Selamat Jalan “Demokrasi”, Selamat Datang Masohi*

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

Masyarakat enggak mau ikut. Mana peduli siapa yang menang siapa yang kalah. Apalagi orang Jakarta 50 persen saja susah. Percayalah, masyarakat kita enggak bodoh lagi,” ujar Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, Plt Gubernur DKI.

Memang kabar Kompas.com (12/7/2014) itu, konteksnya Ahok membela warganya yang separuhnya “susah” itu yang tidak mau ikut-ikutan tarung dua kubu peserta Pilpres 2014. Kompetisi yang makin “ memanas” terlebih pascalansiran hasil beberapa lembaga Quick Count terpercaya yang mengungguli pasangan Jokowi-JK.

Tetapi setidaknya bagi Redaksi Dasar Kita, kalimat Ahok ini memiliki “sayap” kalimat lainnya. Bahwa kaum tak berpunya boro-boro pikirkan politik. Urusan “perut”, urusan subsitensi lebih mengemuka.

Hal yang hemat kami seolah mengingatkan kita pada para founding father ketika mereka menyepakati “sistem sendiri” khas Indonesia. Sistem semi-presidensial, yang terwujud dalam konstitusi awal 18 Agustus 1945.

Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan.

Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.

Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat.

Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR.

Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.

[…]

Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektivitas yang tinggi.

(Cuplikan orasi Prof Sofian Effendi di Universitas Pancasila, 2006, simak hlm 2b.2; cetak tebal dari kami–Red DK).

Atau menurut Kiki Syahnakri menyoal pemilihan langsung ini:

Dari segi politik, sistem politik yang ”ultraliberal”, menggunakan voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia.

Bung Hatta menegaskan bahwa ”Prinsip demokrasi adalah keterwakilan yang mengedepankan egalitarianisme”, sementara praktik demokrasi liberal yang mengusung ”keterpilihan” dewasa ini justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu.

Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Amungme, Dani, Baduy, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight).

Keterwakilan juga merupakan perekat bagi bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Dengan tidak terwakilinya berbagai suku dan golongan di parlemen, ikatan kebangsaan pun menjadi longgar.

(Kutipan Kiki Syahnakri “Matinya Keindonesiaan Kita”, simak hlm 2b.4; cetak tebal dari kami–Red DK)

Dan Dimyati Hartono memberikan  sudut pandangnya terkait pemilihan langsung.

c. Sistem Pemilu

Pemilu adalah pengejawantahan kedaulatan rakyat dan wahan penyaluran aspirasi rakyat yang prinsip dan sistemnya telah ditetapkan dalam UUD 1945 yang asli, yaitu kedaulatan rakyat berdasarkan atas Pancasila dan dalam sistem kedaulatannya dijelaskan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan melalui permusyawaratan/perwakilan.

Dalam UUD 1945 yang asli, Pemilu ditujukan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, tidak untuk memilih Presiden. Sedangkan, Presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di MPR.

Kemudian, Presiden dipilih oleh MPR melalui musyawarah dengan mufakat, tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Inilah yang dinamakan sistem perwakilan.

Dan sistem ini disebut kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan—sila keempat Pancasila.

Dalam amendemen pasal 6 A, hal itu diubah, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

UUD 1945 hasil amendemen tentang Sistem Pemilu ini pun bertentangan dengan, dan menyimpang dari, prinsip konstitusi dan Dasar Negara yang keempat.

Pasal 22 E menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis tentang pemilu, sedangkan seharusnya menurut UUD 1945 yang asli, UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok saja.

Apa yang diatur secara teknis dalam pasal 22 E ayat (1) juga pasal 6 A hasil amendemen ini, adalah sebuah penyimpangan terhadap sistem dan prinsip konstitusi yang dianut oleh UUD 1945 yang asli karena UUD hasil amendemen telah mengatur hal-hal teknis tentang Pemilu seperti dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Hal ini diperjelas pada pasal 6 A ayat (4) yang menyatakan Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung.

