Islam Politik, Ekonomi Syariah

dan

Imperialisme

.

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

.

Oleh HM Isbakh

.

.

[Alinea-alinea terakhir tulisan sebelumnya hlm 153a-IVa — Red DK *]

.

.

Untuk menjelaskan ‘kemunduran’ Aceh, kita sudah tentu harus memerhitungkan persoalan yang semakin gawat semakin kota itu tumbuh, dan yang kian hari kian sukar penyelesaiannya hingga pada akhirnya sama sekali tak terselesaikan lagi.” [Lombard, Kerajaan Aceh, 1991, hal. 79 – 81]
.
Suatu komoditi pokok yang ditemukan langka di Aceh pada kenyataannya adalah beras. Ini adalah suatu harga mahal yang harus dibayar ketika kerajaan-kerajaan Islam nusantara melepaskan diri dari negara Hindu Jawa yang memiliki keunggulan komparatif dalam produksi beras.
.
Melepaskan diri dari “negara kesatuan” Majapahit kini menuai dampak strategisnya. Sekaligus hal ini memerlihatkan kerapuhan negara dagang maritim yang tanpa dibangun oleh suatu basis produksi material yang kokoh.
.
Pelajaran yang dipetik: betul bahwa Indonesia adalah negara maritim, tetapi ada 2 tipe kemaritiman yang ditemukan dalam sejarah yakni kemaritiman model Majapahit di mana perdagangan ditunjang oleh produksi material yang kokoh (baca: industri) vs kemaritiman kerajaan-kerajaan Islam nusantara perdagangan digalakkan dengan mengabaikan produksi material.
.
Sampai di sini kita dapat membenarkan pernyataan Van Leur “Not did Islam bring ‘economic development’” jika dan hanya jika kenyataan tersebut dikaitkan dengan fakta sejarah material. Tepatnya aspek pengabaian produksi material inilah yang mengalienasi Islam Politik.

.

Kedatangan Barat dan Kemerosotan Kerajaan-Kerajaan Islam

.

[berlanjut ke halaman berikutnya hlm 153b-IVa— Red DK]

 

.

__________________

.

Serial Tulisan HM Isbakh:

Islam Politik, Ekonomi Syariah dan Imperialisme

(Empat Bagian/Bagian IV 3-Sub-Bagian)

.

Bagian I. Islam Politik dan Imperialisme

 hlm 132a-I & hlm 132b-I 

Bagian II. Syariah Dipandang dari Perspektif Sejarah Material

 hlm 135a-IIhlm 135b-II & hlm 135c-II  

Bagian III. Ekonomi Islam dalam Tilikan Teori Nilai Kerja

 hlm 142a-IIIhlm 142b-III & hlm 142c-III 

Sub-Bagian IVa. Asal-Usul dan Transformasi Islam Politik di Indonesia Dari Abad ke-13 Hingga Abad ke-19

 hlm 153a-IVa & hlm 153b-IVa  

Sub-Bagian IVb. Sastra Melayu: Islamisasi dan Ideologi

 hlm 159a-IVb

Sub-Bagian IVc. Perkembangan Politik Islam Indonesia Abad ke-20

 hlm 160a-IVc & IVc hlm 160b-IVc

.

_________________

.

Kedatangan Barat dan Kemerosotan Kerajaan-Kerajaan Islam

Pengabaian pembangunan kekuatan produksi oleh kerajaan-kerajaan Islam nusantara telah menimbulkan kontradiksi internalnya sebagaimana ditunjukan pada bagian di atas. Hal ini menjalar ke kontradiksi eksternal.

Kerapuhan kekuatan produksi merembet pada kerapuhan di bidang teknologi dan pada akhirnya menuju pada kerapuhan kekuatan perang. Hal ini dibuktikan dengan masuknya kekuatan kolonial Eropa di mana Portugis menaklukan Malaka pada abad ke-16 yang kemudian disusul oleh Belanda yang menaklukan Aceh hingga awal abad ke-20.

Dalam menjelaskan subordinasi kerajaan-kerajaan Islam Melayu terhadap kekuatan dagang barat (Portugis, Belanda dan kemudian Inggris) kita mesti melihat pada perbedaan dalam hal skala perdagangan atau besaran kapital dagang dan teknologi, kedua kekuatan. Dalam kedua hal [tersebut] kerajaan-kerajaan Islam Melayu tertinggal.

“Side by side with the trade carried on by the ruler and his officials, therefore, we see a richly variegated trade taking place in luxury articles as well as mass products, either in direct shipping and commerce or in the form of partnership.

Can the concept “peddling trade” entirely cover commerce of such magnitude? The nobility’s share in this trade, which Van Leur still credited with a certain importance, was extremely small, at least as far as the Malay-Indonesian area was concerned.

One gains the impression that what Van Leur meant by the “cheap” peddling trade was carried on more especially by the natives themselves, while the trade which demanded greater reserves of capital was, in so far as it was not pre-empted by the ruler and his officials, conducted by merchants from abroad.

In the Indonesia of this period there are no signs of the formation of a native middle group carrying on trade on its own account.

Technical development also figures in Van Leur’s evaluation of western European activity in Asia, and although he attaches considerable importance to it he still underestimates its scientific character.

The rapid initial success of the Portuguese was to no small extent determined by their technical superiority, and that superiority had a scientific foundation. Certainly in some parts of Asia the level of scientific knowledge was no lower than in Europe – after all western knowledge of mathematics was mainly Arabic in origin – but in Asia, unlike Europe, there was no connection at all between science and technics, which meant that scientific results were not tested by experimental technology.

It was precisely this which gave the Portuguese on their first appearance in Asia an advantage which should not be underestimated.

Moreover, whatever its defects, during the period of expansion Portuguese commercial traffic was organized on a higher level than its Asian counterpart. Adequate proof of this is provided by the centralization of Portuguese Asian trade in one port of assembly and despatch, which was governed, moreover, by a highly organized bureaucracy acquainted with separate civil and military administration, even if this organization did not always work efficiently in practice.

The commercial power of the Portuguese system should certainly not be underestimated. Undoubtedly, too, the new Portuguese demand stimulated production in the Asian lands. New branch of trade sprang up. Countries which had previously been unacquainted with one another’s products, were brought into contact with one another, thanks to the Portuguese system of goods transport.

Moreover, Asian efforts to escape from Portuguese influence led to changes in the traffic routes, so that new Asian trading centres came into existence.

In the beginning, especially, the Portuguese must have developed a very aggressive and powerful force of attack which took the Asians by surprise and which they only learned to resist in the long run, after they had adopted much of Portuguese technical science and strategy.

Finally a new element, and one which should not be underestimated, was formed in Asia by the private Portuguese traders who, although they became part of the Asian milieu, undoubtedly left some trace behind them of their European extraction.” [Meilink-Roelofzs, 1962, hal. 9 – 10]

Aspek perkembangan kekuatan produksi dalam teknologi (produksi maupun perang) dan dalam organisasi birokrasi serta kemiliteran yang mengarah kepada sentralisasi merupakan dasar di balik monopoli perdagangan.

Jadi superioritas dalam skala perdagangan sebenarnya ditunjang oleh keunggulan dalam teknologi. Dalam ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa keunggulan dagang ditentukan oleh kekuatan militer, bukan melalui mekanisme pasar bebas yang kompetitif.

“More important than Meilink-Roelofsz’ attempt to correct this ‘pedlar’ character is the fact that she draws attention to the qualitative differences between the Asian and European participants of Asian trade: to Portuguese organizational centralization in what could be termed a fairly modem bureaucratic apparatus, the linkage between science, technology and economic, maritime and military superiority; all these put the Portuguese ahead.

Bastin and Benda also confirm these points. This degree of superiority is even more sharply defined when Asians encounter Dutch and English competitors.

Van Leur sometimes tends to rate these differences as being far smaller than they actually are by depending too much on a number of external forms of Asian trade rather than primarily on the difference in total economic and social development between Asia and the West-European countries of origin (particularly the Dutch Republic and England).

The historical significance of the commercial revolution of the 16th and 17th centuries, of which the European Asia trade was part, can only be understood within the framework of the enormous development of commercial capital in the countries of origin (and of Western Europe as a whole).

The significance of the military, maritime and organizational superiority which is briefly touched upon by van Leur, can also only be properly understood in the context of the social development of the West as a whole.

The economic and military activities of the West in Asia, particularly of the powerful Dutch-English, which van Leur has discussed and relativized, represent a long-distance effort that was rendered possible by societies that were entirely different to those found in Asia. Van Leur gives insufficient significance to the fact that the Western economic advance was consolidated, step by step, both militarily and politically.

When the economic and political-military penetration of Asia (and other continents) by the West really got going during the 17th century, a process was set in motion which, notwithstanding the fact that spectacular shifts of power did not occur for a couple of centuries, would finally lead to the complete subjection to imperialism of the infiltrated areas. This was a struggle for power, the foundations of whose outcome had been laid during the commercial revolution of the 16th and 17th century and which had made Asian trade an element of the world market. Each step forwards taken by Europe meant a step backwards by Asia.

Despite the only partial success of the East India Companies in their efforts towards monopolization, this could only mean a substantial curtailment of the scope for Asian accumulation of precapitalist capital.

This curtailment was intensified and consolidated by the industrial-capitalist expansion and political subjugation and further stagnation was inevitable. Previously, in the course of the 16th, 17th and 18th centuries, considerable capital had been extracted from Asia and other exploited areas through plunder and unequal trading conditions.

This capital thus acquired, contributed significantly to the money capital and commercial capital accumulation which helped to create favourable preconditions for the West’s industrial revolution. This same process progressively nullified the chances for a capitalist industrial revolution in Asia and elsewhere in what was to become the Third World.

As the process described above was crippling for such countries as India and China, it was even more so for underdeveloped Southeast Asia whose autochtonous entrepreneurs suffered greater handicaps even before the coming of the West, indigenous capital having to face the domination both of the agrarian interior states and of foreign (Asian) capital.

In Southeast Asia, in the (semi-) colonial period, the disadvantages of capitalist and pre-capitalist relations were combined without the advantage of either, even more so than was the case with its two great neighbours.

During the enormous acceleration in Western capital exports, an essential element in the evolution of the classical phase of imperialism, investments were mostly oriented towards increasing agricultural and mineral production for the world market.

Unlike China, and to a greater degree than in India, Southeast Asia became a plantation area in addition to being a rice-growing area. Its indigenous society had to suffer the establishment of islands of capitalism: extensions of another world which used land and cheap labour on a very selective basis without supplying any significant impetus to native accumulation and industrialisation.” [Tichelman, 1980, hal. 46 – 48]

Setelah mengalami pertumbuhan yang rentan di masa keemasannya, tidak ada perkembangan signifikan dalam kekuatan produksi di wilayah-wilayah perdagangan pesisir nusantara dalam subordinasi kekuatan kolonial barat. Tentu sebagian penjelasannya karena watak merkantilistik monopoli dagang kolonialisme barat yang merebut seluruh keuntungan tanpa pengembalian untuk investasi pada kekuatan produksi sebagaimana dinyatakan Tichleman.

“Early 16th and the 17th century Western expansion had both a competitive, i.e. deterrent, and a provocative, i.e. stimulating, effect on the development of local Islamic entrepreneurial strata.

In the 19th and early 20th century, the industrial-capitalist phase of Western expansion towards the East had a similar effect, particularly in certain more Islamized non-Asiatic areas in the Malayo-Indonesian zone. These areas did not suffer the pronounced stagnation of the agrarian nucleus, but they still lacked a number of preconditions that are so decisive for industrial revolutions, as for instance the ample latitude for domestic capital accumulation with rigorous government support.

Aliens had long monopolized most of the strategic economic positions; this situation remained almost unchanged after the achievement of independence and, with some vacillation, the state continued to adapt itself to international power relationships, to the detriment of autochtonous capital.” [Tichelman, 1980, hal. 45]

Meski Tichelman mengakui bahwa di daerah-daerah perdagangan pesisir (more Islamized non-Asiatic areas in the Malayo-Indonesian zone) kapitalisme dagang dapat memberikan efek stimulan ekonomi tetapi efek ini tidak dapat dikatakan berdampak signifikan pada produksi material yang dapat memicu revolusi industri. Kami berpendapat bahwa stagnasi produksi material di wilayah Islam ini berkaitan dengan doktrin ekonomi syariah itu sendiri.

Pada Bagian III [hlm 142a-III, hlm 142b-III & hlm 142c-III — Red DK] kami telah mengurai doktrin ekonomi syariah yang sebagian besar berurusan dengan etika bisnis (seperti penolakan terhadap riba) dan model-model bisnis yang diusung sebagian besar berhubungan dengan perdagangan dan keuangan.

Pembangunan produksi material (baca Industri) nyaris tidak pernah menjadi fokus perhatian dalam doktrin tersebut. Di sini agama bukanlah faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.

Tesis ini bertolak belakang dengan tesis Max Weber yang menyatakan agama (Kristen Protestan) adalah faktor pendorong perkembangan kapitalisme di Barat.

Keadaan di Negeri-Negeri Imperialis. Perubahan dari kapitalisme dagang menuju kapitalisme industri.

Suatu peralihan zaman yang penting terjadi dari akhir abad ke-18 menuju abad ke-19 adalah peralihan praktik kapitalisme dagang menuju kapitalisme industri.

