Menyambut 67 tahun Republik Indonesia 17 Agustus 2012.

Mengapa Pancasila Perlu-Perlunya

Masuk Kotak?

.

 Menyimak (Ulang) Sebuah Tulisan Soekarno pada  1926

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

.

Bagian Pertama hlm 23aBagian Kedua hlm 24aBagian Ketiga hlm 25a 

.

.

Sekali Lagi: Teori Gold.

Seperti dijanjikan pada bagian pertama (simak hlm 23a atau klik ini), Redaksi merasa perlu menelaah sekilas uraian DR Arief Budiman (dalam Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 1995—selanjutnya disingkat TPDK) tentang Teori Gold dalam konteks menyimak (ulang) tulisan Soekarno pada 1926 itu di koran Suluh Indonesia Muda bertajuk Nasionalisme, Islamisme, Marxisme.

Soalnya pula, sungguh mengagetkan bagi Redaksi, ternyata Soekarno, seorang yang—seperti tulis Brian May (Indonesian Tragedy, 1978)—melampaui zamannya, bergreget paralel dengan kelompok teori Gold ini.

Marilah kita lanjut menyimak. (Cetak tebal dari Redaksi)

Kelompok teori ketiga adalah teori Gold, atau teori yang menjelaskan imperialisme dan kolonialisme melalui motivasi ekonomi.

Salah satu buku klasik tentang imperialisme yang termasuk dalam katagori ini ditulis oleh John A Hobson, dengan judul Imperialism: A Study. …

Dalam karya yang lain lagi, Hobson pada intinya menjelaskan, imperialisme terjadi karena dorongan untuk mencari pasar dan investasi yang lebih menguntungkan. …

Kedua hal inilah, yakni usaha untuk mencari pasar baru dan usaha untuk menemukan daerah investasi yang lebih menguntungkan, yang mengakibatkan terjadinya imperialisme.

Dengan pertolongan negara yang menggunakan armada militernya, pasar dan investasi di luar negeri diamankan.

Imperialisme menguntungkan kaum kapitalis finansial, yakni kaum kapitalis yang menguasai uang.

Merekalah yang mendesak pemerintahnya untuk melakukan ekspansi kekuasaan politiknya. (TPDK, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, hlm 54)

Arief lalu mencoba mencari tahu bagaimana Hobson mengatasi imperialisme itu.

… bagi Hobson cara mengatasi imperialisme adalah melalui cara pembaharuan sosial.

“Tujuan utama dari ‘pembaruan sosial’ ini, dalam aspek ekonominya, adalah untuk menaikkan standar konsumsi pribadi dan konsumsi masyarakat di seluruh negeri, supaya negeri ini bisa tetap memelihara standar konsumsi pribadi dan konsumsi yang tinggi untuk menyerap hasil produksinya.

Demkian Hobson (1963) yang dikutip dan kemudian disimpulkan Arief:

Dengan kata lain, bagi Hobson, imperialisme bisa dicegah kalau upah buruh dinaikkan, sehingga peningkatan produksi barang-barang industri bisa diserap di dalam negeri sendiri, sehingga tidak usah mencari penyalurannya keluar. (TPDK, 55)

Seperti disebut Arief di bagian pertama risalah ini, teori Marxis semuanya tergolong pada kelompok teori Gold. Dan Redaksi ulangi ungkapan Arief:

Teori Marxis tentang imperialisme memang dimulai oleh Lenin, tetapi kemudian muncul teori-teori yang merupakan variasi lain dari teori yang dicetuskan Lenin.

Tidak heran, menanggapi Hobson, Arief mengacu pada VI Lenin dalam bukunya Imperialism: The Highest State of Capitalism (1916—Red/TPDK, 55).

Tokoh Lenin yang pertama mencagun (muncul) di blog ini ketika Redaksi mengutip Massimo Salvadori:

…seorang jauhari (cendekiawan) dengan kelebihan luar biasa. Seperti ditunjukkan oleh pengetahuannya yang luas dengan menginterpretasikan gagasan-gagasan Marx dan Engels. Misalnya, lewat cara—cukup meyakinkan bagi banyak jauhari—mengidentifikasikan imperialisme dengan tahap tertinggi atau final dari kapitalisme.  (Simak beberapa catatan kecil ML butir Pertama di hlm 2b atau klik ini)

Kembali ke Arief:

Menurut Lenin, imperialisme merupakan puncak tertinggi dari perkembangan kapitalisme.

