah-mudahan, setidaknya menggelitik kita untuk mencoba (kembali) percaya pada jati diri kita.

Pertama-tama Redaksi mulai dari sebuah buku di era Uni Soviet.

Political Economy of Socialism Edited by Professor GN Khudokormov (Institute of Social Sciences , Mocow Progress, 1985)—selanjutnya Redaksi singkat PEoS.

Buku kumpulan risalah dengan kontributor para jauhari (cendekiawan): Professor MM Avsenev, Dr Sc (Econ); Professor ED Andres, Dr Sc (Econ); Professor GN Khudokormov, Dr Sc (Econ); Assistant Professor AF Butov, Cand Sc (Econ).

Terkait topik orientasi sosialis, Redaksi khusus mengacu pada MM Avsenev.

Di Bab 3 bertajuk Economic Problems of Socialist Orientation (Persoalan Ekonomi Orientasi Sosialis—Red), Avsenev mengawali dengan pengantar singkat dan secara umum menyinggung apa itu revolusi sosialis (socialist revolution)—hal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran kaum Marxis-Leninis (ML)—dan orientasi sosialis (socialist orientation):

Jalan utama menuju sosialisme terletak pada transisi dari kapitalisme ke sosialisme melalui sebuah revolusi sosialis, menumbangkan kekuasaan borjuis dan mendirikan diktator proletariat yang akan melaksanakan transformasi serta menjamin kemenangan relasi produksi sosialis.

Kita telah menganalisis hukum-hukum yang mengatur (laws governing—Red) transisi dari kapitalisme ke sosialisme pada bab sebelumnya.

Lamun (namun), pada transisi secara mendunia (world-wide transtition—Red) dari kapitalisme ke sosialisme, negeri-negeri secara ekonomi dan politik terkebelakang dapat langsung menuju ke sosialisme dari formasi prakapitalis, melangkaui (membypass—Red) kapitalisme.

Kini (sekitar paruh 1980-an saat buku ini terbit—Red), sejumlah negeri di Asia, Afrika dan Amerika Latin mengikuti jalan pengembangan ini, yang kemudian dikenal sebagai orientasi sosialis.

(PEoS, hlm 49, cetak tebal dari Redaksi)

Memang, sebelumnya Avsenev—sebagai kontributor untuk dua bab—menulis di Bab 2 dengan tajuk Economic Laws Governing The Emergence And Establishment of Socialism.

Avsenev kemudian melanjutkan, di Bab 3 itu, dengan hakikat dan definisi dari orientasi sosialis (selanjutnya OS—Red)  di bawah sub judul: 1. Kemungkinan  bagi Negeri-Negeri Terkebelakang untuk Sampai pada Sosialisme Melangkaui Kapitalisme (Orientasi Sosialis) dengan sub sub-judul Hakikat Orientasi Sosialis:

OS adalah tahap yang khas dan tertinggi dalam revolusi pembebasan nasional yang memersiapkan dasar bagi suatu transisi selanjutnya menuju sosialisme dengan menciptakan syarat-syarat sosial-ekonomi dan politik serta basis material dan teknis yang memadai untuk melaksanakan transformasi ini.

Oleh karena itu, OS  dapat didefinisikan sebagai tahap demokrasi dalam revolusi pembebasan nasional di negara-negara terkebelakang yang—hakikatnya secara sosial dan ekonomi adalah terbatas untuk pengembangan kapitalisme nasional—mencabut dari (keterbatasan pengembangan kapitalisme nasional dimaksud—Red) kemungkinan untuk menjadi cara produksi (mode of production—Red) dominan, dan penciptaan syarat-syarat transformasi sosialis pada basis pengembangan prioritas pembangunan sektor negara dan koperasi dalam perekonomian. (Tanda pisah “—“ dari kami—Red)

(PEoS, 49)

Tampak, setidaknya dari analisis di atas, bahwa kaum jauhari era Uni Soviet seperti Avsenev ini, mengakui bahwa negeri-negeri terkebelakang tersebut adalah pada tahap “prakapitalis”, yang  “hakikatnya secara sosial dan ekonomi adalah terbatas untuk pengembangan kapitalisme nasional”.

Sehingga pascarevolusi pembebasan nasional itu negeri-negeri tersebut “mencabut (depriving) dari keterbatasan pengembangan kapitalis itu kemungkinan untuk menjadi cara produksi dominan” yang bersyarat “transformasi sosialis” pada basis perekonomian—pengembangan prioritas sektor negara dan koperasi.