Hal ini terlihat dari meredupnya merkantalisme dagang yang dalam hal ini diwakili Belanda yang segera digantikan oleh Inggris yang merupakan representasi dari kapitalisme Industri. Bersamaan dengan itu bangunan atas ideologi yang diusung adalah liberalisme, pasar bebas.

Suatu perubahan penting yang terjadi dalam pemahaman bagaimana kekayaan itu berasal adalah timbulnya kesadaran akan nilai kerja manusia.

Yang bernilai sekarang adalah aktivitas produksi manusia menghasilkan barang, bukan pertukaran barang perdagangan itu sendiri. Demikianlah yang dinyatakan oleh para ekonom klasik Adam Smith, David Ricardo dan kemudian dipertajam oleh Karl Marx dalam teori nilai kerja.

Denys Lombard menggambarkan perubahan dalam cara eksploitasi negara-negara kolonial di daerah jajahannya sebagai berikut:

“Karena Eropa selama seperempat abad (1790 – 1815) tertahan oleh pertikaian-pertikaian dalam tubuhnya, yang secara mendalam memermasalahkan kembali keseimbangannya sendiri, maka pengaruhnya di laut-laut Asia terpaksa agak dikendurkan untuk beberapa saat.

Wakil-wakilnya, kalaupun mencanangkan gaya penjajahan baru – seperti Decaen, Daendels atau Raffles – hanya sekali-sekali tampil di Lautan Hindia, dan kapal-kapalnya yang direpotkan oleh blokade dan perjalanan kurang sering hadir (yang sudah tentu menguntungkan beberapa pihak ‘netral’ dan terutama Amerika Serikat). Surutnya untuk sementara waktu itu dalam keseluruhannya dapat dimanfaatkan oleh pesaing-pesaing bangsa Asia.

Namun setelah perjanjian Wina, segera akan terjadi perubahan. Bangsa-bangsa barat telah berdamai di antara mereka dan datang kembali dengan kekuatan besar, tidak lagi dalam tatanan terserak tetapi dengan cara yang direncanakan bersama, dan di meja hijau mereka membagi kawasan-kawasan yang dahulu mereka perebutkan dengan pedang terhunus.

Yang sangat berpengaruh dari segi ini ialah perjanjian pada tahun 1824 antara Britania Raya dan Negeri Belanda, yang menetapkan batas-batas Selat Malaka di bawah pengaruh masing-masing negara.

Dengan demikian selesailah secara damai suatu pertikaian lama yang tak ada habis-habisnya sejak awal abad ke-17.

Bangsa-bangsa Eropa yang belum lama berselang masih saling melawan dan sering juga dapat juga diadu satu sama lain oleh raja-raja Asia (umpamanya dengan mencari dukungan dari kaum Protestan untuk melawan penganut Paus), untuk selanjutnya membentuk persekutuan yang kukuh dan kalau perlu saling membantu.

Kira-kira pada tahun 1820, Inggris, Spanyol dan Belanda berusaha memerangi kaum perompak, dan pada tahun 1858 Gubernur Manila mengirim sebuah kapal perang pengawal dan sepasukan orang Tagalok untuk membantu armada Rigault de Genouilly yang hendak menaklukan Tourane.

‘Persekutuan Suci’ hampir tak ada cacatnya, kecuali pada tahun 1914, ketika bangsa Jerman melawan Sekutu dan daerah jajahannya di Asia disita bersama milik-miliknya lainnya.

Bangsa-bangsa barat tampil kembali dengan maksud-maksud baru. Tujuan mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga ‘menggarap’ tanah pedalaman, mengeksploitasi semua kawasan dan bahkan menguasai produksinya. Barang yang mereka anggap penting bukan lagi hasil hutan – yaitu rempah-rempah dan kayu yang paling tinggi nilainya, yang oleh pegawai-pegawai VOC diperebutkan dari para pedagang Melayu, India, Arab atau Cina – melainkan hasil perkebunan (kopi, nila, gula, teh, kopra, karet, tembakau dan minyak kelapa) maupun hasil tambang: timah, lalu minyak tanah.

Teknik-teknik transport dan dagang mereka sudah sangat maju (kapal uap, perseroan dagang dan terutama sistem perbankan tipe modern), begitu pula teknik produksi mereka (agronomi, pengusahaan tambang). Kemajuan-kemajuan itu bahkan sampai mengoyahkan pengertian perusahaan tradisional yang bersifat kekeluargaan. Kalangan elite, Islam dan Cina, amat lamban bereaksi terhadap mutasi-mutasi yang amat pesat itu yang jangkauannya kadang-kadang tidak dipahami dan kontrolnya hampir selalu lepas dari jangkauan mereka.”  [Denys Lombard, Nusa Jawa 2, 2005, hal. 67 – 68]

Yang menjadi perhatian dalam kajian Islam politik di wilayah Islam nusantara adalah terutama bagaimana perubahan tersebut berdampak pada cara pemerintahan kolonial Belanda mengeksploitasi nusantara.

Namun sebelum masuk di situ adalah penting untuk mempelajari geopolitik imperialis itu sendiri. Salah satu kelemahan penulisan histografi Indonesia menurut kami adalah kurangnya pendalaman akan apa yang terjadi di negara penjajah dan terlalu fokus mengkaji apa yang terjadi di daerah jajahan.

Hubungan pusat dan pinggiran, negara imperialis dan jajahan dapat dipahami secara dialektis bahwa apa yang dilakukan di daerah jajahan didorong oleh kepentingan imperialis. Dalam hal ini Inggris yang keluar dari perang Napoleon sebagai pemenang mengatur kode geopolitik global. Itu adalah posisi yang mirip dengan Amerika Serikat pascaperang dunia kedua.

Dalam masa imperialisme Inggris ini, posisi Belanda menempati posisi yang mirip Jepang dalam imperialisme AS di mana keduanya (Belanda dan Jepang) menjadi wilayah semi-pusat yang diatur oleh pusat untuk mengeksploitasi Asia Tenggara atau daerah-daerah nusantara. Inggris merestorasi daerah jajahan Belanda dengan tujuan memperkuat Belanda dalam mengimbangi Prancis yang menjadi rival utama Inggris.

“By separate agreement Great Britain consented to restore to the Netherlands most of their former overseas possession. The western section of Guyana, Cape Colony, and Ceylon were remain British.

The Amsterdam merchants deplored the loss of Guyana where they had considerable investment, but nation lost most in South Africa. The Cape was the only national overseas settlement where large number of Netherlanders could make a new home.

Great Britain was under no moral or legal obligation to restore the colony. The promise, made to the late Stadhouder William V in 1795, was annulled by the Treaty of Amiens, which was accepted by all parties concerned, even by Prince William, the stadhouder’s son, then in exile in Germany.

In restoring the Colony, Britain was prompted by desire to strengthen the new Lowland state for it was to serve as ‘Britain sentry’ on the continent’ against France. Important in the return of the colonies was the disappointing result of the British administration in Java and the Moluccas.

Thomas Stamford Raffles, governor of Java during the British interregnum, vehemently protested against the cession of his beloved island and pointed out its future economic possibilities. This mattered little to the British statesmen whose attention was wholly concentrated on Europe. They knew little and cared less about Java.

… The Netherland Society of Commerce was established on purpose to regain economic influence in territory which politically had been returned by Britain, but which economically was still wholly within her sphere of influence. …

Commerce had changed side the middle of the XVIIIth century, and the full results of that transformation now became apparent. Producers of export goods sought direct contact with their consumers, and business men from Russia or Germany ordered their merchandise direct from the producing areas without resorting to the intermediate markets like the Netherlands.

Traditional methods of handling merchandise in Dutch ports further prevented a recovery of Holland’s former commercial position. The XIXth century brought an enormous increase in the volume of merchandise transported, and the out-of-date regulations prevailing in Amsterdam and Rotterdam were a hindrance to mass exchange.

Finally, the increase in the tonnage of merchant ships made entrance to Dutch harbours impossible. Dutch trade and shipping continued to decline until second half of XIXth century.

[…]

During the fifteen years that elapsed between the Congress of Vienna and the secession of Belgium, art, culture and politics were at a low ebb in the northern Low Countries.

The southern provinces provited from the great romatic movement in France. In the north both French and German Inluence infiltrated , but only weakly.

The citizens entrusted public affairs with confidence to ‘Father William’, who indeed had their interest at heart but disliked to entrush power to other.

The Netherlands which thirty years before had been republic teeming with internal strife when adjacent monarchies were blessed with ‘enlighted despots’, found themselves under enlighted paternalism wich vainly sought to rouse them from their economic lethargy.

King William worked day and night; he invested to the state for public works. Canal were dug connecting the ports of waterways intersecting the rivers; roads were built (which popular tradition in the Netherlands still ascribed to Napoleon!); manufactures were started, shipbuilding revived and East Indian trade partly resuscitated through the establishment of Nederlandsche Handelmaatschappij (the Netherland Society of Commerce).

But the Netherlanders remaind lethargic. King William urged them forward but all attempts at restoring the ancient staple trades and shipping failed. … The Netherland Society of commerce was established on purpose to regain economic influence. It was doubtful how long the political authority of the Netherlands could be maintained under such circumstances. The Asiatic empire beganto crumble from the moment of its re-establishment. …

Commerce had changed since the middle of the XVIIIth century, and the full results of that transformation now became apparent. Producers of export good sought direct contact with their consumers, and business men from Russia or Germany ordered their merchandise direct from the producing area without resorting to intermediate markets like the Netherlands.Traditional methods of handling merchandise in Ducth ports further prevented a recovery of Hollands’s former commercial position. The XIXth century brought an enormous increase in the volume of merchandise transported, and the out-of-date regulations prevailing in Amsterdam and Rotterdam were a hinderance to mass exchange.

Finally the increase in tonnage of merchant ships made entrance to Dutch harbors impossible. Dutch trade and shipping continued to decline until the second half of XIXth century.” [Vlekke, 1963, hal. 290 – 292]

Pasca perang Napoleon, ketika Belanda terbebaskan dari jajahan Prancis, kondisi kapitalisme Belanda masih berupa kapitalisme dagang yang sudah tertinggal. Pendapatan utama untuk mengatasi keadaan ekonomi pascaperang berasal dari produk-produk pertanian tanam paksa (cultuurstelsel). Tentu Berbeda dengan monopoli dagang VOC pada periode abad ke-17 dan 18, dalam sistem tanam paksa [tersebut], tentunya pemerintah kolonial sudah merambah ke pengendalian ranah produksi material.

Akan tetapi pelaksanaan produksi dalam sistem tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan semangat liberalisme di mana petani dipaksa menanam tanaman yang hasilnya laku di pasaran.

Dan lagi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme yakni pembentukan milik privat tidak terjadi karena unit produksi sistem tersebut adalah desa dengan alat produksi tanah yang dimiliki secara kolektif. Basisnya tetap corak produksi asiatik dengan pemerintah kolonial mengambil surplus produksi. Baru pada paruh kedua abad kesembilan belas ketika tanam paksa dihapus, Belanda mengembangkan industri di negerinya sendiri dan kaum liberal mulai memiliki posisi tawar dalam perpolitikan.

“King William had to solve the Problem of providing the East Indian administration with sufficient income without draining the Netherlands, as the East India Company had done in the last decades of its existence. The Company had found some returns, however inadequate, from Asiatic products.

King William could exprect less returns. Java produced quantities of coffee, but after Napoleonic wars the bottom had fallen out of the market. The spices of the Moluccas no longer brought the former high prices now that the monopoly of the islands had been broken by India.

The British had surrendered political control over Malay archipelago but still held first place in that area as importers and traders.

To exclude the British from the Dutch Indies by barriers of any kind was explicitly forbidden by treaty of London under which the colonies had been restrored to the Netherlands. To all these problems were added Javanese unrest in Djocjakarta and intrigues by Mr. Raffles. Around 1826 the situation was so hopeless that withdrawal from the East seem the most sensible policy for the Netherlands to follow.

In these circumstances the ‘culture system’ was introduced on the advide of Johannes van den Bosch, governor general of the Indies from 1830 until 1833. This system combined the tax method of the Company and of Raffles, requiring each producer to devote a certain amount of land and labor to the production of commercially valuable corps.

Fortunately for the Netherlands, prices again rose in Europe after post-Napoleonic depression, and soon enormous quantities of sugar and coffee began to fill the warehouses of Amsterdam, which regained its position as a world market for colonial products.

Chronologically, the culture system belongs to reign of King William; but it did not produce its effect until the reign of William II. The remittances from Batavia to Netherland treasury during the first fifteen years of the new system were, in principle, applied to the settlement of East Indian debts to the home country, amounting to more than 168,000,000 guilders. This figure included the 134,000,000 taken from 1796 from East India Company by the State.

During the reign of William II, return from East Indies averaged 14,000,000 gulders a year, rising in the nest decades to an average of 28,000,000. The culture system gave East Indies new significance for the Netherlands …

The culture system was utterly incompatible with the principles of liberalism. ‘Prosperity through compulsion’ – the fundamental idea of Gevernor General Van den Bosch – did not and could not go hand in hand with .prosperity through individual liberty’. …

The financial returns the Netherlands in Europe drew from Indies made even Liberals reluctant to change so profitable a system. Around 1850 conditions in the Netherlands were such that the eventual loss of twenty million guilders of public income would have been disastrous.

