Menyambut 72 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

.

Arus Balik, Membalik:

Poros Maritim Dunia “Soekarno Abad XXI”

.

Terinspirasi Film “Banda, The Dark Forgotten Trail”

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

Jujur, tulisan menyambut 72 tahun NKRI-18845 ini terinspirasi film “Banda, The Dark Forgotten Trail” sutradara Jay Subiakto. Tayang di bioskop-bioskop grup XXI Ibukota, mulai 3 Agustus 2017 lalu.

Lantas kami beri judul berikut subjudulnya seperti di atas.

Sehingga, risalah ini lebih mentitikberatkan sisi politik kolonial/imperialis — konteks rayakan kemerdekaan — di bumi Nusantara negeri bahari ini. Dengan “titik berangkat” film perdana Bung Jay dimaksud.

Banda 1621 dan Arus Balik 

Selama menonton film “Banda, The Dark Forgotten Trail” (selanjutnya “Banda”), di salah satu bioskop kawasan Jakarta Pusat,  berseliweran respons di benak kami. Kami pilah pilih usai menonton. Selang beberapa hari diaksarakan, dituliskan dalam dua respons. Rasa terima kasih dan sebuah tanya membersitkan inspirasi.

DK-95a-Banda-Metropole-4-8-2017
Jepretan poster-berbingkai “Banda” di dinding lobi salah satu bioskop grup XXI, Jakarta Pusat, Jumat (4/8/2017). Still photo dari salah satu adegan di mana muncul narasi puisi Chairil Anwar “Cerita Buat Dien Tamaela”, dibacakan Reza Rahadian. (Foto & Grafis: Red DK)

Respons pertama. Rasa terima kasih karena sutradara Jay Subiakto telah memuncul-ingatkan sebuah kala kelam historis kita. “Banda, jejak terlupakan yang kelam”, kami coba Bahasakan, genosida Banda 1621.

Seperti bagian dari siaran pers (1/8/2017) Bung Jay dan kawan-kawan dalam upaya menjawab mereka,  yang tidak setuju film “Banda”; beti beda-beda tipis kaum bumi-datar/pra-Copernican kasus BTP yang berujung di bui —  meski ironis “Banda” pun berbuntut gagal tayang di Ambon.

Fokus film adalah bukan mencari orang asli melainkan membicarkan apa yang tidak tersampaikan dalam sejarah mengenai kepulauan Banda sebagai salah satu pusat/episentrum pencarian rempah dan pala sebagai yang mula-mula endemik disana.

Sehingga fragmen sejarah 1621 yang digarisbawahi adalah bagian pembantaian massal/genosida pertama. Dalam film sendiri dijelaskan bahwa ada dua kelompok masyarakat di Banda yakni masyarakat sebelum 1621 dan setelah 1621.

Bapak Usman Thalib sebagai sejarawan  yang juga marasumber dalam film BANDA telah menonton filmnya dan menyatakan:

“Setelah menonton, sebagai pakar sejarah, saya harus mengatakan tidak ada kesalahan sedikitpun terkait dengan sejarah Banda sejak era sebelum kolonial sampai dengan saat ini. Sungguh sangat aneh, belum menonton filmnya tapi sudah menyatakan ada kesalahan sejarah.

Film itu sesungguhnya media yang paling efektif bukan saja dalam rangka membangun karakter dan nasionalisme anak-anak di negeri ini, tetapi juga sarana promosi yang paling efektif dalam membangun dunia pariwisata di Provinsi Maluku. 

Ancaman boikot terhadap film “Banda The dark Forgotten Trial” sama halnya dengan ancaman terhadap pembangunan karakter dan nasionalisme anak bangsa di daerah ini. Demikian pula menjadi ancaman terhadap kepariwisataan di Maluku.”

