Ambon Berduka, Indonesia Terluka, Pembohong dan Agresor Bersuka

.

Kerusuhan Ambon 11 Sep’11 dan 10 tahun Serangan WTC 11/9
.
Serangan Ambon oleh Pilot Allen Pope/CIA 18 Mei ‘58
.
Kerusuhan Ambon 19 Jan ’99 dan UUD 2002 (Bukan Amendemen UUD 1945) dan Keterlibatan AS
 
SRI dan Sri Mulyani dan Sponsor AS

 

 

Berikut ini tulisan lengkap dari apa yang sudah dijanjikan pada pengeposan bulan lalu. Redaksi menulis ulang tulisan pada Pengantar Redaksi dimaksud (simak/klik hlm 12), merevisi sekaligus melengkapinya.

Pada bulan lalu, tepatnya 11 September 2011, sepuluh tahun sudah serangan yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center, New York, Amerika Serikat.

Di situs The Marxist-Leninist dimuat  artikel bertajuk “FRSO Statement: September eleven ten years later” (simak/klik ini).

FRSO (Freedom Road Socialist Organization) yang menyebut dirinya secara singkat Freedom Road, seperti dinyatakan dalam situsnya  www.frso.org, adalah sebuah organisasi sosialis revolusioner dan Marxis-Leninis di Amerika Serikat. “Freedom Road, bercirikan pemahaman kami atas penindasan nasional di Amerika Serikat,” aku mereka di situsnya itu.

Yang Redaksi ingin tekankan terkait artikel FRSO itu, adalah cuplikan alinea penutupnya (dibahasaindonesiakan Redaksi):

Terjadinya tragedi 11/9 adalah sebagai konsekuensi langsung kebijakan imperialis Amerika di seantero dunia. Selama kebijakan ini, yang menjadi bagian serta paket sistem kapitalis itu sendiri, dibiarkan berlanjut, kita akan menyaksikan tragedi selanjutnya…”   

Ambon berduka Pancasila Terluka: 10 tahun serangan WTC

Lantas, di Ambon pada 11 September 2011, tepat 10 tahun serangan WTC New York itu, meletus sebuah kerusuhan, bentrokan antarwarga yang menimbulkan korban jiwa.

Terus terang, artikel FRSO di atas, membuat Redaksi jadinya tidak terpaku pada kerusuhan itu sendiri, tapi justru malah teringat pada kiprah Amerika di Nusantara tercinta ini.

Terlebih tepat 2 pekan setelah kerusuhan itu, pada 25 September 2011 terjadi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kedaton, Kota Solo, Jawa Tengah. Terwaritakan bahwa sebelumnya pelaku sempat mampir di warnet membuka situs antara lain kekejaman AS di Afghanistan. Juga pelaku meninggalkan tas di warnet tersebut berisi antara lain Al Quran.

(Sebuah “tanda”  yang dibuat bayan, gamblang: “AS yang kejam harus dilawan Islam ‘sejati’ dengan nyawa sekalipun”; sehingga seorang siswa smp pun bisa melanjutkan: “makanya pantas-pantasnya AS hajar Islam yang begituan”, tapi si siswa smp itu, tentu saja, tidak panasaran mencari tahu mengapa kok “Islam begituan” bisa hadir di Indonesia; seperti halnya kita pun sudah tak panasaran lagi kenapa ada organisasi massa membawa plang nama Islam kok begitu penuh kekerasan, sangar, jelas-jelas anti toleransi beragama [baca: Pancasila], teramat jauh dari religiositas yang dipancarkan ajaran Islam itu sendiri, tapi tak bisa tersentuh hukum).

Kemudian setelah pelaku terindentifikasi, muncul isu ada keterkaitan antara Solo dan Ambon. Soalnya pascabom bunuh diri di Solo itu di Ambon sempat meledak bom walau tak menimbulkan korban jiwa maupun cidera. Malah disebut-sebut aksi itu terjadi di Solo lantaran ketatnya pengawasan masuk ke Ambon.

Sementara pada akhir bulan September 2011 (sudah) digelar Pertemuan Pemuda Dunia (World Youth Assembly) yang mengusung isu perdamaian. Dan Kota Ambon sudah diputuskan menjadi tuan rumah MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) Nasional XXIV pada 2012.

Maka makin kencang saja Redaksi menerawang (pikiran melayang) ke salah satu, istilah Redaksi, Para Penyerbu Libia 2011 itu. Para pembohong dan agresor—julukan Robert G Mugabe Presiden Zimbabwe dalam pidatonya yang mengecam NATO di SU PBB (Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa) ke-66 (22 September) tahun ini (simak/klik hlm 14a).

