Mengenai Blog Ini (1/3)

.

Simak juga

hlm 2a. Mengenai Blog Ini (2/3) — Formasi Sosial Sosialistis

.

hlm 2b. Mengenai Blog ini (3/3) — Sosialisme “… yang Buruk” Pasca-Soekarno

.

berserta lampiran-lampirannya di

hlm 2b.1, hlm 2b.2, hlm 2b.3, hlm 2b.4, dan hlm 2b.5

.

.

Youtube Lagu Garuda Pancasila

Youtube  Proklamasi 17 Agustus 1945

.

.

.

Tajuk blog  DASAR KITA 

Motto blog Sebuah Pewarta Warga untuk Formasi Sosial Sosialistis

Alamat blog https://dasarkita5sila17845.wordpress.com

Alamat surat elektronik dasarkita.5sila17845@gmail.com  



Dasar Kita

.

Pancasila, UUD 1945, 17 Agustus 1945

Dengan tajuk dan alamat blog maupun alamat surat elektronik seperti terpampang di atas, tentunya yang kami maksudkan Dasar Kita adalah Pancasila beserta Undang-Undang Dasar 1945  dari sebuah Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya, berdirinya pada 17 Agustus 1945.

.

Formasi Sosial Sosialistis

.

Sementara anak kalimat dari motto blog “Formasi Sosial Sosialistis”–akan diulas lebih dalam; simak hlm 2a–adalah kutipan dari pandangan Arief Budiman (HIPIS Palembang, 1984; simak hlm 44a dan hlm 45a). Bahwa dalam Pancasila dan UUD 1945 cita-cita mendirikan masyarakat sosialis dinyatakan secara kuat.

Dan bagi Indonesia, yang diterima Arief, formasi sosial (social formation) sosialistis. Meski saat itu (dan sampai kini pun) praktik keseharian kita sebagai sebuah bangsa dan negara adalah formasi sosial kapitalistis.

Sosialisme khas Indonesia, bukan seperti yang ada sekarang kapitalisme khas Indonesia–demikian Arief.

.

Sebuah Pewarta Warga

.

Dan “Pewarta Warga” pada induk kalimat motto tersebut adalah saduran dalam Bahasa yang kami gunakan untuk sebandung (sepasang) kata yang sedang populer citizen journalist–seiring lahirnya media semacam ini.

Tetapi kami bukanlah pensiunan atawa mantan pewarta media massa arus utama (main stream). Penjelasan asal usul yang (kami anggap) justru mewarnai “keliaran” pewartaan di satu pihak.  “Dibatasi” moral tertentu di pihak lain. Moral yang sengaja kami pungut dari ajar terkandung di dalam adat istiadat etnis Ambon: masohi (gotong royong: saripati Pancasila). Masohi ber-“hulu” penghormatan terhadap leluhur; lalu wujudnya dalam kekinian: tawaran sebuah integritas diri.

Hal terakhir ini kemudian “bersinergi” (baca: “saling menguatkan”) dengan tawaran pemikiran para cendekiawan kelas dunia paruh abad ke-19 yang merintis ideologi berbasis filosofi historis, filsafat materialisme, berpendekatan materialis (Lihat catatan kaki 2). Mereka yang, terbukti, menginspirasi para pendiri negeri ini dalam menyusun dasar negeri kita.

.

Cita-cita Utama Sosialisme Indonesia

.

Jadinya, blog ini, yang pewartaannya diusahakan oleh dan dari sekelompok kecil warga negeri ini, secara umum ditujukan kepada seluruh warga negeri ini. Dan secara khusus kepada generasi muda. Di mana pun. Mereka yang, setidaknya, “tersentuh” oleh situasi terkini negeri ini.Yang bagi kami, situasi itu terkait erat (kalau bukan satu-satunya) permasalahan yang bersumber dari dasar negeri ini. Ideologi 2 negeri ini.

