Nasion-Nasion Inginkan Pembebasan: Nasion Sabuk Hitam di Abad ke-21.

(Ditulis oleh Vince Sherman & Frank Thomson, dengan kontribusi dari Black Uhuru)

.

Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita dari risalah Vince Sherman & Frank Thomson, dengan kontribusi dari Black Uhuru, bertajuk Nations Want Liberation: The Black Belt Nation in 21st Century di blognya Sherman Return to the Source  beralamat http://return2source.wordpress.com/2012/06/24/nations-want-liberation-the-black-belt-nation-in-the-21st-century/

Mengacu risalah dimaksud di blognya kamerad BJ Murphy The Prison gate are open … beralamat http://redantliberationarmy.wordpress.com/2012/06/24/nations-want-liberation-the-black-belt-nation-in-the-21st-century/

.

Pada tahun lalu Amerika Serikat mengalami suatu peningkatan kesadaran politik kaum kulit hitam ketika ribuan orang dari berbagai organisasi maupun secara pribadi tumpah ke jalan-jalan menuntut keadilan bagi Trayvon Martin, remaja Afrika-Amerika berusia 17 tahun, yang terbunuh secara brutal di Sanford, FL. (Negara Bagian Florida—Red)

Ribuan orang bersatu untuk Trayvon Martin di Sanford, FL

Kasus Martin telah menarik perhatian besar atas terorisme sehari-hari yang diderita para warga Afrika-Amerika baik (yang dilakukan—Red) oleh pemerintah AS  maupun para teroris main hakim sendiri, seperti George Zimmerman, yang menjunjung tinggi dan memaksakan suatu sistem yang keji dari supremasi kaum kulit putih.

Selagi gerakan melawan kebrutalan polisi dan penindasan rasis terus bertumbuh, kaum Marxis-Leninis harus menggumuli ikhwal pengomporan (burning question, hal yg kita semua ingin tahu—Red) mengenai bagaimana membangun sebuah perjuangan pembebasan nasional yang revolusioner yang mampu mengakhiri supremasi kaum kulit putih di Amerika Serikat.

Dalam upaya memanfaatkan perjuangan yang sedang bertumbuh melawan rasisme, Organisasi Sosialis Internasional (OSI/ISO International Socialist Organization—Red) mempublikasikan serangkaian artikel dari tahun 1980-an yang mencerminkan pemahaman mereka atas “Sejarah Kaum Kulit Hitam Amerika” (The History of Black America—Red) di surat kabar mereka Socialist Worker.

Artikel-artikel ini, lengkap dengan segala kesalahan yang endemis (terbatas pada kelompok tertentu—Red/Badudu, 2005) atas pemahaman Trotskyit mereka yang aneh itu mengenai sejarah revolusioner, adalah sebuah ikhtiar melempem dari sebuah organisasi yang kebanyakan kaum kulit putih—organisasi yang, inilah sejatinya, mengeluarkan beberapa aktivis kulit berwarna  dari cabangnya di Washington DC pada 2010 (silakan klik expelled several activists of color from its Washington DC branch in 2010—Red)—untuk menjadikan diri mereka relevan dengan perjuangan warga Afrika-Amerika melawan supremasi kaum kulit putih.

Lamun (tetapi), khususnya salah satu artikel yang dipublikasikan pada Sabtu, 16 Juni (2012–Red), menonjol ketimbang yang lain dalam hal revisionisme historisnya, analisisnya yang sesat, dan secara umum konstruksi sintaksisnya (tata kalimatnya–Red/Badudu, 2005) yang miskin itu.

Risalah Lee Sustar, “Penentuan Nasib Sendiri dan Sabuk Hitam” (silakan klik “Self-determination and the Black Belt”—Red) adalah sebuah risalah serangan terhadap tuntutan Marxis-Leninis bagi penentuan nasib sendiri warga Afrika-Amerika, konsep menyeluruh nasion Sabuk Hitam, dan secara umum nasionalisme kaum kulit hitam.

Sarat dengan kekeliruan sejarah, penokohan model orang-orangan (strawman chracterizations—Red), dan salah eja, risalah Sustar itu sendiri nyaris tak layak direspons.

Tak pernah melewatkan kesempatan mengecam dan memfitnah Josef Stalin, Sustar membuat klaim tidak masuk akal bahwa “teori Sabuk Hitam adalah bagian dari sebuah pengubahan ‘kiri’ yang dahsyat oleh Komunis Internasional (Komintern) yang digunakan oleh Josef Stalin untuk menutupi serangan birokrasinya atas negara para pekerja,” dengan alasan bahwa, entah mengapa, menegakkan tuntutan untuk penentuan nasib sendiri para warga Afrika-Amerika memungkinkan Josef Stalin mengkonsolidasikan dengan lebih baik atas apa yang ia sebut ‘rezim kapitalis negara di Rusia’.” (1)

Hubungan antara perjuangan untuk nasionalisme kaum kulit hitam dan Uni Soviet tidak pernah dijelaskan atau dibenarkan oleh Sustar.

Juga klaimnya bahwa permintaan bagi penentuan nasib sendiri kaum kulit hitam didasarkan pada karya-karya seorang profesor Swedia yang bertujuan membenarkan secara teoritis perubahan politik brokrasi yang akan tiba untuk mengontrol Rusia. (2)

Sustar tidak pernah menyebut nama profesor Swedia ini, ia tidak menawarkan bukti apapun yang mengandaikan leluhur dari permintaan untuk penentuan nasib sendiri kaum kulit hitam maupun (karya-karya—Red) seorang profesor semacam itu yang berdampak terhadap pengembangan persoalan nasional kaum kulit hitam yang diadopsi dan diimplementasikan oleh Komunis Internasional (Komintern).

Tetapi kurangnya bukti tidak pernah menggantikan cara fitnah keji OSI atas Marxisme-Leninisme sehingga penghilangan fakta-fakta kunci bukanlah kejutan dan sudah terduga.

Lamun, relevansi yang berlanjut dan penting untuk diperbarui atas persoalan nasional kaum kulit hitam pada abad ke-21 menuntut perhatian serius dari kaum Marxis-Leninis.

Adalah penting untuk membidas (menanggapi—Red) kritik-kritik tak berprinsip dan fitnahan dari pengalaman organisasi-organisasi nasionalis kaum kulit hitam dan PKAS (Partai Komunis Amerika Serikat/CPUSA Communist Party of USA—Red).

