Menyambut Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK  20 Oktober 2015

 .

Dari “Kanan” ke “Kiri”

Berhenti Sejenak di “Tengah”

 .

MPR (Produk UUD 2002) “Against the Law”

Menghadang dengan Sosialisasi 4 Pilar (alm)

.

Ironi Sebuah “Majelis Permusyawaratan Rakyat” …

 .

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

“Lha ini, di waktu-waktu belakangan ini saya melihat, dan ini sudah saya katakan juga, dengan sedih saya melihat bahwa ada tren, tren yang mau menggeserkan revolusi kita ini ke kanan.

Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is allen mar antiimperialisme. Jangan kira kiri hanya antiimperialisme, tapi kiri juga anti-uitbuiting [antieksploitasi – Red DK].

Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri.

Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. 

Oleh karena apa?

Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial.

Pancasila adalah antikapitalisme.

Pancasila adalah anti-exploitation de l’homme par l’homme.

Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation.

Karena itulah Pancasila kiri.

Tetapi yang saya lihat di waktu-waktu yang akhir-akhir ini, Saudara.

Manakala saya berkata, rupanya revolusi kita mau dikanankan, itu oleh karena saya melihat bahwa sekarang ini ada actieve krachten [kekuatan aktif – Red DK] bekerja untuk on-kiri-en [Meniadakan unsur-unsur kiri – Peyunt/Red DK], unsur-unsur di dalam revolusi kita ini.

Lha ini yang membuat saya sedih. Apalagi on-kiri-en itu adalah sesuai dengan kehendaknya pihak nekolim.”

(Pidato PJM Presiden Soekarno pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor, 6 November 1965; di dalam ibid “Revolusi Belum Selesai”: 96)

Hanya sekitar lima pekan sejak dimulainya Kudeta Merangkak (1/10/1965), Bung Karno sudah merasakan apa yang kemudian menjadi kenyataan selama setengah abad ke depan di sebuah republik yang ia ikut perjuangkan sejak muda dan turut memproklamasikannya. Futuristik yang ia ungkapkan dengan sangat pas:

 “… Apalagi on-kiri-en itu adalah sesuai dengan kehendaknya pihak nekolim.”

Ya, selama 50 tahun ini, sejak Soeharto “meng-kanan-kan” revolusi itu dengan pola kaum revisionis “memusuhi Pancasila-UUD 1945 di dalam Pancasila-UUD 1945 itu sendiri” lewat apa yang disebut “Kesaktian Pancasila” dalam  program indoktrinasi (ala partai komunis) P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Berlanjut “digenapi” dengan UUD 2002/niramendemen UUD 1945 … Kental sekali “on-kiri-en itu adalah sesuai dengan kehendaknya pihak nekolim” terus saja diupayakan lenyap dari ingatan kolektif bangsa.

Lema nekolim, neokolonialisme atau imperialisme sebagai tahap tertinggi/terakhir kapitalisme “bernasib sama” seperti halnya sebandung kata “sosialisme Indonesia”  yang digambarkan dengan pas oleh Burhan D Magenda:

Sejak tahun 1968, kekangan ideologis ini tambah lunak 5,6,7. Seirama dengan laju pertumbuhan yang tinggi, maka solidaritas sosial mulai mengendor, bahkan pembicaraan tentang sosialisme Indonesia dianggap sebagai “bagian dari masa lalu yang buruk”.

 “Kiri” lantas familiar,  identik dengan “HAM (hak asasi manusia)” dan “demokrasi”  terlebih diberhadapkan dengan lema “hegemoni” yang kondang di kalangan aktivis “prodemokrasi” era Soeharto.

“Hegemoni” berawal dari Antonio Gramsci yang “memandang negara sebagai faktor kunci dalam mendukung hegemoni kaum kapitalis. […] Sejak Gramsci, para penulis Marxis [tepatnya, pinjam Soekarno, ‘mereka bukan Marxis, mereka adalah pencoleng daripada Marxisme’ […] mereka adalah revisionis tulen’ – Red DK] menggunakan istilah negara untuk mencakup tidak hanya pemerintah dan organ represi, tetapi mekanisme yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk melegitimasi status quo dan mengontrol media serta berbagai ikthiar dominasi budaya lainnya.” (Simak catatan kaki 2 hlm 64, Amouz, 2008).

Pandangan yang untuk kesekian kali membuktikan sikap sejati kaum revisionis yang disebutkan Lenin “memusuhi Marxisme di dalam Marxisme itu sendiri”.