Makanya, yang disoalkan dalam blog ini pun khusus menyangkut dasar negeri ini, dasar negara yang lima sila itu…yang sejatinya sangat kuat sebagai dasar untuk menuju Indonesia berformasi sosial sosialistis…segaris dengan cita-cita utama Sosialisme Indonesia, Sosialisme khas Indonesia, Sosialisme berkarakteristik Indonesia.

.

____________________________

Masohi adalah bahasa Melayu Ambon bermakna gotong royong yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI), Edisi Kedua 1991, masohi bermakna bentuk tolong menolong (di Ambon)… 

Memang KBBI tidak menyebutkan gotong royong. Tapi di Eko Endarmoko “Tesaurus Bahasa Indonesia”, 2006, gotong royong, bergotong royong bermakna antara lain kerja bakti, bahu-membahu, tolong-menolong.

Pada 1957 Soekarno menamai Masohi untuk sebuah kota baru di dataran Nama pesisir Selatan Pulau Seram. Kini kota Masohi menjadi Ibukota Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Pemberian nama oleh Soekarno itu, bukan kebetulan. Soalnya, masohi adalah salah satu unsur penting dari adat istiadat orang Ambon atau etnik Ambon. Yang tentunya klop dengan gotong royong sebagai saripati dari ideologi negara ini: Pancasila.

Dan (sebagian besar) orang Ambon meyakini bahwa leluhur mereka asalnya dari sekelompok masyarakat adat tradisional yang mendiami pusat/hulu dari tiga aliran sungai (batang air, sebutannya, yakni Tala, Eti, dan Sapalewa) di kawasan yang dianggap sakral Gunung Nunusaku di Nusa Ina (Pulau Ibu)—nama tradisional untuk Pulau Seram.

Masyarakat tradisional asal Nunusaku itu kemudian menyebar tidak hanya ke desa-desa (negeri, sebutannya) di Pulau Seram sendiri, juga ke arah Selatan Pulau Seram, ke Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease—sebelah Timur Pulau Ambon—terdiri dari (berturut-turut) Pulau Haruku, Pulau Saparua dan Pulau Nusa Laut.

Kawasan kelima pulau ini kemudian dikenal sebagi asal atau kampung halaman orang Ambon sekarang. Setiap orang Ambon sesuai dengan marganya bisa dilacak asal negerinya di kawasan dimaksud.

Ciri menonjol dari negeri-negeri itu, menganut agama Islam atau Kristen namun  tidak ada negeri dengan kedua agama itu sekaligus. Lamun sudah sejak berabad silam toleransi beragama adalah ciri menonjol dari adat istiadat orang Ambon.

Tetapi, kerusuhan yang melanda kawasan orang Ambon itu saat memasuki abad ke-21 lalu (berbarengan {kebetulankah?} di Senayan, Jakarta, diterbitkan 4 “amendemen” UUD 45, satu “amendemen” per tahun total 4, pada kurun 1999-2002, dikenal sebagai UUD 2002; simak di bawah), memporakporandakan kehidupan indah antarmanusia berbeda keyakinan itu.

Ada cendekiawan yang meyakini lunturnya adat istiadat—yang paling menonjol dikontribusikan oleh perundang-undangan tentang perdesaan terbitan junta  militer Soeharto (yang menggulingkan Soekarno lewat “Kudeta Merangkak”; simak catatan kaki 1 di hlm 2b) pada 1979, berdampak negeri dipaksa menjadi desa (seperti halnya si Pulau Jawa) lantas adat termandulkan—adalah salah satu faktor utama merebaknya kerusuhan berkepanjangan itu.

Pada 2004 adat istiadat itu telah “dikembalikan” lagi. Para ahli perdesaan tertentu berpendapat, pengembalian itu “tidak sepenuh hati”. Soalnya Raja sebagai Kepala Pemerintah Negeri sekaligus Kepala Adat, kewenangannya atas rakyatnya terpotong camat dan bupati. Raja sekarang bagaikan macan ompong. Para ahli itu merekomendasikan revisi UU No.32/2004. Bukan untuk kepentingan pemilihan umum tapi untuk negeri yang berdaulat seperti dulu lagi.