Hal yang berbeda dengan tesis Andre Gunder Frank—menganggap negeri-negeri terkebelakang itu (Frank menyebutnya negara-negara satelit) negara kapitalis. Seperti sudah Redaksi singgung di tulisan sebelumnya, jelang bagian akhir Bagian Kedua di hlm 24b atau klik ini.

Dan menurut hemat Redaksi dari pengantar Avsenev yang dikutip di atas, solusi revolusi yang ditawarkan Frank lebih dekat kepada apa yang disebut Avsenev sebagai revolusi sosialis.

Hal yang kita mafhumi bersama merupakan persyaratan utama sebuah pilihan jalan sosialisme terlebih bagi kaum ML. Tengara Redaksi ini makin diperkuat  penjelasan Avsenev menyoal revolusi sosialis di bawah ini.

OS dan Revolusi Sosialis: Diktator Proletariat.

Jadi dari OS, versi kaum jauhari Soviet itu, ada dua hal yang Redaksi pahami.

Pertama, OS sejatinya mengakui negeri-negeri terkebelakang masih prakapitalis. Tetapi lewat revolusi pembebasan nasional justru “dicabut”  dari keterbatasan kapitalisme itu kemungkinan untuk dijadikan bertransformasi, bertransisi ke sosialisme. Kemungkinan berorientasi sosialis—singkatnya OS.

Kedua, ternyata ada perbedaan mendasar antara OS dengan “Revolusi Sosialis”. Seperti disinggung Avsenev di pengantarnya di atas. Dan lebih jelas lagi dalam pernyataan Avsenev berikut. Tautannya dengan ciri utama jalan sosialisme kaum ML yakni diktator proletariat.

Kini (paruh 1980-an saat buku ini terbit—Red), di negeri-negeri di mana masih hadir kemungkinan untuk OS (terpisah dari mereka yang sudah mengikuti jalan [revolusi sosialis—Red] ini) meliputi negara-negara Afrika Tropis, Asia Tengah-Timur, negeri-negeri Asia Tenggara, serta beberapa negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Negeri-negeri lain yang termasuk kelompok negara-negara berkembang, telah mencapai tingkat pengembangan kapitalis di mana suatu transisi ke sosialisme dapat berpengaruh hanya melalui revolusi sosialis menggulingkan borjuasi berkuasa ketimbang melalui OS.

Sebagai suatu tahap pengembangan yang khusus, pra-sosialis, OS memiliki beberapa fitur (feature, ciri­—Red) yang sama dengan periode transisi ke sosialis (dalam revolusi sosialis—Red) dan menangani beberapa tugas yang—di negeri-negeri di mana kapitalisme telah mencapai suatu tingkat pengembangan tinggi atau menengah—terpecahkan selama periode transisi dari kapitalisme ke sosialisme. (Tanda pisah “—“ dari kami—Red)

Pada waktu yang sama, perbedaan penting eksis antara OS dan konstruksi sosialis yang layak (the socialist construction proper—Red).

Distingsi (perbedaan—Red) utama adalah bahwa OS tidak menyatakan secara tak langsung (imply—Red) diktator proletariat. Pendirian diktator proletariat yang ditandai penyelesaian tahap OS dan dimulainya konstruksi sosialis yang layak.

OS mungkin dapat diinterupsi dan pertanyaan “siapa akan mengalahkan siapa” (who will beat whom—Red) dapat diputuskan dalam kondisi yang merestui (in favour—Red) oleh koalisi borjuasi atau borjuis-feodal, ketimbang kelas pekerja.

(PEoS, 50, cetak tebal dari Redaksi)

(“favour” menurut Free Dictionary by Farlex salah satunya bermakna: “a condition of being regarded with approval or good will [esp in the phrases in favour, …])”—Red).

Menarik bahwa Avsenev memakai kata “mungkin” (may be—Red) ketika menyebut “OS mungkin dapat diinterupsi ….”.

Rupanya Avsenev seolah sudah wanti-wanti, seolah sudah memberikan pesan sungguh-sungguh  tentang “kemungkinan dinterupsi” oleh intervensi sang imperialis. Yang menjelang akhir risalah beliau di Bab 3 ini sengaja memberi garis bawah pada kalimat dari alinea berikut:

Lepas dari berbagai kesulitan terkait dengan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan pada negara-negara berorientasi sosialis, ada pula kesulitan-kesulitan tambahan yang spesifik bagi negeri-negeri ini.

