AS, UNCLOS dan Militerisasi Laut Tiongkok Selatan 

.

Oleh Jude Woodward

.

Sumber: Blog Jude Woodward New Cold War, 20 Juli 2016

(Sudah dimuat pula di situs Socialist Action, 21 Juli 2016)

.

Dibahasaindonesiakan oleh Redaksi Dasar Kita

 

Pada 12 Juli [2016 – Red DK], Mahkamah Arbitrase The Hague menjatuhkan keputusan atas kasus yang diajukan di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) [UN Convention on the Law of Sea] oleh Filipina terhadap Tiongkok. Dalam deklarasi pre-arranged [yang diatur sebelumnya], Mahkamah menetapkan secara komprehensif [the Court ruled comprehensively] terhadap klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Dari awal, Tiongkok menolak kewenangan Mahkamah. Ketika Tiongkok mendaftar untuk UNCLOS pada 1996, ia juga menggunakan haknya berdasarkan pasal 298 Konvensi untuk memilih keluar dari proses arbitrase. Hak hukum untuk melakukan ini adalah tak terlawan [legal right to do this is unchallenged] dari Tiongkok yang berarti bahwa setidaknya Tiongkok adalah benar untuk mengatakan bahwa putusan tersebut tidak mengikat. Tapi ada juga kasus yang kuat [menunjukkan] bahwa mahkamah melampaui kewenangannya yang secara de facto mengatur isu-isu kedaulatan yang disengketakan.

Akibatnya, keputusan tersebut tidak akan berdampak apa-apa untuk menyelesaikan sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Tapi hal ini tidak pernah diniatkan. Tujuan sebenarnya untuk mengajukan ke Mahkamah Arbitrase adalah untuk menginternasionalisasikan sengketa tersebut, menjustifikasi keterlibatan AS dan, khususnya, memberikan alasan untuk peningkatan eksponensial dalam kehadiran Angkatan Laut  AS di Laut Tiongkok Selatan.

Sejak sekitar 2009, dengan akibat dari krisis keuangan dunia [yang] memercepat laju [pertumbuhan] di mana Tiongkok menyusul AS sebagai perekonomian terbesar dunia, pemerintah AS mengambil keputusan untuk [menerapkan] kebijakan luar negeri ‘poros’ ke Asia [to ‘pivot’ U.S. foreign policy to Asia], dengan tujuan ‘melestarikan keunggulan AS [preserving U.S. primacy] dalam sistem global … dalam menghadapi meningkatnya kekuatan Tiongkok [Chinese power]’.

Dalam memulai hal ini, strategi mendesak AS [U.S. strategists urged]: ‘Tidak ada yang akan lebih baik mempromosikan masa depan strategis dan strategi besar Amerika Serikat terhadap Tiongkok  daripada pertumbuhan ekonomi yang tangguh’. Tapi ini tidak terjadi. Sementara Amerika Serikat telah memainkan peranan sentral pada Trans-Pacific Partnership (TPP) – sebuah usulan perjanjian perdagangan bebas antara AS dan beberapa negara lingkar Pasifik [Pacific Rim] yang mengecualikan Tiongkok – kenyataannya adalah bahwa perekonomian Tiongkok jauh lebih dinamis dan lebih menarik daripada AS.  Suatu persaingan murni-ekonomi dengan Tiongkok adalah salah satu di mana AS akan kehilangan.

Oleh karena itu, dalam ‘strategi besar’  terhadap Tiongkok, AS dipaksa untuk mengandalkan lebih banyak dan lebih banyak lagi pada front militer, di mana ia masih memiliki suatu keuntungan strategis akbar atas Tiongkok dan akan dipunyai beberapa dasawarsa lagi ke depan.

Dua arena kunci untuk meningkatkan tekanan militer AS atas Tiongkok adalah Laut Tiongkok Selatan dan timur laut Asia. Beberapa hari sebelum keputusan The Hague itu, Korea Selatan sepakat untuk memasang sistem pertahanan rudal AS THAAD, ditengarai untuk melawan Korea Utara, tetapi dengan jangkauan 2000 km, itu jelas ditujukan pada Tiongkok.

Pada 2010, AS menyatakan [U.S. declared] bahwa Laut Tiongkok Selatan adalah dalam lingkup dari ‘kepentingan nasional’, sebagai prelude untuk meningkatkan kehadiran militernya. Mengintensifkan pengawasan angkatan laut AS; sorties udara AS untuk pengintaian tertutup meningkat dari sekitar 260 pada 2009 menjadi lebih dari 1.200 pada 2014; lebih dari 100 pesawat AS telah mendarat setiap bulan di Clark, bekas pangkalan angkatan udara AS di Filipina.