OSI mungkin telah menerbitkan risalah ini hampir 30 tahun silam, tetapi kebangkrutan teoritis yang sama memerlihatkan dalam esai yang diterbitkan ulang ini, ajek menginformasikan oplosan aneh mereka atas Cliffite-Trotskyisme saat ini.

Sebaliknya, kaum Marxis-Leninis harus mengedepankan sebuah evaluasi yang berprinsip dan materialis atas keberhasilan dan kegagalan dari berbagai kelompok ini yang berjuang bagi pembebasan kaum kulit hitam, yang secara pas mengkontekstualkan perjuangan spesifik mereka.

Uni Soviet dan Persoalan Nasional

VI Lenin

Posisi Marxis-Leninis pada persoalan nasional warga Afrika-Amerika dan Sabuk Hitam Selatan (Black Belt South—Red) berkembang secara langsung dari pengalaman Uni Soviet dengan mengaktualisasikan tuntutan penentuan nasib sendiri bagi nasion-nasion (bangsa-bangsa–Red/Endarmoko, 2006) tertindas.

Revolusi Oktober 1917 dan berdirinya Uni Soviet menandai berakhirnya penindasan Tsaris atas nasion-nasion di transkaukasus dan Asia Tengah.

Selain (nasion—Red) Rusia, banyak nasion-nasion di bawah kekaisaran Tsaris berpartisipasi dalam revolusi proletar pada Oktober 1917, dan Bolsheviks, dipimpin Lenin, mulai bekerja menuju penciptaan sebuah federasi sukarela dari nasion-nasion yang merdeka, yang menentukan nasibnya sendiri.

Kerusakan yang disebabkan oleh Perang Saudara Rusia yang dilancarkan antara 1918 dan 1922, berbarengan dengan invasi Aliansi atas Rusia oleh empat belas negara pada 1921, menempa rasa persatuan di antara nasion-nasion konstituen berkembang (underdeveloped constituent nations—Red/Endarmoko, 2006) dari bekas kekaisaran Rusia dan pemerintahan revolusioner Bolsheviks.

Setelah keluar dari Perang Dunia I melalui Perjanjian Brest-Litovsk dan muncul sebagai pemenang atas Tentara Putih kaum tsar (tsarist  White Army – Red), Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia (RSFSR/RSFSR Russian Soviet Federative Socialist Republic – Red) bertemu dengan para perwakilan dari nasion-nasion yang sebelumnya tertindas itu dan membentuk Uni Soviet pada 1922.

Pengakuan Uni Soviet atas hak untuk menentukan nasib sendiri dari para nasion konstituennya itu menemukan perwujudan dalam “Deklarasi Hak-Hak Rakyat Rusia” 1917 yang secara hukum dijamin “kesetaraan dan kedaulatan rakyat Rusia, hak rakyat Rusia untuk menentukan nasib sendiri mencakup pemisahan dan pembentukan negara-negara merdeka (independent states – Red), penghapusan semua hak yang diberikan (privileges – Red) dan pembatasan (restrictions – Red) nasional dan agama nasional (national-religious – Red), [dan] pengembangan bebas dari para minoritas nasional dan kelompok-kelompok etnis yang mendiami wilayah Rusia.”(3)

Dengan demikian, setiap analisis atas Uni Soviet harus memerhitungkan kompleksitas komposisi internasionalnya, ketimbang memandangnya sebagai sesuatu yang murni fenomena politik Rusia.

Setelah Uni Soviet terbentuk, Partai Komunis Uni Soviet (PKUS/CPSU Communist Party of Soviet Union—Red) menerapkan kebijakan korenizatsiya (bahasa Rusia, tidak diterjemahkan—Red) untuk mendorong pengembangan indigenos (indigenous, pribumi, asli—Red/Badudu, 2005) bagi pemimpin revolusioner di antara nasion-nasion konstituen URSS (Uni Republik Sosialis Soviet/USSR Union of Soviet Socialist Republic—Red).

Sementara PKUS yang berdalih bahwa bahwa proses konstruksi sosialis bagi setiap nasion secara umum sama, mengakui suatu keyakinan kuat bahwa “setiap nasion yang telah menggulingkan kapitalisme berupaya untuk memplot (membuat garis besar—Red) ikhtiar pengembangan ekonomi, politik dan budaya lewat cara yang paling pas dengan fitur (features, ciri-ciri—Red/Echols-Shadily, 2005) historis dan tradisi progresif yang konkret. (4)

Korenizatsiya adalah sebuah sarana di mana PKUS akan membantu menciptakan partai-partai komunis, budaya, dan ekonomi indigenos yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus nasion bersangkutan.

Komponen utama dari hal ini, dalam pandangan PKUS, adalah kultivasi (cultivation, perkuatan—Red/Echols-Shadily, 2005; Badudu, 2005) pemimpin komunis putera asli daerah (native communist leadership—Red) pada setiap partai (komunis masing-masing—Red) nasion dan promosi kaum minoritas ke institusi-institusi Soviet yang lebih tinggi. (5)

Dalam praktiknya, PKUS “mendukung bahasa-bahasa lokal, mendidik dan mempromosikan elit-elit lokal dan dengan begitu membangun kaum loyalis yang baru pada kausa (cause, bersifat menyebabkan suatu kejadian—Red/Badudu, 2005; Echols-Shadily, 2005) sosialistis” sebagai bagian dari korenizatsiya. (6)

Reza Zia-Ebrahimi dari Sekolah Ekonomi & Politik London menggambarkan proses ini dalam sebuah artikel pada 2007 bertajuk (tidak diterjemahkan—Red) Empire, Nationalities and the Fall of the Soviet Union, menunjukkan bahwa “setiap republik Soviet disandingi dengan sebuah rumah opera kebudayaan resmi, kebudayaan rakyat dan nasional. (7) Pemerintah Soviet melangkah cukup jauh dalam mengembangkan sistem tulis-menulis bahasa-bahasa lokal yang sebelumnya tidak ada.” (8)

Ibu Zia-Ebrahimi mencatat bahwa kebijakan nativisasi (nativitation, mempribumikan—Red) ini berefek terhadap penyerangan chauvinisme (paham terkait chauvinis/nasionalis, patriot–Red/Endarmoko, 2006) nasional Rusia, menyitir Ukrania pada 1920 sebagai contoh, di mana “seorang warga Rusia yang tinggal di sana (di Rusia—Red) harus dididik di Ukrania.” (9)

Meski persisnya manifestasi korenizatsiya berosilasi sepanjang sejarah URSS dan pada waktu itu nasion-nasion (terkait—Red) kurang beroperasi secara bebas—khususnya selama periode glasnot yang dibawa oleh Gorbachev—dedikasi negara Soviet untuk meningkatkan status nasional kaum minoritas dan menjamin representasi politik memerlihatkan sebuah komitmen ideologi sejati penentuan nasib sendiri (secara—Red) nasional yang menginspirasikan bangsa-bangsa tertindas di seluruh dunia. (10)

Pengembangan Masalah Nasional Kaum Kulit hitam

Harry Haywood, salah seorang pendiri barisan Marxis-Leninis pada nasion Sabuk Hitam

Di antara banyak aktivis yang terinspirasi oleh Revolusi Rusia adalah seorang komunis warga Afrika-Amerika Harry Haywood.