[Alinea-alinea baru termasuk yang tercetak ke dalam/indent juga tambahan beberapa tanda baca adalah dari kami. Dengan alasan mencoba taat-asas aturan Bahasa serta memanjakan pembaca di layar perangkat tanpa sedikitpun menyentuh isi — Red DK]   

Dan kalau pun kami mencoba mengacu sejarawan Vincent C Loth dari Unversitas Nijmegen, Belanda. Mengutip frasa awal Pengantar risalahnya (1995) yang menelisik masyarakat Kepulauan Banda pasca-1621 rentang 50 tahun 1620-1670, tentu tak bakal berguna bagi kaum bumi-datar anti-“Banda” itu.

Tahun 1621 menandai sebuah batas-zaman [watershed] dalam sejarah Kepulauan Banda. Pada tahun itu, Dutch United East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) menyelesaikan penaklukannya di pulau-pulau utama, sebuah kampanye di mana sebagian besar penduduk Banda binasa. Sejak saat itu, Belanda menguasai hampir seluruh kepulauan kecil ini. VOC menjajahnya, dan dari pemukim [asli, settler], para budak, dan migran lainnya tumbuh masyarakat yang sama sekali baru, dengan ciri unik. Kontribusi [risalah] ini berkaitan dengan sejarah awal masyarakat baru [new society] ini.

(“Pioneers And Perkeniers: The Banda Islands in The 17th Century”, Cakalele Vol. 6 (1995): 13-55; dibahasaindonesiakan oleh Red DK)

Apalagi kaum bumi-datar itu boro-boro akan membanggakan lema “pala”. Notabene yang melambungkan Kepulauan Banda sampai ke ujung dunia negeri Atas Angin beratus tahun silam. Sebuah potensi wisata-historis luar biasa, hari ini. Terlebih promosi lewat media film, seperti optimisme sekaligus keprihatinan sejawaran Usman Thalib di atas terkait boikot oleh kaum bumi-datar anti-“Banda” itu.

Lema komoditi termahal di dunia saat itu yang disebut sampai tiga kali dalam puisi Chairil Anwar “Cerita Buat Dien Tamaela”. Karya susastra yang lahir hanya sekitar setahun pasca-Proklamasi. Malah baru sekitar tiga tahun pasca-Proklamasi lahir puisi yang “kental politis”: Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji — baris pertama puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, 1948″.

Padahal kehadiran puisi Chairil Beta Pattiradjawane dalam film “Banda” itu, hemat kami ikut mengafirmasi komoditi pala-Kepulauan Banda sebagai — mengacu Bung Jay dan kawan-kawan di atas — episentrum bisnis.

Para pebisnis yang datang beribu-laksa mil-laut lewat laut dari Eropa Barat. Saudagar-saudagar  yang kemudian dikenal sebagai “kapitalis”. Lalu greedy mereka menampilkan bisnis monopoli. Belakangan disematkan istilah “imperialis”: kapitalis yang monopolistis (mengacu seorang teoritikus-praktisi revolusi-rakyat-pekerja pertama dunia yang patung-patungnya dirobohkan di Ukraina vasal, negara taklukan sang Deep State) .

Imperialisme yang (memang) masif,  sistematis dan bengis.

Tentu saja, tafsir kami di atas bisa dinilai lebai berlebihan atas puisi Chairil tersebut di film “Banda”. Tetapi negeri yang belum lama merdeka saat puisi ini lahir. Dan Chairil bukanlah dari mazhab penyair “seni-untuk-seni” (l’art pour l’art / art for art’s sake) terbukti pada puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” itu.

Maka puisi “Cerita Buat Dien Tamaela” dalam film “Banda” itu, justru menghadirkan sebuah pengalaman puitis yang lain lagi, setidaknya bagi kami.

Beta Pattiradjawane … yang dijaga datu-datu  …. kikisan laut berdarah laut … ketika lahir dibawakan datu dayung sampan … Beta Pattiradjawane menjaga hutan pala. 

Beta, orang laut (kikisan laut, berdarah laut, ketika lahir dibawakan datu dayung sampan). Menjaga bumi tempat ia berpijak penuh kekayaan (pala).