Pada 2003 ada enam kunjungan kapal-kapal perang AS ke pelabuhan-pelabuhan Malaysia; pada 2012 ada lebih dari 50. Baru-baru ini, kapal-kapal angkatan laut AS telah berlayar dalam-jarak 12 mil laut dari instalasi Tiongkok. Kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat AS juga telah sering membuat yang disebut ‘lintas damai’ transit melalui wilayah perairan dan wilayah udara Tiongkok. Jepang juga telah mengancam akan mengirimkan kapal-kapal perang untuk ‘membela kebebasan navigasi’ di Laut [Tiongkok Selatan] tersebut.

Pada 2012, Manila setuju AS bisa kembali ke pangkalan angkatan laut tua Subic Bay yang telah diusir pada 1992. Australia sepakat untuk pangkalan Marinir AS yang baru di Darwin, dalam jarak mencolok dari Laut Tiongkok Selatan.

Menggunakan isu klaim Tiongkok ke Mahkamah Arbitrase adalah langkah lebih lanjut dalam memiliterisasi sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok menggambarkannya sebagai ‘provokasi politik di bawah jubah hukum’, dipicu oleh AS dengan sebuah boneka ikhlas [a willing puppet] Filipina. [Sejak naiknya Rodrigo Duterte Juni 2016 yang diberi ucapan selamat oleh Xi Jinping, mengagetkan, boneka itu tampaknya mulai tak ikhlas, AS dituduh pengimpor terorisme ke Timteng, perang Irak-Libia-Suriah adalah sia-sia ; Ramos pun diutus ke Beijing pascakeputusan The Hague].

Hal itu memecah [hubungan] bilateral dan rezim negosiasi pimpinan ASEAN yang telah memastikan stabilitas di Laut tersebut selama 20 tahun terakhir ini yang memungkinkan sebuah ‘era emas’ dalam hubungan Tiongkok-ASEAN ‘ [golden era’ in China-ASEAN relations] sejak 1991 hingga akhir 2010, di mana selama itu kerja sama bilateral berkembang dan perdagangan menggelembung hampir 37 kali, dari yang tak kurang dari $ 8 miliar menjadi $ 300 milyar ‘. PDB [GDP] Tiongkok naik dengan cepat dan sebagian besar ekonomi Asia Tenggara terekspansi lebih dari lima kali lipat.

Pendekatan Tiongkok dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan sudah ditata oleh Deng Xiaoping. Ketika Tiongkok akhirnya menandatangani perjanjian perdamaian dengan Jepang pada 1978, Deng mengatakan sengketa kepulauan Senkaku/Diaoyu dapat dibiarkan bagi  ‘kebijaksanaan generasi mendatang’ untuk menemukan solusi yang mereka tidak bisa [capai saat itu]. Dia menempuh hal yang sama dalam pendekatan pada Laut Tiongkok Selatan [approach to the South China Sea], menuturkan kepada Presiden Aquino dari Filipina pada 1988: ‘Kami dapat menyisihkan masalah ini untuk sementara waktu dan mengambil pendekatan mengejar pembangunan bersama,’ dan jangan biarkan ‘masalah ini menghalangi [stand in the way] persahabatan Tiongkok dengan Filipina dan dengan negara-negara lain.’

Dipimpin oleh Tiongkok, pendekatan ini sebagian besar diikuti oleh pihak-pihak utama lainnya – Filipina, Malaysia, Brunei dan Vietnam. Atas dasar ini pada 2002, Tiongkok dan ASEAN sepakat untuk suatu Kode Etik bagi Pihak-Pihak [Code of Conduct for Parties] di Laut Tiongkok Selatan, yang menangguhkan persoalan kedaulatan dan diatur dalam protokol tak-mengikat untuk eksplorasi dasar laut bersama dan kegiatan lainnya di wilayah yang diperebutkan. Ini bermakna sengketa pulau-pulau dan karang-karang tersebut berada di latar belakang [were in the background], tetapi ‘tanpa lepas kendali’ [‘without spinning out of control’].