Dalam otobiografinya, Black Bloshevik: Autobiogrpahy of an Afro-American Communist, Haywood mengisahkan kegairahannya pada banyak pencapaian dari Revolusi Rusia, mencatat hal penting yang khas bagi warga Afrika-Amerika: “Hal paling impresif (bersifat impresi/pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan perasaan—Red/Badudu, 2005) sejauh kaum kulit hitam perhati (concerned, berperhatian—Red/Endarmoko, 2006) bahwa revolusi itu meletakkan dasar untuk pemecahan persoalan-persoalan rasial dan nasional pada basis kemerdekaan sepenuhnya bagi sejumlah nasion, rakyat dan kaum minoritas kolonial yang dulunya ditindas oleh kekaisaran tsaris.” (11)

Vladimir Lenin dan Bolsheviks yang menangani masalah nasional di Asia Utara meminta Haywood untuk bergabung dengan PKAS pada musim dingin 1923 dan untuk mengunjungi Uni Soviet, sebagai bagian dari delegasi mahasiswa, pada 1925.

Sustar memandang warga Afrika-Amerika asli seperti Haywood, yang menuntut penentuan nasib sendiri bagi kaum kulit hitam di Uni Soviet sebagai  penghinaan dengan merendahkan diri.

Ia menulis: “Untuk para pemimpin ini, teori penentuan nasib sendiri Komitern bagi kaum kulit hitam Bell (sic) harus tampil sebagai suatu komitmen revolusioner untuk melawan rasisme akbar di AS.” (12)

Implikasinya, tentu saja, bahwa Haywood, Otto Hall, dan James Ford, lebih kurangnya adalah penerima pasif dari barisan persoalan kaum kulit hitam nasional—suatu kebohongan bak lalat di wajah fakta sejarah—dan bahwa mereka pada dasarnya ditipu oleh Stalin dengan mengatrol mereka ke posisi yang dapat diterima.

Pada kenyataannya, persoalan kaum kulit hitam nasional yang ditetapkan Komitern terjadi melalui debat sengit dan pertarungan antara para kamerad warga Afrika-Amerika, para kamerad kaum kulit putih di PKAS, serta para kamerad Soviet yang mengkontribusikan pengalaman pertama mereka dalam membangun sebuah republik multinasional URSS (terdiri—Red) dari 15 nasion konstituen yang unik.

Selama kunjungan empat tahun di Uni Soviet, Haywood bersama para kamerad lainnya menganalisis secara cermat karakter dari penindasan kaum kulit hitam di AS.

Posisi PKAS pada waktu itu, para pekerja kulit hitam menjadi subjek prasangka sosial yang keras berdasarkan ras, tapi pada dasarnya mereka mengalami eksploitasi kapitalis yang sama seperti para pekerja kulit putih.

Haywood dan Komitern sampai pada mengkritisi posisi ini lantaran “Untuk menganggap hal tersebut sebuah persoalan ras, kata mereka, berarti jatuh ke dalam jebakan liberal borjuis yang memandang perlawanan untuk kesetaraan sebagai pertarungan utama melawan prasangka rasial kaum kulit putih.” (13)

Pandangan sederhana ini menempatkan penekanan total pada penegakkan gerakan serikat buruh tanpa memerhatikan ras, membawa PKAS melihat secara keliru perjuangan hak-hak sipil kaum kulit hitam “sebagai suatu pengalihan yang akan mengaburkan atau menutupi perjuangan untuk sosialisme.” (14)

Selanjutnya, memandang penindasan warga Afrika-Amerika murni sebagai sebuah persoalan ras “meremehkan akar ekonomi dan sosial dari persoalan dan mengaburkan persoalan revolusi demokratis agraria di Selatan.” (15)

Dalam menggambarkan Rekonstruksi (Reconstruction—Red), Haywood menulis bahwa “revolusi berhenti pada sebuah pemecahan persoalan tanah yang krusial (genting, rumit sekali—Red/Badudu, 2005); di mana yang terjadi di situ bukanlah penyitaan perkebunan besar dari kelas yang dulu berstatus budak (former slaveholding class—Red), juga bukanlah distribusi tanah di antara orang-orang Negro yang terbebaskan (Negro freedmen—Red) dan kaum kulit putih yang miskin.” (16)

Kontra revolusi Kaum Supremasis Kulit Putih (The White Supremacist—Red) pada 1877 mengakhiri Rekonstruksi, dan melalui terorisme fasis oleh kelompok-kelompok paramiliter seperti Ku Klux Klan, para warga Afrika-Amerika ditiadakan hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang diberikan pada warga negara Kulit Putih

Jadi (menyoal—Red) Pembebasan Kaum Negro (Negro Liberation—Red), Haywood menulis di buku terbitan 1948 itu, “Keunikan masalah kaum Negro di Amerika Serikat terletak pada fakta bahwa kaum Negro ditinggalkan dalam transformasi demokratis dari negeri ini.” (17)

Dipengaruhi oleh karya Lenin (tidak diterjemahkan—Red) Draft Theses on National-Colonial Question dan Josef Stalin Marxism and the National Question, kedua karya ini yang mengidentifikasi para warga Afrika-Amerika sebagai sebuah nasion tertindas di dalam AS, Haywood dan pemimpin Komitern meluncurkan sebuah studi intensif tentang karakter rakyat Afrika-Amerika. (18) 

Dalam Marxim and the National Question, Stalin menguraikan syarat-syarat objektif bagi nasionhud (nationhood, kedudukan sebagai nasion merdeka–Red/deskripsi.com) yang “secara historis merupakan komunitas rakyat yang stabil, terbentuk di atas basis bahasa, wilayah, kehidupan ekonomi, dan susunan psikologi (psychological make up—Red) bersama, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama.” (19)