Salah satu di antaranya adalah subversi oleh imperialisme dan lingkaran-lingkaran reaksioner lokal yang pada beberapa negeri memeroleh bentuk sangat akut.

(PPoS, 64)

Hemat Redaksi gambaran Avsenev itu (dan penjelasan di bawah nanti) tampaknya “cocok” dengan situasi jelang dan saat Kudeta Merangkak atas Soekarno itu—walau Soekarno dan PKI “baru akan” mewujudkan OS lewat “demokrasi terpimpin”.

Tengara “baru akan” tersebut memerkuat pendapat Redaksi di  tulisan pengeposan sebelumnya. Bahwa gagasan mendunia Soekarno, di dalam literatur-literatur tingkat dunia menyoal sosialisme, tidak diperhitungkan. Tetapi, tidak bagi kaum imperialis berikut jauhari mereka yang secara de facto berfungsi sebagai tameng. Setidaknya, ceritanya lain lagi bagi seorang jauhari Swedia Olle Törnquist, misalnya.

Hal yang tidak mengherankan, setidaknya bagi Redaksi.

Bagaimana seorang jauhari revisionis Olle Törnquist alih-alih menyoal peran imperialisme dalam tesis doktoralnya ketika menganalisis penghancuran PKI (Partai Komunis Indonesia).

Malah Törnquist “geram” luar biasa pada Aidit/PKI yang mencampakkan “demokrasi borjuis” diganti “demokrasi terpimpin” Soekarno. (Simak Hancurnya PKI oleh PKI di hlm 24a blog ini atau klik ini)

Sehingga juga, jauh panggang dari api, mengharapkan Törnquist akan menyoal PKI pada argumen tesis Avsenev  “interupsi imperials” dan “who beat whom” yang dapat diputuskan “in favour”  oleh koalisi yang (juga “baru akan” terbangun) bukan kelas pekerja itu.

Justru seorang jauhari bukan kaum ML. Seorang pegawai pemerintah-antikomunis di era junta militer Soeharto Asvi Warman Adam, yang meletakkan imperialisme (beliau menyebut nekolim) sebagai pemegang saham mayoritas penyebab gerakan tiga puluh September itu, hemat Redaksi memberikan “clue” menarik untuk sebuah penelitian ilmiah lebih lanjut.

“Keblingernya” Aidit disebabkan situasi yang sangat meruncing saat itu. Menjelang peristiwa itu, kekuasaan terpusat pada tiga pihak, yakni Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat (AD).

AD menguasai senjata, sedangkan PKI mendominasi dukungan massa. 

(Simak Hancurnya PKI oleh PKI di hlm 24a atau klik ini)

Kembali ke wanti-wanti Avsenev perihal interupsi intervensi imperialisme. Kita lanjutkan apa kata beliau.

Dalam praktik hal (interupsi —Red) itu, mungkin sebagai hasil dari sebuah kudeta yang didukung imperialisme internasional, seperti kasus di Ghana atau deregenerasi (kemunduran/kemorosotan suatu generasi—Red/Badudu, 2005) lapisan atas berkuasa dari demokrasi revolusioner (misalnya di Mesir dan Somalia), atau, yang terakhir, sebagai hasil sebuah invasi militer imperialis (Granada).

Selain itu, sebuah negeri yang OS-nya diinterupsi mungkin telah mencapai suatu tingkat pengembangan kapitalis di mana pengembaliannya ke jalan  pengembangan sosialis, seperti sudah disebutkan sebelumnya, membutuhkan sebuah revolusi proletar menggulingkan borjuasi berkuasa, ketimbang OS.

Konsekuensinya, OS adalah sebuah proses yang didampingi suatu perjuangan kelas akut dan bukan sekadar transisi otomatis dari formasi pra-kapitalis ke sosialisme.

(PPoS, 50, 51)

Untuk melengkapi pemahaman kita bersama atas OS, Redaksi kutip ulang di sini apa yang pernah disampaikan menanggapi komentar pembaca di hlm 13a atau klik ini.

Kami mencoba melengkapi penggalan-penggalan pemikiran di atas dengan (masih) mengutip jauhari Rusia di era Uni Soviet dalam buku mereka yang lain Theory of State and Law (Progress Publishers, 1987, hlm 82)—dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita.

Negara berorientasi sosialis, dalam esensi kelasnya, adalah kekuasaan rakyat revolusioner-demokratis. Sebuah negara yang kekuasaannya bukan dimiliki oleh borjuis nasional, tetapi oleh suatu blok terdiri dari kekuatan-kekuatan berbagai kelas dan kelompok-kelompok sosial revolusioner.