In 1849 the kingdom in Europe had 3,000,000 in habitants as against 2,800,000 in 1840 and 2,000,000 in 1815. Until 1870 the increase of population was slow, only 27,000 or less than one percent a year. From that year to 1890 the increase was 70,000 or about one and a half percent annually, reaching a total of 5,000,000 in 1899.

The growth was not equal in all parts of the kingdom. The ‘big cities’ – Amsterdam in 1849 had only 224,000 inhabitants – grew faster than the countryside; and the density of population increased far more in Holland, now divided into the two provinces of North and South Holland, than in the eastern and southern provinces.

In the cities the population doubled in the second half of the century. Rotterdam grew from 90,000 inhabitants to 286,000. The three southern provinces lagged far behind, with an increase of only 32 to 36 percent in fifty years. …

This steadily increasing population had to find employment within the narrow boundaries of the Netherlands. …

… In the years around 1850 the Netherland State was unable to make ends meet without revenues from Java. In 1849 the Netherland budget in Europe was a little more than 70,000,000 guilders. Netherland taxpayer provided 50,000,000, the Indies 20,000,000. As a contemporary said, the Indies were ‘the cork that kept the Netherlands afloat’.

But after 1860 industry began to expand rapidly. Eastern Overijssel developed its cotton manufactures, which found a ready market in the Indies after the abolition of the Culture System.

Tilburg in Brabant, which had inherited the wool industry of Leiden, became another important center, and Maastrich in Limburg further developed its ceramic industry. In all these industrial centers workers lived under pitiful conditions, which prompted some of the younger Liberals to broaden their political and social activities to include the cause of the common man.

One of these younger Liberals, Samuel van Houten, was the first to present a bill to restrict child labor. It was adopted in 1874, the first Dutch social legislation.” [Vlekke, 1963, hal. 302 – 306]

Kini kita kembali kepada perhatian awal kita terhadap daerah di mana kerajaan-kerajaan Islam nusantara dulu berkibar.

Sejak pelaksanaan tanam paksa meski pelaksanaannya terutama dilakukan di pulau Jawa, gubernur jenderal Van den Bosch sebenarnya menaruh perhatian untuk menaklukan wilayah di luar Jawa. Sebagaimana ditunjukan oleh Dobbin (1983) di Sumatra pemerintah kolonial berupaya menguasai perdagangan di daerah Minangkabau, hal mana yang memicu konflik dengan kaum Padri yang akan kita bahas kemudian.

“The Governor-General in question was one of the most famous in the annals of the Netherland Indies, Johannes van den Bosch. He had commenced duty in Batavia in January 1830 possessing the inestimable advantage of personal friendship with the King of the Netherlands, Willem I. Both were men firmly dedicated to the economic resurgence of the Netherlands and to combating the widespread poverty of the Dutch lower classes who, they planned, were to be afforded ‘a decent existence’ by working in industries which would export to Holland’s colonies.

In addition, van den Bosch left for the Indies with a positive commission from the king to make the colony financially independent in the shortest possible time. From this moment Batavia was firmly in control of Dutch policy on Sumatra, although initially van den Bosch devoted his entire attention to Java, and it was not until December 1830 that he found time to write to Elout outlining the policy he wished to see followed in Sumatra.

Van den Bosch’s earliest views on Sumatran policy reflected the way the old East India Company had conducted its affairs in the ‘outer islands’. His ultimate goal he made quite plain: ‘It is my aim to bring the entire Indian archipelago as far as possible under the influence of Dutch authority’.But, although with the ending of the Java War he immediately dispatched troops to Padang, he disagreed with Elout that now was the time for ‘an important coup’ in Minangkabau.

Force and conquest, he felt, should not be used; far better was the method of encouraging trade and then plucking its fruits: ‘It seems to me preferable to establish a principal town on each extended section of coast, and to subject to us all the other important bays and rivers where there is or could be significant trade by means of small forts; further, to establish in the interior several market-places, also defended by small forts, where the native can exchange his products for the items he needs or desires, facilitating the communication of these places with the coastal ports by improving the roads as much as possible’.

Actual political authority in these circumstances should extend no further than the reach of the forts’ artillery. The sole concern must be the promotion of trade at the marketplaces, and as long as Dutch industry could provide cheaply what was wanted at these interior markets no one would bother to go right over to Singapore to get what was already under his nose, and the Dutch would acquire an advantageous share of Minangkabau trade, exchanging salt, opium and cotton piece-goods for Minangkabau agricultural produce.” [Dobbin, 1983, hal. 147 – 148]

Perhatian khusus tertuju pada Aceh, di mana di sana merupakan sarang perompak laut yang mengganggu jalur perdagangan laut di sekitar daerah tersebut. Perkembangan kekuatan produksi di mana-mana yang meniscayakan peingkatan volume dan frekuensi perdagangan mau tidak mau meniscayakan imperialis harus mengatasi isu keamanan laut tersebut.

“Under the treaty of 1824 with Britain the government of Batavia was obliged to suppress piracy in Sumatran waters, and decided to stop the constant raids of Achinese pirates by occupying Achin.

It was believed that the sultan, one of the most powerful Indonesian princes, would acknowledge Dutch supremacy and assist in putting down piracy. The grave decision to attack Achin was prompted by fear that foreign powers might otherwise occupy the northern point of Sumatra and endanger the Dutch position in the Archipelago.

War broke out in 1873. It was soon appeared that Achin could not easily be conquered, and that the eventual submission of its sultan would not end the conflict with other partisan leaders. Twenty years later during the administration of Kuyper fighting still continued. Hendrik Colijm, later minister and national leader, played an important part in the campaigns by General Van Heutsz forced the last partisans to capitulate.” [Vlekke, 1963, hal. 324]

Posisi Aceh menjadi penting bukan karena semata-mata keamanan di jalur perdagangan laut akan tetapi dalam hubungannya dengan pusat kekuatan Islam: kekhalifahan Ottoman Turki. Dalam desakan kekuatan imperialis, Aceh meminta bantuan dari kekhalifahan Ottoman (Turki), namun Turki menolak. Meskipun demikian tindakan tersebut malahan menjadi salah satu faktor memprovokasi Belanda untuk menaklukan Aceh karena kekhawatiran akan hadirnya kekuatan asing di wilayah tersebut.

“Pertama-tama, kerusuhan di Sumatera yang terkenal, yang kian lama kian terdengar juga gelegarnya di Negeri Belanda. Kasus Siak telah menimbulkan protes-protes Inggris, melalui surat atau lisan oleh duta Inggris di Den Haag, Laksamana Muda E.A.J. Harris.

Erat hubungannya dengan ini adalah kepastian bahwa Sumatera, setelah pembukaan Terusan Suez, akan lebih penting artinya, karena lalu lintas pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu lewat Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo melalui Selat Malaka. Bagian terbesar pantai timur Sumatera memang sudah di bawah pengaruh Belanda, tetapi ujungnya, yaitu Aceh, belum.

Diduga akan timbul kesulitan-kesulitan karena Aceh. Tidak terutama disebabkan pembajakan di laut, seperti yang sudah lama dilakukan dalam bentuk penggarongan kapal-kapal yang kandas atau yang lego jangkar di pelabuhan. Terjadi peristiwa-peristiwa gawat, tetapi di daerah-daerah lain pun, tempat tampuk kedaulatan Belanda telah lama diakui, hal ini terjadi juga.

Tidak, kesulitan-kesulitan yang diduga akan terjadi bersifat diplomatis dan politis.
Aceh pun telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez. Pada tahun 1868 suatu perutusan Aceh berlayar ke Istambul untuk memohon kepada sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi atas negara Islam Aceh.

Turki hampir-hampir sudah tidak berdaya untuk menambah persoalan baru dalam hubungan luas dibukanya Terusan Suez. Karena kedaulatannya atas Mesir, dia sudah parah terlibat dalam pertentangan-pertentangan Prancis-Inggris mengenai pembuatan terusan itu, yang sampai pada hari terakhir diusahakan disabot oleh Inggris.

Pada tahun 1867 Sultan Abdul Hamid naik tahta. Ia mencoba memperkukuh kekuasaan sultan dengan memberikan nilai yang lebih besar kepada kekhalifahan sebagai pusat dunia Islam. Gerakan pan-lslam memperoleh kemajuan di semua negara Muslim bagai sejenis pranasionalisme. Namun, pada tahun 1868 Aceh masih jauh letaknya. Perutusan Aceh ditolak, tetapi mereka akan kembali lagi.

Dalam pada itu, bagi Negeri Belanda muncul bahaya yang lebih besar dalam usaha-usaha yang dilakukan Aceh dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tertentu dalam Traktat London tahun 1824 untuk mempererat hubungan dengan Inggris. Bom waktu yang diletakkan Raffles kian lama kian terdengar juga detaknya. Maka, perlulah bicara dengan Inggris.” [van ‘t Veer, 1985, Hal. 17 – 18]

Sebenarnya permohonan bantuan dari Ottoman Turki terhadap kerajaan-kerajaan Islam nusantara pernah terjadi juga pada abad ke-16 saat Aceh menghadapi kekuatan Portugis. Namun membangun angkatan laut tidak menarik perhatian Sultan Turki sehingga bantuan tidak diberikan sepenuh hati. Bernard Lewis (2002) mengkaji bahwa pengabaian pembangunan kekuatan perang laut mengakibatkan hilangnya kekuatan politik Islam di perifer (Asia Tenggara) dan sebaliknya memberikan bangsa barat sumber bahan baku dan komoditi untuk dieksploitasi.

Pada Bagian II rangkaian artikel ini [hlm 135a-II, hlm 135b-II&hlm 135c-II] telah dikaji kekalahan kekhalifahan Turki terhadap bangsa barat yang terkait dengan pengabaian akan pengembangan kekuatan produksi.

Apa yang disoroti Meilink-Roelofzs tentang inferioritas teknologi kerajaan-kerajaan Islam nusantara terhadap kekuatan barat, yang merambat ke angkatan perang laut, kini ditemukan juga pada perbandingan kekhalifahan Turki terhadap bangsa barat. Proses kemerosotan relatif terhadap barat ini berlangsung terus hingga perang dunia pertama yang meruntuhan kekhalifahan Turki. Islam di bawah Turki secara bertahap terdesak dari wilayah kemaritiman oleh bangsa barat (Portugis, Belanda, Inggris) dan di wilayah Asia Tengah ia pun menghadapi kebangkitan kekuatan Rusia.

“There were some dissenting voices. As early as the sixteenth century, an Ottoman Grand Vizier in his retirement observed that while the Muslim forces were supreme on the land, the infidels were getting stronger on the sea. ‘We must overcome them.’ His message received little attention.

In early seventeenth century another Ottoman official note an alarming presence of Portuguese, Dutch, and English merchant shipping in Asian waters, and warned of a possible danger from that source.

The danger was real, and growing. When the Portuguese navigator Vasco da Gama sailed round Africa into the Indian Ocean at the end of fifteenth century, he opened a new sea route between Europe and Asia, with far-reaching consequence for the Middle East, first commercial, later also strategic.

As early as 1502, the Republic of Venice, the prime European beneficiary of the eastern spice trade, sent an emissary to Cairo to warn the sultan of Egypt of the danger that this new sea route presented to their commerce. At first, the sultan paid little attention, but sharp decline in his customs revenues focused his attention more sharply on this new problem.

Egyptian naval expeditions against the Portuguese in eastern waters were however unsuccessful and no doubt contributed to the defeat of the Egyptian sultanate in 1516 – 1517 and the incorporation of all its dominions in the Ottoman realm.

The Ottoman now took over this task, but fared little better. The effort to counter the Portuguese in the Horn of Africa and the Red Sea were at best inconclusive. The lack of Ottoman interest in the developments is best illustrated by the response to an appeal for help from Atjeh, in Sumatra.

In 1563 the Muslim ruler of Atjeh sent an embassy to Istanbul asking for help against the Portuguese and adding as an inducement, that several of the non-Muslim ruler of the region had agreed to turn Muslim if the Ottomans come to their aid.

But the Ottomans were busy with more urgent matters – the siege of Malta and of Szigetvar in Hungary, the death of Sultan Suleyman the Magnificent. After two years delay they finally assemble a fleet of 19 galley and some other ships carrying weapons and supplies, to help the beleaguered Atjehnese.

Most of the ship, however, never got there. The greater part of the expedition was diverted to the more urgent task of restoring and extending Ottoman authority in the Yemen, and in fact only two ships, carrying gun founders, gunners, and engineers as well as some guns and other war material, actually reached Atjeh, where they were taken into the service of local ruler and used in his unsuccessful attempt to expel the Portuguese.

The incident seems to have passed unnoticed at the time and is known only from documents in the Turkish archieves. Whether through negligence or design, the Ottomans were probably fortunate in not challenging the Portuguese naval power in the eastern seas; their fleet of Mediterranean-style galleys would have fared badly against the Portuguese carracks and galleons, built for the Atlantic and therefore bigger, heavier, better armed, and more maneuverable.

The impact of the new open ocean route between Europe and Asia on the transit commerce of the Middle East was less than was at one time sought.

Throughout the sixteenth century, the Middle Eastern transit trade in spices and other commodities between South and South-east Asia on the one hand and Mediterranean Europe on the other continued to flourish. But in the seventeenth century a new and – for the Middle East – far more dangerous situation arose.