(Sebagai data terbarui, di ujung kekuasaan SBY jelang naiknya Jokowi-JK, berkat upaya yang dimotori politisi kiri-revisionis mantan ketua umum parpol yang kondang sebagai parpol “kiri” era junta militer Suharto, lahir UU No.6/2014 Tentang Desa. Undang-undang yang secara hakiki tidak merubah keberpihakan negara pada rakyat desa. Malah Kepala Desa “diberdayakan” ala neolib/in-God-we-trust: diberi uang miliaran rupiah. Sebuah potensi lain lagi bagi konflik horisontal di desa. Ikhtiar sejatinya diametral “negara hadir” dalam visi misi Jokowi-JK, menyengat aroma negara federalistis, melemahkan NKRI).

Lamun (namun) hemat Redaksi, persoalannya–“biang kerok” karut-marut negeri ini–berhulu pada payung hukum atawa konstitusi republik ini yang ada dua: UUD 1945 dan UUD 2002, menurut Prof Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

UUD 2002 bukan amendemen UUD 1945/niramendemen UUD 45; yang “liberalis” (tepatnya “neoliberalis”) dan “kapitalis”. Silakan simak hlm 2b di bagian ML butir Kesembilan.

.

Ideologi dimaknai oleh KBBI, salah satunya, sebagai paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik.

Sekadar tambahan informasi singkat.

Istilah “ideologi” itu sendiri memiliki sejarah panjang. Setidaknya menurut John B Thompson yang menulis sebuah buku dengan topik terkait “Studies in the Theory of  Ideology” (University of California Press Reprinted 1985). Menurut Thompson, istilah itu berasal dari pascaRevolusi Prancis, disebut “idéologues”, yang kala itu dengan cepat memeroleh pengertian negatif.

Pasalnya, “idéologues” oleh Napoleon (Napoleon Bonaparte atau dikenal sebagai Napoleon I, Kaisar Prancis pada 1804-1815–Red) dituduh bersalah, sebagai doktrin yang bertanggung jawab atas kemalangan negeri itu.

Konotasi negatif “ideologi” itu kemudian oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dilestarikan dalam serangan mereka terhadap “Ideologi Jerman” (Die deutsche Ideologie). (Judul buku karya mereka pada paruh abad ke-19: 1846–Red).

Ideologi dunia Jerman (Germany world) ini, masih menurut Thompson, dimaksudkan Marx dan Engels adalah pandangan yang dinyatakan oleh Kaum Hegel Muda (Young Hegelians) seperti Ludwig Feurbach dan Max Striner. Pandangan yang terlalu khusyuk dengan ide-ide dan kritik atas ide-ide; jadi membuat pandangan itu gagal untuk melihat bahwa ide-ide dan “produk-produk kesadaran” lainnya itu mengakar dalam syarat-syarat material dari kehidupan sosial.

(Untuk uraian agak melebar mengenai istilah syarat-syarat material atau kondisi material, silakan simak sitiran dari DR Arief Budiman menyoal pendekatan materialis: base superstructure di hlm 23a atau simak makalah Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984 dimaksud di hlm 44a dan hlm 45b).

Sejak awal kemunculannya, di Prancis dan dalam dalam tulisan-tulisan Marx serta Engels, istilah “ideologi” dipungut oleh para penulis lain serta berbagai disiplin lain. Tetapi kini, berbagai disiplin ini mendomestikkan (‘menjinakkan’—Red) konsep ideologi itu. Istilah tesebut tidak mudah dikupas dari pengertian negatifnya.

Demikian antara lain tulisan Thompson di awal pengantar bukunya itu.

Satu tanggapan »

  1. Real nice design and great articles, nothing else we want.

    Redaksi Dasar Kita

    Terima kasih sudah mampir dan beri komentar positif. Dan juga maaf, kami menjawab dalam Bahasa.

    Suka

Tinggalkan komentar