Pada beberapa negara, yang sudah menetapkan suatu program orientasi sosialis, peran pembimbing oleh kelas pekerja telah dinyatakan dan partai berkuasa mendasarkan kegiatan mereka pada prinsip sosialisme ilmiah.

Negara berorientasi sosialis adalah sebuah tahap transisional menuju negara diktator proletariat, yang adalah instrumen utama membangun sosialisme.

Teori OS Sesuai ML Bukan “Penemuan Kremlin”, Wallerstein yang Ragu RRT Sosialis, Lenin: Awalnya Pembebasan Nasional …

Sebelum mengakhiri pemahaman OS lewat jauhari Avsenev ini, Redaksi merasa perlu mengutip argumentasi Avsenev menyoal sub judul di atas. (Juga merupakan kutip ulang tanggapan Redaksi atas komentar pembaca di hlm 13a tersebut).

Pasalnya, dari pengamatan Redaksi, para jauhari Barat kelas dunia yang kerap dikenal sebagai cendekiawan “kiri” atau berpendekatan Marxis sekalipun, (memang) tidaklah selalu klop dengan kaum Marxis-Leninis.

Immanuel Wallerstein, misalnya. Di dalam risalahnya How to Think About China  mengambil posisi “tak berpihak” untuk tidak mengatakan ragu dalam melihat Republik Rakyat Tiongkok sebagai sebuah negara sosialis—pascaOS, konstruksi sosialis yang layak, pinjam Avsenev.

Padahal bagi kaum ML, setidaknya bagi Redaksi, Partai Komunis Tiongkok hari-hari ini sedang melakoni, “memimpin” demokrasi diktator proletariat (bersama 8 partai non komunis yang dibawahinya dalam wadah CPPCC China People’s Political Consultative Conference) untuk menjamin ajeknya jalan sosialisme. Ketika kaum kapitalis “dirangkul habis”, “diberdayakan” untuk meningkatkan tenaga-tenaga produktif ke kelas dunia berdampak langsung kemakmuran rakyat berikut negara.

Berikut negara sosialis yang kaya dan kuat ketimbang para kapitalisnya yang (juga) kaya raya tingkat dunia pula tapi tak (otomatis/sekalipun mau) punya kekuasaan (politik).

Inilah, sekali lagi, yang membedakan secara hakiki dengan Amerika Serikat. Lantaran basis (base), bangunan bawah, sosialistis itu mewujudkan superstruktur, bangunan atas, yang juga bersesuaian, pada cirinya yang khas pula: demokrasi proletariat.

Hal senada yang sudah dikemukakan oleh seorang Marxis-Leninis Vince Sherman yang pernah Redaksi acu termasuk jauhari Tiongkok Dong Zhongqiao (simak hlm 10a atu klik ini).

Dan dari Arief Budiman, mengertilah, setidaknya bagi Redaksi, di mana posisi seorang Wallerstein dalam menuju sosialisme: “Bagi Wallerstein, dinamika sistem dunia, yakni kapitalisme global, selalu memberi peluang bagi negara-negara yang ada untuk naik atau turun kelas.” (TPDK, 111)

Apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini, hemat Redaksi, sebuah kenyataan objektif bahwa tesis Wallerstein di atas benar adanya sekaligus “berhikmah”. Kita sedang “naik kelas”. Berbarengan bahwa “hikmah” pada kelas baru ini mengacu pemahaman Avsenev, butuh sebuah revolusi sosialis ketimbang OS. Pertanyaannya, apa revolusi sosialis ini yang dikehendaki Immanuel Wallerstein? Bukan. Ternyata Andre Gunter Frank—seperti sudah disinggung di muka.

Lamun, mengacu Lenin juga Engels yang disinggung Avsenev (dirinci di bawah), negeri tercinta ini hari-hari ini dengan hadirnya UUD 2002/niramendemen UDD 1945 hasil “penyelundupan hukum” dibantu kaum IBe imperialis dan begundalnya itu, lebih dekat pada jalan OS lewat pembebasan nasional ketimbang melalui revolusi sosialis. Hal yang, sekali lagi, mengagetkan, sudah diupayakan oleh seorang Soekarno.