Menggunakan kriteria yang disusun oleh Stalin, Haywood mencatat bahwa “Di bawah syarat-syarat penindasan imperialis dan rasis, kaum Kulit Hitam di Selatan mendapatkan semua atribut sebuah nasion.” (20)

Sebuah wilayah bersama adalah salah satu syarat nasionhud. Meski para warga Afrika-Amerika tersebar di seluruh Amerika, Haywood berpendapat bahwa “wilayah nasion (yang menjadi—Red) subjek ini adalah Sabuk Hitam, sebuah area yang mencakup Selatan Dalam (Deep South—Red),” karena bahkan setelah migrasi para pekerja kaum kulit hitam ke Utara pascaperang (post-war Northern migrations of black workers —Red), Sabuk Hitam tetap berisi (sampai sekarang) konsentrasi kaum Kulit Hitam terbesar negara ini.” (21)

Selain itu, Roni DG Kelly menulis dalam bukunya Hammer and Hoe: Alabama Communists During the Great Depression, bahwa “Region ini, didominasi oleh perkebunan kapas, terdiri dari counties (semacam kabupaten-kabupaten—Red/Badudu, 2005) dengan jumlah mayoritas adalah kaum Kulit Hitam.” (22)

Konsentrasi demografi para warga Afrika-Amerika seiring dengan sejarah mereka yang terikat pada tanah, menuntun Komitern untuk mengadopsi sebuah resolusi yang menegaskan kehadiran sebuah nasion kaum kulit hitam di Selatan Amerika (American South—Red) dalam Kongres Sedunia ke-6 pada 1928. (23)

Nasion Sabuk Hitam, berasal dari pamflet 1938 James Allen, Pembebasan Kaum Negro

Risalah Sustar membentukkan penyesatan (spins a web of sophistry—Red) dengan mencoba berpendapat dari niat tak tulus (back-handedley argue—Red) bahwa Lenin bakal bertentangan dengan garis Komitern pada persoalan nasional kaum kulit hitam.

Sementara Pak Sustar mengakui bahwa Lenin memandang para warga Afrika-Amerika sebagai sebuah nasion tertindas, Sustar kemudian meneruskan pengabaian fakta dalam menggambarkan posisi Lenin sebagai salah satu yang harmoni dengan posisi Trotskyit OSI: Bahwa perjuangan untuk pembebasan nasional adalah “sebuah sarana untuk melawan chauvinisme dan rasisme dalam kelas pekerja” yang simpel. (24)

Dalam kenyataannya, Lenin tetap berpendapat bahwa “adalah perlu agar semua Partai Komunis memberikan bantuan langsung pada gerakan revolusioner di antara nasion-nasion yang dependen (tergantung—Red/Badudu, 2005) dan menjadi subjek (semisal di Irlandia, di antara kaum Negro di Amerika, dst) serta di koloni-koloni.” (25)

Sesuai dengan bentuk Trotskyit, Sustar menghapus setiap masa pekerja keras lainnya di samping kaum proletar, yang dukungannya vital terhadap perjuangan pembebasan nasional.

Lenin menulis: “landasan dari seluruh kebijakan Komunis Internasional atas persoalan-persoalan nasional dan kolonial haruslah merupakan sebuah serikat yang lebih kental antara kaum proletar dan massa pekerja secara umum dari semua nasion dan negeri-negeri untuk perjuangan revolusioner bersama (a joint revolusionary struggle—Red) dalam menggulingkan para tuan tanah dan kaum borjuis.” (26)

Istilah “massa pekerja” tak diragukan lagi mengacu pada kaum tani dan para borjuis kecil (petty-borgeoisie—Red) dari nasion-nasion yang tertindas, yang dapat dan mesti mendukung kaum proletar bagi keberhasilan suatu perjuangan pembebasan nasional yang revolusioner.

Sekencang Trotsky yang memandang hina kebijakan Bolshevik terhadap aliansi strategis antara proletariat dan kaum tani Rusia, OSI pun memandang hina aliansi strategis antara kelas pekerja multinasional dan kelas-kelas nasionalis lainnya yang membentuk nasion para warga Afrika-Amerika yang tertindas.

Sustar dapat berpijak pada posisi tersebut, tetapi itu bersifat antiLenin seperti halnya keseluruhan teori revolusi Trotsky.

Garis terobosan baru dari Komitern atas persoalan warga Afrika-Amerika tetap dipertahankan bahwa “Para warga Afrika-Amerika memiliki hak penentuan nasib sendiri: kekuasaan politik, kendali atas ekonomi, serta hak untuk melepaskan diri dari Amerika Serikat.” (27)

Lamun, dalam pengertian yang lebih luas, garis Haywood atas persoalan nasional mewakili suatu afirmasi (penegasan—Red/Badudu, 2005) dari karakter revolusioner gerakan-gerakan nasionalis kaum kulit hitam yang upaya-upayanya itu dapat menyerang (strike blows against—Red/The Free Dictionary) imperialisme AS dari dalam.

Sementara kaum Marxis-Leninis memandang nasionalisme sebagai ideologi borjuis, hal itu bagaimana pun dapat memicu gerakan-gerakan revolusioner melawan imperialisme di nasion-nasion koloni yang perkembangan ekonomi dan sosial (mereka—Red) tertahan oleh eksploitasi pihak asing.

Pengorganisasian pada Nasion Sabuk Hitam

Sustar memiliki pemahaman teori yang kedangkalannya sulit dipercaya terhadap persoalan nasional kaum kulit hitam, tetapi evaluasi historis Sustar atas dampak pemahamannya itu sama cacatnya.

Ketika Haywood kembali ke AS pada 1930, PKAS sudah mulai mengimplementasikan persoalan nasional warga Afrika-Amerika dengan mengirim kader partai ke Sabuk Hitam untuk mengorganisasikan dan meningkatkan tuntutan penentuan nasib sendiri.