Ambon berduka Pancasila terluka: Serangan Allen Pope

Menerawang pada serangan pesawat B-26 Invander dipiloti warga Amerika Serikat (AS) agen CIA Central Intelligence Agency Allen L Pope atas kota Ambon, 18 Mei 1958. Mengakibatkan terbakarnya Tangki BBM (bahan bakar minyak) di kawasan Gudang Arang, Gereja Pusat/Maranatha di pusat kota yang terkena tembakan meski tak parah, dan terbakarnya sebuah kapal kargo yang sedang merapat di dermaga Ambon. (http://id.wikipedia.org/wiki/Allen_Lawrence_Pope)

Serangan yang hanya berselang sekitar setengah tahun setelah Soekarno meresmikan pendirian kota baru bernama Masohi (serapan dari bahasa Melayu Ambon bermakna gotong royong/perasan terakhir Pancasila) di dataran Nama, pesisir selatan Pulau Seram, pada 3 November 1957. Masohi yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Serangan Pope dukungan AS yang pro pemberontakan “PRRI-Permesta” setelah tahun sebelum pada 2 Maret 1957 di Makassar diproklamasikan “Permesta” (Perjuangan Semesta) oleh Panglima Teritorium Indonesia Timur Letkol Sumual.

Serta 3 bulan sebelumnya, 15 Februari 1958 di Padang, diproklamasikan “PRRI” (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) oleh Letkol Ahmad Husein, Kolonel Maludin Simbolon, Kolonel Barlian.

Terawang Redaksi yang kembali muncul begitu Sri Mulyani oleh Partai SRI diusung sebagai bakal calon presiden pada pemilu 2014 mendatang… (simak sub judul “SRI dan Sri Mulyani Indrawati dan Sponsor AS” di bawah—Red).

Ambon berduka Pancasila terluka: Kudeta Merangkak

Lantas, Redaksi masih menerawang ke masa lalu, ketika junta militer Soeharto berhasil menjatuhkan Soekarno lewat “Kudeta Merangkak” (simak hlm 2b.1) tepat 46 tahun silam—juga di bulan September.

Kudeta yang—menurut Arief Budiman—mirip seperti terjadi di Cile 8 tahun kemudian.

“… gerakan militer di Cile (dipimpin Jenderal Augusto Pinochet–Red) untuk menggulingkan Allende (berhaluan sosialis–Red) pada (juga di magic number bulan September pula—Red) tanggal 11 September 1973 dinamakan Operasi Jakarta. Operasi Jakarta ini sangat mirip dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia pada tanggal 30 September 1965, yang berlanjut dengan keberhasilan kaum militer Indonesia menumpas Partai Komunis Indonesia. Pola Indonesia inilah yang dengan sadar ditiru di Cile.”

Dan di bagian lain tulisan Arief itu:

Pada saat demikian mereka yang ingin mencegah Allende terpilih sebagai presiden, hanya mempunyai satu pilihan saja sesudah rumusan Allesandri gagal: kudeta militer. Di Cile sendiri rencana ini didukung oleh kelompok ekstrim kanan, dan di luar negeri didukung oleh pemerintah Amerika Serikat. Kedua kelompok ini baik di Cile maupun di Amerika Serikat bekerja sama.”

(dikutip dari Arief Budiman “Jalan Demokrasi ke Sosialisme”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm 13 dan hlm 145)

Maka pascakudeta merangkak itu Ambon kembali menjadi salah satu korban.

Maksud Redaksi, adat istiadat di kawasan asalnya orang Ambon (Pulau-pulau: Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut, dan sebagian besar  Pulau Seram) dimandulkan oleh Soeharto dengan terbitnya UU No.5/1979 Tentang Pemerintah Desa.

UU (undang-undang) yang pada intinya (berdampak) menghapus pemerintahan adat atau pemerintahan  negeri yang dipimpin seorang raja; digantikan pemerintahan desa (seperti di Pulau Jawa) dipimpin Kepala Desa (Kades) yang tentunya nonadat.

Bagi Redaksi, pada hakikatnya, ini salah satu (lagi) dosa terbesar Soeharto: menghempaskan masohi, menghempaskan Pancasila itu sendiri. Pancasila sejak itu, meminjam istilah Kiki Syahnakri, telah tertransplantasi gen darah demokrasi liberal—(neoliberal, menurut pemahaman Redaksi).

Ambon berduka Pancasila terluka: Kerusuhan Ambon & UUD 2002

Lamun (namun) tampaknya ‘belum cukup’ Ambon berduka dan Pancasila terluka selama era junta militer Soeharto.

Pascalengser sang (belum terbukti bukan) koruptor kakap, purnawirawan angkatan darat itu pun, Ambon dilanda kerusuhan hebat dan berlangsung relatif lama sekitar 5 tahunan.