Yang Redaksi kuatirkan, bila (sebagian) kita juga larut bak berasyik masyuk dalam membuntuti pendekatan jauhari macam Wallerstein. Bukan tidak mungkin kita pun makin khusuk “memahami dunia” (baca: tanpa sadar kebelet menjadi “pakar Marxisme”). Ujung-ujungnya abai “merubah dunia” lewat (pembentukan) sebuah partai revolusioner—mengacu Tesis ke-11 Marx kepada Feuerbach yang dijuluki Engels: esensi dari filsafat kaum proletar (simak catatan ML Kedua di hlm 2b atau klik ini).

Untung, dari kabar yang masuk ke Redaksi, ada di antara kita khususnya kaum muda progresif revolusioner yang tampaknya sadar situasi tersebut. Lalu menyebut kekhusukan jenis itu adalah kegiatan “rekreatif”. Kegiatan waktu luang. Alhamdulillah!

Redaksi terinspirasi. Blog ini pun setidaknya berusaha bukan wujud kegiatan waktu luang. Meski sebagai media pewarta warga di dunia maya “terbatas” (mimpinya) ikut memberikan inspirasi untuk sebuah praksis bagi perubahan Indonesia lewat (terbentuknya) organisasi politik revolusioner. Sembari bersikap “realistis”—namanya juga usahe, pinjam ungkapan orang Betawi.

Sehingga … kita tinggalkan dulu Wallerstein, berlanjut lagi dengan Avsenev.

Beberapa kaum ideologis imperialis menegaskan bahwa gagasan orientasi sosialis, bermakna, kemungkinan bagi negeri-negeri yang dulunya koloni dan belum-merdeka dapat menuju sosialisme dengan membypass (membypass—Red) kapitalisme, adalah “penemuan Kremlin”.

Tetapi persoalan ini bukan barang baru dalam pengajaran Marxis-Leninis.

Kaum Marxis-Leninis berpandangan substantif secara teoritis dan membuktikan dalam praktik, bahwa orientasi sosialis adalah jalan yang tercepat dan relatif kurang menderita untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi negeri-negeri yang telah menyingkirkan belenggu kolonial, lantaran sosialismelah yang menjamin suatu pertumbuhan ekonomi dan budaya yang tak-bersela serta meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan sangat cepat.

Engels menulis: “Bukan hanya mungkin lamun tak terhindarkan, sekali proletariat menang dan alat-alat produksi beralih ke kepemilikan umum (common ownership; bukan private ownership/kepemilikan pribadi—Red) (seperti—Red) di antara para nasion Eropa-Barat, (maka—Red) negeri-negeri (merdeka itu—Red) … di mana institusi kesukuan atau peninggalan mereka masih utuh, akan bisa “untuk sangat memersingkat” kemajuan menuju masyarakat sosialis dan sebagian besar dari mereka (negeri-negeri–Red) itu sendiri terhindar dari penderitaan dan perjuangan melalui mana kita di Eropa Barat harus membuat jalan kita sendiri.

(PEoS, 51-52)

Dalam karyanya terakhir Lenin melontarkan sebuah kesimpulan teoritis dan praktis yang penting terhadap dampak bahwa “pada pertempuran menentukan yang akan datang dalam revolusi dunia, gerakan mayoritas dari populasi di muka bumi, awalnya mengarah pada pembebasan nasional, berikutnya akan melawan kapitalisme dan imperialisme.

Dengan kata lain ia (Lenin—Red) memerlihatkan bahwa transisi dari negeri-negeri yang dulunya koloni dan belum merdeka menuju sosialisme dengan melangkaui kapitalisme menjadi sebuah hukum objektif yang mengatur perkembangan umat manusia di masa (epoch—Red) krisis umum kapitalisme.

(PEoS, 54, cetak tebal dari Redaksi)

Sekali lagi: Andre Gunter Frank, Raul Prebisch, juga M Avsenev

Sesuai dijanjikan, Redaksi mampir lagi di bukunya Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (TPDK), sebelum mengakhiri risalah bersambung ini—yang menyoal mengapa perlu-perlunya Pancasila masuk kotak.

Bagi Redaksi, ada hal menarik dari analisis lebih lanjut Frank dan Prebisch di bukunya Arief itu. Juga kaitannya dengan uraian Avsenev di atas. Redaksi sebagai pewarta warga berharap ada kaum jauhari ML kita yang tertarik mengembangkan isu ini lebih jauh pada kondisi Indonesia.

Frank dalam teorinya mengembangkan kembali konsep Prebisch tentang negara-negara pusat dan pinggirian, yang disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan negara-negara satelit.