Sustar mengklaim bahwa “perpektif baru yang dilansir PK (PKAS–Red) dalam bentuk serangkaian serangan sektarian yang tak masuk akal terhadap para pemimpin kaum Kulit Hitam dan kelas pekerja, mengalienasikan (mengasingkan—Red/KBBI, 1999) partai dari massa pekerja,” (justru—Red) efek nyata dari fokus partai atas persoalan nasional kaum kulit hitam adalah pertumbuhan luar biasa keanggotaan kaum kulit hitam. (28)

Partai Komunis Alabama khususnya sangat berhasil dalam membangun ikatan yang kuat dengan para warga Afrika-Amerika melalui penerapan teori pengorganisasian politik. Kelly mencatat bahwa “Sejak awal, kaum kulit hitam Birmingham menunjukan suatu minat yang lebih besar dalam Partai ketimbang kaum kulit putih. (29)

Daya tarik partai di antara warga Afrika-Amerika berasal dari sikap partai yang blak-blakan berlawanan terhadap rasisme dan dukungannya bagi penentuan nasib sendiri secara nasional. Kelly menulis bahwa “Selama kampanye pemilu (pemilihan umum—Red) 1930, Partai Komunis melakukan apa yang tidak dikerjakan partai politik di Alabama sejak Rekonstruksi: mendukung seorang calon kulit hitam, Walter Lewis, sebagai gubernur. Platform (program—Red/Echols-Shadily, 2005) pemilu mencakup kesetaraan rasial dan pelaksanaan (exercise—Red) penentuan nasib sendiri pada Sabuk Hitam adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri hukuman mati tanpa pengadilan (lynching—Red) serta untuk mencapai hak-hak politik bagi kaum kulit hitam di sebelah Selatan (Southern blacks—Red).” (30)

Orientasi Partai Komunis Alabama bersasar membangun gerakan para warga Afrika-Amerika yang diterjemahkan ke dalam pertumbuhan eksponensial (pertumbuhan dalam pangkat [2, 3, dst]; bukan lagi dalam perjumlahan—Red/Badudu, 2005) pada kader kulit hitam.

Berangkat dari hanya tiga organisator pada 1929, Partai “membesar menjadi lebih dari 90 (anggota—Red) pada akhir Agustus 1930, dan lebih dari 500 rakyat pekerja yang memenuhi organisasi massa Partai itu, di mana 80 sampai 90 persen di antara mereka adalah kaum kulit hitam.” (31) Kontras dengan klaim Sustar yang tak berdasar, aplikasi yang benar atas persoalan nasional untuk pengorganisasian memicu tingkat pertumbuhan yang cepat di antara para warga Afrika-Amerika di awal (berdirinya—Red) PKAS.

Para pekerja kaum kulit hitam yang paling parah terkena dampak pengangguran yang merajalela akibat Depresi Besar (Great Depression—Red) lantaran pemecatan rasis yang pilih kasih (racist firing preference—Red/Echols-Shadily, 2005) oleh para manajer kaum Kulit Putih.

Dalam membidas (merespons—Red) permintaan untuk memerolah pekerjaan di antara para warga Afrika-Amerika, Partai Komunis Alabama mengorganisasikan sebuah kampanye pengurangan pengangguran pada 1933. Di akhir tahun tersebut “Keanggotaan yang membayar iuran Partai naik mendekati lima ratus dan organisasi-organisasi massanya yang tercakup kemungkinan dua kali lipat jumlah tersebut.” (32)

Kampanye pengurangan pengangguran sangat berhasil mencapai tujuannya “untuk menambah para anggota perempuan kaum kulit hitam, yang kerap terbukti lebih militan ketimbang kamerad mereka yang lelaki, mulai dari konfrontasi terbuka sampai bentuk-bentuk perlawanan tersembunyi, dan kemudian akan terbukti sangat berharga bagi kaum Komunis lokal dalam melanjutkan pekerjaan (perekrutan—Red) mereka di tambang-tambang, pabrik-pabrik, dan perkebunan-perkebunan sabuk hitam.” (33)

Partai Komunis Alabama memertahankan keberagaman yang tinggi karena perhatiannya terhadap penderitaan komunitas warga Afrika-Amerika, khususnya penderitaan kaum perempuan kulit hitam.

Kaum komunis di sebelah Selatan (Southern communist—Red) sangat melibatkan diri mereka dalam gerakan buruh tani bagi hasil (sharecropper labor movement—Red) yang komposisi utamanya para warga Afrika-Amerika. Di Alabama, sebagai contoh, Partai mengorganisasikan Serikat Buruh-tani Bagi Hasil (SBBH/SCU Sharecropper Union—Red) pada 1931, yang bertumbuh menjadi “keanggotaan mendekati 2.000, terorganisasi di 73 (organisasi—Red) lokal, 80 organisasi perempuan sebagai tenaga kerja pendukung/cadangan (woman’s auxialaries—Red), dan 30 kelompok pemuda.” (34)

SBBH diorganisasi secara terbuka oleh kaum komunis Alabama, dan walaupun serikat buruh ini memeroleh dukungan penting dari komunitas warga Afrika-Amerika, mereka juga menjadi subjek tindakan keras oleh aktor-aktor negara dan bukan negara. (35)

Lamun, “SBBH mengklaim beberapa kemenangan penting. Pada sebagian besar perkebunan yang berdampak tersebut, serikat buruh itu memenangkan sedikitnya tujuh puluh lima sen (dolar Amerika—Red) per seratus pon (pound setara sekitar 0,454 kg—Red) dan di area yang tidak kena dampak dari pemogokan, dilaporkan para tuan tanah menaikan upah dari tiga puluh lima sen per seratus pon menjadi lima puluh sen atau lebih dalam rangka mencegah penyebaran pemogokan.” (36)

Daya tarik massa dari SBBH, secara eksplisit sebuah serikat buruh merah, dan kemenangan-kemenangannya yang luar biasa menunjukkan kekuatan yang pernah dimiliki PKAS di Selatan Amerika.

Lantaran buruh-tani bagi hasil dan buruh upahan (wage labor—Red) didominasi oleh para warga Afrika-Amerika, SBBH memberikan pada kaum komunis Alabama sebuah kesempatan menarik untuk menerapkan persoalan nasional pada pengorganisasian serikat buruh. Seorang komunis warga Afrika-Amerika Al Murphy dipilih sebagai Sekretaris SBBH, dan sebagian besar pemimpin serikat buruh selalu dari kaum kulit hitam. (37)

Kelly menulis bahwa sebagai Sekretaris, “Murphy, seorang pendukung gigih Partai yang menuntut penentuan nasib sendiri di sabuk hitam, memiliki gagasan yang sangat jelas dari sifat radikal SBBH. Ia melihat di dalam diri satu per satu dari ‘para pemimpin terkemuka (bearers standard—Red/Free Dictionary) seperti Nat Turner, Denmark Vesey, Gabriel Posser, Frederick Douglas,’ dan dengan memandang semua gerakan kaum kulit hitam sebagai perwujudan sesungguhnya dari penentuan nasib sendiri kaum kulit hitam.” (38)

SBBH hadir untuk mewakili perwujudan penentuan nasib sendiri kaum Kulit Hitam yang diterapkan dalam pengorganisasian, karena kader warga Afrika-Amerika itu sendiri terdiri dari para pemimpin serikat buruh dibanding para birokrat buruh kaum kulit putih yang menandai sebagian besar serikat-serikat buruh lainnya pada 1930-an itu.