Kapitalisme yang mula-mula berkembang melalui kompetisi di pasar bebas, kemudian setelah tumbuh perusahaan-perusahaan raksasa (sementara yang lemah mati), munculah kapitalisme monopoli. …

Unsur baru dari kapitalisme yang baru ini adalah berkuasanya kaum monopolis yang merupakan gabungan dari pengusaha-pengusaha yang paling besar,” kata Lenin.

Maka dengan melakukan imperialisme dan kolonialisme, “kaum monopolis itu akan bertahan kalau mereka menguasai sumber-sumber yang menghasilkan bahan mentah,” tulis Arief.

Karena, lanjut Ariefdengan menguasai daerah yang menjadi sumber bahan mentah, kelangsungan dan perkembangan mereka lebih terjamin dari pada kalau bahan-bahan mentah itu harus mereka peroleh melalui kompeteisi di pasar bebas. (TPDK, 55-56)

Redaksi coba “lengkapi” imperialisme Lenin di TPDK Arief ini dengan mengutip para jauhari di era Uni Soviet yang juga menyitir Lenin di bukunya itu:

Penggantian kompetisi bebas dengan monopoli adalah ciri ekonomi yang mendasar, esensi dari imperialisme.

Ciri imperialisme, pertama-tama dan yang terpenting, adalah monopoli kapitalisme.

“Bila diperlukan untuk memberikan definisi yang memungkinkan secara singkat mengenai imperialisme,” tulis Lenin, “ kita hendaknya mengatakan bahwa imperialisme adalah tahap monopoli dari kapitalisme.”

(Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita dari Fundamentals of Marxism Leninism Manual, Second Revised Edition, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1963, hlm 241)

Di sinilah, “usul Hobson untuk mengadakan pembaharuan sosial merupakan sesuatu yang tidak mungkin, karena hal ini bertentangan dengan logika kapitalisme,” tulis Arief setelah sebelumnya mengutip Fieldhouse (1963) yang menanggapi Lenin:

… bagi Lenin, kapitalisme hanya digerakkan oleh tujuan tunggal: mencari keuntungan  yang lebih banyak, dan lebih banyak lagi.

Kalau pilihannya supaya kapitalisme bisa hidup terus adalah antara:

(1)  Menaikkan produksi di dalam negeri, menurunkan harga barang dan menaikkan upah buruh (dan dengan demikian mengurangi keuntungan), atau

(2)  Pergi ke luar negeri dan menjajah negeri itu (dan dengan demikian mendapat keuntungan lebih besar lagi dari investasinya),

jelaslah bahwa para kapitalis akan memilih yang kedua. (TPDK, 56)

Teori Gold, Lenin, Soekarno, Orientasi Sosialis, Juche, “Aji Pemungkas”, Frank.

Dari kelompok teori Gold makin pahamlah kita, setidaknya bagi Redaksi, apa itu imperialisme.

Paling tidak pemahaman imperialisme yang dijelaskan melalui  teori kaum Marxis, khususnya dari sebuah karya VI Lenin yang dipetakan Arief Budiman sebagai tanggapan atas John A Hobson.

Hal yang nyambung, paralel dengan “soal rezeki” Soekarno dalam NIM (Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, 1926; simak hlm 23c atau klik ini).

Bahkan, seperti sudah disebut pada bagian pertama risalah ini, Redaksi masih melanjutkan dengan peta TPDK Arief ini, mensasar pada perkara perjuangan untuk pembebasan nasional dari imperialisme yang berlanjut “membypass” kapitalisme menuju sosialisme—orientasi sosialis, istilah jauhari di era Uni Soviet .

Hal yang, sekali lagi, sungguh mengagetkan, telah coba dipraktikkan seorang Soekarno, meski gagal, di ujung kekuasaannya oleh kaum IBe, kaum imperialis dan para antek/begundalnya.

Tidak heran, Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga, di dalam literatur-literatur, risalah-risalah tingkat dunia, setahu Redaksi, tidak disebut-sebut dalam kaitan dengan “sosialisme” apalagi “berorientasi sosialis”.