By that time Portuguese, Dutch, and other Europeans in Asia were no longer there simply as merchants. They were establishing bases that in time became colonial dependencies. As their power were extended from the sea to the seaports and even to the interior, the new European empires in Asia, controlling the points both of arrival and of departure in East-West commerce, effectively outflanked the Middle East.

The danger was not confined to West European expansion into South Asia. There was also the Russian expansion into North Asia where, again, Muslim rulers turned to the greatest Muslim power of the time, the Ottoman Empire, for help.

There was some response. In 1568, the Ottoman drew up a plan to dig a canal through the isthmus of Suez from the Mediterranean to the Red Sea; the following year they actually began to dig a canal between the Don and Volga rivers. Their purpose, clearly, was to extend their naval power beyond the Mediterranean, on the one hand to the Red Sea and Indian Ocean, on the other to the Black Seas and the Caspian.

But both operation, so it seems, were seen by the Ottoman as sideshows, and abandoned when they proved troublesome.

By the end of the sixteenth century, the Ottomans withdrew from active participation on both fronts – against the Russians in North and Central Asia, against the West Europeans in South and Southeast Asia. Instead, they concentrated their main effort on the struggle in Europe that they saw, not without reason, as the principal battleground between Islam and Christendom, the rival faiths competing for the enlightenment – and mastery – of the world.” [Bernard Lewis, 2002, hal. 13 – 15]

Dalam konteks eksploitasi Aceh (dan daerah kepulauan lain di luar Jawa) oleh pemerintahan kolonial, transformasi dari kapitalisme dagang ke kapitalisme industri (dan kemudian kapitalisme finansial pada abad ke-20) memberikan dampak yang signifikan.

Berbeda dengan kapitalisme dagang yang praktiknya dilakukan dengan menguasai jalur laut dan kota-kota pelabuhan di daerah pesisir, kapitalisme industri yang dasarnya eksploitasi tenaga kerja menuntut kapitalis menyerbu ke arah interior kepulauan dalam mencari tanah-tanah subur dan sumber-sumber tambang untuk produksi komoditas. Ini juga menjelaskan agresivitas pemerintah kolonial di luar pulau Jawa. Dorongan utama eksploitasi Aceh terutama ditentukan oleh komoditas minyak bumi.

“Malaise ekonomi yang berkepanjangan, yang masalahnya di Indonesia bermula dengan krisis gula tahun 1884, tampaknya berlalu menjelang akhir abad. Memang harga hasil-hasil bumi tropis ‘lama’ (gula, kopi, dan tembakau – terkecuali Deli) masih rendah, tetapi timbul produk-produk baru yang banyak memberi harapan.

Yang terbanyak memberi harapan ialah suatu produk yang dulu di Indonesia terutama termasyhur sebagai obat terhadap segala penyakit, yaitu minyak tanah.

Telah lama diketahui bahwa di Jawa dan Sumatera terdapat minyak tanah. Banyaknya permintaan akan minyak tanah untuk lampu-lampu minyak modern ketika itu pada tahun 80-an merupakan dorongan agar juga mengeksploatasikan sumber-sumber alamiah yang terkenal di Indonesia dan membuka sumur di sekitarnya.

Pada tahun 1889 minyak tanah Indonesia yang pertama muncul di pasar dalam kalengan 36 liter di Jawa, jumlah semuanya tiga ratus ton. Sepuluh tahun kemudian produksi tahunan Indonesia menjadi seribu kali lipat dan ‘Koninklijke Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch-Indië’ (Maskapai Kerajaan untuk Eksploatasi Sumber-Sumber Minyak Tanah di Hindia Belanda) beranjak menjadi perusahaan dunia.

Mulanya, Koninklijke mempunyai lapangan kerjanya semata-mata di Sumatera Utara. Berulanglah terjadi di daerah perbatasan Aceh sini apa yang dua puluh tahun sebelumnya dialami dengan tembakau.

Seorang pengusaha perkebunan tembakau dari Langkat, tetangga kesultanan yang bersebelahan dengan Deli di perbatasan Aceh, telah menemukan minyak tanah di daerah itu berdasarkan petunjuk penduduk setempat.6 Minyak tanah meluap-luap di beberapa tempat begitu saja dari tanah. Konsesinya yang diperolehnya pada tahun 188 3 dari Sultan merupakan dasar bagi Koninklijke yang didirikan pada tahun 1890. Sebuah perusahaan yang penuh risiko.

Dia menghadapi serangan dari gerombolan-gerombolan Aceh, kilang minyak yang primitif di Pangkalanbrandan, sumur-sumur yang dapat mancur atau menjadi kering tanpa orang banyak memiliki pengetahuan tentang keadaan di bawah tanah. Tetapi usaha ini berhasil.

Pada tahun 1896, tahun Teuku Umar, saham-saham Koninklijke tercatat 800 dan dividennya 46,5 persen. Memang ini belum begitu bagus seperti pada Deli Maatschappij, yang bertahun-tahun menghasilkan 700 sampai 1.000 persen, tetapi cukup baik.

Siapa yang pada tahun 1890 menanam seribu gulden dalam Koninklijke, pada tahun 1897 telah menerima 1.500 gulden dividen dan memeroleh penambahan modal sejumlah 7.000 gulden. Artinya, dia mestilah persis tahu kapan waktunya keluar, karena setahun kemudian sudah lain sekali keadaan perusahaan itu.

Sumber-sumber di Langkat tiba-tiba saja sebagian besar menjadi kering. Benarbenar bencana bagi Koninklijke, yang belum mempunyai ladang-ladang produksi yang lain. Bila tidak terdapat penggantinya, perusahaan ini pasti bangkrut. Tetapi ada penggantinya. Letaknya di negeri-negeri pantai Aceh yang berbatasan dengan Aceh, yaitu Tamiang, Langsa, dan Perlak (Peureulak), terutama di negeri terakhir, yang rajanya pada tahun 1895 memberikan konsesi-konsesi kepada Holland-Perlak Petroleum Maatschappij (Maskapai Minyak Tanah Holland-Perlak) yang didirikan khusus untuk usaha ini.

Perusahaan ini merupakan salah satu dari puluhan perusahaan yang timbul dari tanah, bagaikan cendawan yang mencoba-coba. Namun, hak melakukan penambangan adalah fiktif selama Perlak tetap seperti sediakala, yaitu menjadi pusat perlawanan dan penyelundupan, daerah kacau yang di dalamnya kekuasaan raja tidak banyak artinya.

Pada tahun 1883 ia menandatangani Ikrar Panjang. Baginya hal ini semata-mata mendatangkan keuntungan, yaitu keuntungan bahwa pantainya tidak dikenai blokade.

Ketika pada tahun 1897 urusan penambangan minyak tanah menjadi hangat di Perlak akibat bencana Langkat, muncul sebuah kapal perang Belanda di pelabuhan dan kepada sang raja diajukan permintaan untuk menandatangani pernyataan tambahan, yang menerangkan bahwa dia menyerahkan hak-hak tambang – dengan menerima imbalan pembayaran – kepada pemerintah Hindia. Walaupun dengan senang hati ia menandatanganinya (dan menerima imbalan), dalam keadaan kacau dalam kerajaannya demikian belumlah terpikirkan akan membangun industri minyak tanah. Bahkan dalam melakukan pekerjaan yang paling sederhana pun sudah harus dipasang instalasi-instalasi pengeboran uap yang besar biayanya.

Ada kalanya dalam hal tertentu hal ini tidak dapat dihindarkan, semata-mata karena pada umumnya semua orang Belanda dengan pengalamannya di Hindia, yang tidak sebagai pejabat atau anggota militer masuk dalam dinas pemerintah, mempunyai kepentingan ekonomis. Jarang kita dapati ahli-ahli tentang Hindia dalam abad kesembilan belas yang boleh dikatakan ‘bebas’.

Ada satu dua orang wartawan, beberapa orang pendeta dan penginjil, sedikit pengacara dengan praktik swasta –bukan kebetulan bahwa dari lingkungan yang kecil di Hindia itu tampil tokoh-tokoh yang pada akhir abad mendesak diadakan peninjauan politik kolonial secara pokok, yang kali ini tidak terutama mengemukakan kepentingan ekonomis suatu golongan orang Belanda.

Ada lagi faktor lain yang penting. Tidak jarang orang bisa cepat menjadi kaya dalam gula’ atau ‘dalam’ produk lain mana pun juga dan mereka yang merasa tertarik pada masalah umum, dapat pada usia yang relatif muda mandiri secara keuangan di Negeri Belanda masuk (‘dalam’) politik.

Fransen van de Putte, menteri jajahan yang piawai, adalah bekas ‘baron gula’, seperti juga Menteri yang tidak begitu hebat dan Gubernur Jenderal s’ Jacob: Menteri dan Gubernur Jenderal Loudon adalah putra seorang pengusaha perkebunan gula, Menteri Cremer adalah wakil dari wangsa baru baron-baron tembakau Deli ketika itu, yang sebenarnya secara olok-olok menamakan dirinya “petani tembakau”.

Pengaruh minyak yang kian bertambah karena itu tecermin dalam kenyataan bahwa politikus yang terpenting, atau baiklah saya katakan politikus kolonial yang paling besar pengaruhnya dari tahun 1910 sampai tahun 1940, adalah H. Colijn, seorang ‘baron minyak’, yang pada tahun-tahun penting 30-an didampingi oleh bekas rekan direkturnya dari Koninklijke, Mr. B.C. de Jonge sebagai gubernur jenderal

.…

Kebebasan para pengusaha tahun 1870, yang tampaknya baru dilaksanakan sesudah tiga puluh tahun. Produksi minyak naik dari 36.000 ton pada tahun 1900 menjadi satu setengah juta ton pada tahun 1913. Ekspor timah bertambah dari 200.000 pikul pada tahun 1890 menjadi 350.000 pikul pada tahun 1913, budi daya karet, yang dimulai pada tahun 1906, pada tahun 1914 sudah memiliki lahan 210.000 ha.

Lalu ada lagi produk-produk yang lebih baru, seperti kelapa sawit (yang dengan cepat menjadi saingan kopra) dan sisal, yang seakan-akan menantikan gilirannya. Dan semua ini dengan harga-harga yang meningkat terus.” [van ‘t Veer, 1985, hal. 178 – 183, 188, 191]

Islam Politik dalam Sejarah Aceh

Dalam menanggapi penetrasi imperialisme, menarik untuk dilihat bagaimana reaksi Islam politik.

Di sini kami kira adalah cocok untuk mengambil Aceh sebagai representasi kekuatan politik Islam di nusantara dilihat dari warisan sejarah dominasi kerajaan Aceh sebagai kerajaan Islam di nusantara dan dilihat juga dari besar dan panjangnya upaya pemerintah kolonial menaklukan Aceh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-21.

Salah satu sumber penting tentang Aceh di akhir abad ke-19 adalah catatan-catatan penelitian Snouck Hurgronje yang merupakan seorang ahli tentang Islam dari Belanda yang membantu pemerintah Kolonial dalam memerangi Aceh.

Kita ingin mengetahui kelas sosial manakah yang menjadi penggerak Islam politik di Aceh.

Namun sebelum itu kita ingin melihat bagaimana kehidupan beragama di Aceh berjalan. Dalam hal ini penelitian-penelitian Snouck menyajikan temuan-temuan yang menarik.

Pertama-tama yang menyolok, Snouck menunjukan, apabila diukur berdasarkan kriteria keislaman berdasarkan mazhab-mazhab Islam yang utama, praktik orang-orang Aceh tidak bisa dikatakan sesuai dengan acuan tersebut. Di sini Aceh tidak dapat dikatakan lebih murni keislamannya dibandingan dengan keislaman di daerah-daerah nusantara yang lain, katakanlah Jawa yang dituduh sinkretis.

Kehidupan Agama Islam di Aceh

“’Secara formal,’ begitulah kata Snouck, ‘seluruh penduduk Aceh dan daerah taklukannya […] termasuk Islam ortodoks, sejauh hal itu mengenai tafsiran hukum menurut ibadah Syafi’i. Sementara itu kecermatan iman yang popular di sini benar-benar tidak kurang dapat ditawar-tawar dibandingkan dengan misalnya iman yang populer di antara orang Melayu dan orang Jawa.’ […]

‘Semua hal itu menunjukan bahwa di sini, seperti halnya di seluruh Nusantara, agama Islam pertama-tama telah memasukkan dari salah satu bagian Hindustan, tempat ajaran iman dan riwayat suci Nabi benar-benar bercampur dengan unsur Syi’ah dan sekaligus memberikan tempat yang terhormat kepada bermacam-macam takhayul. Bentuk pertama pengenalan orang terhadap agama yang baru itu, di sini pun mengadalkan perlawanan yang tangguh meskipun pasif terhadap usaha-usaha ortodoks yang kemudian timbul untuk mengadakan pembaruan.’ […]

Selanjutnya di sini berlimpahan pikiran dan praktik takhayul di mana-mana, padahal tidak selalu dapat dikatakan apakah pikiran-pikiran itu merupakan pribumi asli atau dibawa masuk oleh para penyebar agama Islam yang pertama. Namun tidak dapat dibantah, dari pandangan teori Islam, pikiran-pikiran itu sangat tercela. Hal ini lebih-lebih menonjol bila diperhatikan cara orang mencoba, dengan memanggil berbagai roh. Untuk mendapat berkah bagi amal perbuatannya dalam keluarganya, atau mencoba memberantas bermacam-macam bencana (penyakit, panen gagal, dan sebagainya).