Hampir semua pemimpin Partai kaum kulit hitam tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam gerakan radikal, menjadikan SBBH sebuah serikat buruh rakyat yang otentik, mencerminkan konflik kelas di Selatan. (39)

Mungkin satu-satunya aspek dari risalah Sustar dengan sebiji kritik berprinsip adalah klaimnya bahwa persoalan nasional kaum kulit hitam tidak pernah “konsiten dikedepankan dalam praktik.”

Sementara PKAS telah mengimplementasikan dan mengadaptasi teori dengan banyak sukses, bangkitnya fasisme dan pecahnya Perang Dunia II menghasilkan zig-zag (kebijakan berliku-liku—Red) dalam garis Partai atas pembebasan warga Afrika-Amerika, banyak merugikan partai.

Sebagai contoh, PKAS meninggalkan garis Haywood atas persoalan nasional pada 1935 dalam rangka berkolaborasi dengan organisasi-organisasi kaum kulit hitam kelas menengah yang konservatif dalam kegiatan antiperang terkait invasi fasis Italia terhadap Etiopia. (40)

Adalah penting untuk memahami bahwa Sustar sama sekali salah dalam penilaiannya atas implementasi kebijakan.

Berlawanan dengan klaim Sustar bahwa persoalan nasional kaum kulit hitam “berarti mengsubordinatkan kebutuhan para pekerja di bawah kelas menengah dalam nasion tertindas,” yang tidaklah demikian sampai PKAS menanggalkan tuntutan penentuan nasib sendiri secara nasional bagi kaum kulit hitam pada 1935 di mana Partai mulai mengekor borjuis kecil kaum kulit hitam yang konservatif. (41)

Sementara tuntutan bagi sebuah nasion kaum kulit hitam memeroleh traksi (daya tarik—Red) di antara kaum proletar kulit hitam di Selatan Amerika, poros politik lebih ke posisi kanan (rightist—Red) membuktikan harga yang harus dibayar PKAS dan sejatinya memicu semakin berkurangnya pengaruh mereka atas kelas pekerja.

Klaim Sustar adalah ahistoris yang tak beralasan, dan sejatinya fakta-fakta itu memerlihatkan bahwa meninggalkan kebijakan tersebut merupakan kerusakan serius pada ciri pergerakan nasional kaum kulit hitam yang dibangun oleh Partai.

Politik zig-zag ini adalah produk dari kaum komunis di sebelah Utara (Nothern communists—Red), yang mendominasi kepemimpinan PKAS pada waktu itu. (42)

Selain itu, kemunculan mendadak dari Kongres Organisasi-Organisasi Industri (KOOI/CIO Congress of Industrial Organizations—Red), satu-satunya serikat buruh nasional yang membolehkan keanggotaan kaum kulit hitam, mendorong para pemimpin komunis untuk menggulung SBBH ke dalam KOOI pada 1936.

Meskipun pengorganisasian di dalam KOOI memiliki keuntungan taktis dalam hal ketersediaan sumber daya manusia, pembubaran SBBH “sebuah harga yang mahal dari kader Alabama khususnya para organisator kaum kulit hitam.” (43)

Karena kebijakan internal yang rasis, membatasi kepemimpinan warga Afrika-Amerika, “Kaum Komunis Birmingham Kulit Hitam, untuk sebagian besar tidak (dan kerap tidak bisa) menjadi murni birokrat serikat buruh dengan cara seperti para kamerad mereka di KOOI sebelah Utara dan Barat.”(44)

Mencerminkan perubahan mendalam pada garis politik mereka, pengaruh Partai Komunis Alabama menurun di Selatan seiring kehilangan bertahap massanya di kalangan Nasion Afrika-Amerika.

Salah satu klaim Sustar yang lebih tegas adalah klaimnya bahwa PK (Partai Komunis—Red) menekankan sebuah kebijakan yang tidak diikuti oleh para warga Afrika-Amerika: “pada awal 1930-an, adalah Partai Komunis—bukan para pekerja dan kaum tani Kulit Hitam—yang menyerukan penentuan nasib sendiri Sabuk Hitam.”

Sebenarnya siapa yang mengeluarkan slogan dan seruan tersebut? Apakah itu kerja sebuah partai komunis yang menunggu sampai rakyat menyempurnakan tuntutan mereka dan sementara itu tidak ada yang perlu dilakukan kecuali mengatupkan kedua tangan sambil memutar-mutarkan kedua jempol dan berharap yang terbaik?

Tentu saja tidak. Kita katakan bahwa kerja partai adalah mengumpulkan sentimen-sentimen terbaik dari massa rakyat dan menerjemahkannya ke dalam aksi revolusioner koheren (saling bergantung—Red/Badudu, 2005).

Selain itu, sukses besar dari partai Komunis di Selatan khususnya di kalangan para warga Afrika-Amerika kendati represi negara yang luar biasa, menunjukkan para pekerja dan para buruh-tani bagi hasil di Selatan merespons secara sempurna dan positif kebijakan tersebut karena mereka menuntutnya.

Nasionalisme Kaum Kulit Hitam dan Perjuangan Penentuan Nasib Sendiri

Huey P Newton, Menteri Pertahanan Partai Mancan Kumbang Hitam (Black Panther Party—Red)

Tuntutan ini tidak menguap saat PKAS menanggalkan kebijakan tersebut dan mengarah ke revisionisme, malahan berlanjut dengan gerakan nasionalis kaum kulit hitam pada 1960-an dan 70-an.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan imperialis primer dengan Eropa Barat yang sepenuhnya mengandalkan AS untuk mendukung perjuangan mereka melawan Uni Soviet dan Blok Timur.

Imperialis AS memanifestasikan dirinya dalam Perang Korea, termasuk intervensi di Iran, Guatemala dan banyak nasion-nasion lainnya.  

Imperialisme di rumahnya sendiri menegakkan (hukum—Red) setegas sebelumnya: hukum Jim Crow (segregasi antara kaum kulit hitam dan putih untuk berbagai fasilitas publik—Red), hukuman mati tanpa pengadilan bagi publik (public lynching—Red), dan teror KKK (Ku Klux Klan organisasi masyarakat mengaku Kristen Protestan berideologi a.l superemasi dan nasionalisme kulit putih, anti komunisme—Red). Hal ini sampai batas tertentu berlaku di seluruh negeri, tapi yang paling buruk dan brutal hanya di satu kawasan saja: Sabuk Hitam Selatan.