Orang-orang Ambon terlebih generasi yang kini berusia 70-80-an akan teringat “zaman de Vlaming” yang semasa muda mereka (baca: era Soekarno) cukup kondang. Lantaran mereka akrab dengan sepotong sejarah bahwa zaman tahun-tahun 1651-1655 berlangsung “The Hoamoal War”atau The Great Ambon War” yang digelar Residen Amboina de Vlaming van Oudshorn.

Perang yang meluluhlantakkan kehidupan juga kebudayaan orang Ambon di jazirah Hoamoal ujung barat Pulau Seram. Berujung, dimilikinya hak monopoli perdagangan cengkeh di Maluku oleh korporasi dagang Belanda VOC.

Dan kali ini Indonesia benar-benar ‘terluka’. Tapi, tentu saja ada yang bersuka cita.

Apa Pasal?

Pasalnya, saat masih berlanjutnya kerusuhan Ambon memasuki abad ke-21 lalu itu, waktu bersamaan para “wakil rakyat” (MPR masa bakti 1999-2004) menelurkan 4 “amendemen” UUD 1945 (masing-masing satu “amendemen” per tahun selama 1999-2002) yang ternyata hasil “penyelundupan hukum” alias cacat hukum. Seorang guru besar, ahli hukum tata negara almarhum Prof ASS Tambunan, menengarai keterlibatan Amerika dalam proses amendemen konstitusi yang belakangan dijuluki, semisal oleh Prof Sofian Effendi, UUD 2002 itu. (Simak pengeposan terbarui di hlm 21a dan hlm 22a)

Sejak itu sampai sekarang, negeri tercinta ini memiliki 2 konstitusi. Yang satu yang asli berasas masohi (baca: Pancasila) dan yang satu lagi yang palsu atawa gadungan berasas nonmasohi alias, sebutan Prof Sofian, demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis.

Ambon berduka Indonesia terluka: ada yang bersuka cita

Maka tak pelak lagi Ambon berduka, Indonesia terluka, tapi ada ada yang bersuka. Bersuka cita.

Indonesia tak pelak lagi menjadi “sekutu sejati” para pembohong dan agresor/PA (pinjam Mugabe) itu, karena berpredikat  “negara paling demokrasi” di dunia. Padahal hanya lantaran rajin menggelar pemilihan umum (pemilu) dan biaya pun selangit tapi esensi dari hasilnya termasuk sejatinya pencapaian maksud dan tujuannya sangat diragukan. (Sekadar gambaran yang perlu diverifikasi, simak situs ini.) Padahal, dalam pandangan Redaksi, “demokrasi” itu sendiri yang didefinisikan para PA itu justru bermasalah—bagi sebuah republik yang  bernama Indonesia yang sudah memiliki demokrasi yang sudah diatur dalam konstitusi awal kita: Pancasila-UUD 45.

Dan menurut hemat Redaksi, masing-masing kita tidak perlu menjadi ahli hukum, untuk menyimpulkan  bahwa dasar negara, konstitusi yang ada dua (untuk tidak mengatakan salah satunya “Pancasila masuk kotak”; simak hlm 21a/klik ini dan hlm 22a/klik ini) dan saling diametral adalah salah satu—kalau bukan satu-satunya—jawaban paling mendasar (pula) atas karut-marut negeri ini hari-hari ini.

Ajar paling aktual, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Dengan konstitusinya yang berasas Marxisme-Leninisme di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang tidak berubah sejak proklamasi 1 Oktober 1949—malah terus menerus “diperbarui” oleh para pemimpin RRT/PKT pascaMao Zedong—memunculkan RRT hari ini yang gagah perkasa.

Memang, ada banyak kontroversial dalam menimbang kegagahperkasaan RRT. Tapi, setidaknya bagi Redaksi blog Dasar Kita ini, RRT itu negara sosialis bukan kapitalis (simak hlm 10a atau klik ini).

Ini seyogianya, menjadi ajar dan inspirasi bagi kaum Marxis-Leninis Indonesia abad ke-21—yang dalam sorotan sosialisme ilmiah sejatinya meyakini Pancasila yang masohi itu sebagai jalan dalam menapak Indonesia yang (bakal) seperkasa RRT.

SRI dan Sri Mulyani Indrawati dan Sponsor AS

Dan, kalau Redaksi mundur sedikit ke belakang, ke awal Agustus 2011 lalu, “Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi dideklarasikan sebagai calon presiden pada Pemilihan Umum 2014,” tulis pewarta Sinar Harapan/SH (8/8/2011) mengawali waritanya di bawah tajuk “Capres 2014 dan Sponsor AS”.

Deklarasi itu dilakukan, tulis SH selanjutnya, setelah para pendukungnya mendaftarkan Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham).

“Sejumlah tokoh tergabung dalam barisan pendukung Sri Mulyani. Mereka antara lain Arbi Sanit, Rocky Gerung, Rachman Toleng, Wimar Witoelar dan Todong Mulya Lubis.”