(Dikutip dari Prof. Dr. M. Dimyati Hartono SH “Problematik & Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009; hlm 73-74. Merupakan bagian dari sub-subbutir c. Sistem Pemilu yang adalah subbutir 5. Dari Segi Politik dari Bab VII Problematik Amendemen UUD 1945 hlm 51 – 83. Cetak tebal dari kami kecuali subjudul butir c di atas–Red DK)

Dan dari Dimyati Hartono pula mafhumlah kita bahwa amendemen atas UUD 1945 yang asli ternyata juga berdampak pada lembaga sangat bergengsi yakni Mahkmah Konstitusi, MK.

(Yang dari data terbarui pascakeputusan KPU Komisi Pemilhan Umum pada 22 Juli 2014 yang memenangkan pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Namun hasil keputusan KPU dimaksud digugat oleh pasangan Prabowo-Hatta. Malah pasangan ini mengklaim sebagai “perjuangan baru dimulai …”; simak Kompas.com, 20/8/2014

Hal ini terbukti. Sekalipun MK kemudian menolak seluruh gugatan dimaksud—bersifat final dan mengikat, tak ada cara untuk mengubahnya—karena dinilai Prabowo-Hatta tidak bisa membuktikan dalil permohonannya; simak hlm 47b. Prabowo-Hatta pada dasarnya tetap tidak menerima putusan MK tersebut; simak Kompas.com, 22/8/2014 Pk 6.11 WIB & Kompas.com, 22/8/2014 Pk 06.30 WIB).

MK yang kemudian menjadi “sangat strategis” bagi perjalanan ke depan nasion akbar ini, dalam entitasnya sebagai lembaga hukum tertinggi terkait perselisihan hasil Pemilu sesuai UUD 2002. Dalam pemahaman ini, menarik menyimak kutipan Dimyati Hartono berikut.

a.6. Kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK)

Sebelum membahas lebih lanjut tenang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru dalam NKRI yang dilahirkan oleh amendemen dan tertuang dalam Pasal 24 ayat 2 sebagai salah satu kekuasaan kehakiman, di depan telah dibicarakan tentang arus globalisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia.

Sebuah konsepsi global yang secara konseptual dan sistematis disuntikkan ke negara berkembang dan miskin, tetapi kaya sumber daya alam.

Lima (5) slogan globalisasi yang sangat terkenal adalah freedom, transparency, democratization, human rights, and rule of law, di mana slogan-slogan tersebut berisi konsep-konsep paham neoliberalisme, neokapitalisme, neokolonialisme.

Dengan semboyan-semboyan tersebut dijalankan program infiltrasi dalam tubuh negara kita, yang antara lain melalui reformasi yang meliputi democratic reform, constitutional reform, and yudicial reform.

Kalau kita kaitkan dengan 5 (lima) kesepakatan MPR untuk melakukan amendemen, timbul pertanyaan apakah benar memang kaum reformis di MPR kurang memahami tentang konstitusi negara kita? Sadar atau tidakkah mereka telah diperalat oleh kaum globalis yang menggunakan jubah reformasi.

Perubahan UUD 1945 yang tidak dilakukan dalam bentuk adendum, yakni dengan cara tambal sulam, adalah wujud dari constitutional reform.

Perubahan yang mendasar tentang demokrasi dari kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menjadi pemilihan langsung, adalah hasil dari democratic reform.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah hasil dari yudicial reform.

Sangatlah sulit untuk menerima pendapat bahwa kaum reformis tidak memahami sistem dan prinsip konstitusi negara sendiri. Tetapi kalau mereka terbius oleh arus globalisasi, tidak heranlah jika lahirnya 5(lima) butir kesepakatan MPR ini telah merombak konstitusi yang terkait dengan pokok-pokok pikiran tentang negara dan sistem pemerintahan negara.

Dengan hapusnya Penjelasan (UUD 1945—Red DK), kaum reformis memiliki kebebasan untuk mengacak-acak sistem yang dianut oleh UUD 1945, termasuk sistem pemerintahan. Dengan demikian masuklah paham-paham baru yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar kenegaraan yang kita miliki.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru yang dibentuk oleh amendemen, yang berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusannya yang bersifat final (dan mengikat—Red DK).

MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 hasil amandemen, yaitu pembubaran parpol dan memutuskan perselisihan hasil Pemilu.

Bahkan lebih hebat lagi, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Kewenangan-kewenangan tersebut sebenarnya merupakan masalah-masalah yang fundamental karena terkait dengan masalah Undang-Undang Dasar dan berada pada ranah poilitik yang terkait dengan masalah kedaulatan rakyat.

Ironisnya, dalam Amendemen Pasal 24 ayat 2, Mahkamah Konstitusi digolongkan sebagai bagian dari kekuasaan Kehakiman, di samping Mahkamah Agung dan Badan Peradilan lain, seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih besar daripada Mahkamah Agung sebab Mahkamah Agung sebagai Peradilan puncak hanya berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang.

Sedangkan, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD.

[…]

Dikatakan bahwa dasar pengambilan keputusan oleh pembuat undang-undang adalah soal politik sebab pengambilan keputusan tersebut berkaitan dengan kedaulatan rakyat yang ada di tangan MPR/DPR dan Presiden yang memang mempunyai kewenangan politik.

Padahal, kalau dilihat dari sistem kenegaraan, kekuasaan kehakiman adalah salah satu dari kekuasaan negara di samping legislatif dan eksekutif. Oleh sebab itu MK merupakan sebagian dari kekuasaan kehakiman.

Selain itu, MPR yang telah di-down grade dan dikebiri kewenangannya oleh amendemen, posisinya masih tetap menjadi lembaga legislatif, yang bersama-sama dengan DPR dan DPD, memiliki otoritas politik yang bersama-sama dengan pihak eksekutif, dalam hal ini Presiden, menjadi pembuat undang-undang.

Undang-undang adalah produk politik yang berdasar keputusan politik, dalam bentuk yuridisnya, adalah sebuah undang-undang.

Apakah layak Mahkamah Konstitusi, sebagai sebuah lembaga yang ada di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman dan tidak mendapat delegasi kewenangan politik dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, mempunyai kewenangan untuk menguji sebuah undang-undang yang nerupakan produk politik yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai delegasi dari rakyat (MPR/DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat)?

Di sinilah kontradiksi dan problematika konseptual yang timbul dari amendemen yang melahirkan Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Dasar yang asli tidak mengenal lembaga ini karena sistem konstitusi UUD yang asli telah jelas.

Dalam sistem konstitusi dan prinsip yang dianut, dalam teknik perundang-undangan, bahwa bila ada undang-undang baru yang bertentangan dengan peraturan sebelumnya yang telah ada, maka undang-undang yang lama menyesuaikan atau tidak berlaku lagi, dan bila peraturan yang lebih rendah peringkatnya bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka demi hukum, undang-undang yang lebih rendah peringkatnya itu batal.

Dalam praktiknya MK tidak hanya memutus perkara politik yang berkaitan dengan UUD 1945, melainkan juga berwenang memutuskan untuk mengubah, membatalkan undang-undang yang merupakan produk politik yang dihasilkan oleh lembaga legislatif (DPR) bersama eksekutif (Presiden), bila undang-undang tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga di bidang kekuasaan kehakiman yang merupakan lembaga yudikatif, telah diberi kewenangan yang sangat besar untuk mengubah/membatalkan keputusan politik yang dibuat oleh wakil-wakil pemegang kedaulatan rakyat.

Awal kontradiksi dan problematik tentang Mahkamah Konstitusi ini timbul ketika MPR telah melakukan kesalahan dalam salah satu butir kesepakatannya, yakni menghapus Penjelasan UUD 1945.

Dengan demikian, sistem dan prinsip konstitusi yang dianut oleh UUD 1945 yang asli tidak dipakai lagi sebagai acuan dan pokok-pokok pikiran tentang negara dan sistem pemerintahan yang tercantum dalam Penjelasan juga telah diabaikan.