Sebelum keputusan (tidak diterjemahkan—Red) Brown v. Board Education yang historis itu, yang menganggap segregasi (pemisahan, dalam konteks ini, kaum kulit hitam dan putih—Red) di bidang pendidikan inkonstitusional, negara-negara bagian yang mendapat mandat segregasi terkonsentrasi hampir seluruhnya di Selatan.

Pada waktu Musim Panas Merdeka dimulai pada 1964 (Freedom Summer suatu kampanye publikasi gencar di Selatan Dalam guna pendaftaran kaum kulit hitam untuk ikut memilih selama musim panas tahun dimaksud; silakan klik ini—Red), mereka (kaum kulit hitam—Red) tidak pergi ke Chicago atau Philadelphia (keduanya di sebelah Utara—Red), melainkan ke Mississippi (di sebelah Selatan—Red) untuk mendaftar sebagai pemilih dari kaum kulit hitam (black voters—Red).

Bagi Sustar serta yang lain seperti dia, fakta semacam ini dipandang sebagai kebetulan belaka, tapi untuk siapa saja yang mencari kebenaran lewat fakta, hal tersebut mengarah ke satu kesimpulan tertentu: Sabuk Hitam, sebagaimana nasion-nasion korban lainnya, tidak memiliki hak-hak demokratis seperti yang diberikan pada bagian lain dari negeri ini, dan jadinya menurut teori Marxis-Leninis, adalah sebuah nasion tertindas dengan kontradiksi utama adalah imperialisme.

Malcom X

Kesimpulan ini membantu kita memahami sejarah hak-hak sipil dan gerakan kekuatan kaum kulit hitam. 

Sejak partai utama kaum proletar, PKAS, menanggalkan kebijakan penentuan nasib sendiri, tidak ada pelopor (vanguard—Red) yang jelas dalam perjuangan untuk hak-hak demokratis di Sabuk Hitam pada 1960-an.

Ke dalam kekosongan ini kaum borjuis kecil kulit hitam menapak yang dikenal sebagai Gerakan Hak-Hak Sipil (Civil Rights Movement—Red).

Meskipun memiliki kelemahan tak terkirakan lantaran kepimpinan kaum borjuis kecil, gerakan hak-hak sipil menikmati popularitas luar biasa dengan kaum kulit hitam karena mereka (kaum borjuis kecil—Red) menyuarakan tuntutan bagi hak-hak demokratis dasar mereka, hal yang bagi kaum kulit hitam telah lama ditolak.

Secara dialektik, ketika gerakan mencoba untuk mengubah hukum dan struktur kekuasaan yang ada, dirinya sendiri berubah, dan banyak dari pemimpin-pemimpin, termasuk Martin Luther King, Jr, mulai mengembangkan pandangan internasionalis dan anti-imperialis.

Secara bersamaan, nasionalisme kaum kulit hitam mulai dikembangkan sebagai upaya untuk menggagalkan menjadi lebih reformisnya gerakan hak-hak sipil.

Walaupun bukan seorang komunis, Malcom X, mengartikulasikan esensi dari garis Haywood atas persoalan nasional.

Pada 18 Maret 1964, dalam pidato di hadapan hadirin Universitas Harvard, beliau menyokong nasionalisme kaum kulit hitam sebagai “filsafat politik yang mengajarkan kita bahwa orang kulit hitam haruslah mengontrol politik dari komunitasnya sendiri. (45)

Ini adalah penentuan nasib sendiri, jelas dan sederhana.

Tuntutan konkret ini membuat pesannya (Malcom X–Red) sangat populer bagi jutaan kaum kulit hitam di AS yang memandang gerakan hak-hak sipil sebagai terlalu bersifat reformis.

Setelah Malxom X terbunuh pada 1965, tugas pengorgansasian penentuan nasib sendiri kaum kulit hitam tampaknya jatuh ke kelompoknya, Organization for Afro-American Unity (OAAU), tapi dua orang Marxis muda, Nobby Seale dan Huey P Newton segera memfusikan nasionalisme kaum kulit hitam dengan Marxisme.

Saat mendirikan Partai Macan Kumbang Hitam (Black Phanter Party—Red), mereka mengembangkan sebuah program khusus sepuluh-butir yang berbicara tentang tuntutan massa kulit hitam yang bekerja keras dan yang mencakup keyakinan mereka bahwa “Rakyat kulit hitam tidak akan bebas hingga kami bisa menentukan takdir kami” maupun tuntutan mereka “mengakhiri perampokan oleh kaum kapitalis atas komunitas kulit hitam kami.” (46)

Dengan memasukkan kedua tuntutan tersebut, memerlihatkan pemahaman mereka atas sifat komunitas tertindas: bahwa ada tuntutan baik politik demokratis maupun sosialis itu sendiri.

Meski PMKH tidak berbasis di Selatan Sabuk Hitam, dengan menjadikan tuntutan untuk nasionhud—nasion yang merdeka—Red—tidak terpatahkan bagi peserta langsung (immediate audience—Red), mereka mengakui pentingnya tuntutan revolusioner bagi penentuan nasib sendiri kaum kulit hitam

Para revolusioner berjuang untuk pembebasan nasional dan sosialisme di Angola

Popularitas PMKH yang dirasakan menunjukkan kebenaran tuntutan-tuntutan ini termasuk potensi revolusioner komunitas kaum kulit hitam.

Kebangkitan revolusioner kaum kulit hitam di AS selama periode ini bertepatan dengan banyak perjuangan revolusioner dunia ketiga yang terjadi pada waktu itu termasuk Vietnam, Mozambik, dan Angola.

Apa yang digarisbawahi karakteristik nasionalistis yang tertindas dari perjuangan Kekuatan Kaum Kulit Hitam adalah bagaimana kebrutalan imperialisme yang mereka hadapi.

Tidak seperti demonstrasi mahasiswa atau pemogokan serikat buruh, metode konfrontasi yang disukai (kaum imperialis—Red) adalah dengan angkatan bersenjata yang kejam.

Ini termasuk pembunuhan para pemimpin, pengeboman markas besar, dan kebanyakan merupakan jebakan.

