Pembatalan Reklamasi Pulau G Dinilai Preseden Ketidakpastian Hukum

.

.

DK-74g-reklamasi pulau G
KOMPAS.com/KAHFI DIRGA CAHYA — Aktivitas reklamasi di Pulau G, Jakarta Utara, Rabu (20/4/2016). Reklamasi oleh PT Muara Wisesa Samudera masih berlangsung meski pemerintah sudah menyepakati pemberhentian reklamasi sementara waktu.

.

JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan Komite Bersama Reklamasi Teluk Jakarta membatalkan Pulau g atau Pluit City dinilai merupakan contoh buruk manajemen ruang Indonesia.

Kepastian hukum, kepastian usaha, hak hidup dan keberlanjutan lingkungan sekitar menjadi tak menentu dengan langkah pembatalan parsial oleh Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli.

“Pulau G Teluk Jakarta semakin menjadi contoh buruk manajemen ruang Indonesia dan tidak berfungsinya Kementerian Tata Ruang sebagai kementerian yang mengurus tata ruang nasional,” papar Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro kepada Kompas.com, Sabtu (2/6/2016)

Rizal, kata Bernie (sapaan karib Bernardus), telah memberikan sinyal pemerintah sendiri mengabaikan kepatuhan hukum terhadap aturan tata ruang,  mengecilkan arti perencanaan,  dan secara langsung mengatakan bahwa Rencana Tata Ruang tidak penting.

Padahal, seharusnya pemerintah memperhatikan kaidah perencanaan tata ruang yang sudah ada, sebagai pijakan pembangunan. Pemerintah harus memaduaduserasikan aturan tata ruang baik darat, laut,  dan pesisir..

Rizal juga dianggap tidak bijak dengan menganulir peran Menteri Agraria dan Tata Ruang dalam pengambilan keputusan ini. Padahal mandat tata ruang ada di Menteri Agraria Tata Ruang, seperti termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2007.

Reklamasi, senang atau tidak, sudah ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2030 dan Rencan Detail Tata Ruang (RDTR) DKI.

“Pembatalan oleh Kemenko Maritim harusnya dilakukan melaluijudicial review, dan revisi terhadap perda RTRW,  RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ). Tidak bisa parsial,” tutur Bernie.

Kalaupun ada revisi, hanya bisa dilakukan setelah 5 tahun, yaitu paling cepat akhir 2017 atau 2018, atau 5 tahun setelah Perda disahkan.

Semua sudah diatur, dan semuanya demi tata ruang untuk menjamin lingkungan yang aman, nyaman dan berkelanjutan.

Penanganan Teluk Jakarta yang tidak proporsional seperti ini, pasti berdampak sistemik. Semua daerah akan melihat bahwa penanganan pemerintah seperti ini adalah keniscayaan.

Saat ini ada 5.000 RDTR dan PZ di seluruh kota kabupaten di Indonesia harus disusun sebagai mandat UU. Pembatalan seperti ini, membuat masa depan dokumen hukum Rencana Kota menjadi tidak ada artinya.

Semua pihak akan sadar bahwa tidak ada kepastian dalam hukum kita. Tidak ada kepastian dalam usaha dan pembangunan kawasan.

Lebih dari itu, Bernie menyatakan, pembatalan itu juga sebagai potret tidak ada jaminan bahwa rencana kota akan berjalan baik, karena bisa diintervensi oleh penguasa.

“Masyarakat menjadi skeptis, memang tidak ada fungsi Kementerian Tata Ruang di Indonesia. Sangat disayangkan Pemprov DKI tidak berusaha maksimal dalam mempertahankan rencana tata ruangnya,” kata Bernie.

Jadi,  arahan dan semangat Presiden Jokowi untuk membangun kota-kota Indonesia ke depan yang nyaman, aman, layak huni, dan berkelanjutan, akan sia-sia,  karena semua rencana kota yang disusun daerah sesuai UU Penataan Ruang yang berlaku,  bisa diintervensi dan dibatalkan kapan saja oleh kementerian yang tidak mengurusi tata ruang.

.

Penulis: Hilda B Alexander

Editor   : Hilda B Alexander

ooOoo

Tinggalkan komentar