Nama-nama yang dimunculkan SH di atas, apalagi dengan tajuk warita yang menyebut negara adidaya itu, lagi-lagi membuat Redaksi menerawang. Untuk kesekian kalinya teringat pada Amerika, pada kiprah negatifnya di negeri tercinta. Terlebih pada konco dan konco-konconya di Indonesia era Soekarno … (Tapi berdasarkan data terbarui, maaf, Redaksi mohon izin Pembaca Budiman, mengucapkan syukur: Partai SRI tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum untuk Pemilu 2014; simak Kompas.com, 8/1/2013.)

Hal yang sudah Redaksi singgung sewaktu menyusun “Mengenai Blok ini”, klik  hlm 2b atau klik ini (simak catatan kaki 7) di mana antara lain tertulis:

PRRI diketuai oleh Syafrudin Prawinegara dari Partai Masyumi. Dan  salah satu menterinya adalah Dr Sumitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan pada pemerintahan junta militer Soeharto) dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sumitro yang sudah bergabung dengan Dewan Banteng pimpinan Letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat sejak Mei 1957 karena merasa tak aman di Jawa.

Sumitro disebut May sebagai orang yang memelihara hubungan erat dengan para pejabat Amerika selama bertahun-tahun. Permesta sendiri, menurut hemat Redaksi adalah juga kaum reaksioner untuk tidak menyebut antek Amerika. Dibawah pengaruh CIA Amerika, tulis May, Permesta menyerukan pada pemerintah untuk melarang Partai Komunis Indonesia.

La Ode Ida, Ventje Sumual, … NATO-GCC

Dan Redaksi  mengajak Pembaca Budiman mundur lagi sedikit ke tempo sebelumnya.

Entah sengaja atau tidak pada 4 Juli 2011 (bertepatan 235 tahun Kemerdekaan Amerika Serikat—1776-2011), di Universitas  Sam Ratulangi Manado diadakan sebuah seminar.

Acara yang antara lain mengemuka usulan agar tokoh (tidak disebutkan “pemberontak”—Red) PRRI/Permesta Sjarifuddin Prawiranegara dan Ventje Sumual  sebagai pahlawan nasional.

Dari warita yang dilansir Kompas.com (4/7/11) bertajuk Tokoh Permesta Diusulkan Jadi Pahlawan disebutkan bahwa pembicara utama dalam seminar dimaksud adalah Wakil Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah—Red) La Ode Ida.

Kemudian  pada data terbarui (updated) untuk tulisan ini yang mengacu pada warita Kompas.com (16/2/12) bertajuk DPD RI Minta FPI Jangan Dibubarkan adalah La Ode Ida yang mengecam pembubaran organisasi kemasyarakatan itu.

Dan dari sebuah kasus pembangunan sebuah gereja di Bogor, di mana walikotanya didukung  sebuah partai berasas agama mayoritas negeri ini, adalah organisasi kemasyarakatan ini pula yang  paling tegar berdiri di belakang sang walikota—bahkan menentang keputusan MK Mahkamah Konstitusi. (Simak press release ini)

Redaksi lantas bertanya-tanya.

Jika seorang Budiman Sudjatmiko yang (pernah) mengklaim diri “kiri” lalu berteriak lantang soal RUU Desa (bukan menyoal UUD 2002/niramendemen UUD 1945) tapi tak terdengar suaranya ketika para PA menggasak Irak-Libia dan kini Suriah…

Maka sebuah sikap sejajar yang  ditunjukkan organisasi kemasyarakatan dan partai yang tengah dibicarakan ini dalam menghadapi para PA itu, pertanyaannya: di manakah posisi organisasi kemasyarakatan dan partai dimaksud dalam menanggapi kemelut di Timur Tengah dalam setahun terakhir ini?     

Redaksi kuatir jawabannya: organisasi kemasyarakatan dan partai terkait itu sekubu dengan GCC—Gulf Co-operation Council, Dewan Kerja Sama Teluk, yang beranggotakan Bahrain, Oman, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. (Simak Catatan Redaksi di hlm 18a atau klik ini.)

NATO-GCC yang kini kebelet kepengin menjatuhkan Presiden Suriah Assad—untung terganjal RRT dan Rusia!

Tanya berikutnya, kenapa kuatir?

Jawabnya, itu berarti para PA telah menyiapkan baik “sayap otot” maupun “sayap otak” di negeri ini. Sebagai antisipasi kalau-kalau masyarakat yang sangat rindu sosok-sosok semacam Dahlan Iskan, Jokowi dan Ahok, juga kangen berat kaum politisi muda semacam Soekarno yang “kiri”-nya (memungkinkan) melahirkan Pancasila. Dan di era sekarang ini dasar kita itu (dikembalikan)  tidak lagi (pinjam Kiki Syahnakri) tertransplantasi gen darah demokrasi liberal.