Syahadat Islam dalam jampi-jampi yang dipakai dalam jampi-jampi yang dipaksa biasanya timbul di belakang sekali dan digunakan sebagai kerudung untuk menutupi banyak perbuatan buruk.

Sudah berkali-berkali saya tegaskan bahwa secara salah keadaan seperti itu dibayangkan seolah-olah merupakan keadaan yang khas Jawa atau Melayu. Dalam hal itu mutatis mutandis (dengan perubahan-perubahan yang perlu) berlaku kurang lebih di semua negara Islam, dan di mana pun lama-kelamaan pengertian-pengertian dan adat-adat lama tidak dihapuskan oleh agama yang baru itu.

Uraian di atas, yang di tempat lain saya harap dapat saya jelaskan lebih lanjut, kiranya cukup untuk membuktikan bahwa Aceh sekali-sekali tidak merupakan kekecualian terhadap kelaziman ini.

Kemudian tentang praktik peraturan-peraturan agama Islam dalam arti kata yang lebih khusus, nyaris tidak dapat ditunjukan satu daerah pun yang keadaannya lebih parah daripada Aceh.

Sesudah itu Snouck mengemukakan ulasan bahwa fungsi meunasah sebagai tempat ibadah di Aceh telah merosot. Menurut pandangannya hal yang berlaku juga bagi teungku meunasah yang sebenarnya harus menjadi imam dalam salat. Dan gejala itu pun tampak pada meuseugit (mesjid) di daerah-daerah.

Bentuk-bentuk ibadah yang kurang maju, seperti zikirratib, dan ziarah ke kuburan, terutama oleh para wanita, sebaliknya sangat populer di Aceh.

‘Orang bersama-sama pergi ke sana untuk memenuhi nazar yang telah diucapkannya karena musibah atau penyakit yang ditakuti. Cara memenuhi nazar-nazar itu, sebaliknya, kebanyakan terjadi dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Mohammadan, seperti berbagai macam musik yang memerlukan para wanita yang berpakaian secara tidak senonoh menurut hukum Islam.

Sedangkan santapan bersama dan pertemuan yang berlangsung dekat kuburan-kuburan keramat itu, dilihat dari pandangan Islam, sangat menghujat Tuhan.

Musik, judi, sabung ayam, bahkan berkasih-kasihan yang haram, pederasti (hubungan sesama lelaki), serta mabuk-mabukan, merupakan daya tarik pasar malam bagi penduduk Aceh.’ […]” [van Koningsveld, Pengantar, 1990, hal. XLIV – XLV]

Struktur Politik di Aceh

Menurut Snouck Hurgronje pusat pengerak politik Aceh yang perlu diperhitungkan para pemuka agama, para teungku, bukan keluarga kerajaan. Tidak cukup bagi pemerintah kolonial untuk mengendalikan kerajaan bila para Teungku dibiarkan meneror baik keluarga kerajaan ataupun penduduk Aceh.

“Now no one any longer doubts that the dogmas of Islam on the subject of religious war, so fanatical in their terms, supplied the principal stimulus to this obstinate rebellion;

that the teungkus, or religious leaders, came more and more during the war to be masters of the country and terrorized the hereditary chiefs as well as the populace wherever these last were disposed to peace;

that only a forcible subjugation followed by orderly control over the administration could bring about peace;

that the Dutch Government in Acheh could effect nothing by pressure from outside;

that the control of the country through controlling its harbours was impracticable;

and that Tuanku Muhamat Dawot who had been made Sultan as a child, however much he enjoyed the homage mingled with fear that natives are apt to give to the descendants of their tyrants, was a nonentity in a political sense and was in a position neither to do the Dutch much harm nor to give them any serious assistance in the pacification of the country.” [Snouck Hurgronje, The Achehnese I, 1906, hal. XVII – XVIII]

Bagi Snouck kekuasaan kerajaan adalah kosong (hanya nama/nominal).

Pengalaman perang Aceh memerlihatkan bahwa bukan kerajaanlah yang mengerahkan pasukan tempur melainkan para uleebalang atau kepala-kepala adat. Peran sultan hanya secara formil mengesahkan kepala adat tetapi secara real kepala adatlah yang menggerakkan massa. Tepatnya di sinilah Snouck menyarankan pemerintah kolonial untuk merekrut kepala-kepala adat dalam jajaran pemerintahan kolonial untuk mengimbangi para pemuka agama (teungku) sebagaimana para priyayi di Jawa.

“Juga terhadap susunan negara serta terhadap susunan pemerintahan kampong dan mukim agama Islam di Aceh nyaris tidak mempunyai pengaruh yang melebihi pengaruh nominal, seperti telah diulas secara panjang lebar oleh Snouck.

Para ulama, yang sebagian besar di antaranya adalah orang asing, tidak berhasil mengadakan perubahan besar dalam hal ini sepanjang perjalanan sejarah Aceh. Maka yang merupakan faktor kekuasaan terpusat di Aceh ialah kepala adat yang hak-haknya turun-menurun dan yang pengangkatannya paling-paling hanya secara nominal disahkan oleh sultan.

Perserikatan mukim-mukim memang juga lahir atau disahkan oleh sultan atas prakarsa para uleebalang dan bukan oleh ‘ciptaan kecanggihan politik seorang Raja Aceh’.

Kekuasaan sultan yang bersifat lambang terhadap kekuasaan nyata para uleebalang juga ditegaskan lagi oleh upacara yang diikuti oleh penobatan seorang sultan baru, seperti yang diulas Snouck dengan panjang lebar.

Juga penetapan tanah-tanah wakeueh (wakaf) yang pernah dilakukan dimaksudkan untuk memerkuat kekuasaan terpusat sultan, ‘ini sudah seluruhnya rusak sedemikian rupa sehingga orang-orang Aceh sendiri tidak tahu lagi, keadaan hukum mana yang sebenarnya dinyatakan dengan istilah wakeueh.’

Jabatan-jabatan yang ditegaskan di Aceh dengan nama Islam-Arab dalam perjalanan sejarah boleh dikatakan semuanya sudah salah prosesnya sebagai jabatan adat turun-menurun.

Tambahan pula para sultan Aceh sering ‘menjalankan kehidupan yang sangat immoral.’ ‘Para sultan yang minum candu merupakan kekecualian, sebaliknya meminum minuman keras biasa terjadi di istana. Dan perbuatan apa saja yang sampai-sampai dilakukan orang dalam keadaan mabuk, dapat disimpulkan dari akibat-akibat satu pesta mabuk-mabukan Mansyur Syah (1857-70).

Dalam keadan mabuk, raja tersebut pertama-tama membunuh putranya sendiri yang masih bayi, yang dilahirkan oleh Pocut Meuraksa yang masih hidup sampai sekarang. Ketika sultan itu siuman dan sadar akan perbuatannya, ia bersumpah tidak akan mempunyai anak lagi. Pocut Meuraksa sejak itu masih tujuh kali hamil, tetapi semua kehamilan itu berakhir dengan keguguran.’ […]

“Keremehan yang menyeluruh pada Kesultanan Aceh sepenuhnya dibuktikan oleh apa-apa yang telah kita lihat dalam Perang Aceh. Perlawanan yang diadakan bukanlah perlawanan sebuah tentara yang dikerahkan atau dikepalai oleh sultan atau panglima perangnya. Sebaliknya, hal itu merupakan hasil gerombolan-gerombolan terpisah-pisah yang hanya sekadar saling bermusyawarah bila keadaan memaksa.’

’Jadi, jika ada orang hendak mengenal pemerintahan dan peradilan seperti yang pernah benar-benar ada di Aceh dan masih ada sekarang, orang tidak perlu banyak berurusan dengan usaha-usaha yang hanya sebentar saja dijalankan oleh beberapa raja agar dapat merubah pranata-pranata tersebut. Usaha-usaha tadi diwujudkan dalam beberapa keputusan dan piagam pengangkatan, namun dalam hal itu orang perlu menelaah pranata-pranata yang dilestarikan yang dilestarikan oleh para uleebalang, yaitu raja-raja sebenarnya di daerah ini. […]

‘Segala hal yang hingga sekarang dikemukakan,’ begitulah Snouck melanjutkan ulasannya dalam bab kedua Atjeh-Verslag, ‘sedikit pun tidak berisi alasan untuk menyebut Aceh, biarpun dibandingkan dengan negeri-negeri Mohammadan lainnya di kepulauan Nusantara ini, sebuah negara Islam terkemuka. Meskipun begitu negeri-negeri seperti itu ada juga.

Dua macam pernyataan kehidupan Aceh memerlihatkan dengan kuat sifat khas Mohammadannya, dalam hal yang pertama melebihi, dan dalam hal kedua sekurang-kurangnya menyamai penduduk yang paling teguh bersifat Mohammadan di negara manapun di dunia.

Yang pertama ialah kebencian atau sekurang-kurangnya rasa meremehkan yang mendalam terhadap semua orang yang bukan Muhammadan.

Telah diketahui bagaimana terjadinya peristiwa-peristiwa pertama Islam seolah-olah membuat peremehan terhadap kafir sebagai dogma agama tersebut. Hal itu masih tetap ditemukan di semua negara Islam, tetapi di banyak negara tersebut perasaan itu sudah sangat lunak ataupun pada golongan-golongan penguasanya sudah sama sekali terdesak ke belakang.

Lunaknya atau hilangnya kebencian terhadap kafir itu biasanya disebabkan oleh banyak segi pergaulan dengan orang-orang beragama lain sepanjang masa yang lama atau karena sudah lama biasa akan satu kekuasaan kafir yang tak keras tetapi kuat.

Perkembangan lazimnya sebagai berikut: Sebagian besar negarawan dan mereka yang hidup dari perdagangan dan kerajinan, lambat laun melupakan seluruh ajaran agamanya mengenai kaum kafir dan secara praktis mengesampingkannya sementara para ulama dan para ahli tauhid giat mencari dan mengelompokan naskah-naskah yang menggeser pertentangan yang tajam antara kaum muslimin dan kaum kafir dari dunia ini ke dunia lain.

Sedangkan mengenai keadaan keduniaan ini mereka batasi ketajaman itu semata-mata pada apa yang bernama agama dalam arti kata yang lebih khusus. Perasaan benci yang dahulu ada kemudian terbatas pada beberapa ulama fanatik di antara massa luas. Tetapi pernyataan-pernyataan tersebut terpaksa oleh keadaan yang semakin langka.’ […]

Apa yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai kebencian terhadap kafir, sangat baik jika dapat dibahas dalam membicarakan ciri watak muslim kedua pada orang Aceh yang sekurang-kurangnya juga sama-sama berkembang dibandingkan dengan orang-orang seagama dekatnya, jelasnya ialah penyanjungan dan ketakutan terhadap tokoh-tokoh yang saleh atau suci, baik semasa hidup mereka maupun sesudah mereka meninggal.’

… Menurut Snouck, kekuasaan sultan Aceh kosong, sedangkan para kepala adat bersedia untuk menerima kedaulatan Belanda. Ia melihat ‘golongan beragama’ (kaum ulama) sebagai lawan utama penjajahan Belanda. Namun menjadi pertanyaan sampai seberapa jauh analisis ini bebas dari prasangka politik.

Snouck hendak menghalalkan penghapusan Kesultanan Aceh oleh pihak Belanda pada tahun 1874. Ia berpendapat bahwa politik kolonial yang menjadikan para kepala adat di Jawa sebagai pegawai Pemerintah Hindia Belanda, dapat juga dipakai untuk situasi di Aceh dan ia menganggap Islam sebagai satu-satunya ancaman besar bagi ketentraman dan ketertiban”. [van Koningsveld, Pengantar, 1990, hal. XLVI – XLIX]

Apa yang menjadi basis kelas dari kekuatan para teungku pemuka agama, yang bagi kami dapat dipandang sebagai representasi Islam politik, adalah gerombolan-gerombolan yang terdiri dari campuran unsur-unsur kelas berbahaya: orang-orang pengangguran, perampok, pembunuh yang menemukan agama Islam dengan tawaran perang sucinya sebagai jalan penghapusan dosa-dosa mereka sebagaimana dilaporkan oleh Snouck:

“Di Aceh tidak pernah terdapat kekurangan unsur yang terkadang agak beraneka ragam yang dipakai untuk menghimpun pasukan-pasukan seperti itu. Orang-orang terlantar tanpa nafkah, yang dalam keadaan biasa memenuhi kebutuhan mereka berupa beras dan candu dengan mencuri, atau, terutama di daerah Hulu dan di daerah-daerah yang jarang penduduknya di Pantai Barat, dengan merampok dan membunuh. Mereka paling suka bertobat dari jalan hidupnya yang jahat, dan di bawah pimpinan yang baik dan dengan nama yang jujur, mereka ingin melanjutkan usaha yang lama, dengan harapan yang mantap akan memeroleh rampasan atau harapan-harapan akan mendapat anugerah yang tiada diberi semangat oleh guru-guru untuk menjadi syahid.

Angkatan muda penduduk kampung mempunyai juga unsur-unsur berangasan yang ingin mendapat kemasyuran dalam perang, dan dalam hal perang melawan orang kafir mereka juga tidak dapat dicegah oleh orang tua mereka dari amal-amal saleh menurut pendapat semua orang.