Ketika kaum revisionis dengan pedang “hegemoni” menghantam (serius?) kaum kapitalis, dan sisi mata pedang satu lagi menghantam (ini baru serius) negara yang berbasis-superstruktur kediktatoran proletariat. Padahal RRT misalnya, dengan “struktur demokrasi vertikal” (pinjam Naisbitt, 2010: 246) untuk tidak menyebut kediktatoran proletariat, telah mengangkat 600-an juta penduduknya keluar dari kemiskinan ekstrim versi Bank Dunia; atau menjadi 700 juta jiwa selama 36 tahun (1978-2014).  

Data empiris yang sepatutnya membuat setiap orang “berintrospeksi” apa sebenarnya tujuan sebuah negara, kecuali mensejahterahkan rakyatnya bahkan berperan serta sebagai bagian dari planet ini untuk tujuan yang sama.

Hal yang sudah ditawarkan sang “pelampaui zaman” Soekarno dalam Amanat Penderitaan Rakyat. Ampera bagi sebuah NKRI bahkan dunia dengan masyarakat adil makmur tanpa penindasan. Bukan hanya penindasan manusia atas manusia, lamun juga hapusnya penindasan nasion atas nasion.

Tujuan sejatinya sama sebangun negara “hegemoni kediktatoran proletariat” Republik Rakyat Tiongkok  yang menekankan doktrin perjuangan kelas untuk sebuah masyarakat ideal komunis nun jauh di sana: dari masing-masing sesuai kemampuannya, kepada masing-masing sesuai kebutuhannya.

Sebuah proses, sebuah pentahapan masyarakat kapitalis maju dengan sosialisme berkarakteristik Tiongkok. Seturut  “peta jalan” masyarakat yang dibayangkan Marx, bukan seperti yang dipraktikkan negeri-negeri yang mengklaim telah merealisasikan sosialisme.

Sehingga, ketika pemerintahan Jokowi-JK sedang bergerak dari “Kanan” ke “Kiri” …

Berhenti Sejenak di “Tengah” (Solusi Cerdas dan Cantik atasi UUD 2002) 

Ya, RI yang telah “di-kanan-kan” era Soeharto-SBY oleh Jokowi-JK dengan jalan ideologis Trisakti-Masohi/Gotong Royong — yang kami sebut sebagai bukti kegagalan Doktrin Truman (politik pembendungan dan pembasmian komunisme sejagat termasuk pikiran-pikiran Bung Karno) — hemat kami pada hakikatnya sedang bergerak ke “kiri”. Lamun berhenti sejenak di “tengah”.

“Berhenti sejenak di ‘tengah’ ” yang kami maknai sebagai solusi cerdas dan cantik pemerintahan Jokowi-JK dalam mensikapi syarat-syarat material “formasi sosial kapitalisitis”/kental neolib (neoliberal) — lihat bawah — sebuah RI satu setengah dasawarsa di awal abad XXI.

Yang lebih spesifik disimpulkan oleh jauhari non-Marxis Bradley R Simpson dalam bukunya “Economists with Guns” (2008/Jakarta 2010:343):

“Rakyat Indonesia yang terus mengajukan visi berbeda tentang modernisasi negara mereka — yang berakar pada pluralisme, demokrasi, dan pembangunan seimbang — masih bergulat dengan warisan pahit pilihan-pilihan yang disusun di Jakarta dan Washington selama tahun-tahun yang menentukan ini”.

Solusi cerdas dan cantik yang hemat kami justru bermula dari visi Jokowi-JK jalan ideologis Trisakti-Gotong Royong.

Artinya, Jokowi-JK “berhenti sejenak di ‘tengah’ ” sejatinya untuk atasi konstitusi gadungan UUD 2002.

Dalam konklusi dan harapan kami,

” … jalan ideologis itu bukan Pancasila-UUD 1945 tetapi Pancasila-Pembukaan UUD 1945 alias Pancasila-UUD 2002. Solusi cerdas dan cantik bersifat politik ini, Redaksi ulangi, sejatinya sebuah “karpet merah” untuk sebuah keputusan hukum yang kelak akan membatalkan UUD 2002 tersebut kemudian diamendemen pada greget Tritunggal UUD 1945. Pada syarat-syarat material formasi sosial kapitalistis yang sedang digasak oleh formasi sosial sosialistis lewat jalan ideologis Trisakti-Gotong Royong”.