Bisa berabe, kata orang Betawi. Lantaran kalau para PA tidak mengantisipasi, negeri ini akan kembali pada jati dirinya. “Pasar bebas” dari 235-an juta penduduk  akan memiliki “demokrasi” yang didefinisikan sendiri.  Repot deh!

Redaksi akhiri risalah ini dengan menyitir lagi dua alinea terakhir catatan kaki 7 “Mengenai Blog Ini” hlm 2b.

Sejarah di atas membuktikan, keterlibatan dan dukungan Amerika ternyata tidak mendadak dan sebatas “kudeta merangkak” junta militer Soeharto 1965-67. Amerika sudah jauh-jauh hari berkiprah. Pemberontakan PRRI-Permesta adalah buktinya.

Jadi sekarang kita mafhum. ‘Imperialisme tahap tertinggi kapitalisme’ beserta para rekan dan anteknya yang macam apa akan dihadapi dalam kerja panjang mewujudkan cita-cita utama Sosialisme Indonesia, sosialisme khas Indonesia, sosialisme berkarakteristik Indonesia.

 

Satu tanggapan »

  1. Sosialisme berkarakter Indonesia, menurut saya, harus membangun ekonomi dari desa-desa bukan dari kota-kota provinsi, kabupaten.

    Kita rasakan sekarang di jalan-jalan terlihat sudah tidak ada lagi sosial ekonomi status-“bawah”. Ini semua dikarenakan mudahnya kredit konsumtif untuk sepeda motor dan mobil serta rumah/apartemen.

    Seandainya kredit produksi dikucurkan ke desa-desa, tentu akan membuat pertumbuhan dari bawah yang kuat, sehingga negeri ini mempunyai bargaining position yang kuat terhadap beberapa hal.

    Redaksi Dasar Kita

    Bung Andre Ranti terima kasih telah mampir dan berkomentar.

    Kami sepakat Bung Andre, bahwa dengan “menguatkan” desa membuat pertumbuhan dari bawah yang kuat. Bahkan pernyataan Bung Andre ini didukung (setidaknya) oleh seorang akademisi yang mengisyaratkan bahwa tulang punggung perekonomian Indonesia adalah perdesaan. (Prof Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar FEUI “Menegakkan Tulang Punggung Perekonomian”, Kompas, 3/8/2009, atau simak http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=11188&coid=2&caid=19)

    Tetapi, hemat kami, seperti telah disinggung dalam tulisan kami diatas, hadirnya UUD 2002 (bukan amendemen UUD 1945; menjadikan kita memiliki 2 konstitusi saling diametral satu sama lain: analisis Prof Sofian Effendi), melahirkan pula UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak berpihak perdesaan. (Setidaknya menurut pemerhati perdesaan Andi Erwing http://andierwing.blogspot.com/)

    Andi menurunkan 7 butir yang mendasari argumennya bahwa UU 32/2004 itu menyingkirkan proses sosial, politik, dan pemerintahan desa itu sendiri. (simak http://kariuxapakabar.wordpress.com/dari-redaksi-14-mei-2010/30-wawasan-leamoni-kamasune-14-mei-2010/).

      1) Hilangnya Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Elemen strategis berkembangnya demokratisasi dan otonomi desa.

      2) Kepala desa bertanggung jawab bukan kepada rakyat desa tetapi kepada bupati melalui camat. Artinya hilangnya kedaulatan rakyat desa secara konkret.

      3) Tidak ada lagi perlindungan kepada adat istiadat desa oleh undang undang.

      4) Hampir semua pengaturan desa berada di Pemerintahan Kabupaten.

      5) Sekretaris desa diisi oleh pegawai negeri sipil (PNS). Jadinya administrasi pemerintahan desa secara tidak langsung dikendalikan oleh birokrasi pemerintahan di atasnya.

      6) Sumber dana desa yang cukup konkret tetapi hak dan pengaturannya tidak jelas diberikan kepada desa.

      7) Pengelolaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dibawah asuhan, bimbingan, kontrol dan arahan dari camat.

    Dengan begitu, sebuah niat baik seperti kucuran kredit produktif yang Bung Andre usulkan itu, misalnya, kami kuatir akan menjadi “proyek” camat dan bupati sebelum “ampas”-nya sampai ke tangan kades. Belum lagi bicara keputusan “pilihan proyek apa” yang prioritas dibutuhkan desa dimaksud. Yang lagi-lagi, kades akan “planga-plongo” saja menyaksikan atasannya yang “paling tahu” desa yang sang kades mafhum betul kondisinya.

    Ini bukan pertama-tama lantaran camat atau bupati bermental “proyek”, tapi perundang-undangan itu sendiri, yang bukan hanya “memberi peluang” bahkan merupakan “perintah undang-undang”!