Jaranglah gerombolan-gerombolan itu sampai banyak sekali; bukankah sudah kita ketahui bahwa biasanya kepala-kepalanya kekurangan sarana dan kepandaian untuk memberi nafkah secara teratur dalam waktu yang lama, bila dalam pertempuran demi pertempuran tidak diperoleh rampasan? Tetapi gerombolan itu juga tidak perlu terlalu besar jumlahnya untuk mencapai tujuannya, dengan menggunakan senjata-senjata yang lebih baik yang penggunaannya mereka pelajari dari kita dan yang mereka peroleh dalam penyerbuannya yang semakin besar jumlahnya.

Tujuan itu telah dapat mereka definisikan dalam perkembangan perlawanan mereka terhadap posisi kita; dan terjadi dari penyerangan terus-menerus terhadap kedudukan kita hingga tak dapat dipertahankan lagi.

Dalam surat selebaran Teungku Kutakarang yang sudah sering dikutip itu, setiap kali dikatakan bahwa orang harus lebih rajin lagi menempuh jalan yang terbukti benar, yaitu jangan sekali-sekali menantang kekuasaan Kompeuni di medan terbuka. Sebaliknya, setiap kali harus ditikam dan ‘kalau menang, kita maju terus; bila dipukul, kita harus melarikan diri.’

Terhadap penduduk yang tenang di kampung-kampung, mereka menjalankan taktik terorisme untuk mengusahakan agar mereka membantunya dengan sumbangan berupa uang dan hasil bumi (sumbangan sabil), dan agar mereka tidak mengajukan keberatan bila kampong mereka dipilih menjadi medan operasi, terutama agar mereka sekali-sekali jangan mengkhianatkan pasukan itu kepada pihak Kompeuni.

Andaikata penghuni kampung itu berkepentingan sekali untuk melawan gerombolan-gerombolan tersebut, maka mereka tidak banyak peluang juga untuk mendapatkan hasil yang baik.

Sebab, di Aceh pun terdapat perbedaan besar antara petani dengan prajurit, meskipun yang pertama itu selalu mempunyai senjata dan meskipun siap membela rumah dan pekarangannya terhadap pencuri, dan untuk mempertahankan jiwanya sendiri dan jiwa keluarganya terhadap musuh-musuh pribadi. Ia di atas segala-galanya menginginkan ketenangan dan mengharapkan dapat menyelamatkan miliknya dari kehancuran.

Maka penduduk kampung yang berjumlah besar, dengan senjata yang kurang memadai dan tidak mendapatkan latihan, selalu akan kalah terhadap segerombolan kecil jagoan yang tidak akan kehilangan apa-apa, sebaliknya akan memperoleh segala-galanya di wilayah kampung itu.” [Snouck Hurgronje, 1990, hal. 69 – 70]

Hal yang menarik untuk diperhatikan dalam kesaksian Snouck adalah bahwa gerombolan-gerombolan kelas berbahaya di atas yang kami asosiasikan dengan Islam politik, analog dengan kelompok teroris Islam politik kontemporer yang secara jumlah sebenarnya merupakan minoritas terhadap seluruh populasi rakyat, dan praktik politiknya seringkali justru berkonflik dengan rakyat (dalam laporan yang dikutip di atas, Snouck membedakan secara tegas antara gerombolan teroris dengan kaum tani).

Meskipun melawan pemerintah kolonial kita tidak dapat mengidentifikasi Islam politik dalam sejarah Aceh tersebut sebagai kekuatan progresif karena gerakan tersebut terisolasi dari massa rakyat pekerja. Kontradiksi utama dalam kapitalisme adalah kapitalis vs pekerja dan Islam politik tidak menawarkan pembebasan rakyat pekerja kecuali menawarkan mati syahid bagi kelas berbahaya yang tidak memiliki harapan untuk membangun dunia yang lebih baik.

Kelemahan Analisis Snouck

Meskipun penelitian-penelitian Snouck Hurgronje memberikan kontribusi yang berharga dalam memberikan kita gambaran tentang Aceh, apa yang ia sampaikan tidak dapat dipisahkan dari posisinya sebagai bagian dari pemerintahan negatif [negative governance].

Nasihat-nasihatnya kepada pemerintahan negatif agar merangkul golongan adat dalam pemerintahan dikenal sebagai teori asosiasi. Dalam teori tesebut penjajah bekerja sama dengan penguasa lokal untuk mengeksploitasi rakyat bersama-sama. Model penjajahan seperti itu dipandang berdampak negatif karena memerkuat feodalisme.

“Ada kecaman yang lebih hakiki dapat dikemukakan terhadap Laporan Politik-Agama, demikian namanya biasa disebut. Bahwa si penulis sama sekali tidak memerhatikan  segala latar belakang sosial dan sebagian besar latar belakang ekonomis perang.

Snouck pertama kali mengemukakan bahwa terdapat tiga pihak. Dari ketiga pihak ini pihak sultan dapat diabaikan dan pihak ulama, sebagai pihak yang paling tidak kenal damai, harus “dipukul” paling keras. Ini cenderung pada pola kolonial tradisional memberikan dukungan kepada “pihak adat”.

Yang baru adalah bahwa dia mengakui arti penting Islam dalam pola Aceh.

Pengetahuannya yang luas tentang Islam memungkinkannya ‘membuktikan” dari Quran bahwa kaum Muslimin akan menyatakan takluk terhadap kekuasaan Belanda bila mereka dihadapkan pada ‘kekuatan lebih besar yang tidak terkalahkan’, tetapi berdasarkan ajaran-ajaran agama wajiblah mereka untuk melawan sedapat-dapatnya selama kekuatan yang terlalu besar ini tidak terbukti kenyataannya.

Apa yang luput dari perhatiannya, dan pastilah tidak diperhitungkannya, ialah bahwa dukungan Belanda kepada pihak adat memperkukuh pola feodal di Aceh dan melumpuhkan perkembangan melenyapnya pengaruh feodal yang sedang berlangsung.

Hanya sedikit daerah di Indonesia, yang rakyat kampungnya lebih menderita karena feodalisme seperti di Aceh, di dalam dan di luar lembah. Tidak terdapat imbangan dalam bentuk suatu kekuasaan raja yang terpusat. Praktis hanya terdapat kekuasaan kepala-kepala mukim dan para raja yang mempunyai banyak penghasilan dari kebun-kebun lada, dan di sini rakyat mengerjakan rodi.

Tidaklah begitu mengherankan bahwa pemuka-pemuka sebagai Teuku Umar senantiasa mempunyai banyak pengikut di kalangan penduduk. Mereka berfoya-foya dengan penghasilan mereka yang diperoleh dari merampok atau bukan.

Dalam Hikajat Prang Kompeuni Teuku Umar adalah semacam Tyl Uilenspiegel [simak Wikipedia], tokoh mirip Robin Hood, seorang Pahlawan rakyat sejati, yang dapat memperdayakan semua orang — juga hulubalang-hulubalang yang lebih ‘berkedudukan’. Mereka memberantas Penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para hulubalang, yang menentukan hidup dan mati, perkawinan dan pengadilan orang-orang bawahan mereka.

Hanya beberapa kali Snouck Hurgronje menyatakan perhatian untuk latar-latar belakang konflik, yang sesungguhnya sekaligus adalah perang (kolonial) dan perang saudara. Lalu disebutnya Teuku Nek, yang sejak mula adalah tiang saka besar pemerintah Belanda, salah seorang pemboros dan pemeras yang paling hebat di kalangan hulubalang.” [van ‘t Veer, 1985, hal. 154 – 155]

Ada kesan kami bahwa Snouck dalam menyarankan pemerintah kolonial memilah unsur lokal menjadi golongan yang dapat diajak bekerja sama dengan golongan yang tidak dapat diajak bekerja sama dan karenanya musti ditumpas. Golongan yang dapat diajak bekerja sama kesan kami adalah pimpinan adat yang beragama secara moderat, sedangkan golongan yang musti dimusuhi pemerintah kolonial adalah golongan ulama yang beragama secara fanatik.

Akan tetapi pemisahan kedua kelompok tersebut sulit dilakukan. Pemimpin adat Aceh tidak stabil dalam sikap politik. Ambil contoh Teuku Umar yang sempat bekerja sama dengan pemerintah kolonial kemudian berbalik melawan Belanda.

Sebagai konsekuensi dari pengusung teori asosiasi Snouck termasuk dalam jajaran pendukung politik etis. Rekrutmen unsur-unsur lokal dalam pemerintahan kolonial menuntut diselenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi.

Akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaan teori asosiasi dalam praktik dilakukan setengah hati. Pendidikan diselenggarakan, namun tidak cukup kursi jabatan dalam pemerintahan kolonial yang cukup disediakan untuk menampung lulusan hasil pendidikan. Hal ini memicu ketidakpuasan sosial kelas menengah Indonesia. Orang Indonesia pun tidak ingin berasosiasi dengan penjajah melainkan ingin merdeka.

“Bagaimanapun, gagasan masa depan Snouck Hurgronje, seperti diketahui, tidak terlaksana.

Asosiasi politik, budaya, dan agama suatu elite Indonesia dengan Negeri Belanda tidak terwujud dan demikian juga kebersamaan koloni dan negeri induk yang wajar sebagai akibat daripadanya.

Asosiasi ini berpandangan maju dibandingkan dengan apa yang dikehendaki oleh para politisi konservatif. Sebagai cita-cita yang dapat dicapai barangkali ia sudah lebih dulu tersusul ketika dirumuskan pada tahun 1911 – sesungguhnya tahun terbentuknya perkumpulan kebangsaan ‘sejati’ yang pertama di Jawa.

Orang-orang Indonesia ini tidak menghendaki asosiasi dengan Negeri Belanda, mereka justru mencari identitas diri. Terhadap kenyataan ini tidak hanya mereka yang secara harfiah ingin ‘bertahan’, tetapi juga Idenburg dan Snouck Hugronje dengan dasar-dasar etisnya macet terbentur. …” [van ‘t Veer, 1985, hal. 232]

Islam Politik pada Gerakan Padri di Minangkabau

Model berikutnya yang kami angkat sebagai representasi Islam politik di Indonesia adalah gerakan padri di Minangkabau.

Dalam hal ini kita beruntung karena telah memiliki sumber penelitian yang berkualitas yang memelajari gerakan Islam fanatik ini (lihat: Christine Dobbin, Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784 – 1847, tahun 1983).

Setelah Aceh, daerah wilayah Minangkabau dapat dikodekan dalam peta geopolitik sebagai daerah Islam. Orang Minang masih terganggu dengan stigma PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang didirikan pada tahun 1958 di Padang (lihat Khairul Jasmi, 2014, hal. 247 & 475).

Akan tetapi kalau ditilik lebih mendalam dengan memertimbangkan latar belakang budaya, sebenarnya merupakan suatu anomali di mana suatu budaya yang memertahankan sistem matrilineal menjadi salah satu pusat agama Islam di Indonesia, suatu agama yang muncul di dalam budaya patrilineal dari suku-suku nomad di Arab (lihat Bagian II [IIa hlm 135a, IIb hlm 135b, IIc hlm 135c]  artikel ini).

Oleh sebab itu sebelum masuk ke dalam gerakan Islam fanatik fundamentalis yang di usung oleh kaum Padri di Minangkabau, pertama-tama perlu dipelajari bagaimana Islam masuk ke dalam masyarakat yang menganut sistem matrilineal, yang menurut Frederich Engels dalam The Origin of Family, tipe masyarakat seperti ini lebih tua daripada sistem patrilineal yang ditemukan pada suku-suku nomad Arab tempat agama Islam muncul.

Di sini Dobbin (1983) menguraikan dengan panjang lebar proses penetrasi Islam ke wilayah interior Sumatra Barat. Islam masuk ke Sumatra Barat melalui jalur perdagangan di pesisir dengan berdirinya kota-kota pelabuhan. Dalam pengamatan Dobbin, Islam identik dengan agama kota pelabuhan dagang. Penetrasi agama Islam ke daerah pedalaman yang agraris ditempuh melalui dua jalur.

Pertama melalui keluarga kerajaan yang menguasai sumber daya komoditi emas. Konversi keluarga kerajaan tersebut menjadi Islam tampaknya terjadi ketika mereka menjadi mitra dagang penting kerajaan Malaka yang Islam (estimasi abad ke-15).

Untuk desa lain yang tidak terlibat dalam perdagangan emas, masuknya Islam ditempuh melalui surau. Yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa pada saat itu bagaimana orang Minangkabau menjalankan praktik keagamaan Islam mereka masih bercampur dengan tradisi pra-Islam dan bentuk-bentuk kepercayaan lama.

Struktur organisasi masyarakat yang matrilineal menempatkan rumah sebagai tempat tinggal bagi anak-anak dan perempuan. Sedangkan laki-laki yang sudah cukup umur meninggalkan rumah dan surau adalah tempat berkumpulnya kaum pria. Di surau inilah ajaran Islam disebarluaskan oleh guru-guru tarekat-tarekat sufi.

“… The first evidence we have of Minangkabau ‘higher religion’ centres on the appearance of megalith (large stones), erected about the beginning of our era in the course of rites designed to protect the soul from the dangers of the underworld or to ensure eternal life; some were carved to represent human beings and female fertility symbols.

With the eruption into the Minangkabau world of Indian traders and the Hindu-Javanese court of Adityawarman, a new form of higher religion was introduced.

