Era Presiden Joko Widodo

Saatnya Bicara Lagi Sosialisme Indonesia? (1)

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

.

Pancasilais Sejati dan Sosialisme Indonesia

.

Oleh Redaksi Dasar Kita

.

 

Di era Presiden Joko Widodo, saatnya bicara lagi Sosialisme Indonesia?

Pertanyaan dari dan akan dijawab oleh kami Redaksi Dasar Kita ini, tentunya mengandaikan dua “entitas” di situ.

Sosok Jokowi alias Joko Widodo dan Sosialisme Indonesia.

Di samping dengan frasa “bicara lagi”, bermakna “dulu pernah” dibicarakan bahkan pernah dilakoni Sosialisme Indonesia itu. Untuk tilikan lebih jauh terkait isu ini, silakan simak risalah kami di hlm 2a.

Sebelum menilik lebih jauh, Redaksi ingatkan bahwa risalah ini seperti tulisan-tulisan kami di blog ini, adalah dalam format jurnalis. Bukan ilmiah jadinya. Malahan kali ini bukan dalam sajian laporan utama (laput) yang komprehensif, melebar, menukik cukup dalam.

Ini sekadar lemparan sebuah isu khas-pewarta warga terkait ideologi awal kita pada 18 Agustus 1945.

Ketika hari-hari ini baru saja sebagian besar dari kita termasuk Redaksi “telah memilih” pada 9 April 2014 (simak hlm 42h). Dan makin yakin, setidaknya bagi kami, munculnya Presiden RI Joko Widodo yang bahkan dengan tugas pertamanya batalkan demi hukum UUD 2002 (simak hlm 42h).

Jokowi: Pancasilais Sejati   

Kita mulai dari Jokowi.

Yang mengemuka adalah sosoknya yang Pancasilais sejati. Tidak pertama-tama dalam ucap lamun dalam laku. Dalam kepraksisan beliau.

Sementara Redaksi sadar bahwa istilah “Pancasilais sejati” tidaklah populer saat ini.

Seperti halnya pengalaman kami dengan seorang kawan berpandangan “kiri” (baca: didasarkan pada doktrin Marxian). Yang menolak secara halus, berkilah di balik penguasa junta militer Suharto. Ketika Redaksi mengajaknya sebagai kaum “kiri” agar menyoal Pancasila-UUD 1945 dalam konteks UUD 2002—nota bene hasil intervensi imperialis itu.

“Teman-teman kalau bicara Pancasila langsung ‘alergi’ karena terkait Suharto,” ucap kawan itu. Tapi …, kami mencoba berargumen, bukankah itu tugasnya kaum “kiri” agar membuyarkan omong kosong tersebut. “Lantaran, seperti kata Arief Budiman [di HIPIS Palembang, 1984; simak hlm 2a], masyarakat sosialis sangat kuat tercermin dalam Pancasila-UUD 45,” lanjut kami bersemangat yang ditanggapi dingin membisu dengan senyum tipis  merendahkan.

Belakangan, dari seorang kawan “kiri” lainnya yang berbisik ia sedang getol-getolnya mengutak-atik pengantar ML (Marxisme-Leninisme), bahwa kawan kami yang pertama itu seorang revisionisme.

Kami langsung paham. Soalnya blog ini pernah memuat versi Bahasa oleh Redaksi atas tulisan VI Lenin “Marxisme dan Revisionisme” (simak hlm 21b). Dengan salah satu frasanya yang Redaksi gunakan terhadap kaum itu “memusuhi Marxisme di dalam Marxisme itu sendiri”. Atau juga kalimat lainnya (masih dari tulisan Lenin itu) yang dengan tepat menggambarkan kaum revisionis itu: “gerakan adalah segala-galanya, tujuan akhir tidak ada sama sekali”.

Bahkan kritik yang sama ensensial lagi atas kaum revisionis atau kaum Trotskyit itu datang dari seorang aktivis berpendekatan ML di Amerika Serikat Vince Sherman: “… fungsi mereka secara de facto sebagai perisai-kiri imperialisme” (simak hlm 17a).

Redaksi malah sempat menurunkan dua tulisan bersambung sebagai sikap kami atas pandangan salah seorang kaum revisionis kita–konon kondang sebagai “kiri militan” mantan anggota parpol dikenal “kiri” di era Suharto, yang (waktu itu) studi pasacasarjana di AS–seputar isu imperialisme (simak hlm 32a dan hlm 33a).