Tetapi juga Beta … yang dijaga datu-datu. Dijaga Para tetua, para leluhur. Pranata-pranata adat itu sendiri yang menjaga/mengatur kehidupan masyarakat.

Masing-masing anggota masyarakat (beta) punya kemampuan menjaga kelangsungan kehidupan (gadis perawan) yang ditopang kenyataan objektif materiil (pohon pala). Kemampuan beta berkat pranata-pranata (datu-datu) itu.

Lamun Beta Pattiradjawane, orang laut penjaga hutan pala yang dijaga datu-datu yang memiliki kemampuan-menjaga berkat datu-datu itu “bersanding” dengan genosida 1621 dalam film “Banda”. Beta hakikatnya sedang berhadap-hadapan dengan imperialisme dalam karya Bung Jay ini.

“Banda”, dalam respons kedua kami, sebuah tanya membersitkan inspirasi.

Mengapa awal kemahaganasan imperialis di bumi Nusantara negeri bahari*,  Kepulauan Banda di abad XVII itu tidak menjadi setting-penuturan sastrawan kelas dunia Pramoedya Ananta Toer (Pram, panggilan akrab) yang terkenal dengan novel-novel sejarah?

———

*Tiga dasawarsa sebelum 5 tahun The Great Ambon War atau Hoamoal War (1651-1656) oleh Gubernur Maluku Arnold de Vlamingh van Oudshoorn. Perang besar yang meluluhlantakkan penduduk dan kebudayaannya di semenanjung Hoamoal, barat Pulau Seram. Berujung monopoli VOC atas cengkeh.

DK-95a-Arus Balik Pram-1995
Jepretan kulit depan dan belakang buku “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer (17 Agustus 1995, Penerbit Hasta Mitra). Bebarengan dengan penerbitan dalam bahasa Belanda, “De stroom uit het noorden” penerjemah Henk Maler, Penerbit de Geus, dalam memeringati 50 tahun Kemerdekaan. (Foto & Grafis: Red DK)

Jawabannya, setidaknya bagi kami, ternyata justru ada pada sebuah pengalaman puitis dalam salah satu karya novel sejarah Pram “Arus Balik” (17 Agustus 1995).

“… Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini.

Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya — semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan.

Majapahit jatuh.

Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar.

Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya dari utara ke selatan, Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan.

Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.” 

(hlm 738: penyampaian Senapati Tuban Wiranggaleng — lihat bawah — di hadapan para pemimpin pasukan pascakemenangan melawan Peranggi/Portugis)

Di mana berantakannya pranata-pranata kerajaan Majapahit yang jatuh, terjadinya Arus Balik, berdampak jauh ke depan. Pada beta orang laut, anggota masyarakat (salah satu) kerajaan-laut kecil Tuban. Pemuda desa sederhana, sang protagonis novel “Arus Balik”, Senapati Tuban Wiranggaleng:

Aku hanya seorang anak desa bernama Galeng — tahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini […]

(hlm 740)

Aku menyadari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesadaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. […]

(hlm 741)

“Banda”, Arus Balik, Membalik: Poros Maritim Dunia “Soekarno Abad XXI” 

Beta Pattiradjawane yang bagi kami, berhadap-hadapan dengan imperialisme dalam “Banda”, memunculkan tanya dengan jawabannya yang merunut sampai ke Senapati Tuban Wiranggaleng.

Bahwa Arus Balik pasca-Majapahit jatuh memupuskan semangat juang seorang Wiranggaleng yang justru baru saja mengalahkan Peranggi, Portugis. Alasannya pun sangat ‘strukturalis’ Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita.

Di titik inilah, respons kedua kami  dalam risalah ini, pertanyaan kami (lihat respons kedua di atas — memeroleh jawaban) membersitkan inspiratif.

Bahwa Pram pertama-tama dalam tafsir kami telah merasa “lebih dari cukup” mengangkat “Arus Balik” pasca-Majapahit jatuh. Dimetaforakan pada sosok protagonis Senapati Tuban Wiranggaleng — yang menyerah pada jaman*.