Soekarno waktu itu nyaris ikon Indonesia tapi bukan pemikiran-pemikirannya yang sejatinya sedang merenda “sosialisme khas Indonesia”.

Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei dalam sambutan pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi ke-16 Gerakan Non Blok (GNB) di Teheran, Iran, pada 30 Agustus 2012 lalu, mengutip Ahmad Sukarno sebagai salah satu pendiri GNB yang menyebutkan kesatuan akan kebutuhan (unity of need), kebutuhan suatu ikatan (need of a bond) sebagai dasar GNB. (Untuk teks lengkap pidato dimaksud simak hlm 25b atau klik ini)

Bahkan seorang Kim Il Sung (kakeknya Kim Jong Un, pemimpin Korea Demokratis sekarang) konon terinspirasi berdikarinya, berdiri di atas kaki sendirinya Soekarno, melahirkan ideologi khas mereka Juche atau Chuch’e.

Yang oleh perjalanan sejarah khas mereka (baca: Perang Korea), mensinergikan ideologinya itu dengan “revolusi utamakan-militer” (military-first revolution). Hasilnya: sebuah Korea Demokratis berorientasi sosialis yang disegani imperialisme Barat, artinya, setidaknya tidak mudah untuk di-irak-libia-kan. (Simak hlm 20a atau klik ini)

Juga, hemat Redaksi, “demokrasi terpimpin” Soekarno, kini, hari-hari ini sedang dipraktikkan oleh RRT, Republik Rakyat Tiongkok.

Sebuah Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (KKPRT/CPPC, Chinese People Political Consultative Conference), di mana PKT Partai Komunis Tiongkok duduk bersama 8 partai non komunis (mewakili elemen-elemen “bhinneka tunggal ika” masyarakat) yang dibawahinya “bermasohi”  atau “bergotong royong” politik. Musyawarah mufakat konsultatif politik yang dihasilkan akan ditindaklanjuti oleh PKT sang “pemimpin demokrasi”, partai berkuasa satu-satunya . (Simak hlm 3a atau klik ini)

Atau dalam pandangan kaum Marxis-Leninis, PKT sedang melakoni “kediktatoran proletariat” untuk menjaga konsistensi RRT pada orientasi sosialis, sosialisme khas Tiongkok—salah satu kriteria penting sebuah negara berorientasi sosialis.

Sulit dipungkiri RRT hari-hari ini, dengan populasi terbesar dunia lalu “menggunakan” kapitalisme untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, hemat Redaksi ternyata memiliki ”aji pemungkas” untuk menjaga keajekan RRT yang sosialis: duet PKT-KKPRT.

Kekuatiran RRT kelak tak bedanya dengan Amerika, misalnya, terletak di sini. Basis yang berformasi sosial sosialistis atawa berorientasi sosialis itu lantas menghasilkan manusia pada superstruktur yang bersesuaian, inilah yang membedakan dengan Amerika Serikat yang berbasis formasi sosial kapitalistis—serupa di kita hari-hari ini.

Dan seperti halnya, Hukum Newton, Evolusi Darwin, misalnya, Marxisme-Leninisme pun tak lain adalah juga sebuah—pinjam Lenin—aksioma geometris, dalam menjelaskan dan membantu mengembangkan sebuah masyarakat yang lebih baik.

Di titik inilah “demokrasi” yang diobral sambil mengayunkan “sebilah pedang” oleh kaum imperialisme pada hakikatnya tengah dihadang demokrasi sejati rakyat tertindas dalam orientasi sosialis sebagai tahapan menuju masyarakat “dari masing-masing sesuai kemampuannya, kepada masing-masing sesuai kebutuhannya”

Dan, tiba-tiba Redaksi sadar. Tak pelak lagi melalui peta TPDK ini makin menunjukkan (salah satu) kecendekiawan seorang Arief Budiman yang “angkat bicara” ketika sebuah Republik Indonesia mulai bahkan sudah memasuki jalur ahistoris, jalan pengingkaran jerih payah para founding father.

Selanjutnya, … Arief lalu menyebut seorang jauhari (yang ternyata) kondang:

Penganut Teori Ketergantungan yang lebih keras, misalnya Andre Gunder Frank, menolak kemungkinan ini.