Kerangka kerja perjanjian bilateral dan protokol dipimpin ASEAN [ASEAN-led protocols] ini sama sekali tidak mencegah masalah yang timbul. Ada banyak pelanggaran Kode Etik ASEAN itu – terutama bukan oleh Tiongkok – tetapi hal-hal ini dijaga dalam batas-batas [kode tersebut].

Tapi setelah AS memasuki cekcok mulut itu, sengketa historis ini tidak bisa lagi dibiarkan pada mereka yang terlibat langsung dan [AS] bersikeras pada keterlibatan senjata internasional yang besar – bukan hanya AS sendiri tapi Jepang dan Eropa – kerangka kerja itu mulai ambruk. Terutama ketika setiap orang yang berhadapan dengan klaim Tiongkok didukung oleh pergelaran kasat mata kekuatan angkatan laut AS.

Memanfaatkan UNCLOS untuk mencoba mendelegitimasi klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan adalah ironis, berhubung peran utama Konvensi 1982 [1982 Convention] adalah mengizinkan kekaisaran kolonial lama [old colonial empire] menggunakan sisa-sisa pulau mereka yang tak lagi berguna [atrophied] untuk menentukan luasnya lautan di dunia, [dikenal] sebagai ‘zona ekonomi eksklusif’ mereka. Konvensi 1982 [yang] telah mengintroduksi ‘perubahan revolusioner pada hukum laut’ dengan menambahkan pada penetapan sebelumnya 12 mil laut (22 kilometer) wilayah perairan, [menjadi] ‘zona ekonomi eksklusif’ (ZEE)[EEC, eclusive economic zones] sebuah sebutan baru yang jauh lebih ekstensif, memberikan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi perairan dan dasar laut 200 mil laut jauhnya dari apa yang didefinisikan sebagai ‘daratan’ [‘land’].

Sebutan baru ZEE ini yang menambah urgensi dan gereget untuk bentrok antara Inggris dan Argentina selama Falklands/Malvinas pada 1982. ZEE gabungan dari Kepulauan-kepulauan Falklands, South Georgia dan Sandwich memberikan hak Inggris atas lebih dari dua juta kilometer persegi Atlantik Selatan, hampir tiga kali ZEE Inggris itu sendiri (774.000 km2). Di Pasifik, tidak termasuk pantai barat AS, Alaska dan rantai Kepulauan Aleutian, ZEE AS sekitar wilayah-wilayah pulau yang lainnya sebesar 5,8 juta km2. Dibandingkan dengan ini, klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan adalah kecil, apalagi itu bukan pos-terdepan [outpost] dari bekas kekaisaran, tapi halaman belakangnya sendiri. [1]

Yang lebih ironis lagi adalah bahwa sementara AS telah berbahagia menggunakan definisi-definisi UNCLOS untuk mengklaim hak eksklusif atas kawasan luas Samudera Pasifik dan sekarang menuntut Tiongkok yang bergeming atas hasil di The Hague, AS sendiri adalah salah satu dari segelintir negara-negara yang belum pernah meratifikasi UNCLOS, tidak seperti Tiongkok.

Lamun, sementara putusan itu mungkin ditujukan untuk melawan Tiongkok, dalam beberapa bidasan [/respons] secara sederhana menggarisbawahi pelemahan relatif yang kontinu atas posisi AS di region tersebut. Antusiasme internasional atas putusan The Hague itu telah diredam untuk [tidak] menyebut sedikit. ASEAN gagal bahkan sepakat bahwa putusan itu ‘dapat berguna’ dan memutuskan untuk tidak menyatakan apa-apa; Singapura hanya ‘mencatat’-nya, seperti dilakukan Korea Selatan; Vietnam tidak menyebut putusan tersebut tetapi menyerukan untuk menerima hukum internasional. UE hanya bisa setuju dengan catatan bahwa putusan itu ditujukan untuk melawan Tiongkok, sementara pernyataan dari KTT Asia-Eropa Juli [2016] di Mongolia tidak menyinggung sama sekali. Taiwan menolaknya dalam term yang sekuat Tiongkok Daratan.

Jadi keputusan itu mungkin menjadi pukulan terhadap status yang dirasakan dari klaim Tiongkok di Laut tersebut, [tetapi] hal itu tidak berarti meninggalkan [Tiongkok] terisolasi.

.

Catatan [tidak dibahasaindonesiakan]:
[1] Peter Nolan, Imperial Archipelagos, New Left Review, No 80, March-April 2013.

ooOoo

.

.

Tinggalkan komentar