———

*Sosok sejatinya bukan das Man, tokoh protagonis yang justru bisa mentransendikan struktur. Tapi  keputusan sang nir-das Man Wiranggaleng ini adalah domain personal. (Selengkapnya: hlm 71c. Arief Budiman … )

Genosida Banda 1621, bagi Pram masih dalam tafsir kami, adalah sebuah “konsekuensi-logis” Arus Balik.  Seperti ucap Wiranggaleng Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan

Tetapi, ketika Bung Jay menghadirkan orang laut Beta Pattiradjawane Chairil. Hakikatnya berhadap-hadapan dengan imperialis-bersenjata Jan Pieterszoon Coen di sebuah ruang dan waktu bernama “bioskop” nyaris 4 abad kemudian. Adrenalin kami pun bergejolak keras, kami terinspirasi

Zaman kini bukan saja tidak melawan bahkan membantu Beta Pattiradjawane! 

Bukan kali pertama pasca-Majapahit jatuh Beta Pattiradjawane harus berhadap-hadapan dengan imperialis dalam zaman yang tak berpihak padanya.

Ketika Soekarno dikudeta-merangkak oleh sang Brutus begundal imperialis yang memanipulasi Supersemar. Ketika seorang Pram harus mendekam dalam penjara-alam bernama Pulau Buru. Alih-alih tercundang malah melahirkan “Arus Balik”:

sebuah karya monumental  Pramoedya — malah ada yang menganggapnya lebih besar dibanding karya-karya sebelumnya selama ini, seperti misalnya tetralogi Bumi Manusia, Perburuan, Keluarga Gerilya, Gadis Pantai yang sudah menyebar dalam berbagai bahasa asing di dunia.

Di negara merdeka dan di antara manusia merdeka, orang merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun mau ditafsirkan.

Yang pasti ARUS BALIK adalah sebuah literatur maritim Nusantara yang menjadi tonggak baru dan sumbangan tak ternilai dalam khazanah sastra Indonesia.

(Ibid hlm x; Dari Redaksi Penerbit, Joesoef Isak, ed.)     

Ya, “Banda” Bung Jay menginspirasikan kami memaknai-ulang sebuah literatur maritim Nusantara yang menjadi tonggak baru dan sumbangan tak ternilai dalam khazanah sastra Indonesia.

Di negara merdeka dan di antara manusia merdeka, orang merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun mau ditafsirkan.

Ya, “Banda” Bung Jay menginspirasikan kami merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun mau ditafsirkan … dan kami lalu memilih ke upaya tegakkan sebuah Indonesia di abad XXI ala Majapahit — kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. 

Ya “Banda” Bung Jay menginspirasikan kami membaca politik Indonesia abad XXI di era Presiden Joko Widodo sebagai  Arus Balik, Membalik: Poros Maritim Dunia “Soekarno Abad XXI”.

Zaman kini bukan saja tidak melawan bahkan membantu Beta Pattiradjawane! 

Adalah Joko Widodo bersama Jusuf Kalla yang naik menahkodai sebuah sebuah negara kesatuan republik Indonesia pada 20 Oktober 2014. Mengusung visi jalan ideologis Trisakti-Gotong-Royong Soekarno dan 7-butir misi dengan 9-Agenda Prioritas atau Nawa Cita atas visi misi. (Simak/klik hlm 44b)

Di mana pada misi Jokowi-JK sebanyak tiga kali lema “maritim” muncul. Yaitu pada butir-butir 1, 3 dan sangat jelas pada butir 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.

* Kami, memilih menggunakan istilah "Front Persatuan" untuk gagasan Jokowi "koalisi tidak bagi-bagi kursi".  Yang gregetnya lebih dekat ke UUD 1945 ketimbang UUD 2002 cacat hukum itu.

Dan tidak sampai sebulan sejak Jokowi-JK dilantik, maka pada 13 November 2014 Presiden Jokowi Deklarasikan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia.