Kalimat terakhir kami dalam alinea di atas tak lain adalah juga menggambarkan “dimensi waktu” dalam konteks ” berhenti sejenak” pada proses untuk pada suatu ketika kelak (kami bayangkan) ideologi Panca Azimat (Nasakom–Pancasila–USDEK–Trisakti–Berdikari) dan cita-cita Ampera (NKRI–Masyarakat Adil Makmur–Hapusnya Penindasan Manusia/Nasion atas Manusia/Nasion) resmi menjadi visi pemerintah. Entah di era Jokowi-JK atau Jokowi pada periode kedua atau siapa pun* … kelak.

———

* Setidaknya, siapa pun kelak yang memerintah bahkan yang mencoba menegakkan kembali “kanan”-nya era Soeharto-SBY, kami yakin tidak lagi “semulus dan semudah” era pra-Jokowi-JK itu. Lantaran jalan ideologis Trisakti-Masohi/Gotong Royong yang diusung Jokowi dengan gaya “blusukan akar rumput maupun elite” (lihat bawah), telah membuat rakyat (makin) “trauma” era “Pembangunan–Reformasi”.

Era yang — sudah jadi warna keseharian tanpa perlu menunjukkan bukti-bukti empiris-ilmiah — menghasilkan sosok-sosok pejabat publik egois-rakus suka mencuri uang rakyat. Sebuah RI karut-marut. Sepintas modern maju tapi kental hedonis-komsumtif klop negeri nonprodusen. Sebuah RI tak lagi semartabat era Soekarno. Bahkan kerap dilecehkan jangankan di tingkat dunia, di regional pun tak dianggap. Apalagi bicara ekonomi dengan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan yang berdekade ajek di kisaran 28-30-an juta. Jangan lagi bicara indeks Gini, jurang kaya-miskin yang makin melebar.

Di titik kala ini, di ujung dari “berhenti sejenak di ‘tengah’ ” ini, RI resmi mengklaim diri sebagai negeri yang mulai melakoni proses nasional-demokrasi menuju sosialisme ala Indonesia, sosialisme berkarakteristik Indonesia — seperti yang “baru akan” ditegakkan Bung Karno di ujung kekuasaannya.

Inilah sesungguhnya posisi di “kiri” itu, kelak. Berakselerasinya kembali Revolusi Belum Selesai itu.

Berhenti Sejenak di “Tengah” (Basis Mendahului Superstruktur: Preseden “Meng-KA-Cepat-kan” Tokyo)

Sehingga bagi kami, pencapaian signifikan Jokowi-JK di tahun pertama ini, bukan pertama-tama pada indikator-indikator ekonomi an sich (pada dirinya sendiri).

Lamun  parameter-parameter ekonomi itu — dalam skema materialis tawaran Arief Budiman meski disadari sudah banyak berubah tetapi perannya tetap menentukan — sebagai “hasil”, sebagai “pewujudan” di tataran “bangunan bawah” (basis/kekuatan-kekuatan ekonomi/material)  yang menentukan “bangunan atas” (superstruktur/kebudayaan, hukum, kepercayaan).

Basis dengan mode produksi (mode of production) kapitalisme — konsep yang sesungguhnya abstrak, menurut Arief, yang kemudian “dibumikan” dalam  konsep “formasi sosial kapitalistis” — di era Soeharto terlebih era SBY yang kental neolib, oleh Jokowi-JK dengan jalan ideologis Trisakti-Masohi/Gotong Royong pada titik kala “berhenti sejenak di ‘tengah’ ” itu sedang “digantikan” dengan “formasi sosial sosialists”. Inilah pencapaian signifikan Jokowi-JK di tahun pertama.

Sampai di sini, kami perlu tegaskan bahwa tengarai kami di atas bahwa Jokowi-JK sedang “menggasak” formasi sosial kapitalistis dengan formasi sosial sosialistis yang mengandaikan pijakan jalan ideologis (Bung Karno), kami batasi, di sini — pada Arief Budiman.

Dalam artian untuk tidak lebih jauh menganalisis, bahkan mereferensikan pada perdebatan ilmiah lebih belakangan seputar isu basis-superstruktur. Seperti salah satunya dari Gramsci (ibid Arief: catatan kaki 9). Berharap kaum materialis-nonrevisionis muda Indonesia abad XXI akan melengkapinya.

Dan pencapaian signifkan itu dengan sangat berandang “sinyal”-nya dipancarkan Jokowi ketika dengan cerdas dan cantik, istilah kami, “meng-KA-Cepat-kan” Tokyo.

Tokyo yang dalam kaca mata kami telah “dimanjakan” sejak peristiwa Malari era Soeharto, harus menerima kenyataan bahwa bisnis sejati itu sejak dahulu kala, sejak zaman jalan sutera, adalah “win-win deals” — seperti yang coba ditawarkan ulang oleh Xi Jinping. Bukan pola VOC atau romusha saat membangun infrastruktur, atau monopolistis industri otomotif mematikan mobnas, misalnya.