Tetapi, kalau Prebisch terutama bicara tentang aspek ekonomi dari persoalan ini, yakni ketimpangan nilai tukar, Frank lebih berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negeri-negeri satelit.

(TPDK, 66)

Melompat ke halaman berikutnya, Arief merinci secara garis besar teori Frank:

Pada Teori Frank jelas ada tiga komponen utama:

(1) modal asing,

(2) pemerintah lokal di negara-negara satelit, dan

(3) kaum borjuasinya.

Pembangunan hanya terjadi di kalangan mereka. Sedangkan rakyat banyak, yang menjadi tenaga upahan, dirugikan.

Maka ciri-ciri dari perkembangan kapitalisme satelit adalah:

(1) kehidupan ekonomi yang tergantung,

(2) terjadinya kerja sama antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negara-negara satelit, yakni para pejabat pemerintah, kelas tuan tanah dan kelas pedagang, dan

(3) terjadinya ketimpangan antara yang kaya (kelas dominan yang melakukan eksploitasi) dan yang miskin (rakyat jelata yang diekploitasi) di negara-negara satelit. 

Dan tesis Frank berikut yang dipetakan Arief, seperti sudah disinggung di muka, yang membedakannya dengan kaum jauhari era Uni Soviet, Avsenev khususnya. Meski sama-sama melangkaui kapitalisme menuju sosialisme.

Juga bagi Frank, masyarakat di negara-negara satelit bukan lagi masyarakat feodal, karena kaum bangsawan yang ada sudah berproduksi untuk pasar dunia.

Para bangsawan memang memerlakukan para petani dengan cara-cara feodal. Tetapi pada tingkat internasional, mereka sudah  menjadi kelompok kapitalis. Mereka berproduksi untuk pasar dunia yang kapitalistis.

(TPDK, 68) 

Sekali lagi, di titik berikut inilah perbedaan Frank dengan Avsenev, meski sama-sama menolak teori pentahapan revolusi:

Atas dasar tesis di atas, Frank menolak pendapat kaum Marxis yang menganut teori pentahapan revolusi, yakni bahwa kalau masyarakat tersebut masyarakat feodal, perlu ada revolusi borjuis dulu yang akan melahirkan masyarakat kapitalis, sebelum menjalankan revolusi sosialis

Menurut Frank, negara-negara satelit merupakan negara kapitalis. Karena itu, perubahan yang diperlukan adalah yang langsung menuju pada sosialisme.

Jadi, bagi Frank, keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.

(TPDK, 68)

Jadi kalau Redaksi boleh ringkaskan, bagi Frank negara-negara satelit itu adalah negara kapitalis jadi langsung menuju sosialisme (konstruksi sosialis yang layak, sebutan Avsenev) lewat revolusi sosialis. Sementara buat Avsenev negeri-negeri jajahan masih prakapitalis tapi melangkaui kapitalisme menuju sosialisme (orientasi sosialis) lewat pembebasan nasional.

Sementara, bagi Redaksi yang mufakat dengan “jalan kapitalisme oleh negara” yang dilakoni RRT sebagi sebuah ajar bagi kita di Indonesia, menyimak lebih lanjut pemikiran Prebisch lewat Arief, “melengkapi” sebuah lagi argumentasi menarik. Sebuah lagi teori pembangunan Dunia Ketiga khususnya bagi Indonesia saat risalah ini ditulis.

Sekadar menyegarkan ingatan. Di bagian pertama risalah Redaksi ini (simak sub judul Teori Modernisasi, Teori Struktural, Teori Ketergantungan di hlm 23a atau klik ini), dalam peta Arief dimaksud disebutkan bahwa ahli ekonomi liberal Prebisch bersama teori Marxis tentang imperialisme dan kolonialisme yang tergolong kelompok teori Gold itu, merupakan dua induk yang melahirkan Teori Ketergantungan.

Prebisch sendiri berpengalaman menggumuli dampak depresi besar 1930-an di Argentina sebelum Perang Dunia Kedua. Kemudian mendirikan dan menjadi Direktur ECLA (Economic Commision for Latin Amerika) di Cile awal 1950-an. (Simak TPDK, 48)

Menurut Prebisch, adanya Teori Pembagian Kerja Secara Internasional, yang didasarkan pada Teori Keunggulan Komparatif, membuat negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya.