Konsep Poros Maritim Dunia yang di deklarasikan pada sebuah forum regional KTT ke-9 East Asia Summit (EAS) di Nay Pyi Taw, Myanmar. Di EAS yang beranggotakan 18 negara terdiri dari 10 negara ASEAN dan 8 negara berpengaruh di dunia tersebut, Presiden Jokowi menegaskan lima pilar* utama Poros Maritim Dunia:

  • Membangun kembali budaya maritim Indonesia.
  • Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama.
  • Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
  • Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa lautharus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.
  • Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

———

*Pada 20 Februari 2017 oleh Presiden Joko Widodo ditetapkan Perpres No 6/2017 Tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, “melengkapi” 5-pilar di atas menjadi 7-pilar utama Poros Maritim Dunia.

.

Tujuh Pilar Maritim Perpres No 16-2017 Tentang Kebijakan Kelautan Ind

.

DK-93a-terbarui-Mars Maritim

Mars Maritim (Sumber: Kementerian Koordinator Kemaritiman RI; Screenshot/grafis oleh Red DK)

[Tonton via YouTube]

.

Dan tak cukup rupanya bagi Jokowi dengan deklarasi di EAS. Pada jelang akhir triwulan pertama tahun ini, tepatnya 5-7 Maret 2017 di Jakarta diselenggarakan KTT IORA (Indian Ocean Rim Association).

IORA merupakan organisasi internasional yang menghimpun negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Organisasi ini dimaksudkan untuk mempererat kerja sama di antara 21 negara anggotanya.

Sehingga bisa dikatakan KTT IORA sejalan dengan gagasan poros maritim yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo. Poros maritim diwujudkan melalui konektivitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta keamanan maritim. Ini adalah gagasan strategis pemerintahan Jokowi – JK yang sejalan dengan kondisi negeri ini sebagai negara kepulauan.

(Selengkapnya: PresidenRI.go.id “KTT IORA Teguhkan Indonesia Sebagai Poros Maritim”, 6/3/2017)

Dan ketika kami sampaikan “Selamat Jalan Fidel Castro, Selamat Datang “Soekarno Abad XXI”. Maka dalam konteks kita ini Presiden Jokowi, sang “Soekarno Abad XXI”, sedang membalik Arus Balik lewat konsep Poros Maritim Dunia.

“Soekarno Abad XXI” sedang menjawab Wiranggaleng-nya Pramoedya Ananta Toer dengan lima pilar (menjadi 7 pilar — dari data terbarui, lihat * di atas) Poros Maritim Dunia itu.

Sekaligus Genosida Banda 1621 dalam “Banda”-nya Jay Subiakto dan kawan-kawan sebagai konsekuensi logis Arus Balik  menginspirasikan kami, lebih sadar lagi menempatkannya (“Banda”)  dalam cara pandang sebuah “optimisme” Poros Maritim Dunia: “Soekarno Abad XXI”.

Upaya pemerataan* — dalam terminologi “pornografi politik”: Sosialisme ala Indonesia — sebagai esensi Poros Maritim Dunia, adalah membaliknya Arus Balik.

———

*Karena sasaran sosialisme dan kapitalisme lain sekali.

Yang satu diarahkan kepada efisiensi untuk meningkatkan kapital, keuntungan, sedangkan sosialisme kepada pemerataan sehingga dengan demikian efisiensi kurang. Yang saya tidak lihat pada karangan Bung Hatta adalah misalnya ia tidak pernah secara langsung membicarakan masalah-masalah hak milik.**

———

**Menyangkut hak milik, dalam batas-batas tertentu yang dimaui sistem sosialisme, dari data terbarui, simak pidato kenegaraan Jokowi (16/8/2017) di depan DPD-DPR (hlm 95b.1.; lihat “Terkait” di bawah) pada isu redistribusi/sertifikasi lahan para petani. 

Karena inti daripada perbedaan sosialisme dan kapitalisme adalah hak milik. Tiap-tiap individu memililiki apa? Apa sih yang dimaui masyarakat?

Hatta jelas bukan-seorang yang mau merombak masyarakat Indonesia dari kapitalisme menjadi sosialisme.