Pemerintah AS memerlakukan gerakan Kekuatan Kaum Kulit Hitam secara kualitatif berbeda benar dengan gerakan-gerakan lainnya lantaran  mereka tahu bahwa ini adalah sebuah gerakan nasional dan karenanya dapat menarik (ajar—Red) dari momentum yang diciptakan oleh gerakan pembebasan nasional di seantero dunia.

Di sinilah kaum Trotskyit seperti Sustar kehilangan poin keseluruhan (masalah—Red).

Negara imperialis menunjukkan bahwa ia akan mengacak-ngacak segala sesuatu sampai di tempat sampahnya untuk menghancurkan gerakan nasional di sini di AS dan kini OSI ingin kami menghapus gerakan Kekuatan Kaum Kulit Hitam dari potensi revolusionernya.

Bila musuh telah menunjukkan kebrutalannya, mengapa kita harus meletakkan persenjataan berat kami?

Ajar dari Partai Macan Kumbang Hitam adalah pelajaran di sebuah sungai darah, dan perlu untuk diingat dalam pengorganisasian untuk meraih kemenangan hari-hari ini.

Persoalan Kaum Kulit Hitam di Abad ke-21

Meskipun para warga Afrika-Amerika menjadi lebih tersebar sebagai seorang rakyat ketimbang keberadaan mereka saat Komitern mengeluarkan posisi mereka dari persoalan nasional kaum kulit hitam pada 1930, seluruh syarat-syarat objektif bagi nasionhud kaum kulit hitam—“sesuatu yang dibentuk secara historis, komunitas rakyat yang stabil, terbentuk dari basis, wilayah, kehidupan ekonomi, dan susunan psikologi yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama”—tetap eksis hari ini. (47)

(Bersambung di pengeposan bulan depan di hlm 23b/klik ini, meski aslinya merupakan tulisan utuh bukan serial, hal ini semata oleh alasan keterbatasn teknis, di samping mencoba membantu pembaca di layar monitor–Red)

Referensi.

(Tidak diterjemahkan–Red)

(1) Lee Sustar, Socialist Worker, “Self-determination and the ‘black belt’,” November 1985, Republished June 15, 2012

(2) Ibid.

(3) “Declaration of Rights of Peoples of Russia,” The Great Soviet Encyclopedia. Moscow, 1957, sec. 19-20. http://bse.sci-lib.com/article022065.html

(4) O. Kussinen. Fundamentals of Marxism-Leninism. Foreign Language Publishing House. 1961. pg. 488.

(5) Ibid., pg. 468.

(6) Zia-Ebrahimi, Reza. “Empires, Nationalities and the Collapse of the Soviet Union,” The School of Russian & Asian Studies. August 5, 2007.http://www.sras.org/empire__nationalities__and_the_collapse_of_the_ussr

(7) Ibid.

(8) Ibid.

(9) Ibid.

(10) Roger Keeran, Thomas Kenny, Socialism Betrayed: Behind the Collapse of the Soviet Union 1917-1991, International Publishers.

(11) Harry Haywood, Black Bolshevik: Autobiography of an Afro-American Communist, Liberator Press, 1978, p.119.

(12) Suster, 1985.

(13) Haywood, Black Bolshevik, pg. 222.

(14) Ibid., pg. 229.

(15) Ibid.

(16) Ibid., pg. 231.

(17) Harry Haywood, Negro Liberation, International Publishers, 1948, p.143.

(18) Haywood, Black Bolshevik, pg. 223.

(19) Josef Stalin, “Marxism and the National Question,” Marxist Internet Archive, March 3, 1913, <http://www.marxists.org/reference/archive/stalin/works/1913/03.htm&gt;

(20) Haywood, Black Bolshevik, pg. 232.

(21) Ibid.

(22) Robin D.G. Kelley, Hammer and Hoe, The University of North Carolina Press, 1990, p.13.

(23) Kelley, pg. 13.

(24) Suster, 1985.

(25) V.I. Lenin, Preliminary Draft of Theses on the Nation & Colonial Question, Peking Foreign Press, 1967, pg. 25.

(26) Ibid., pg. 26.

(27) Kelley, pg. 13.

(28) Suster, 1985.

(29) Kelley, pg. 17.

(30) Ibid.

(31) Ibid.

(32) Kelley, pg. 19.

(33) Ibid.

(34) Ibid., pg. 52.

(35) Ibid., pg. 34-56.

(36) Ibid., pg. 55

(37) Ibid., pg. 44.

(38) Ibid., pg. 47.

(39) Ibid., pg. 92.

(40) Ibid., pg. 122.

(41) Ibid.

(42) Ibid., pg. 147.

(43) Ibid.

(44) Ibid.

(45) Malcolm X, and Archie C. Epps. The Speeches of Malcolm X at Harvard. New York: Morrow, 1969. Print.

(46) Black Panther Party, Ten Point Programhttp://www.marxists.org/history/usa/workers/black-panthers/1966/10/15.htm

(47) Stalin, Marxism & the National Question.

(48) Chris Komm, Institute for Southern Studies, “Black Belt Power: African-Americans come back to the south, change political landscape,” September 28, 2011, http://bit.ly/nGrN4L

(49) Ibid.

(50) Ibid.

(51) Ibid.

(52) Ibid.

(53) Ibid.

(54) University of Georgia, Initiative on Poverty and the Economy, “Black Belt FAQ,” Accessed 6/23/12, http://www.poverty.uga.edu/stats/faq.php

(55) Ibid.

(56) Ibid.

(57) Dale Wimberley, Journal of Rural Social Sciences, “QUALITY OF LIFE TRENDS IN THE SOUTHERN BLACK BELT,1980-2005: A RESEARCH NOTE,” 2010, http://bit.ly/Nxiz98

(58) Ibid.

(59) Ibid.

(60) Maurice Garland, Loop21, “Study Says Blacks In The South Have Lowest Life Expectancy,” April 19, 2012, http://bit.ly/HY9yET

(61) Ibid.

(62) Wimberley, 2010.

(63) James Allen, Negro Liberation, International Pamphlets, 1938, http://www.marx2mao.com/Other/NL38.pdf

(64) Ibid.

(65) Ibid.

(66) Freedom Road Socialist Organization, “Statement on National Oppression, National Liberation, and National Liberation,” http://www.frso.org/about/nq/nq.htm

(67) Allen, 1938.

(68) Allen, 1938.

(69) V.I. Lenin, “The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-Determination,” Lenin on the National & Colonial Questions, Peking Foreign Press, 1967, pg. 6.

ooOoo

Tinggalkan komentar