    (Karena itu hanya segelintir para pejabat dimaksud—semisal Jokowi dan Ahok yang juga saudagar sukses—yang “berani” mensiasati perundang-undangan dimaksud [baca: peraturan daerah/perda]; sehingga meski kami terus mendorong munculnya “semiliar pebisnis” [pinjam tajuk buku Tarun Khanna “Billions of Entrepreneurs”, Elex MK, 2011] sekaliber Jokowi Ahok, kami berharap sangat pada kaum politisi muda yang se”kiri” Soekarno untuk menghapus UUD 2002; dan, maaf, bukan pada para politikus muda—sesumbar “kiri” pula seperti sudah disinggung pada risalah di atas—yang kini getol memerjuangkan RUU Desa tanpa menyoalkan UUD 2002 tersebut)

    Di titik (semacam) inilah, hemat kami, hakikat dari UUD 2002 yang oleh Prof Effendi disebut bermuatan liberal dan kapitalis. Sederhananya, setidak untuk kami, camat dan bupati itu cerminan “individualistis” sementara rakyat yang diwakili kadesnya itu adalah “kolektivitas”. UUD satu ini sedang “menggeser” kolektivitas, musyawarah mufakat dari rakyat Indonesia, secara pelan tapi pasti—kalau dibiarkan terus hadir.

    Ujung-ujungnya “tulang punggung” yang lemah itu membuat kita tidak bisa tegak berdiri; selalu saja butuh orang lain—lalu sang imperialis pun sigap “menolong”.

    Desa Adat / “Negeri” di Kabupaten Maluku Tengah: sebuah bukti

    Bung Andre, kami sebagai pewarta terlebih sebagai pewarta warga (citizen journalism), menyadari betul warita, ulasan, risalah kami adalah dalam koridor pewaritaan. Jauh dari sebuah tulisan ilmiah.

    Ulasan lanjutan ini di bawah sub judul di atas adalah dalam konteks, greget, semangat dimaksud—ketika kami menyoal UUD 2002 yang mendesak untuk dihapus. (Juga keseluruhan blog ini, tentu saja, punya greget yang sama pula)

    Adalah menarik bahwa kesemua 7 butir proses penyingkiran pemerintahan desa yang Andi sebutkan di atas, ternyata “klop” dengan sebuah desa adat atau “negeri” di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku—lewat perda-perda turunannya. (Simak alamat link yang sama di atas http://kariuxapakabar.wordpress.com/dari-redaksi-14-mei-2010/30-wawasan-leamoni-kamasune-14-mei-2010/).

    Maka negeri di Maluku Tengah—setidaknya sebuah negeri seperti dalam alamat link di atas—adalah sebuah bukti UU 32/2004 yang tidak berpihak pada perdesaan.

    Maka, pertanyaannya.

    Kebetulankah UUD 2002 yang lahir saat kerusuhan Ambon—kawasan yang adat istiadatnya membuat seorang Soekarno menamai sebuah kota baru di Pulau Seram: “Masohi”/gotong royong/perasan terakhir Pancasila—belum lagi usai, memasuki abad ke-21?

    Kebetulankah UUD 2002 itu diametral dengan masohi itu sendiri—yang kelahiran UUD dimaksud ditengara ikut dibidani lembaga swadaya masyarakat pihak asing bekerja sama dengan konco-konconya di kita—yang negara asingnya itu kini dikenal sebagai pembohong dan agresor di Irak-Libia?

    Suka

  2. Terima kasih atas masukan. Mudah-mudahan kita masih sempat menikmati kehidupan bersama-sama pemimpin-pemimpin yang lebih bermartabat di tanah air ini.

    Redaksi Dasar Kita

    Terima kasih kembali Bung Andre Ranti. Ya, semoga.

    Salam hangat.

    Suka

  3. Bagaimana tanggapan Redaksi tentang John Perkins (Confession of an Economic Hits Man)?

    Dia meyakinkan pemimpin politik dan finansial negara berkembang untuk berutang besar pada institusi seperti Bank Dunia dan USAID. Setelah tidak bisa membayar, negara tersebut dipaksa tunduk terhadap tekanan politik dari Amerika Serikat tentang/mengenai berbagai masalah.

    Perkins menyatakan bahwa negara-negara berkembang dinetralkan secara politik, lalu jurang antara orang kaya dengan orang miskin diperlebar, dan ekonomi negara-negara tersebut dirusak untuk jangka panjang.

    Dia sendiri yang datang ke Indonesia di era orde baru, apakah ini akan berlanjut dengan Sri Mulyani?

    Terima kasih.

    Redaksi Dasar Kita

    Terima kasih Bung Andre Ranti untuk kembali berkomentar.