Kalau hal ini kita tarik lebih jauh dalam konteks globalisasi, maka kaum reformis telah berhasil menjadi kepanjangan tangan kaum globalis untuk melakukan constitutional reform, democratic reform, dan yudicial reform, yang tujuan akhirnya adalah memerlemah struktur penyelenggaraan negara dan kedaulatan rakyat dan sebaliknya memerlancar arus pasar bebas dan modal raksasa bagi kaum kapitalis global yang bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan kaum kapitalis global dalam rangka menguasai sumber daya alam untuk kepentingan mereka.

Problematik konstitusional yang dihadapi bangsa ini adalah apakah lembaga legislatif masih mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan kedaulatan rakyat? Ataukah hal tersebut dipindahkan ke Mahkamah Konstitusi?

Karena kewenangan tertinggi dengan adanya amendemen bukan lagi berada di tangan lembaga legislatif dan pemerintah (Presiden), yang menurut kaum reformis alasan pembentukan dan pemberian kewenangan yang demikian besar kepada Mahkamah Konstitusi adalah di dasarkan pada pola pemikiran untuk menegakkan Supremasi Konstitusi.

Pemikiran ini jelas salah, sebab menurut sistem ketatanegaraan kita, yang dianut dalam UUD 1945 yang asli sebagai perjuangan bangsa sejak 1945, berdaulat adalah rakyat, sedangkan konstitusi dibuat setelah rakyat berdaulat.

(Ibid Dimyati Hartono, hlm 67-71)

Kawan Pembaca Budiman, ini salah satu lagi argumentasi berasal dari Dimyati Hartono yang menyoal, untuk kesekian kali mencagun (muncul) di blog ini, konstitusi kita yang “bermahabencana”: UUD 2002. Alias konstitusi yang bukan amendemen UUD 1945. Diametral dengan konstitusi 18 Agustus 1945 itu.

Sehingga, seperti tajuk tulisan Redaksi, kita simak ulang kutipan utuh dari Pengantar Redaksi 14 Juli 2014 untuk pengeposan bulan ini:

Kurang lebih sepekan ke depan, negeri berpopulasi terbesar ke-4 dunia ini akan memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Yang bagi Redaksi, sudah sejak kesediaan Jokowi “nyapres”, meyakini bahwa beliau bakal terpilih sebagai RI-1.

Dan ketika pesaing terdekatnya dan satu-satunya itu makin blingsatan pascalansiran hasil Quick Count beberapa lembaga yang kredibel. Malahan begitu “jorok” dan “kasar” mereka mengkounter dengan menghadirkan lembaga serupa yang takluk sebagai “orang upahan”.

Maka begitu urusan hitung cepat ini “bersinergi” dengan “koalisi bagi-bagi kursi”, sempurnalah “demokrasi” bukan milik kita itu. “Demokrasi” yang “digenapi” justru oleh sang calon yang sejatinya levelnya sudah negarawan. Sudah “beyond” gubernur bupati apalagi camat atau lurah bahkan menteri sekalipun–di Nusantara tercinta ini

Sepasang calon yang (seorang) berlatar belakang pewira tinggi pasukan elit paling bergensi di negeri kita serta yang sipilnya bukan orang baru di pemerintahan, justru menghempaskan dan membuyarkan “demokrasi” itu.

“Demokrasi” yang dengan senyap tanpa heboh lewat “penyelundupan hukum” namun tampil powerful: UUD 2002. Ditengarai kuat diintervensi NDI The National Democratic Institute Madeleine Albright. Konstitusi gadungan yang dalam 10 tahun terakhir ini membuat sebuah RI kental neolib. Jauh dari Trisakti dan gotong royong ala Visi Misi Jokowi-JK.

Alhamdulillah.

Selamat jalan “demokrasi”, selamat datang Masohi (* serapan Melayu Ambon bermakna gotong royong).

Setidaknya, seperti ungkapan “Abdee ‘Slank’: Setelah Puluhan Tahun, Akhirnya Kita Punya Harapan”. Dan “harapan” itu bernama masohi: saripati Pancasila.

ooOoo

 

Tinggalkan komentar