Tokyo yang “enggak happy” dengan Jokowi-JK karena dianggap tidak “fair”, lupa bahwa studi kelayakan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung itu sudah mereka lakukan setidaknya dua tahun sebelumnya di era SBY dan tanpa pesaing.

Padahal bagaimana bisa di dunia (katanya) globalisasi ini kita bicara bisnis minus kompetisi kecuali posisi kita sebagai monopolis? Yang jauh-jauh hari oleh Lenin sudah dimaknai: “Bila diperlukan untuk memberikan definisi yang memungkinkan secara singkat mengenai imperialisme […] kita hendaknya mengatakan bahwa imperialisme adalah tahap monopoli dari kapitalisme.”

Jadi sekali lagi, dengan “Meng-KA-Cepat-kan” Tokyo, formasi sosial sosialistis justru sedang ditegakkan Jokowi-JK. Ketika dalam Proyek KA-Cepat Jakarta-Bandung yang dimenangi Tiongkok itu, negara keluar dari situ membiarkan berjalannya mekanisme “B-to-B” (business to business). Meski, lagi-lagi kiprah cerdas dan cantik Jokowi, negara tetap hadir secara tidak langsung yang diwakili para BUMN kedua negeri. Hal yang mustahil dilakukan dengan Tokyo. Yang dalam data terbarui adalah seorang wartawati muda media online  papan atas negeri ini berseloroh cerdas: “B-to-B” itu kan “BUMN-to BUMN”!

Artinya, setidaknya bagi kami dengan mengacu Arief Budiman (hlm 44a dan hlm 45a), saat “berhenti sejenak di ‘tengah’ “, Jokowi-JK sedang mengusahakan tegaknya formasi sosial sosialistis di mana mode produksi sosialisme lebih dominan ketimbang mode produksi kapitalisme. Atau secara lebih “teknis dan sederhana”, KA bersubsidi akan menjadi transportasi umum rakyat banyak ketimbang KA nonsubsidi yang bertiket relatif mahal (jadinya) untuk kalangan terbatas.

Lamun, kami bayangkan (dan harapkan, tentu saja) Jokowi-JK akan “beyond” Arief Budiman, dan akan “fokus” pada “peta jalan” masyarakat yang dibayangkan Marx — yang dengan cemerlang “diindonesiakan” Soekarno menjadi Ampera itu –, seperti ditegaskan jauhari Tiongkok Duan Zhongqiao:

Ekonomi kapitalis tidak bisa bergerak ke sosialisme secara spontan dan niscaya melawan sosialisme. Jika hanya ekonomi milik-negara yang menduduki posisi terdepan dalam keseluruhan ekonomi pasar, akan memungkinkan  negeri-negeri sosialis mendesak suatu orientasi sosialis bagi seluruh masyarakat dan mentransformasikan sektor ekonomi kapitalis, ketika ia  kehilangan alasan untuk eksistensi, ke dalam ekonomi sosialis.

Dengan demikian, melalui cara “membaca” pemerintahan Jokowi-JK selama setahun yang kami coba tilik dari sudut pandang kaum materialis-nonrevisionis, kami pun tidak heran menyaksikan MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat (produk UUD 2002) “against the law” menghadang Jokowi-JK dengan sosialisasi 4 Pilar (alm).

MPR era Jokowi-JK yang tak beda dengan MPR-Sementara yang 50 tahun silam berkomplot dengan nekolim memuluskan Kudeta Merangkak. Bukan saja mengeliminasi Soekarno dari kekuasaan juga fisiknya termasuk ajaran-ajarannya yang — “berlindung” di balik lema komunisme — dilibas secara “legal” (Tap MPRS XXV/1966), sampai hari ini.

MPR yang dalam pandangan kami tidak menyangka bahwa Xi Jinping yang diberi kesempatan mendeklarasikan Jalan Sutra Maritim abad ke-21* pada 2 Oktober 2013 di Senayan, Jakarta, di era pemerintahan SBY, bukan saja “gayung bersambut” malah berkembang “sedemikian jauh” di tangan seorang Joko Widodo yang bagi kami tak lain adalah “Soekarno abad XXI”.

———

* Sebagai bagian dari gagasan akbar RRT menawarkan model (versi Pepe Escobar) “pengintegrasian Eurasia” di luar model “perluasan Empire of Chaos” dalam “One Belt, One Road”: OBOR.