Where possible, however, this new religion was associated with the former megalithic cult. Adityawarman used the stone pillars for his inscriptions, or carved additional markings on their summits, and sacred centres such as the three stone seats near Lima Kaum were used by the king in his own court ceremonial.

But he also introduced the religion of which he was a devotee, a Tantric form of demonic Buddhism with Shivaite elements. The most notorious aspects of this cult, which flourished at the Javanese court of Majapahit, do not appear to have survived long in Minangkabau: they included rites of human sacrifice, the drinking of blood and the rattling of human bones in ecstatic dances which took place at night in graveyards, all as part of ceremonies designed to produce mystic union with the godhead.

What did survive, however, was the concept of the divinity of the ruler, who was transformed by the miracle of his accession into a divine being and became the sustainer of the cosmic order. The ruler could never afford to neglect magical ceremonies to sustain his power, and in Minangkabau this sacral character of the ruler remained very marked through the centuries.

Islam is the outside religion introduced into the Minangkabau world which most concerns us here. It had to contend with several factors which hardly guaranteed its successful adaptation to the society.

First of all, it was a religion very much associated with the city, in its original environment and in its earliest years in the Indonesian archipelago. Indeed, it has been pointed out that Islam requires the city in order to realize its social and religious ideals. Its cornerstone, communal prayer, requires a fixed and permanent mosque, and its other religious obligations, too, are more suited to the rhythm of life of the town-dweller than that of the peasant.

The tradition of Islam is in fact filled with a spirit hostile to the peasantry. Furthermore, the well-developed religious system of the Minangkabau peasantry, with its own religious specialists, proved an obstacle to a religion which could never be satisfied with individual converts but stressed continually the ummat, the Islamic community. In addition, the Minangkabau royal family possessed its own sacral system and beliefs, which Islam would have in some way to adapt to if the ruling group was not to be alienated from the new religion.

It is hardly surprising that Islam achieved its first and most lasting successes in the Minangkabau west coast entrepots, which most resembled in function the Islamic city of the Middle East, revolving as they did around a central market-place.

Tiku, the leading port for the west coast trade of Indian Muslims from Gujarat, was Islamicized by the second decade of the sixteenth, century. The main administrative and port officials all had Muslim titles, and Islamic teachers well versed in the Koran were in evidence in the port.

The conversion of Pariaman and Ulakan seems to have followed, particularly after the establishment of Acehnese control over the coast. The outer forms of Islam are easily leamt and adopted, and commercial relations with the Indian traders who poured onto the coast in the heyday of the pepper trade were greatly simplified when the local brokers adopted the religion of then trading partners. Then traditional roles were left undisturbed and no radical change in behaviour was called for.

As late as 1761 Islam was largely confined to the leading broker families of the ports; Islamic law, particularly that connected with inheritance, proved suited to their needs, providing them with an alternative to the matrilineal system of inheritance of the uplands. The coastal peasants, however, remained attached to their animistic beliefs and to their own religious specialists.

As far as the Minangkabau interior was concerned, conversion proceeded both by way of the west coast and via the east coast rivers. The move of the royal family to the Buo-Sumpur Kudus area, and its involvement in the straits gold trade, led to relations with the Malacca royal court which had been Islamicized in the fifteenth century.

Sultan Mansur Syah of Malacca, who died in 1475, was the suzerain of the states of Kampar and Inderagiri. This led to the adoption of Islam by the rulers of these states, and it became more and more important for anyone dealing with these Islamicized courts at least to transact business by using Muslim, merchants and scribes.

Such scribes were able to acquire considerable influence over their royal masters; they indicated what was good form in other courts of the Muslim world, showed the ruler how his own power and prestige could be increased by acceptance of Islam, engaged in correspondence with foreign powers and kept court records.

Yet there can be no doubt that this conversion to Islam by members of the Minangkabau royal family – and by other officials of the realm – did not cause them to abandon many of their earlier beliefs and practices. Items in the Minangkabau royal regalia retained their magical significance, and merely acquired an Islamic veneer; further items were sought for well after the conversion.

The Raja Alam also strove to retain his reputation for supernatural powers right down to the nineteenth century. He kept out of the public eye, and in 1825 told a Dutch inquirer that he had the power to punish refractory raja in the rantau by causing failure of the rice crop or an epidemic among people or cattle.

As far as the numerous agricultural villages of Minangkabau were concerned, villages with no connection with the gold trade, their relationship to Islam took two forms.

The first was the affiliation the new religion was able to evolve with the family and lineage system, and the second as the relationship of Islam to the village community as a whole. It was the second connection which was the more difficult to establish.

Agricultural life persisted in its rhythm of planting and harvesting, its round of placation of spirits and consultation with the shaman. Islam seemed to have little to offer here, and it is not surprising that, even in the early nineteenth century, there were whole villages with no connection at all with the Muslim faith.

Where Islam made its initial impact, therefore, was not at the level of the community, but rather within the lineage. Village shamans received their calling quite apart from the lineage system. However, lineages which were prosperous and flourishing also desired to have their own religious functionary, which gave them added prestige in the eyes of fellow villagers.

In pre-Islamic days this functionary appears to have been somewhat similar to the Brahman priest attached to prosperous Indian households, and was in fact called a pandita.

Now this functionary gradually took on an Islamic veneer and adopted the title of malim. Like the lineage penghulu his position was hereditary and, like the penghulu, his installation was marked by expense and ostentation, as befitted his prestigegiving role. He had no place whatever in the penghulu council, and his religious role inside the lineage was more involved with matters of custom (adat) than with enforcing the injunctions of Islam. He was present at births, deaths and family ceremonies such as the first bathing of a newborn child, house-moving, the start of a journey and so on. Right down to the early nineteenth century the malim had few opportunities to exercise a wider village role, even though he might be the imam (leader of prayers) of the village mosque.

Most mosques were still excluded from the village; they were small, unpretentious buildings located away from the main population centres and even from roads. For the rest, the malim was indistinguishable from other villagers in his participation in the agricultural round, and even the leading malim of the Minangkabau state, the Kadi of Padang Ganting, was remembered as having worked his sawah with his own hands in the early nineteenth century.

There was, however, another means by which Islam could penetrate the Minangkabau highlands, in a manner suited both to its own genius and that of the Minangkabau. In this way, too, whole villages were involved in an Islamic institution, although the village itself might not form a Muslim community.

An important facet of life in any Minangkabau village was the surau, the house where young men lived after puberty away from the lineage house, which was the dwellingplace of women and children. The position of men in Minangkabau society was always problematic, as they could never be more than guests in the home of their marriage-partners.

Although we know little of the Hindu-Buddhist period in Minangkabau, it is established that in 1356 Adityawarman established a Buddhist monastery in the vicinity of Bukit Gombak, and it seems that such a gathering together of young men to learn sacred lore provided an ideal solution for a very definite social problem. In certain villages, therefore, Islam constructed a whole edifice of learning on the basis of the pre-Islamic surau.

This was made possible by the fact that, in the early Islamic centuries, Muslim brotherhoods (tarekat) had sprung up in response to a popular need for more intimate communion with God than that provided by the dry legalism of the official doctors of Islam.

Devotees of these brotherhoods, called Sufis, concentrated on following a tarika (Arabic: path, way) laid down by a teacher or syekh, in whose school they gathered, often for many years.

These tarekat and their schools could fit into the existing surau system of Minangkabau without the least disruption, and so become an acceptable addition to village life in certain villages.

The brotherhoods were adept at taking on a local colouring, and their stress on the inward condition of a man’s heart rather than his acts and on the spiritual progress of the individual rather than the ethical demands of the ummat posed few problems for the host village, which need in no way function as an Islamic community.

Moreover, certain of the religious exercises carried out in the surau in the hope of receiving visions — the repetition of the names of God, singing, swaying to music etc. — had much in common with the way a village shaman attained a trance, and so continuity with village life was again preserved.

It has been pointed out that the term Sufi brotherhood is not a useful sociological classification, because the brotherhoods or orders came to be very much affected by the social setting in which they operated. By the eighteenth century there were three Sufi orders functioning in Minangkabau, the Naksyabandiyah, the Syattariyah and the Kadiriyah.

Before looking at their penetration of Minangkabau and their geographical distribution in the highland valleys, we should note what they possessed in common.

Their chief characteristic was the utter devotion of the students (murid) in the surau to their syekh, who taught them the Islamic faith with reference to the particular precepts of his own tarekat, after having himself passed through a discipline prescribed by a spiritual director whose credentials could ultimately be traced back to the tarekafs founder.

In addition to teaching the reading of the Koran and of the commentaries, the syekh and the various guru who gave instruction in a large surau would teach the particular rules, methods and religious practices which constituted the ‘path’ laid down by their own order for the seeker after God.

The syekh would also teach his own secret ilmu (esoteric knowledge) concerning methods of self-defence, means of making oneself invulnerable in the face of weapons, and ways of consulting numerological treatises to decide upon auspicious days, such learning, with its pre-Islamic overtones and magical colouring, having been readily assimilated by Minangkabau Islam31. In the evenings the murid would gather together to perform the jlikir, a recitation of short religious phrases, sitting in a semi-circle around the leader until their shoulders touched, swaying from left to right, and repeating formulae such as the names of God.” [Dobbin, 1983, hal. 118 – 121]

Adapun gerakan fanatisme Islam yang dilancarkan oleh kaum Padri tampaknya terpengaruh dari para haji yang pulang dari Mekkah awal abad ke-19, di mana di Mekkah mereka menyaksikan munculnya gerakan pemurnian Islam yang dilancarkan oleh kaum Wahabbi.

“This domestic revivalist movement common to the life of Sufi brotherhoods in the Islamic world was rudely interrupted somewhere about 1803 by currents which swept into Minangkabau from the heartland of Islam.

We have already noted that the new wealth to be gained from trade enabled more and more individuals to undertake the haj, and so to become sensitive to developments in the holy city.

Those who were in Mecca in 1803 lived through a stirring episode; the city was conquered by an army of desert warriors whose cry was not simply ‘back to the syariat’, but rather expressed itself in a demand for a return to the most fundamental tenets of the Prophet and his Companions.

These were the Wahhabis from eastern Arabia, and it was Wahhabi teaching which so impressed certain Minangkabau pilgrims that they determined to launch a full-scale revival when they returned home. They became known as Padris, men of Pedir (Pidie), after the port in Aceh from which most Minangkabau pilgrims sailed for Arabia.” [Dobbin, 1983, hal. 128]

Karena sebagaimana telah diungkap di atas bahwa praktik keislaman di Minangkabau masih bercampur dengan unsur-unsur lokal non-Islam, sebagaimana terjadi di Aceh dan juga di daerah-daerah nusantara lainnya, sasaran perjuangan kaum Padri adalah memerangi kebiasaan-kebiasaan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam sejati itu.

Dan dalam pelaksanaannya pemurnian Islam seringkali dilakukan dengan kekerasan hingga dapat berujung pada pembunuhan sanak keluarga sendiri sebagaimana yang dicatat oleh Dobbin dalam pribadi tokoh padri, Tuanku Nan Receh:“Tuanku Nan Rinceh soon came to be regarded as the archetypal Padri. According to a Dutch account based on the testimony of various Minangkabau in the 1830s, he was thin, small of stature, could be reduced to frenzy by the violence of his emotions, and possessed eyes which ‘glistened with unusual fire’. […]

He decided to use the typical instrument of Islamic revivalism, the jihad, and to move immediately to the final stage of the jihad, the combating of unbelievers by the sword, considering that the other two stages of holy war — jihad of the heart, directed against the flesh, and jihad of the tongue and hands, directed towards prohibiting unlawful actions — had already failed in Minangkabau.

His argument was that the time had come to move on to the violent stage of the jihad because the non-violent warnings of himself and his fellow revivalists had been ignored.

Tuanku Nan Rinceh began his jihad spectacularly in his own village by killing his mother’s sister for using tobacco, and went on to announce to Bansa the regime of extreme puritanism which must henceforth be followed: the outward signs of a revivalist village were to be the abandonment of cockfighting, gambling, and the use of tobacco, opium, sirih and strong drink; white clothes symbolizing purity were to be worn, with women covering then faces and men allowing their beards to grow; no part of the body was to be decorated with gold jewellery, and silk clothing was to be eschewed.

Needless to say, prayer five times a day was made obligatory. A system of fines was instituted for infringement of these rules. Regimes of such puritanism are, of course, a feature of revivalist movements, and had even accompanied Islamicization in other parts of the archipelago.

In Banten in the late seventeenth century many religious authorities had discarded Javanese dress for Arab garb, and had prohibited opium and tobacco smoking, whilst the Budiah movement in midnineteenth century north Java exhibited similar tendencies” [Dobbin, 1983, hal. 133 – 134]

Pada pengamatan selanjutnya terhadap perkembangan gerakan padre, Dobbin memerlihatkan suatu pola bagi kami menyerupai model Islam politik di Aceh: suatu gerombolan teroris yang dengan kekerasan memaksakan ajaran Islam menurut tafsirnya sendiri ke desa-desa. Jadi pada praktiknya gerakan padri malahan menciptakan konflik horisontal antar desa.

“Apart from the institutionalization of its teachings, the most characteristic mark of the Padri movement was its organized violence against villages which would not submit to the Padri notion of an Islamic community.

Tuanku Nan Rinceh saw the futility of Tuanku Nan Tua’s practice of going into battle simply with an armed crowd of his own students and followers. Instead, his strategy was to set one entire village against another, no very difficult task given existing inter-village rivalries and the possibility of booty and adat-prescribed tribute from the defeated village.