Sehingga, tidaklah heran setidaknya bagi Redaksi, kawan revisionis itu tak bernafsu bicara konstitusi awal kita 18 Agustus 1945 itu. Sekalipun jelas-jelas gagasan sebuah masyarakat sosialisme Indonesia tercermin kuat di situ. Pasalnya,  kaum ini seperti menurut Sherman di bagian lain tulisannya itu “Faksi-faksi Trostkyit […] tidak pernah memimpin massa dalam revolusi justru karena mereka memahami sosialisme dan revolusi secara utopia.”

Sepotong pengalaman (serupa) ini malah membuat Redaksi—sebagai pewarta warga dengan segala keterbatasan mencoba paralel cara berpikir kaum materialis—bersemangat membuyarkan bualan-traumatis kawan revisionis itu.  Berikhtiar, dalam berbagai kesempatan dalam blog ini, menyudahi dongengan “alergi atas Pancasila” terkait junta militer Suharto yang mengemuka dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

P4 (plek, persis Pancasila-UUD 1945) yang oleh junta militer Suharto justru sejatinya “memusuhi Pancasila-UUD 45 di dalam Pancasila-UUD 45 itu sendiri”—Redaksi ‘pinjam-sadur’ dari frasa tulisan Lenin seperti disinggung di atas (simak hlm 35a).

Sehingga tanpa ragu sebutan “Pancasilais sejati” pun kami sematkan pada Jokowi.

Lamun, perilaku Pancasilais sejati itu sendiri sebetulnya apa?

“Maka ketika sebagai orang Indonesia, kita masih bingung apa sih maksudnya perilaku pancasilais itu? Ya, yang begini ini, blusukan-musyawarah ala Jokowi-Ahok!” Demikian antara lain argumentasi Redaksi menyoal perilaku Pancasilais dalam salah satu risalah kami (simak hlm 27a).

Redaksi tidak akan membahasnya ulang lagi di sini, silakan Kawan Pembaca Budiman dapat menyimak lebih lanjut tulisan dimaksud.

Tentu saja, sinyalemen ala pewarta warga kami (tidak mengklaim satu-satunya) ini, diharapkan ikut menginspirasikan sebuah penelitian ilmiah atas perilaku Pancasilais termasuk Pancasilais sejati—bukan gadungan seperti dipraksiskan junta militer yang melakoni Kudeta Merangkak atas Soekarno (simak hlm 35a).

Sosialisme Indonesia

Dan berbicara perilaku Pancasilais sesungguhnya berbicara sebuah basis bernama Pancasila-UUD 1945 dimana tegak superstruktur yang bersesuaian. (Untuk pemahaman atas “basis” dan “superstruktur” silakan simak risalah kami hlm 23a di bawah subtajuk “Teori Struktural, Base dan Superstructure”).

Di mana basis negeri kita yang unik ini ternyata terkait dengan sosialisme, seperti disinggung di atas yang adalah ungkapan Arief Budiman dalam sebuah makalahnya bertajuk Menciptakan Masa Depan Indonesia yang Lebih Baik, Masalah Ilmu Sosial dan Proses Regenerasi; disampaikan pada Seminar Nasional Kualitas Manusia Dalam Pembangunan, Palembang, 19-22 Maret 1984, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS):

4. Sistem apa yang menggantikan sistem kapitalisme di Indonesia? Menurut saya, sistem sosialisme. Ada dua alasan pokok:

a. Sistem ini memang sudah dikenal dalam masyarakat tradisional kita, yakni dengan nama gotong royong (= masohi; lihat Catatan Redaksi butir c di akhir tulisan ini–Red blog Dasar Kita). Kemudian, kalau kita membaca pokok-pokok pikiran dari pendiri negara ini, dari Cokroaminoto sampai kepada Soekarno-Hatta ketika mereka berjuang melawan Belanda dulu, cita-cita mendirikan masyarakat sosialis selalu tercermin kuat.

b. Sistem ini dinyatakan secara kuat pula dalam ideologi negara kita sekarang, yakni Pancasila dan UUD’45. Dengan mudah kita temui cita-cita sosialisme dalam dokumen-dokumen politik kita.

Tapi hendaknya dicatat pula, bahwa dengan sosialisme yang saya nyatakan di atas, bukan berarti kita harus mengikuti secara mentah-mentah sistem negara-negara sosialis yang ada.

Yang saya terima adalah social formation sosialistis bagi Indonesia, di mana kita memerhatikan macam-macam mode of production yang ada di Indonesia sekarang.

Adanya kesadaran akan perbedaan perkembangan sejarah dari masing-masing negara membuat mungkin kita menciptakan sistem sosialisme yang khas Indonesia.

Yang ada sekarang, menurut saya, adalah sistem kapitalisme yang khas Indonesia.