    Mengenai John Perkins, kebetulan namanya sudah pernah mencagun (muncul) di blog ini, di salah satu catatan kaki tulisan Amouz Enampuluh Tahun Berlalu Kesedihannya Bertambah Sedih—Kematian Benazir di Krisistan di Jurnal Bersatu Edisi Mei 2008 hlm 65 (simak hlm 18b atau klik https://dasarkita5sila17845.wordpress.com/18b-tindaian-majalah-jurnal-bersatu-edisi-mei-2008-hamdani-mz-hussein-amouz/

    Amouz menyebut curahan hati, curhat Perkins sebagai gambaran sebuah misal “mandat-belakang layar–ruwet-dan-diruwetkan” dari sang imperialis.

    Atau seperti Bung Andre kutip dari Perkins, curhat dimaksud itu antara lain, “… dipaksa tunduk terhadap tekanan politik dari Amerika Serikat mengenai berbagai masalah…; lalu jurang antara orang kaya dengan orang miskin diperlebar, dan ekonomi negara-negara tersebut dirusak untuk jangka panjang”.

    Artinya, bagi kami, curhat Perkins—lewat komentar Bung Andre—Itu, positifnya, “memaksa” kami menengok teori. Setidaknya sebuah peta teori yang dibuat Arief Budiman dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga (PT Gramedia Pustaka Utama, 1995).

    Kami sitir (beberapa potongan pemikiran) salah seorang saja dari buku Arief tersebut, Andre Gunter Frank, salah satu pengusung Teori Ketergantungan Klasik.

      Frank adalah seorang ekonom Amerika yang kemudian bekerja pada Economic Commision for Latin America bersama Raul Presbisch. Di sini dia mendapat pengaruh Presbisch tentang hubungan tidak sehat antara negara-negara pusat dan pinggiran. Bukunya sangat berpengaruh Capitalism and Underdevelopment in Latin America, diterbitkan pertama kali pada tahun 1967.

      Pada buku tersebut dia menyatakan: “Saya percaya, bersama Paul Baran, bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang terus mengembangkan keterbelakangan di masa sekarang. (hlm 64-65)

      Keterbelakangan di negara-negara pinggiran (yang oleh Frank disebut negara satelit) adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara pusat (Frank: negara-negara metropolis). (hlm 65)

      Pada teori Frank jelas ada tiga komponen utama: (1) modal asing, (2) pemerintah lokal di negara-negara satelit, dan (3) kaum borjuasinya.

      Pembangunan hanya terjadi di kalangan mereka. Sedangkan rakyat banyak, yang menjadi tenaga upahan, dirugikan.

      Maka, ciri-ciri dari perkembangan kapitalisme satelit adalah: (1) kehidupan ekonomi yang tergantung, (2) terjadinya kerja sama antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negara-negara satelit, yakni pejabat pemerintah, kelas tuan tanah dan kelas pedagang, dan (3) terjadinya ketimpangan antara yang kaya (kelas yang dominan yang melakukan eksploitasi) dan yang miskin (rakyat jelata yang dieksploitir) di negara-negara satelit.

    Sampai disini, tampak bahwa curhat Perkins itu “memungkinkan” kami “bingkai” dalam sebuah teori—yang digagas Frank di atas—khususnya pada ketiga ciri perkembangan kapitalisme satelit itu.

    Tentu saja, dalam sebuah peta teori seperti yang diajukan Arief, Frank pun tidak luput dari kritik. Lamun, kami sudah terlanjur “kesengsem” lantaran pernyataan Arief tentang Frank berikut ini:

      Jadi, bagi Frank, keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis. Bukunya yang kedua memang memberi petunjuk ke arah sana: Latin America, Reform or Revolution.

    Pernyataan yang pada hakikatnya nyambung dan klop dengan situasi objektif kita pascaUUD 2002/bukan amendemen UUD 1945—yang liberalis dan kapitalistis; seperti sudah disinggung ketika kami membidas komentar Bung Andre yang pertama di atas.

    Lantas pertanyaan Bung Andre terkait Sri Mulyani.

    Kami coba jawab lewat pertanyaan ala “pembuktian terbalik”.

    Apakah bisa dibuktikan Bu Sri sangat berkomitmen—atau setidaknya berkecenderungan—untuk meniadakan ketiga ciri perkembangan kapitalisme satelit versi Frank itu?

    Kami kuatir jawabannya, tidak!

    Sehingga atas pertanyaan Bung Andre: “… apakah ini akan berlanjut dengan Sri Mulyani?”, kami kembali kuatir, jawabannya, ya!

    Orientasi sosialis membypass kapitalisme: jauhari Rusia era Uni Soviet

    Maaf Bung Andre, kami agak melebar. Perkaranya, Frank, seperti yang dikutip Arief berpendapat:

      Frank menolak pendapat kaum Marxis yang menganut teori pentahapan revolusi, yakni bahwa kalau masyarakat tersebut masyarakat feodal, perlu ada revolusi borjuis dulu, yang akan melahirkan masyarakat kapitalis, sebelum menjalankan revolusi sosialis.