Tuanku Nan Rinceh’s first successes with this strategy were achieved in his home area. Three hill villages of Bukit Kamang, Sala, Magek and Kota Baru, were converted to the new system, presumably because they saw the wisdom of austerity and social regulation if they were to conserve the new wealth brought to them through coffee and cassia and also because, in the past, they had been despised for their poverty and isolation and called kerbau yang tiga kandang (waterbuffaloes of the three stables) by their more prosperous plains counterparts.

Now, as good Muslims, their inhabitants felt they were morally and socially superior to their neighbours, and they were persuaded by Tuanku Nan Rinceh to take revenge on the chief among their past tormenters, the inhabitants of the rich plains village of Tilatang. They fell on this village, settling old scores by killing some members of the population and driving many others away with loss of their property.

Next Tuanku Nan Rinceh set his Bukit Kamang villages to attack Kurai, between Bukit Tinggi and Kota Tua, which was reduced to ashes, and then the more easterly Padang Tarab, which suffered the same fate.93

The populations of all defeated villages had to pay a fine in gold or goods, the tribute sometimes amounting to up to fifty per cent of the village’s gross product.

In all these attacks it was easy to set a new, less respected village against an ancient, prestigious one, and also to set Bodi Caniago villages against villages of the Koto Piliang laras, which traditionally considered that in Minangkabau ‘they had the most exalted position.’ Most of the original Padri villages did in fact belong to the Bodi Caniago tradition.

A similar strategy was found to work successfully within villages. Particularly in the plains, many villages exhibited far greater extremes of wealth and status than was common in the hills. In these villages members of lineages with no claim on a penghulu title and without much sawah, called by one Dutch observer ‘vagabonds and dregs of the population’, could be convinced of the virtues of the new system and it was they who prepared the way for a Padri onslaught; they then had the satisfaction of seeing some of the leading penghulu families flee, and could appropriate their property.

Many villages in any case held a sizable nucleus of people ready for reforms, particularly in the hills, where the most genuinely Padri villages came to be located. Once converted, a village could be persuaded of its moral duty to attack a plains neighbour and enforce the new system.

Gradually Tuanku Nan Tua became more and more averse to the inter-village violence which was becoming the hallmark of the Padri movement, and refused any longer to lend his prestige to Tuanku Nan Rinceh’s campaign. […]” [Dobbin, 1983, hal. 131]

Walaupun gerakan padri pada akhirnya akan berkonflik dengan pemerintahan kolonial ketika Belanda ingin menguasai perdagangan di wilayah Sumatra Barat pada abad ke-19, sekali lagi gerakan tersebut tidak [dapat] dikatakan progresif, sama halnya dengan gerombolan-gerombolan teroris di Aceh, persisnya karena gerakan tersebut teralienasi dari kontradiksi utama kapitalis vs pekerja. 

Kasus Pemberontakan Petani di Banten

Berbeda dengan Islam politik di Aceh atau dalam gerakan padri di Minangkabau yang teralienasi dari massa rakyat pekerja, di Banten pada tahun 1888 terjadi pemberontakan kaum tani yang dipimpin oleh pemuka-pemuka agama Islam.

Apakah ini berarti Islam telah menjadi progresif dengan mengorganisasi perlawanan rakyat? Fenomena ini telah diteliti oleh sejarahwan Indonesia, Sartono Kartodirjo, dalam disertasinya.

“Dalam studi mengenai konflik sosial sebagai salah satu aspek utama gerakan sosial, kita harus memberikan perhatian kepada peranan yang menentukan yang dimainkan oleh elite agama, oleh karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan, seperti juga kaum petani, dan menentang modernisasi serta berusaha mencegah perubahan sosial di Banten.

Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai tradisional dan untuk melawan pengaruh-pengaruh Barat yang melanggar dan merongrong keefektifan norma-norma tradisional. Elite tradisional secara berangsur-angsur dibatasi pengaruhnya oleh pihak yang berkuasa dan dipaksa untuk mengambil sikap agresif.

Mereka mengembangkan seperangkat kebiasaan-kebiasaan menurut sistem norma tarekat-tarekat tertentu, yang dijadikan dasar bagi tuntutan mereka atas prestasi sosial yang tinggi dan juga atas monopoli penggunaan paksaan. Sistem normatif ini menimbulkan kekuasaan politik dengan akibat bahwa elite agama tampil sebagai lawan kuat birokrat-birokrat kolonial. Kekuasaan dan pengawasan sosial beralih dari pejabat pejabat ke tangan pemimpin-pemimpin agama.

Dengan mendirikan tarekat-tarekat dan sekolah-sekolah agama, yang disebut belakangan ini berhasil mempertahankan kekuasaan mereka.

Pada waktu yang bersamaan, tarekat-tarekat mistik sebagai satu lembaga sosial tumbuh menjadi suatu sistem kekuasaan dan memerintah dengan menggunakan paksaan dan otoritas.

Sesungguhnya, tarekat-tarekat itu merupakan satu ancaman potensial baik terhadap pemerintahan lokal maupun terhadap pemerintahan pusat.

Dengan semakin meningkatnya kekacauan, ambisi pemimpin-pemimpin agama tidak lagi terbatas pada komunitas lokal, dan perjuangan memperebutkan pengaruh atas kaum tani telah mendorong mereka untuk mencari dukungan dari sumber-sumber tambahan di luar komunitas dan golongan mereka sendiri.

Meskipun kemudian terbentuk suatu hubungan di antara pemimpin-pemimpin agama itu, namun tidak sampai lahir suatu organisasi yang meliputi seluruh negeri dengan satu badan pimpinan pusat. Sebagai akibatnya, mereka tetap lemah sebagai pemimpin-pemimpin gerakan dan tidak mampu bertindak secara kolektif dalam suatu pemberontakan besar-besaran.

Dalam hubungan ini, perlu diberikan tekanan kepada fungsi tarekat-tarekat mistik sebagai alat organisasi untuk meningkatkan kesadaran golongan atau untuk memberikan satu mekanisme yang efektif untuk mengembangkan solidaritas dan untuk meningkatkan agitasi.

Perkembangan mereka didukung dan dipermudah oleh kampanye-kampanye kebangkitan kembali yang melanda seluruh negeri selama lebih dari satu dasawarsa. Kampanye-kampanye itu menumbuhkan satu suasana yang bersemangat dan bergairah, disertai perasaan tidak senang terhadap elite sekuler.

Oleh karena golongan ini sudah dicemari kebudayaan yang asing dan kafir, maka mereka tidak dapat diberi tempat di dalam struktur otoritas yang karismatik itu.

Tarekat-tarekat itu nampaknya mempunyai daya tarik yang kuat bagi kaum tani yang tergolong lapisan sosial bawahan. Periode persiapan pemberontakan (lihat Bab VI) harus dilihat dari segi iklim kebangkitan kembali yang penuh gairah itu.” [Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, versi ebook, hal. 17 – 18]

Sebagaimana yang telah diperlihatkan Sartono Kartodirjo, munculnya kepemimpinan dari latar belakang pemuka agama Islam dalam pemberontakan petani Banten merupakan hasil dari pergeseran kepemimpinan politik lokal yang sebelum penetrasi kapital dipimpin oleh keluarga bangsawan, menuju kepada pemimpin agama karena tersingkirnya kaum bangsawan dari elit politik akibat terlucutinya mereka dari tanah-tanah milik mereka.

“Satu tinjauan umum mengenai avant garde pelbagai gerakan di Banten dengan jelas menunjukkan bahwa dalam abad XIX berlangsung satu pergeseran pimpinan secara konstan, atau satu perputaran peranan elite revolusioner.

Pada bagian awal abad XIX unsur-unsur yang menonjol dalam pergolakan-pergolakan sosial terdiri dari kaum bangsawan dan anggota-anggota kelas terhormat pedesaan yang telah kehilangan kekayaan mereka, serta gerombolan-gerombolan bersenjata yang mengembara, yang terdiri dari orang-orang yang sudah dinyatakan di luar hukum, orang-orang buangan dan penyamun-penyamun.

Anggota-anggota tertentu kaum elite revolusioner yang tradisional, seperti keluarga Jakaria, memainkan peranan yang sangat menonjol. Setelah pemimpin-pemimpin pemberontak itu dibuang en masae [en masse; in a mass?], barisan elite revolusioner diisi lagi dengan tampilnya ke muka pemuka-pemuka agama, yakni para kiyai dan haji, dalam gerakan-gerakan pemberontakan.

Peranan pemuka-pemuka agama semakin meningkat dan mencapai puncaknya dalam gerakan pemberontakan tahun 1888.

Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa banyak sekali pemimpin dalam pemberontakan komunis tahun 1926 yang juga bergelar haji. Pemberontakan tahun 1926 di Banten memperlihatkan ciri-ciri yang baru yang membedakannya dari gerakan-gerakan pemberontakan yang terdahulu: tipe pemimpin-pemimpinnya, organisasinya dan strateginya.

Ciri-ciri itu jelas menunjukkan pola-pola modern, yang merupakan ciri umum gerakan-gerakan yang modern. Akan tetapi dalam hal-hal lainnya, pemberontakan ini dapat dipandang sebagai sebuah versi baru pergolakan pedesaan yang tradisional yang terjadi di daerah itu.

Jika kita memperbandingkan ciri-ciri umum gerakan-gerakan itu dengan ciri-ciri umum gerakan-gerakan di daerah-daerah lain di Pulau Jawa, maka bolehlah kita menarik kesimpulan bahwa dalam masyarakat Banten tidak terdapat tradisi yang berusia tua, yang dapat dipersamakan dengan harapan-harapan mesianik yang tradisional, yang terdapat dalam kebudayaan Jawa.Seperti telah dikemukakan di atas, gerakan di Banten memperoleh warnanya dari suatu versi eskatologi Islam dan dari Mahdisme, yang dicampur dengan unsur-unsur nativistik kebudayaan Banten. Tokoh Masalah, Ratu Adil, yang merupakan pusat gerakan-gerakan mesianik Jawa yang endemik dalam abad XIX, sama sekali tak dikenal di Banten. […]” [Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, versi ebook, hal. 244]

Jadi pemuka-pemuka agama tampil menjadi pemimpin di tengah-tengah kekosongan kepemimpinan politik.

Sartono kemudian memunjukan bahwa tanpa suatu organisasi terpusat yang kuat, gerakan tersebut tetap lemah dan kecil.

Hal ini mesti dibedakan dengan banyaknya keterlibatan pemuka agama (haji) dalam gerakan komunis awal abad ke-20 di mana terjadi peningkatan secara kuantitatif dan kualitatif kekuatan gerakan. Sampai dititik ini modernisasi gerakan perlawanan muncul bukan karena berasal dari agama Islam itu sendiri melainkan dari prinsip-prinsip perjuangan modern yang berasal dari luar Islam.

.

[berlanjut ke halaman berikutnya hlm 159a-IVb — Red DK]

.

 

Referensi

.

  1. Dobbin, Christine. 1983. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784 – 1847. Curzon Press.
  2. Gobée, E. dan Adriaanse, C. 1990. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936. Kata Pengantar oleh P. SJ. Van Koningsveld. Seri Khusus INIS Jilid I. Jakarta.
  3. Hurgronje, Snouck. 1906. The Achehnese. Vol. 1. Late E. J. Brill. Leyden.
  4. Jasmi, Kairul. 2014. Minangkabau Dalam Reportase. Kumpulan Feature. Cet. 1. Penerbit Kabarita.
  5. Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Versi E-book Komunitas Bambu.
  6. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia. Cet. 3. Gramedia. Jakarta.
  7. Meilink-Roelofsz, M. A. P. 1962. Asian Trade and European Influence in Indonesian Achipelago between 1500 and About 1630. Martinus Nijhoff. The Hague.
  8. Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Cet. 3. Penerbit Serambi. Jakarta.
  9. Tichelman, Fritjof. 1980. The Social Evolution of Indonesia. The Asiatic Mode of Production and Its Legacy. Internasional Institute of Social History Amsterdam. Martinus Nijhoff. The Hague.
  10. Van Leur, J. C. 1983. Indonesian Trade and Society. Essays in Asian Social and Economic History. KITLV.
  11. Van ‘t Veer, Paul. 1985. Perang Aceh. Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Cet. 1. Grafiti Press. Jakarta.

.

——–

* Risalah HM Isbakh, Tulisan pertama Bagian IV, atau Sub-Bagian IVa ini aslinya adalah utuh. Seperti halnya pada Bagian I dan Bagian II, di Bagian IV, khususnya Sub-Bagian IVa ini, kami sengaja membaginya, di sini, atas dua halaman, hlm 153a-IVa dan hlm 153b-IVa, seijin penulisnya, semata untuk memberikan semacam jeda, waktu mengaso sebentar, pada perangkat pembaca budiman. Meski Referensi kami cantumkan pula bukan saja di akhir hlm 153b-IVa ini, tapi juga hlm 153a-IVa.

Juga perlu kami jelaskan, bahwa alinea-alinea baru, kutipan-kutipan yang indent (masuk beberapa spasi ke arah kanan di awal alinea) termasuk cetak tebal (bila tidak ada keterangan dari penulis) adalah dari kami. Tanpa menyentuh isi sama sekali, lagi-lagi semata untuk “menyesuaikan” dengan perangkat (Red DK).

.