Bagi Frank, hubungan negara pinggiran dengan negara pusat pasti menghasilkan apa yang disebutnya sebagai pembangunan keterbelakangan atau the development of underdevelopment.

Karena itu, hanya ada satu cara bagi negara-negara pinggiran untuk maju: putuskan hubungan dengan dengan pusat. (TPDK, 64)

Maksudnya Frank menolak “kemungkinan ini”, menolak definisi Dos Santos yang lunak dari Teori Ketergantungan:

Pada definisi (Santos—Red) ini masih diakui bahwa negara-negara pinggiran, setelah mengadakan hubungan dengan negara-negara pusat, masih punya kemungkinan untuk berkembang, bila negara-negara pusat tersebut sedang mengalami perkembangan.

Memang, perkembangan di negara-negara pinggiran merupakan perkembangan dalam ketergantungan, tetapi bagaimana pun juga Dos Santos dan beberapa penganut Teori Ketergantungan lainnya, masih mengakui kemungkinan bagi negara-negara pinggiran ini berkembang. (TPDK, 64)

Sementara “satu cara … putuskan hubungan dengan pusat” itu, maksudnya Frank:

… negara-negara satelit (pinggiran, menurut Santos—Red) merupakan negara kapitalis. Karena itu, perubahan yang diperlukan adalah langsung menuju pada sosialisme.

Jadi, bagi Frank, keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis. (TPDK, 68)

Pendapat Frank ini, yang Redaksi singgung di atas, oleh para jauhari di era Uni Soviet disebut sebagai suatu masa transisi “membypass  kapitalisme menuju orientasi sosialisme”.

Meski ternyata ada perbedaan. Frank menganggap negara-negara satelit adalah negara kapitalis. Sementara para jauhari Uni Soviet, lebih mengemuka menyoal suatu revolusi kemerdekaan, suatu masa transisi pascapembebasan nasional dari imperialisme: “membypass kapitalisme” menuju orientasi sosialis.

Yang terakhir ini, justru hemat Redaksi malah klop dengan era perjuangan kemerdekaan Soekarno maupun saat memasuki kemudian berlanjut di awal abad ke-21 yang secara de facto dan “de jure”  (baca: UUD 2002 hasil “penyelundupan hukum”) republik tercinta ini kembali dan sedang dijajah.

Sampai di sini, Redaksi berharap Pembaca Budiman sudah bisa menduga ke arah mana tulisan ini bermuara.

Bahwasanya, seorang Soekarno yang dikenal sangat nasonalis  itu, hemat Redaksi, sekaligus juga seseorang yang menafsirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam kerangka berpikir kaum Marxis-Leninis atau setidaknya paralel.

Inilah poin utamanya.

Kaum IBe pun tidak mau kalah sigap dengan Soekarno dalam “melampaui zamannya”. Pancasila-UUD 1945 di hadapan kaum IBe tak lebih tak kurang dari ajaran-ajaran yang “sesat” , berada di “poros setan”: harus dilenyapkan dari bumi Indonesia, cepat atau lambat.

Atau setidaknya: Pancasila masuk kotak.

Padahal sebuah tindakan mustahil sedang dikerjakan kaum IBe sama mustahilnya dengan menghindar dari liang lahat yang digali kaum IBe bagi diri mereka sendiri: menghilangkan jati diri sebuah nasion.

Sekali Lagi: Orientasi Sosialis.

Dan Redaksi merasa sudah waktunya mengajak Pembaca Budiman mengulas sedikit menukik ke dalam “orientasi sosialis” yang sudah beberapa kali disebut sebelumnya.

Kemudian kita akan kembali lagi padaTPDK Arief Budiman untuk menyimak sepintas Andre Gunder Frank, sekaligus mengakhiri risalah bersambung ini.

Berharap. Pertanyaan yang menjadi tajuk risalah bersambung ini—dengan menyimak tulisan Soekarno di koran Suluh Indonesia Muda (1926) bertajuk Nasionalisme, Islamisme, Marxisme­—meski mungkin belum terjawab secara memadai. Mudah-mudahan, setidaknya menggelitik kita untuk mencoba (kembali) percaya pada jati diri kita.

(Bersambung di hlm 25a atau klik ini)

Tinggalkan komentar