(Ibid hlm 71c)

Perlu diingat bahwa analisis Arief Budiman ini, meski sudah dan sedang berada di era implementasi reformasi pasar Deng Xiaoping (medio 1980-an), hemat kami masih belum memertimbangkan “sosialisme lahir dari kapitalisme maju” — seperti dengan sadar dilakoni Beijing. (Simak/klik analisis Duang Zhongqiao hlm 40b)

Membaliknya yang tadinya yang-sedikit (dengan dompet penuh-sang pengakumulasi kapital) menguasai yang-banyak (dengan dompet kosong-si penjual tenaga kerja).

Menjadi yang-banyak (dengan dompet kosong-sang penjual tenaga kerja dan negara sebagai perwaliannya hadir berpihak padanya) menguasai yang-sedikit (dengan dompet penuh-si pengakumulasi-kapital yang taat pada negara).

IORA-Poros Maritim Dunia: Jawaban Win-Win Deals “Soekarno Abad XXI” atas OBOR — Jakarta Lab Pemerataan Global Berikutnya Setelah Beijing 

“Banda” menginspirasikan, makin meyakinkan kami bahwa IORA-Poros Maritim Dunia, adalah jawaban cerdas dan cantik lewat  win-win deals “Soekarno Abad XXI” atas OBOR (One Belt, One Road).

Jokowi yang telah menjadikan Indonesia bagian dari sisi-maritim OBOR dengan bergabung pada AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank), pendukung OBOR. Menyusul deklarasi sisi maritim OBOR oleh Xi Jinping di Gedung MPR Jakarta (Oktober 2013) sebelum Jokowi berkuasa. Presiden SBY yang entah bagaimana bisa meloloskan Xi deklarasi di MPR, malah menolak menjadi anggota AIIB yang menurut RT-News atas desakan Washington.

Jalan Sutera sisi maritimnya abad XXI OBOR, telah dijawab dan disambut “Soekarno Abad XXI”, sekaligus mengafrmasi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia lewat IORA. Peluang bisnis menjanjikan dengan win-win deals (sejatinya moto OBOR) yang membentang dari Afrika menyusuri negara-negara pesisir Samudera Hindia melewati Nusantara negeri bahari seluas daratan Eropa hingga Australia.

Tak pelak “Jakarta di laut”, “Beijing di darat” dalam konsep jalan sutera OBOR  dan IORA-Poros Maritim Dunia — yang saling interkoneksi.

Keduanya sedang menyudahi kerakusan monopolistis ala Jan Pieterszoon Coen yang masih saja dipraktikan Deep State, sang imperialis hari-hari ini 4-abad sudah.

Imperialis yang berkembang justru menuju ke liang lahat yang digalinya sendiri, karena menolak keras win-win deals bahkan menjadikan perang sebagai bisnis: Financial Empire.

Keduanya, dengan perjalanan historis masing-masing, sedang berjuang keras untuk pemerataan kemakmuran rakyatnya.

Ya, bisa saja kami dinilai berlebihan. Jakarta adalah laborotorium pemerataan global berikutnya setelah Beijing. Dengan segala cacat dan supremasi* yang harus diakui masih perlu waktu banyak untuk selaju pembangunan-ekonomi Beijing.

———

*Mengacu Arief Budiman (ibid hlm 71c):

Maka dari itu orang-orang sekarang perlu mentransendikan situasi, mencoba mempengaruhi atau mengarahkan sejarah itu demi survival. Jadi kalau kita tidak bergerak ke masyarakat sosialistis, kalau ini tidak tercapai, negara bisa hancur. […]

Dengan menyerang ilmu yang menurut saya tidak menyentuh realitas itu, kita sebenarnya mencoba mempengaruhi kalangan ilmuwan. Mencoba mengganti dominant science kita menjadi historical science

Rekomendasi Arief nyaris 3,5 dasawarsa silam ini, hemat kami masih aktual. Malah kami berharap  menjadi pertimbangan Yudi Latif sebagai Kepala UIP-IP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila).