Oleh karena itu, negara-negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok, negara-negara pusat yang menghasilkan barang-barang industri, dan negara-negara pinggiran yang memproduksi hasil-hasil pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan , dan menurut teori di atas, seharusnya keduanya saling beruntung dan sama-sama kaya. Tapi kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Mengapa?      

Prebisch menunjukkan pada penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang industri. Barang-barang industri menjadi semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian. Akibatnya terjadi defisit pada perdagangan negara-negara pertanian bila mereka berdagangn dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama semakin mahal.

(TPDK, 46)

Singkat cerita, dari pemetaan Arief atas Prebisch itu:

… Prebisch menyimpulkan bahwa keterbelakangan di negara-negara Amerika Latin tetap berlangsung karena negara-negara ini terlalu mengandalkan ekspor barang-barang primer. Kesimpulan ini kemudian dikenal dengan nama Tesis Prebisch-Singer (dari nama Hans Singer, yang juga sampai pada kesimpulan yang sama pada waktu yang bersamaan).

Atas dasar analisisnya, Prebisch sampai pada pendapatnya yang terkenal: Negara-negara yang terbelakang harus melakukan industrialisasi, bila mau membangun dirinya. Industrialisasi ini dimulai dengan industri substitusi impor. …

Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi industri-industri bayi ini melalui kebijakan proteksi. Baru setelah industri bayi ini menjadi dewasa dan sanggup bersaing … proteksi ini ditarik kembali.

Ekspor barang-barang primer masih tetap penting perannya, karena dari devisa yang dihasilkannya dapat diimpor barang-barang modal berupa mesin-mesin industri. Sementara itu diusahakan terus supaya barang-barang modal ini di kemudian hari bisa dibuat sendiri oleh negara-negara ini.

(TPDK, 48, cetak tebal dari Redaksi)

Dan bagi Redaksi, inilah bagian paling menarik dari Prebisch ketika sampai pada peran pemerintah, peran negara. Hal yang, hemat Redaksi, paralel dengan apa yang terjadi di RRT yang sedang menegakkan konstruksi sosialis yang layak sambil menjalankan ekonomi pasarsosialisme pasar, sebutan Duan Zhongqiao.

Bagi Prebisch, campur tangan pemerintah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk membebaskan negara-negara ini dari rantai keterbelakangannya.

Kendati demikian, perlu dicatat bahwa Prebisch atau ECLA tidak menganjurkan ekonomi yang dipimpin oleh negara, seperti yang terjadi di negara-negara sosialis sebelum terjadi perubahan pada tahun 1990.

Teori pembangunan yang dikembangkan di ECLA menolak teori ekonomi liberal yang membolehkan segalanya. Ekonomi pasar harus dipertahankan, tetapi melalui pengarahan dari negara.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ECLA sedikit banyak dipengaruhi juga oleh teori Keynes, dalam arti teori ini menolak sistem ekonomi liberal di mana negara harus benar-benar tidak ikut campur, kecuali sebagai penjaga kemurnian sistem.

(TPDK, 48-48, cetak tebal dari Redaksi)

Dan penggalan berikut dari pemikiran seorang jauhari Tiongkok Prof Duan Zhongqiao, Universitas Renmin Tiongkok, Beijing, mungkin bisa membantu kita memahami “posisi” RRT, setidaknya terhadap gagasan Presbich di atas.

Bila negara-negara sosialis menanggalkan pelaksanaan ekonomi terencana pada ekonomi milik-negara dan mendorong setiap perusahaan ke pasar selama transformasi dari ekonomi terencana yang terdahulu ke ekonomi pasar, ekonomi milik-negara akan tak terelakkan tertransformasi menjadi ekonomi kapitalis.

Ekonomi milik-negara adalah berdasarkan kesadaran untuk menuju sosialisme yang digambarkan Marx.

Ekonomi individual bisa mau atau tidak untuk bergerak langsung ke sosialisme. Ekonomi kapitalis tidak bisa bergerak ke sosialisme secara spontan dan niscaya melawan sosialisme.

Jika hanya ekonomi milik-negara yang menduduki posisi terdepan dalam keseluruhan ekonomi pasar, akan memungkinkan  negara-negara sosialis mendesak suatu orientasi sosialis bagi seluruh masyarakat dan mentransformasikan sektor ekonomi kapitalis, ketika ia  kehilangan alasan untuk eksistensi, ke dalam ekonomi sosialis.

(Duan Zhongqiao dalam risalahnya Market Economy and Socialist Road; simak hlm 40b atau klik ini)

Mengapa Pancasila Perlu-Perlunya Masuk Kotak?