Sehingga menghadapi rakyat yang sedang merapatkan barisan di bawah kepemimpinan “Sang Pemimpin Besar Revolusi abad XXI”,  MPR notabene produk konstitusi gadungan UUD 2002, tak punya pilihan lain …

Ironi sebuah “Majelis Permusyawaratan Rakyat” …

Terjerembab makin dalam di kubangan para kriminal, kaum pelanggar hukum begitu dari hari ke hari keukeuh sosialisasi 4 Pilar (alm).

Kiprah sejatinya menghadang sebuah RI Hebat, sebuah Ampera itu sendiri … sedini mungkin.

Berhenti Sejenak di “Tengah” (“Blusukan” Elite: Merapatnya Kekuatan Pemukul & Keyakinan Mayoritas, “Dirangkulnya” Kaum “Kiri”)

Menutup risalah ala pewarta warga menyambut setahun Jokowi-JK, bagi kami “Soekarno abad XXI” memiliki “senjata pamungkas” yang bernama “blusukan”.

Blusukan yang hemat kami tidak hanya untuk mencermati situasi riil di tingkat akar rumput, ternyata juga efektif untuk hal yang sama di level elite khususnya di kalangan pemerintah sendiri.

Ketika kekuatan pemukul Tentara Nasional Indonesia — salah satu institusi paling strategis dalam menjamin kehadiran negara — telah “menyatu” dengan visi jalan ideologis Trisakti-Masohi/Gotong Royong seperti tampak dari tulisan Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Luhut B Panjaitan “TNI Menuju 70 Tahun Kedua”. TNI yang hakikat eksistensinya diingatkan kembali oleh Jokowi yang — mengutip Jenderal Besar Sudirman — hubungan TNI dengan rakyat adalah ibarat ikan dan air.

Ketika (salah satu) kekuatan dari kubu keyakinan mayoritas juga mendukung positif setahun pemerintahan Jokowi-JK. Seperti ungkapan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj  “Sampai saat ini saya lihat Pak Jokowi masih konsisten, masih tinggi semangatnya, optimis. Maklum bahwa pelemahan ekonomi ini akibat global juga kan.”

Ketika kaum “kiri” untuk tidak menyebut kaum revisionis, “dirangkul” oleh Jokowi. Sosok-sosok yang dikenal “vokal” terhadap pemerintahan baik Soeharto maupun SBY termasuk pada Jokowi-JK sendiri serta tentunya yang berpredikat relawan.

Mereka yang menjabat sebagai komisaris BUMN maupun masuk dalam Kabinet Kerja. Yang hemat kami, bukan sekadar “balas jasa”, lamun lebih dari itu dan ini yang kami maksudkan “blusukan elite”.

“Kecerewetan” mereka, ideologi mereka sejatinya berseberangan dengan pikiran-pikiran “kiri” Soekarno yang “melampaui zaman” (baca: beda-beda tipis dengan konsep Reformasi Pasar Deng Xiaoping sedekade kemudian) yang malah dimaknai “kuno”, jadul. Akan sangat berguna bagi Jokowi dalam “memungut” data-data blusukan di kalangan elite.

Demi menjaga keajekan jalan idelogis itu. Lantaran sejarah perjuangan rakyat tertindas di negeri-negeri bekas jajahan yang berhasil eksis di abad XXI ini** mengajarkan bahwa adalah partai pendukung pemerintah yang berperan strategis.

———

**Negeri-negeri, pinjam Vince Sherman, “sosialisme sesungguhnya ada”: RRT, Kuba, Vietnam, RDR-Korea, Laos. Atau setidaknya seperti Venezuela dan Zimbabwe.

Tetapi Jokowi, tak memiliki itu. Hal yang sudah dijawab Xi Jinping ketika Jokowi bertanya apa kiat sukses RRT.  “Pertama beliau sampaikan partai harus bersatu karena menguatkan negara. Di mereka bisa, di kita itu yang sulit. Ini yang pertama langsung sulit,” seloroh Jokowi..

Ironinya, parpol pendukung Jokowi-JK malah bersinergi dengan “Ironi sebuah ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’ “.

Sehingga “blusukan elite” yang tak terpisahkan “blusukan akar rumput”, adalah senjata pamungkas Jokowi — sambil menunggu siapa tahu lahirnya partai pelopor, parpol manipolis, partai politik baru berideologi USDEK. Semoga.

.

SELAMAT KEPADA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

20 OKTOBER 2014 — 20 OKTOBER 2015

.

ooOoo

Tinggalkan komentar