(Salah satu butir dari bagian penutup makalah di bawah subjudul Regenerasi: Apa yang Harus Dilakukan?; simak kutipan lengkap bagian penutup ini di hlm 2a)

Memang dalam makalah itu, seperti dengan berandang tampak pada bagian penutup tersebut, Arief tidak khusus membicarakan sosialisme Indonesia.

Lamun, dalam konteks topik seminar nasional tersebut “Kualitas Manusia Dalam Pembangunan” yang oleh Arief Budiman dalam makalahnya (dengan judul seperti dikutip di atas), menyimpulkan dalam 4 butir yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang menjadi tajuk bagian penutup: Regenerasi: Apa yang Harus Dilakukan?—mengingatkan kami pada sebuah judul buku VI Lenin (1901-1902) versi Inggris : What Is To Be Done—Arief pada hakikatnya menawarkan sistem sosialisme menggantikan sistem kapitalisme.

Lantaran Arief meyakini (dan sadar perlunya penelitian lebih lanjut) yang ada sekarang (dan hemat Redaksi masih absah hingga sekarang di awal abad ke-21 ini) adalah sistem kapitalisme yang khas Indonesia. Ini yang ditawarkan Arief digantikan dengan sistem sosialisme khas Indonesia.

Atau hemat Redaksi, seperti yang dicanangkan Republik Rakyat Tiongkok sejak kepemimpinan Deng Xiaoping, “sosialisme berkarakteristik Tiongkok”, di kita pun kenapa tidak: “sosialisme berkarakteristik Indonesia”.

Sampai di sini, Redaksi ingatkan sebentar, bahwa berhubung pentingnya makalah Arief Budiman dimaksud itu, setidaknya bagi Redaksi Dasar Kita, maka kami mengganggap perlu memuatnya secara utuh pada pengeposan bulan depan 14 Mei 2014 (hlm 44a).

Redaksi menyadari ada konsekuensi tersendiri berhubung tercantum “Makalah ilmiah ini tidak untuk dikutip secara menyeluruh. Bagian-bagian dari makalah ini dapat dipergunakan sebagai bahan untuk pemberitaan atau tulisan.” Dan “Hak Cipta berada pada Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS)”.

Tetapi, konsekuensi dimaksud akan coba Redaksi ambil dengan pertimbangan berikut.

Bahwa makalah Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984 tersebut begitu penting untuk perjalanan ke depan republik ini, ketika hari-hari ini perkembangan politik di tanah air tercinta sedang memasuki sebuah era baru yang belum ada presedennya sejak Kudeta Merangkak atas Soekarno nyaris setengah abad silam.

Ketika, tiga partai politik (parpol) membentuk sebuah Front Persatuan* kaum Nasionalis-Islamis: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)—Partai Nasional Demokrat (NasDem)—Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). (* Redaksi menghindar menggunakan istilah “koalisi” yang sarat “bagi-bagi kursi” ciri khas UUD 2002 cacat hukum itu; hal yang paralel gagasan Jokowi “koalisi tidak bagi-bagi kursi)

———
Data terbarui, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bergabung dengan FP ini. (Simak Kompas.com, 18/8/45).

Data terbarui, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) bergabung pula dengan FP ini (Simak Kompas.com, 22/5/2014)

Front Nasionalis-Islamis yang berasas Nasionalisme-Islamisme, 2 dari 3 asas Soekarno yang dilansir pada 1926 Nasionalisme, Islamis, Marxisme (simak hlm 23c).

Lamun, ketiga (kelima–data terbarui, lihat atas) parpol tersebut, meski dalam berbagai kesempatan masing-masing menyatakan mengacu pada Pancasila-UUD 1945, tetapi—setidaknya bagi Redaksi—belum pernah mendengar dari salah satunya bahwa mereka berkomitmen untuk menghapus atau tepatnya membatalkan demi hukum UUD 2002/niramendemen UUD 1945 apalagi berlanjut dengan amendemen pada greget Tritunggal (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) UUD 1945–hal yang direkomendasikan Prof Dimyati Hartono (2009). (Simak hlm 42a).

Padahal, dengan hilangnya jati diri kita oleh konstitusi gadungan cacat hukum UUD 2002 ini (simak hlm 39a), hemat kami, sulit secara optimal mencapai cita-cita ideal yang diusung masing-masing parpol tersebut: RI hebat berjati diri Trisakti (PDI-P/PKPI, data terbarui, lihat atas) restorasi Indonesia (NasDem) populis (PKB/Hanura, data terbarui, lihat atas).

Jadi, sekali lagi, bicara sosialisme Indonesia, Redaksi Dasar Kita awali dengan “Menimbang Arief Budiman di HIPIS Palembang 1984”.

Sampai jumpa Kawan Pembaca Budiman di pengeposan bulan depan; silakan simak/klik hlm 44a.

ooOoo

Tinggalkan komentar