Meski, sesuatu yang agak aneh setidaknya bagi kami, yang mencoba menempatkan Pancasila dalam perspektif sejarah. Bahwa Pak Yudi tidak ingin Pancasila jadi alat politik.

Padahal, justru sejak Soekarno dikudeta-merangkak, baru di era Jokowi kami kira Pancasila coba dikembalikan seperti maunya Soekarno yakni Pancasila itu “kiri”.

Dalam artian Pancasila antipenjajahan, anti imperialisme. Yang dalam kekinian anti-bentuk-bentuk kapitalistis yang dalam 16 tahun terakhir ini (sejak era “reformasi”) oleh Deep State/globalis/imperialis/financial empire ditumbuhkembangkan menjadi ormas-ormas sangat anti-NKRI-18845 (NKRI-Pancasila-UUD 1945).

Di titik inilah, ajakan Arief untuk mengganti dominant science kita menjadi historical scienceperlu kita ulurkan tangan “gayung bersambut” — khususnya bagi para cendekiawan negeri akbar ini.

Tetapi “Soekarno Abad XXI” sedang membalik Arus Balik, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.

Dan last but not least Pembantu “Soekarno Abad XXI” di bidang kelautan ini yang berperan signifikan mengakselerasi Poros Maritim Dunia bukan saja terkenal dengan kebijakan “membakar kapal pencuri ikan” tapi juga menyandang  penghargaan kelas dunia “Leaders of a Living Planet”Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

.

dk-77b-bu-susi

KOMPAS.com / DINO OKTAVIANO [Simak/klik sumber terkait: Kompas.com, Sabtu, 17 September 2016 | 07:00 WIB di hlm 77b — Red DK]

.

Catatan Redaksi Dasar Kita

Kami ikut bangga. Sangat membanggakan!

Dan sebuah bukti lagi bahwa petinggi negeri ini, terlebih seorang pembantu presiden. Tanpa perlu berteori bahkan berwacana (ideologi) muluk-muluk, telah berhasil “menangkap dan mempraksis esensi” dari visi jalan ideologis Trisakti-Gotong yang bermuara pada kata kunci “kerja-kerja-kerja”– dari pemerintahan Jokowi-JK.

Ketika dalam misi pemerintahan Jokowi-JK, lema “maritim” disebut sebanyak tiga kali — di butir-butir 1, 3 dan 6.

Anda bisa saja seorang pakar hukum tata negara, atau seorang mantan aktivis militan dengan wawasan teoritis mumpuni tentang skema penindasan di Dunia Ketiga, atau siapa pun Anda yang punya reputasi regional bahkan dunia, misalnya.

Tetapi ketika Anda “limbung” bahkan “menampik” memaknai jati diri nasion akbar ini yang sudah diletakkan sang pemimpin besar revolusi bernama Soekarno — dan “dilanjutkan” Jokowi, ‘dalam batas-batas tertentu’ (pinjam ungkapan Putin pada Jokowi) di abad XXI ini juga dalam satu dan lain “cara” oleh Bang Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama –, Anda tak beda dengan mereka yang bernafsu menghakhiri hidup Copernicus berabad silam.

Sekali lagi, Selamat Bu Susi! Terima kasih untuk berperan signifikan merenda sebuah RI yang Hebat!

.

Terima kasih Bung Jay …

Dirgahayu NKRI-18845 di usianya yang ke-72!

.

ooOoo

Terkait:

Simak/klik hlm 95b. Pidato Lengkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR [16/8/2017] (detikNews)

Simak/klik hlm 95b.1. Ini Pidato Kenegaraan Lengkap Jokowi di Sidang Tahunan DPD-DPR [16/8/2017] (detikNews)

Simak/klik hlm 95b.2. Pidato Presiden Jokowi pada Penyampaian RUU APBN 2018 (industry.co.id)

.

DK-95a-terbarui cuplikan pidato Jkw 16-8-2017-02
(Simak/klik hlm 95b.1; screenshot & grafis: Red DK)

.

 

.