Redaksi ulangi apa yang sudah dikemukakan di awal bagian pertama risalah bersambungan ini, bahwa pertanyaan ini sejatinya ditujukan kepada kaum IBe, kaum imperialis beserta para antek/begundalnya. Dan jawabannya juga sebenarnya sudah muncul di bagian kedua risalah bersambung ini.

Bahwasanya, seorang Soekarno yang dikenal sangat nasionalis  itu, hemat Redaksi, sekaligus juga seseorang yang menafsirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam kerangka berpikir kaum Marxis-Leninis atau setidaknya paralel.

Inilah poin utamanya.

Kaum IBe pun tidak mau kalah sigap dengan Soekarno dalam hal “melampaui zamannya”. Pancasila-UUD 1945 di hadapan kaum IBe tak lebih tak kurang dari ajaran-ajaran yang “sesat” , berada di “poros setan”: harus dilenyapkan dari bumi Indonesia, cepat atau lambat.

Atau setidaknya: Pancasila masuk kotak.

Dari peta teori pembangunan di Dunia Ketiga yang disusun Arief Budiman pun, juga mengacu kaum jauhari era Uni Soviet seperti M Avsenev.

Redaksi coba tunjukan bahwa jawaban Soekarno “soal rezeki” atas motivasi imperialis (baca: kepentingan ekonomi) beserta tesisnya tentang “Roh Asia” (baca: front persatuan bukan diktator proletariat dalam perjuangan pembebasan nasional) tidak diametral.

Malahan teori-teori tersebut seolah memerkuat pemikiran Soekarno yang terbukti melampui zaman itu.

Tetapi bagi kaum jauhari yang—pinjam Vince Sherman, secara de facto sebagi perisai-kiri imperialisme—revisionis seperti Max Lane, sudah seharusnya hemat kami berpendapat berlawanan.

Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan bukan penyatuan.

(Malapetaka di Indonesia, sebuah esai renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri, oleh Max Lane, Penerbit Djaman Baroe, Cetakan I, 2012, hlm 84)

Sehingga, setidaknya bagi Redaksi, untuk kesekian kali, perjuangan kemerdekaan jilid 2 (baca: hapusnya UUD 2002/niramendemen UUD 1945) adalah hal yang tak terelakkan.

Tetapi tidak bagi Lane. Perjuangan yang juga sudah seharusnya pula tidak disinggung Lane dalam bukunya itu.

Lantaran  inilah  “perjalanan panjang” imperialis berbuntut menjadikan Indonesia sesuai citranya mereka sendiri.

Menghempaskan gagasan demokrasi terpimpin berbasis Pancasila-UUD 1945 Soekarno untuk memberi tempat bagi demokrasi neoliberal, didahului “prelude” konstitusi awal itu untuk masuk kotak—efektif per 1 Oktober 1965.

Berlanjut Kudeta Merangkak atas Soekarno 1965-1967 (simak hlm 2b.1). Membawa perwira tinggi Angkatan Darat itu ke tampuk kekuasaan republik ini.

“Direstui” kaum imperialis selama 3 dasawarsa sambil bertopeng “Kesaktian Pancasila”; berujung, dengan integritas diri serupa para begundal sejawatnya seperti Marcos dst, menyabet gelar Koruptor Terkaya di Dunia. (Tempo Interaktif, 25/3/2004)

“Digenapi” menjadi masuk kotak konstitusi awal itu secara “penyelundupan hukum”—de facto bukan de jure—pada kurun 1999-2002 (baca: UUD 2002/niramenemen UUD 1945/ 4 “amendemen”, 1 “amendemen” per tahun) di gedung wakil rakyat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senayan, Jakarta, bersamaan (kebetulan?) masih maraknya kerusuhan di Kota Ambon, Maluku.

Data terbarui (update): bubarnya BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi) oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 November 2012 dengan alasan bertentangan  UUD 1945. (Simak hlm 26 atau klik ini).

Hal yang bagi Redaksi adalah bagian dari “progres”, “kemenangan(-kemenangan) sektoral” perjuangan kemerdekaan jilid 2 tersebut. Meski kami sadar MK sendiri justru “produk” konstitusi gadungan itu. Malah, maaf, sepertinya berfungsi sebagai sebuah mahkamah yang akan “memerbaiki kekurangan” UUD 2002 cacat hukum itu. Ironis!?

ooOoo

 

Tinggalkan komentar