      Menurut Frank negara-negara satelit merupakan negara kapitalis. Karena itu, perubahan yang diperlukan adalah langsung menuju pada sosialisme. (hlm 68)

    Menarik, setidaknya bagi kami, bahwa apa yang dikemukakan Frank itu ternyata sudah dibahas kaum jauhari (cendekiawan) Rusia di era Uni Soviet.

    Mereka menyebutnya “orientasi sosialis yang membypass kapitalisme”.

    Kami kutip penggalan analisis mereka dari buku Political Economy of Socialism, (Institute of Social Science, Moscow Progress, 1985)—di bahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita.

      Beberapa kaum ideologis imperialis menegaskan bahwa gagasan orientasi sosialis, bermakna, kemungkinan bagi negeri-negeri yang dulunya koloni dan belum-merdeka dapat menuju sosialisme dengan membypass kapitalisme, adalah “penemuan Kremlin”.

      Tetapi persoalan ini bukan barang baru dalam pengajaran Marxis-Leninis.

      Kaum Marxis-Leninis berpandangan substantif secara teoritis dan membuktikan dalam praktik, bahwa orientasi sosialis adalah jalan yang tercepat dan relatif kurang menderita untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi negeri-negeri yang telah menyingkirkan belenggu kolonial, lantaran sosialismelah yang menjamin suatu pertumbuhan ekonomi dan budaya yang tak-bersela serta meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan sangat cepat.

      Engels menulis: “Bukan hanya mungkin lamun tak terhindarkan, sekali proletariat menang dan alat-alat produksi beralih ke kepemilikan umum di antara para nasion Eropa-Barat, negeri-negeri (merdeka itu—Red) … di mana institusi kesukuan atau peninggalan mereka masih utuh, maka akan bisa “untuk sangat memersingkat” kemajuan menuju masyarakat sosialis dan sebagian besar dari mereka (negeri-negeri–Red) itu sendiri terhindar dari penderitaan dan perjuangan melalui mana kita di Eropa Barat harus membuat jalan kita sendiri. (hlm 51-52)

      Dalam karyanya yang terakhir Lenin melontarkan sebuah kesimpulan teoritis dan praktis yang penting terhadap dampak bahwa “pada pertempuran menentukan yang akan datang dalam revolusi dunia, gerakan mayoritas dari populasi di muka bumi, mulanya mengarah pada pembebasan nasional, berikutnya akan melawan kapitalisme dan imperialisme.”

      Dengan kata lain ia (Lenin—Red) memerlihatkan bahwa transisi dari negeri-negeri yang dulunya koloni dan belum merdeka menuju sosialisme dengan membypass kapitalisme menjadi sebuah hukum objektif yang mengatur perkembangan umat manusia di masa (epoch—Red) krisis umum kapitalisme. (hlm 54)

    Kami mencoba melengkapi penggalan-penggalan pemikiran di atas dengan (masih) mengutip jauhari Rusia di era Uni Soviet dalam buku mereka yang lain Theory of State and Law (Progress Publishers, 1987)—dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita.

      Negara berorientasi sosialis, dalam esensi kelasnya, adalah kekuasaan rakyat revolusioner-demokratis. Sebuah negara yang kekuasaannya bukan dimiliki oleh borjuis nasional, tetapi oleh suatu blok terdiri dari kekuatan-kekuatan berbagai kelas dan kelompok-kelompok sosial revolusioner.

      Pada beberapa negara, yang sudah menetapkan suatu program orientasi sosialis, peran pembimbing oleh kelas pekerja telah dinyatakan dan partai berkuasa mendasarkan kegiatan mereka pada prinsip sosialisme ilmiah.

      Negara berorientasi sosialis adalah sebuah tahap transisional menuju negara diktator proletariat, yang adalah instrumen utama sosialisme.

    Orientasi soslalis dan ekonomi pasar: jauhari Tiongkok

    Bung Andre, maaf kami jadi makin melebar. Lamun, berikut ini sebagai penutup, kami kutip penggalan pemikiran jauhari Tiongkok Duan Zhongiao dalam risalahnya Market Economy and Socialist Road yang sudah mencagun di blog ini—simak/klik hlm 10a atau simak/klik hlm 40b.

    Jika hanya ekonomi milik-negara yang menduduki posisi terdepan dalam keseluruhan ekonomi pasar, akan memungkinkan negara-negara sosialis mendesak suatu orientasi sosialis bagi seluruh masyarakat dan mentransformasikan sektor ekonomi kapitalis, ketika ia kehilangan alasan untuk eksistensi, ke dalam ekonomi sosialis.

    Sekali lagi, terima kasih Bung Andre.

    Salam hangat.

    Suka

Tinggalkan komentar